Semua manusia memang diciptakan ada kecendrungan bersalah. Tidak ada yang lepas dari dosa dan kesalahan.
Kita semua tahu kisah Nabi Adam dan Hawa diciptakan. Mereka diberikan aturan di sorga agar jangan mendekat kalian berdua kepada pohon ini “.
Jelas aturannya jangan dekat, yang terjadi keduanya melanggar bukan hanya mendekat, juga bukan hanya menyentuh pohon bahkan memetik buahnya sampai memakan merasakan buah tersebut.
Perhatikan kemurkaan Allah datang kepada keduanya setelah memakan buah pohon tersebut. Padahal mereka sudah melanggar aturan karena mendekati pohon.
Pertanyaannya adalah ” Mengapa Allah tidak menunjukkan kemurkaanNya saat mendekat dan semakin mendekat sampai menyentuh dan terakhir makan buah itu ?.
Jawabannya adalah karena Allah Maha Baik. Menutupi kejelekan mereka berdua. Tidak langsung murka lalu mengusir dari surga. Itulah sifat Allah menyayangi dengan menutup dosa hamba-Nya.
Sebetulnya Nabi Adam dan Hawa terbuka pakaianya serta terusir dari surga bukan karena melanggar satu aturan Allah. Akan tetapi banyak pelanggaran pelanggaran. Sebab aturanNya bukan jangan makan buah pohon ini akan tetapi jangan dekat pohon ini.
Bila kita merasa disayang Allah dan dekat dengan-Nya, maka semestinya kita mengikuti apa yang dilakukan-Nya yaitu menutup aib atau kesalahan orang lain. Bukan sebaliknya mengumbar aib orang lain.
Benar, bahwa sifat manusia serba ingin tahu akan tetapi bukan untuk aib orang lain. Inilah kisah Nabi Musa disaat kaumnya dilanda kekeringan lalu Nabi Musa dan kaumnya (Bani Israel) shalat minta turun hujan ke tengah padang pasir. Sedihnya, setelah sekian lama, hujan juga tidak turun.
Kemudian, Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Musa, bahwa ada penghalang doa doa yang dipanjatkan, yaitu salah satu di antara kaum Bani Israel yang selalu berbuat maksiat selama empat puluh tahun. Oleh karena itulah, Allah tidak mengabulkan doa. Allah meminta agar doa dikabul dan turun hujan, orang yang 40 tahun bermaksiat agar keluar dari kaum Nabi Musa.
Setelah itu, Nabi Musa berseru agar orang ahli maksiat berdiri dan keluar dari kerumunan kaumnya. Pelaku maksiat itu merasa bahwa dirinyalah yang dimaksud. Bila ia keluar, keburukkannya akan diketahui oleh orang lain, ia malu. Namun, bila tidak keluar, hujan tidak akan turun.
Akhirnya, ia menangis secara diam-diam, memohon ampunan kepada Allah bertobat meratapi dosa dosanya. Tidak lama kemudian, awan menghitam dan air tercurah dari langit.
Nabi Musa keheranan karena Allah menurunkan hujan, padahal tidak ada satu pun di antara kaum Bani Israel yang keluar. Allah pun menjelaskan bahwa pelaku yang maksiat itu telah bertaubat memohon ampunan. Nabi Musa meminta Allah memperlihatkan orang tersebut.
Kemudian Allah berfirman, “Pada saat dia berbuat maksiat pun, Aku tidak membuka keburukannya. Bagaimana mungkin Aku membuka keburukannya pada saat ia menaati-Ku?!”. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepada setiap hamba-Nya.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (Jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku (Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 186).
Bayangkan Allah Maha Baik, menutupi kejelekan hamba-Nya. Mari lihat diri kita sudahkah kita menutupi aib orang lain. Bukankah siapa yang menutup aib saudaranya maka Allah menutup aibnya di dunia dan di akhirat?
Sebaliknyapun benar, siapa saja yang membuka aib orang lain maka Allah murka dengan membuka aibnya di dunia dan akhirat, bahkan kadang yang membongkar aib akan melakukan dosa yang sama.
Mari kita tutup diri kita dengan berpakaian. Yaitu menutup aib orang lain.
Motivasi Ramadhan
Bersama Ust. Arifin Jayadiningrat |Direktur Islamic Character Development-ICD
Alhamdulillah aku dapat ilmu dan pencerahan sehingga dpt manyadari kekurangan diri sendiri dan dpt merasakan betapa ksh syg ALLAH.mhon do’a nya agar Istiqomah.