Imam Thabari adalah ahli tafsir sekaligus ahli sejarah Islam. Artikel ini membahas metode Imam Thabari dalam penulisan sejarah. Selamat menikmati.
Pendahuluan
Banyak hal yang kita pahami dari berbagai peristiwa kehidupan penting, yang akhirnya menjadi sejarah dalam kehidupan manusia. Begitupun juga dengan Sejarah Islam dan Historiografi Islam, berkembang seiring dengan perkembangan umat Islam dan tidak dapat terpisah dengan perkembangan peradaban Islam pada umumnya.
Perkembangan peradaban Islam berlangsung secara cepat, dalam bidang politik misalnya, hanya dalam satu abad lebih sedikit, Islam sudah menguasai Spanyol, Afrika Utara, Siria, Palestina, semenanjung Arabia, Irak, Persia, Afganistan, Pakistan, Uzbekestan dan Kirgis.
Kebangkitan Islam itu telah melahirkan sebuah imperium besar yang mengalahkan dua imperium besar yang sudah ada sebelumnya yaitu Persia dan Bizantium. Sejalan dengan menanjaknya imperium besar itu, umat Islam juga menggalakkan pengembangan ilmu pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun umum.
Seiring dengan perkembangan peradaban Islam itulah ilmu sejarah dalam Islam lahir dan berkembang. Sebagai komparasi, ketika umat Islam sudah mencapai kemajuan dalam penulisan sejarah, tidak ada bangsa lain pada waktu itu yang menulis seperti halnya kaum Muslimin. Umat Islam memandang sejarah sebagai ilmu yang sangat bermanfaat.
Sebagai hasil pencermatan dan kenyataan sejarah menunjukkan bahwa para khalifah yang berhasil membangun kejayaan politik dan peradaban Islam pada masa klasik adalah mereka yang paling banyak memperhatikan dan belajar sejarah.
Muawiyyah bin Abu Sofyan, berhasil membangun wilayah kekuasaan Islam demikian luas yang membentang di tiga benua, dan khalifah Abbasyiah yaitu Harun al Rasyid dan putranya Makmun yang berhasil membawa Dinasti Abbasyiah ke puncak kejayaan peradaban Islam pada periode klasik, rupanya para khalifah itu memang membutuhkan pengetahuan sejarah yang dapat membimbing mereka dalam menjalankan roda pemerintahan.
Biografi Muhammad bin Jarir Ath-Thabari
Nama dan Keluarga
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir seorang imam, ulama’ dan mujtahid, ulama’ abad ini, kunyahnya Abu Ja’far Ath Thobari. Beliau dari penduduk Aamuly, bagian dari daerah Thobristan, karena itu sesekali ia dipanggil sebagai Amuli selain dengan sebutan yang masyhur dengan at-Thabari.
Imam Thabari mendapatkan kuniyah Abu Ja’far, padahal para ahli sejarah telah mencatat bahwa sampai masa akhir hidupnya Imam Thabari tidak pernah menikah.[1] Beliau lahir pada akhir tahun 224 H awal tahun 225.
Beliau banyak bersafar dan berguru dengan ahli sejarah, beliau juga salah seorang yang memiliki banyak disiplin, cerdas, banyak karangannya dan dan belum ada yang menyamainya.
Ulama Multi Talenta
Al-Thabari merupakan ulama multi talenta dan menguasai berbagai disiplin ilmu. Tafsir, qira’at, hadits, ushul al-din, fiqih perbandingan, sejarah, linguistik, sya`ir dan `arudh (kesusateraan) dan debat (jadal) adalah sejumlah disiplin ilmu yang sangat ia kuasai.
Tidak hanya ilmu-ilmu agama dan alat, al-Thabari pandai ilmu logika (mathiq), berhitung, al-Jabar, bahkan ilmu kedokteran.
Ia mempunyai ilmu yang sangat luas, tidak heran jika karyanya tak bisa terhitung hanya dengan waktu 1000 detik. Namun, mayoritas kitab beliau hilang dan tidak sampai kepada kepada kaum muslimin kecuali hanya sedikit.
Selain banyaknya bidang keilmuan, bobot karya-karya al-Thabari sangat dikagumi para ulama dan peneliti. Al-Hasan ibn Ali al-Ahwazi, ulama qira’at, menyatakan, “Abu Ja`far [al-Thabari] adalah seorang ulama fiqih, hadits, tafsir, nahwu, bahasa dan `arudh. Dalam semua bidang tersebut dia melahirkan karya bernilai tinggi yang mengungguli karya para pengarang lain”.[2]
Hafal Al-Quran 7 Tahun
Ia sudah mulai belajar pada usia yang sangat muda dengan kecerdasan yang sangat menonjol sehingga ia hafal al Quran pada usia tujuh tahun, ilmu-ilmu dasar ia pelajari di kota kelahirannya.
Orang tuanya termasuk orang berada, ia mendapat cukup fasilitas untuk melanjutkan studinya di Rayy, salah seorang gurunya disana adalah Muhammad Ibn Humayyad al Razi, seorang sejarawan besar di waktu itu.
Dari Rayy, ia pindah studi ke Baghdad dengan maksud belajar kepada Ahmad Ibn Hanbal, seorang ahli hadis dan ahli fikih termashur waktu itu, akan tetapi yang hendak dituju meninggal sebelum ia sampai ke kota itu, kemudian ia pindah ke Bashrah dan ke Kuffah setelah sebelumnya di Washid untuk mendengarkan beberapa kuliah.
Di Kuffah, ia menimba 100.000 hadis dari Syaikh Abu Kurayb, tak lama setelah itu ia kembali ke Baghdad dan menetap disana untuk jangka waktu yang cukup lama. Pada tahun 876 M, ia pergi ke Mesir dan singgah ke Syiria untuk menuntut ilmu hadis. Di Mesir ia berjumpa dengan Abu Hasan al Siraj al Mishri.
Mazhab Jaririyah
Setelah belajar fikih Syafi’i kepada al Rabi, al Muzni dan putera-putera Abd al Hakam, ia kembali ke Baghdad dan menetap disana. Sepuluh tahun setelah pulang dari Mesir, ia muncul sebagai mujtahid mustaqil (tidak bergantung pada mazhab tertentu) dan mendirikan mazhab sendiri dalam bidang fikih yang oleh pengikutnya disebut dengan madzab Jaririyah. Hanya saja mazhab ini tidak berkembang.
Mazhab Jaririyah mulai redup ketika Ath Thabari mendapatkan tuduhan Tashayu’ yaitu sebuah tuduhan yang menyatakan bahwa orang tersebut menganut mazhab Syiah. Tuduhan ini begitu melekat ke beliau, sehingga sedikit demi sedikit pengikutnya mulai meninggalkannya, bahkan pendapat dan ijtihadnya mereka hiraukan.
Metodologi Penulisan Sejarah Imam Thabari
Mulai dari Studi Hadis
Imam Thabari memulai kehidupan ilmiahnya dengan studi hadis, tak ayal jika metode ahli hadis banyak mempengaruhinya dalam studi sejarah.
Seperti yang beliau katakan dalam muqaddimah tarikhnya:
( وليعلم الناظر في كتابنا هذا أن اعتمادي في كل ما أحضرت ذكره فيه ، إنما هو على ما رويت من الأخبار التي أنا ذاكرها فيه والآثار التي أنا مسندها إلى رواتها فيه دون ما أدرك بحجج العقول واستنبط بفكر النفوس .. إلا القليل اليسير منه )
Lewat tulisan itu Imam Thabari menegaskan sikapnya bahwa ia hanya akan menyandarkan suatu berita kepada yang mengatakan dan ia tidak mau rasional dan argumen mengintervensinya dalam menjelaskan suatu masalah.
Imam Thabari hanya menyajikan pandangan-pandangan yang berbeda dari para perawi dengan cara mengumpulkannya lalu menulisnya dalam riwayat-riwayat. Dan yang bertanggung jawab atas keotentikan riwayat tersebut adalah rijalus sanad atau para perawi. Hal demikian telah ditegaskan oleh Imam Thabari berikut:
فما يكن في كتابي هذا من خبر ذكرناه عن بعض الماضين مما ينكره قارئه أو يستشنعه سامعه ، من أجل أنه لم يعرف له وجهاً في الصحة ولا معنى في الحقيقة ، فليعلم أنه لم يؤت في ذلك من قبلنا ، وإنما أتي من قبل بعض ناقليه إلينا ،وأنا إنما أدينا ذلك عن نحو ما أدي إلينا
Metode Al-Hiyad
Metode Imam Thabari adalah Al-Hiyad yaitu menyajikan berbagai macam titik pandang tanpa keberpihakan dan fanatisme, meskipun pendapatnya sendiri terkadang muncul. Menjauhi penilaian qath’I atau definitive pada suatu isu, dan ia juga tidak mengutamakan satu riwayat atas riwayat yang lain kecuali sedikit.
Dalam menulis sejarah, Imam Thabari adalah pengikut aliran Madinah, kota suci agama Islam kedua setelah Makkah ini adalah tempat berkumpulnya sahabat besar sehingga dipandang sebagai gudang ilmu pengetahuan Islam yang kemudian memunculkan tokoh ilmu sejarah yang mendalam beserta alirannya.
Dalam aliran ini banyak memperhatikan al maghazi dan sirah nabawiyyah dengan berdasarkan sanad. Tokoh yang terkenal dalam aliran ini adalah Urwah ibn az Zubair dan muridnya az Zuhri, Abban bin Utsman, Urwah bin Zubair bin Awam, Ashim bin Umar bin Qatadah, Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri, Musa bin Uqbah, Ma’mar bin Rasyid, Muhammad bin Ishaq.
Dari mereka kemudian muncul ahli sejarah terkenal dalam islam seperti Khalifah bin Khayath, Ibnu Qutaibah, Al-Baladzari, Abu Hanifah Ad-Dainuri, Al-Ya’qubi, Al-Mas’udi dan sebagai Imamnya adalah Muhammad bin Jarir Ath-Thabari.
Historiografi Riwayat
Imam Thabari mengambil metode Historiografi dengan riwayat yaitu suatu metode yang menghubungkan suatu informasi sejarah (riwayat) dengan sumber-sumbernya yang menurut ukuran sekarang dapat dipandang telah memenuhi secara ideal dalam penelitian historis dan ketelitian ilmiah.
Dr. Muhammad Amhazun menyebut metode ini dengan Metode At-Tautsiq wa Itsbatul Haqaiq. Imam Thabari adalah tokoh yang mengembangkan metode ini.
Metode ini mempelajari sanad dan matan peristiwa sejarah yang berpegang pada nash yang benar dan valid. Mengkaitkan ilmu sejarah dengan cabang ilmu hadits yaitu ilmu Jarh wa Ta’dil, yang membahas biografi, sifat, akhlaq dan aqidah seorang rawi.
Kaidah-kaidah periwayatan dalam ilmu Jarh wa Ta’dil bisa untuk mendalami sejarah sedalam-dalamnya. Menyingkap hal atau keadaan para rawi yang berguna untuk membedakan mana yang kuat, mana yang lemah, mana yang jujur dan mana yang dusta. Dan menilai sebuah berita apakah shahih atau hasan dan menjauhi riwayat yang daif atau maudhuk.
Tarikh Umam wa al-Mulk, karya monumental Imam Thabari
Kitab Tarikh al Umam wa al Muluk (تاريخ الأمم والملوك) karya al Thabari telah beberapa kali terbit ulang di Leiden dalam bentuk ringkasan, dan juga diterjemahkan dalam bahasa Perancis atas perintah penguasa Abu Ali Muhammad al Bal’ami al Samani.
Terjemahannya banyak yang ditambah dengan sumber-sumber lain. Kemudian kitab terjemahan itu diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Turki dan Arab.
Isi Kitab
Secara garis besar, kandungan kitab ini terbagi menjadi dua bagian.
- Pertama, berisi sejarah sebelum Islam dari sejarah para Nabi / Rasul dan raja-raja berikut sistem pemerintahannya, sejarah kebudayaan sasania (Persia) yang riwayatnya dari naskah berbahasa Arab. Ia tidak banyak berusaha menganalisis kaitan sejarah antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya.
- Kedua, berisi paparan tentang sejarah Nabi Muhammad, peristiwa penting Nabi dan perang-perang Nabi, sejarah Islam masa al Khulafa al Rasyidin dan ekspansi di masa itu.
Mengumpulkan bahan-bahan sejarah ini, Thabari bersandar pada riwayat-riwayat yang sudah terbukukan, dan yang belum terbukukan, ia kukan perjalanan ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu dan belajar kepada ulama-ulama termashur.
Karya Terbesar
Kitab Tarikh Umam wa al-Mulk, menjadi salah satu karya terbesar al-Thabari dan menjadi rujukan sejarah Islam terpenting sepanjang masa. Kitab ini merupakan kitab yang terbilang babon (induk) dalam kajian sejarah selain kitab al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibn Katsir dan al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn al-Atsir.
Berisi metode yang cermat dan memaparkan data yang lengkap dengan sumber riwayat yang jelas. Keberadaannya dapat dikatakan melengkapi karya para sejarawan sebelumnya, seperti al-Ya`qubi, al-Baladzuri, al-Waqidi dan Ibn Sa`ad, sekaligus menjembatani kelahiran karya besar para sejarawan setelahnya, seperti al-Mas`udi, Ibn Miskawaih, Ibn al-Atsir, Ibn Katsir dan Ibn Khaldun.
Kitab ini membahas hanya sampai pada tahun 302 Hijriyah yang bertepatan dengan tahun ketujuh pada masa pemerintahan khalifah Al-Muqtadir Billah. Pembahasan selanjutnya oleh Muhammad bin Abdul Malik bin Ibrahim Al-Hamdani yang berjudul “Takammulat Tarikh At-Thabari”. Yang membahas sejarah semenjak masa khalifah Al-Muqtadir Billah sampai pada tahun 357 Hijriyah pada masa mentri Abu Fadhil As-Syairazi.
Kitab Tarikh Ar-Rasul wal Muluk ini kemudian di Takhrij hadisnya oleh Muhammad bin Thahir Al-Barzanji dan terbit dalam buku Shahih Tarikh Thabari.
Kitab Tarikh Ar-Rasul wal Muluk juga menjadi inpirasi untuk Ibnu Atsir menuliskan buku sejarahnya berjudul al-Kamil fii at-Tarikh. Karya Ibnu Atsir menjadi karya penyempurna dari karya at-Thabari. At-Thabari menuliskan sejarah sampai masa ia hidup yaitu 310 hijriah.
Ibnu Atsir meneruskan penulisan sejarah beliau samapai tahun 630 H. Ibnu Atsir tidak hanya mengikuti jejak langkah ath-Thabari namun juga melakukan pembaruan dalam menulis sejarah. Maka karya Ibnu Atsir ini adalah karya penyempurna bagi karya at-Thabari
Antara Imam Thabari dan Ibnu Miskawaih
Miskawaih
Miskawaih adalah seorang sejarahwan muslim abad IV H, hidup pada masa dinasti Buwaihiyah. Lahir pada tahun 320 H. di Ray salah satu daerah di Iran. Nama aslinya adalah Ahmad bin Muhammad bin Ya’kub atau Miskawaih.
Miskawaih mulai meniti karier sebagai sekretaris pribadi Abi Muhammad al-Muhallabi -Kepala Konsuler Dinasti Buwaihiyah. Kematian raja Buwaihi pada tahun 372 H. menjadikan Miskawaih menarik diri dari segala aktifitas yang berhubungan dengan kerajaan.
Ia mulai menekuni dunia tulis menulis dan mengarang beberapa kitab, diantaranya tentang filsafat, adab, kedokteran, akhlak, dan sejarah. Miskawaih adalah penganut faham syi’ah dan wafat pada 9 shafar 421 H.
Persamaan dan Perbedaan
Dalam blantika studi historis, para penulis maupun pembahas sejarah senantiasa mengkaitkan Miskawaih dengan Imam Thabari.
Kedua penulis ini adalah pakar dalam ilmu sejarah, sehingga kerapkali peristiwa-peristiwa yang disebutkan oleh keduanya mempunyai kesamaan sanad maupun matan. Meskipun demikian terdapat perbedaan keduanya.
Penggunaan Bahasa
Perbedaan mendasar yang dapat kita dapatkan saat membaca kitab Tarikh al-Thabari dengan Tajarub al-Umam wa Ta’aqubul Umam adalah segi penggunaan bahasa. Imam Thabari menganut metode riwayat atau Metode At-Tautsiq wa Itsbatul Haqaiq yang sangat detil dan terperinci dalam pemaparan sejarah dan terkesan bertele-tele.
Berbeda dengan Ibnu Miskawaih yang muncul ketika tradisi menulis telah berkembang dan ilmu sejarah telah mapan. Ketika itu sejahrawan muslim mulai beralih ke arah pengkajian riwayat itu sendiri atau dirayah yang disebut Dr. Muhammad Amhazun dengan metode Tafsir At-Tarikhi. Yaitu metode sejarah yang menaruh perhatian terhadap pengetahuan secara langsung dari satu segi dan interpretasi rasional dari segi lainnya.
Metode Analisis
Perbedaan mendasar lainnya adalah Imam Thabari menggunakan metode analisi (tahlili), sehingga pembahasannya panjang dan terperinci. Berbeda dengan Miskawaih yang menggunakan metode tematik (maudhu’i) yang praktis dan tidak bertele-tele dan boros bahasa dalam menjelaskan nash sejarah.
Selain itu Miskawaih orientasinya futuristik, yang berusaha menjadikan kejadian masa lalu sebagai proses kejadian yang akan datang. Ia juga memandang bahwa Peristiwa sejarah dapat bermanfaat bagi manusia karena berulang, atau dapat terjadi di masa depan
Israiliyyat
Dalam mengambil nash sejarah pada kitab Thabari, tak jarang Miskawaih mengkritik beberapa cerita yang tidak masuk akal. Secara umum dalam menyikapi peristiwa yang terjadi di luar jangkauan akal manusia, Miskawaih menolak dan tidak masuk dalam bukunya, seperti hal gaib dan khurafat, karena khurafat—menurutnya—adalah suatu fenomena yang mustahil dan tidak ada faedahnya.
Adapun Imam Thabari, banyak menyebutkan kisah-kisah Israiliyat, yang beliau ambil dari Ka’ab Al Ahbar, Wahab bin Munabih, Ibnu Juraij, As Suda dan yang lainnya.
Banyak ulama yang mencela Imam Thabari tentang masalah Israiliyat ini. Dan Syaikh Ahmad Syakir telah meneliti masalah ini, lalu ia mengutarakan sebabnya; bahwa Imam Thabari terpengaruh dengan penelitiannya dalam masalah sejarah.
Ia hanya menukil dari kitab tarikh ulama sebelumnya, setelah mereka hapus sanadnya lalu ditulis pada kitab ulama sebelum Imam Thabari, seakan berita itu adalah benar, lalu Ibnu Jarir menukilnya dalam kitabnya.
Sumber Sejarah
Dalam sumber pengambilan sejarah, Imam Thabari selalu berdasar pada sumber-sumber syar’I yaitu Al-Quran, Sunnah dan Ijma’. Al-Quran dan Sunnah adalah sumber terpercaya dalam sejarah karena sumbernya yang pasti dapat dipercaya, Al-Quran sampai kepada kita dengan jalan mutawatir dan Hadits sampai kepada kita dengan cara yang sangat teliti.
Sementara Ibnu Miskawaih mendasarkan nash sejarah pada rasio dan Ijma’. Rasio memegang peranan penting di dalam menolak atau menerima sebuah cerita, maka jika rasio tidak menerima apa yang terkandung dalam sebuah cerita, berarti cerita tersebut tidak dianggap sahih, dengan begitu rasio menurut Miskawaih adalah pusat terpenting.
Rasionalitas tersebut membuat Miskawaih selalu menolak cerita yang dibesar-besarkan, seperti cerita klasik yang mengisahkan jumlah pembunuhan yang tidak masuk akal, atau cerita raja-raja dahulu tentang mahkota kebesaran pada keadaan dan tingkah lakunya yang di atas kewajaran.
Karya-karya Imam Thabari
Imam Thabari termasuk penulis yang sangat produktif pada masanya. Tidak hanya bidang sejarah saja, namun ilmu-ilmu lain seperti, tafsir, qira’at, kedokteran, hadits, mantiq, psikologi, filsafat, adab, ushul al-din, fiqih perbandingan, sejarah, linguistik, sya`ir dan `arudh (kesusateraan) debat (jadal) dll.
Buku-buku Imam Thabari yang telah beredar adalah:
- Kitab Adabul Qodho’ ( Al Hukkam),
- Kitab Adabul Manasik,
- Kitab Adab an-Nufuus,
- Kitab Syarai’al-Islam,
- Kitab Ikhtilaful Ulama’ atau Ikhtilaful Fuqoha’ atau Ikhtilafu Ulama’il Amshor fie Akhkami Syaroi’il Islam,
- Kitab Al Basith,
- Kitab Tarikhul Umam wal Muluk (Tarikhul Rusul wal Muluk),
- Kitab Tarikhul Rijal minas Shahabah wat Tabi’in,
- Kitab at-Tabshir,
- Kitab Al Jaami’ fiel Qira’at
- Kitab Haditsul Yaman,
- Kitab Ar Rad ‘Ala Ibni ‘Abdil Hakim,
- Kitab az- Zakat,
- Kitab Al ‘Aqidah,
- Kitabul fadhail,
- Kitab Fadhail Ali Ibni Thalib,
- Kitab Mukhtashar Al Faraidz,
- Kitab Al Washaya, dll.
Penutup
Dalam kacamata Historiografi Islam, Imam Thabari dan Ibnu Miskawaih adalah ahli sejarah yang tiada duanya. Dari keduanya muncul metodologi yang menjadi acuan penulis generasi setelahnya, kitab mereka termasuk menjadi terminal referensi sejarah.
Semoga pembahasan ini bermanfaat. Mohon saran dan kritik yang membangun jika ada kesalahan dari tulisan ini. Hanya kepada Allah kami menyembah dan hanya kepada-Nya kami memohon pertolongan, Amiiin.
Sumber:
ِAbu Ja’far Al-Thabari, Tarikh Ath-Thabari/ Tarikh Al-Rusul wal Muluk, Mesir: Darul Ma’arif, 1967. (Maktabah Syamilah: link)
ِAbu Ali Miskawaih Al-Razi, Tajarub al-Umam wa Ta’aqubul Umam, Teheran: Dar Suruq lit Thiba’ah wal Nasyr, 2000. (Maktabah Syamilah: link)
Manhaj At-Tautsiq wa Itsbatul Haqaiq fi Dirasah At-Tarikh Al-Islami dan Manhaj At-Tafsir At-Tarikhi oleh Dr. Muhammad Amhazun
Qawaid Manhajiiyah fi Tafsiril Hawadits wal Hukmu Alaiha oleh Dr. Muhammad Amhazun
How to cite this Article: Jumal Ahmad “Metodologi Penulisan Sejarah Islam: Telaah Terhadap Metode Imam Thabari”, ahmadbinhanbal.com (blog), Februari 24, 2012 (+ URL dan tanggal akses)
***
Baca juga bahasan artikel tentang:
- Metodologi Penulisan Sejarah Islam: Telaah Terhadap Metode Miskawaih
- Sejarah Dan Pendekatan Historis Dalam Islam
- Historiografi Islam: Antara Riwayat dan Dirayat
- Urgensi Kajian Historiografi Periode Sahabat
- Sosiologi dan Pendidikan Modern Menurut Dr. Recep Şentürk
- Metodologi Penulisan Sejarah Islam: Telaah Terhadap Metode Imam Thabari
[1] Amul adalah kota paling besar di Thobastan.
[2] Muqaddimah Tarikh ath-Thabari: 1: 5-6.
Siap.
Terima kasih.
Masyaa Allah. Syukron ya syaikh.
Ana blm dapat versi PDF yg, minimal, bahasa Inggrisnya. Memang ada Tarikh Thabary terjemahan tetapi mahal sekali. Bukankah ulama terdahulu sebagian besar merilis kitab2nya gratis? (selain dibayar senilai berat emas di era Abbasiyah, dan dijual beberapa dinar di wilayak Irak)
Afwan, jika berkenan, mohon ziarah ke blog ana, salafologi.wordpress.com
Ila liqoo
[…] para penulis maupun pembahas sejarah senantiasa mengkaitkan Miskawaih dan Ibnu Jarir Ath-Thabari, meski sedikit banyak mengambil dari Thabari, namun Miskawaih bisa menciptakan metodologi baru yang […]