Abstrak
Artikel ini adalah untuk menjelaskan awal penamaan, sejarah Muktazilah pada masa Umayyah dan Abbasiyah dan tokoh-tokoh terpenting Muktazilah. Perkara lain yang dibincangkan adalah pandangan Muktazilah tentang lima dasar ajaran Muktazilah (al-ushul al-khamsah) yang terdiri dari at-tauhid, al-adl, al-wa’du wal wa’īd, al-manzilah bainal manzilatain dan amar ma’ruf nahi mungkar.
Keywords: Muktazilah, sejarah, al-ushul al-khamsah.
Pendahuluan
Pihak luar Muktazilah menamakan mereka dengan kaum Mu’attilah, kaum al-Qadariyah, kaum al-Wa’idiyah dan Jahmiyah. Sementara Muktazilah menyebut dirinya sebagai Ahl al-‘adl wa al-tauhid, Ahlul Haq, Al-Firqatun Najiyah dan Al-Munazzihuun Allah ‘Anin Naqshi.
Ada dua pendapat tentang lahirnya Muktazilah. Pertama bahwa Muktazilah mulai muncul sejak peristiwa keluarnya Washil dari pengajian Hasan al-Bashri, di mana dari Hasan Bashri muncul ucapan “I’tazala ‘Anna”. Dari kata-kata tersebut muncullah kemudian sebutan Muktazilah bagi Washil dan para pengikutnya. Kedua, Muktazilah ditujukan kepada mereka yang tidak mau ikut peperangan, baik perang Jamal antara pasukan Saidina Ali ibn Abi Thalib dengan pasukan Siti Aisyah, maupun perang Siffin antara pasukan Saidina Ali ibn Abi Thalib melawan pasukan Mu’awiyah. Kedua peperangan ini terjadi karena persoalan politik.
Muktazilah sempat eksis pada masa dinasti Umayyah dan mengalami puncaknya pada masa dinasti Abbasiyah. Pada masa Umayyah, Muktazilah masih berkisar tentang pelaku dosa besar dan sudah muncul lima ajaran pokok Muktazilah yang harus dipegang oleh penganutnya. Pada masa Abbasiyah, Muktazilah memiliki kebebasan dan leluasa dalam mengembangkan ajaran-ajarannya.Bahkan pada masa Al-Ma’mun Muktazilah berubah menjadi mazhab resmi negara. Bahkan dalam mengekspresikan kefanatikannya terhadap Muktazilah, beliau menggunakan kekuasaannya memaksa rakyat untuk mengikuti aliran kepercayaan yang dianutnya tersebut dengan melakukan Mihnah.
Muktazilah adalah aliran yang mendasarkan faham keagamaan mereka pada lima ajaran ini. Lima ajaran ini adalah : 1) “at-tauhid” keesaan Tuhan, 2) “al-adl” keadilan Tuhan, 3) “al-wa’du wal wa’id” janji dan ancaman 4) “al-manzilah bainal manzilatain” posisi antara dua posisi dan 5) “amar makruf nahi mungkar” (menyuruh berbuat kebaikan dan melarang segala kemungkaran). Dimana seseorang belum bisa diakui sebagai anggota Muktazilah kecuali jika sudah mengakui dan menerima lima dasar ajaran Muktazilah (al-ushul al-khamsah).
Pembahasan
Penamaan Muktazilah
Tidak ada kesepakatan di antara para ahli tentang asal nama Muktazilah. Tetapi nama itu sering dinisbahkan kepada sekelompok orang yang menganut paham teologi rasional yang muncul setelah peristiwa perdebatan antara Hasan Al-Bashri dan Washil bin Atha’. Di sisi lain, masih diperdebatkan tentang siapa yang memberikan nama Muktazilah kepada Washil dan pengikutnya, dari orang yang menentang mereka, atau mereka sendiri yang mengambil nama itu.
Muktazilah Secara Bahasa dan Istilah
Muktazilah secara bahasa diambil dari kata اعتزل الشيئ وتعزله yang bermakna تنحى عنه yang berarti memisahkan diri. Dalam Al-Quran disebutkan “وَإِنْ لَمْ تُؤْمِنُوا لِي فَاعْتَزِلُونِ (21) yang artinya jika kalian tidak beriman kepadaku maka jangan bersamaku.[1] Maka Muktazilah secara bahasa berarti memisahkan diri (al-infishaal wat tanahhii)[2] Dan secara istilah, Muktazilah berarti nama sebuah kelompok yang muncul pada awal abad kedua hijriyah, yang menggunakan akal dalam membahas teologi Islam. Pengikut Washil bin Atha[3] yang keluar dari Majlis Hasan Al-Bashri[4].[5]
Ada anggapan lain bahwa kata Muktazilah mengandung arti tergelincir, dan karena tergelincirnya aliran Muktazilah dari jalan yang benar, maka ia diberi nama Muktazilah, yaitu golongan yang tergelincir. Kata I’tazala berasal dari kata akar a’zala yang berarti”memisahkan” dan tidak mengandung arti tergelincir. Kata yang dipakai dalam bahasa Arab untuk tergelincir memang dekat bunyinya dengan a’zala yaitu zalla. Tetapi bagaimanapun, nama Muktazilah tidak bisa berasal dari kata zalla.
Muktazilah memiliki banyak nama, berikut ini penjelasan ringkas yang menunjukkan dua pendapat tentang penamaan Muktazilah. Satu pendapat berasal dari pihak luar, dan satu pendapat lagi dari kaum Muktazilah sendiri.
Nama yang diberikan pihak luar
Pihak luar, selain memberi nama Muktazilah, juga memberikan nama-nama lain. Kaum Ahlussunnah Waljamaah menamakan mereka dengan kaum Mu’attilah yakni golongan yang menafikan sifat Tuhan. Mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang berdiri sendiri pada zat. Ada yang menjuluki dengan istilah kaum al-Qadariyah, karena mereka menganut paham manusia memiliki kebebasan berkehendak dan kemampuan berbuat. Ada yang menamakan dengan al-Wa’idiyah, karena mereka mengajarkan paham ancaman Tuhan terhadap orang-orang yang tidak taat pasti berlaku.
Dan ada yang menjuluki Muktazilah dengan Jahmiyah karena kedua kelompok ini banyak memiliki persamaan dalam hal meniadakan ru’yah dan shifat, Al-Quran adalah makhluk dan dalam masalah keyakinan lainnya, bahkan Bukhari dan Imam Ahmad menyamakan Muktazilah dengan Jahmiyah dalam bukunya Ar-Radd alal Jahmiyah dimana yang dimaksud Jahmiyah adalah kelompok Muktazilah.[6]
Nama yang diberikan pihak Muktazilah
Muktazilah menyebut dirinya sebagai Ahl al-‘adl wa al-tauhid sebagaimana disebutkan oleh As-Sahrastani, namun menurut Harun Nasution, walaupun lebih senang disebut Ahl al-‘adl wa al-tauhid, mereka tidak menolak disebut Muktazilah. Bahkan dari ucapan-ucapan pemuka Muktazilah dapat disimpulkan bahwa mereka sendirilah yang menimbulkan nama itu. Al-Qadhi Abd al-Jabbar misalnya mengatakan bahwa dalam al-Quran terdapat kata I’tazala yang mengandung arti menjauhi yang salah atau tidak benar, dengan demikian Muktazilah mengandung arti pujian. Ia juga menambahkan adanya hadits nabi yang menerangkan bahwa umat akan terpecah menjadi 73 golongan dan yang paling patuh dan terbaik di antaranya adalah golongan Muktazilah.[7]
Mereka juga menyebut dirinya sebagai Ahlul Haq, Al-Firqatun Najiyah dan Al-Munazzihuun Allah ‘Anin Naqshi. Mereka menyebutkan demikian karena menganggap berada dalam kebenaran dan selainnya dalam kebatilan.[8]
Sejarah Lahirnya Muktazilah
Asal Nama Muktazilah
Setelah mengetahui arti kata Muktazilah secara bahasa dan istilah dan nama lain Muktazilah, kita mempelajari asal penamaan Muktazilah itu sendiri. Ketika membahas asal Muktazilah, ahli sejarah terbagi menjadi dua kaca mata yaitu kaca mata politik dan kaca mata agama.
Pendapat Pertama dari kaca mata Agama
Pendapat yang mengatakan bahwa nama Muktazilah mulai muncul sejak peristiwa keluarnya Washil dari pengajian Hasan al-Bashri, di mana dari Hasan Bashri muncul ucapan “I’tazala ‘Anna”. Dari kata-kata tersebut muncullah kemudian sebutan Muktazilah bagi Washil dan para pengikutnya.
Pendapat mayoritas ini dipegang oleh penulis buku buku firaq seperti Al-Baghdadi dan As-Sahrastani. Mereka meriwayatkan bahwa Wasil bin Atha’ telah berbeda dengan gurunya Hasan Bashri[9]. Washil bin Atha’ ber-pendapat bahwa bagi orang yang melakukan dosa besar sedang ia tidak bertaubat, maka pada hari akhirat kelak ia berada di antara dua tempat (antara surga dan neraka) yang diistilahkan dengan Al-Manzilah Baina Al-Manzilatain. Washil bin Atha’ kemudian memisahkan diri dari gurunya dan diikuti oleh beberapa murid Hasan Bashri, seperti ‘Amr ibn ‘Ubayd. Atas peristiwa ini Hasan al-Bashri mengatakan: “Washil menjauhkan diri dari kita (I’tazala ‘anna)”. Kemudian mereka digelari kaum Muktazilah.[10]
Ada riwayat lain tentang penyebutan nama Muktazilah sebagaimana disebutkan Ibnu Khalkan, Qatadah ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke Mesjid Bashrah dan menuju ke majelis ‘Amr ibn ‘Ubaid yang disangkanya adalah Hasan al-Bashri. Setelah ternyata yang didapatinya bukan majelis Hasan al-Bashri, ia berdiri dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata: “Ini kaum Muktazilah”. Semenjak itu mereka disebut kaum Muktazilah.[11]
Muktazilah ini muncul disebabkan karena persoalan agama.[12] Muktazilah inilah yang kemudian melahirkan ilmu baru dalam Islam yang dikenalkan Muktazilah, yaitu “Ilmu Kalam” yang berisi perpaduan antara Filsafat dan Logika dengan ajaran-ajaran agama Islam, sehingga merupakan gagasan-gagasan baru, konsepsi-konsepsi filsafat mengenai teologi Islam .
Dari kaca mata Politik
Nama Muktazilah pernah muncul satu abad sebelum munculnya Muktazilah yang dipelopori oleh Wasil bin Atha’. Sebutan Muktazilah ketika itu merupakan julukan bagi kelompok yang tidak mau terlibat dengan urusan politik, dan hanya menekuni kegiatan dakwah dan ibadah semata.
Secara khusus sebutan Muktazilah itu ditujukan kepada mereka yang tidak mau ikut peperangan, baik perang Jamal antara pasukan Saidina Ali ibn Abi Thalib dengan pasukan Siti Aisyah, maupun perang Siffin antara pasukan Saidina Ali ibn Abi Thalib melawan pasukan Mu’awiyah. Kedua peperangan ini terjadi karena persoalan politik.[13]
Akibat perang ini umat Islam terbagi menjadi beberapa kelompok mengenai pelaku dosa besar yang dipelopori oleh Khawarij yang menganggap bahwa Ali dan pendukung arbitase adalah pelaku dosa besar karena mereka mengambil hukum tidak berdasarkan hukum Allah SWT sehingga mereka dicap kafir. Pernyataan ini dibantah oleh kelompok Murjiah, menurut mereka pelaku dosa besar tetap mukmin dan persoalan dosanya dikembalikan kepada Allah SWT. Reaksi dari dua kelompok tersebut, memicu timbulnya kelompok baru yaitu Muktazilah, menurut mereka pelaku dosa besar tempatnya antara mukmin dan kafir (al-manzilah bainal manzilatain).[14]
Muktazilah sempat eksis pada masa dinasti Umayyah dan mengalami puncaknya pada masa dinasti Abbasiyah. Berikut penjelasan singkat perkembangan Muktazilah pada masa Umayyah dan Abbasiyah.
Muktazilah pada masa Dinasti Umayyah
Muktazilah muncul di masa Umayyah dengan pendirinya Washil bin Atha’. Muktazilah pada fase pertama ini masih bersifat sederhana yaikni berkisar tentang pelaku dosa besar, akan tetapi pada masa ini muncul lima ajaran pokok Muktazilah yang harus dipegang oleh penganutnya.
Pada masa ini Muktazilah tidak menunjukkan sikap anti pemerintahan, sehingga bisa tumbuh secara damai. “Dimasa pemerintahan Bani Umayyah, kaum Muktazilah dapat hidup tenteram karena tidak menunjukkan sikap ekstrim terhadap pemerintahan yang berkuasa sehingga aliran ini tetap eksis dan berkembang”.[15]
Pada masa Umayyah, Filsafat mulai muncul dan semakin menampakkan diri ketika khalifah Abdul Malik Ibn Marwan menjadikan Alexandria, Antioch dan Bactra menjadi kota-kota pusat ilmu pengetahuan. Hal ini kemudian memberi kan pengaruh yang cukup besar bagi pemikiran umat Islam pada masa itu. Banyak dari pemuka agama dan para intelektual Islam yang mulai terpengaruh dengan filsafat yang lebih banyak menggunakan rasio dan akal ini, sehingga mereka mulai membaurkan antara ajaran Islam dan filsafat Yunani tersebut, begitu pula dengan aliran Muktazilah yang memang tumbuh pada masa itu pula.[16]
Pada masa Umayyah, Muktazilah tidak mendapat dukungan dari pemerintah yang berkuasa; karena pemerintahan pada saat itu masih sibuk mengurusi persoalan politik pemerintahan yang terjadi dan sibuk dengan perluasan wilayah, sehingga mereka hanya bersifat satu aliran teologi saja. Masa pemerintahan bani Umayyah terkenal dengan suatu era agresif, dimana perhatian tertumpu kepada usaha perluasan wilayah dan penaklukan. Badri Yatim menyebutkan bahwa “teologi rasional Muktazilah muncul diujung pemerintahan bani Umayyah, namun pemikiran-pemikirannya yang komplek dan sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan bani Abbasyiah priode pertama,setelah kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam”.[17]
Muktazilah pada masa Dinasti Abbasiyah
Pada periode Abbasiyah, Muktazilah lebih berkembang dan menonjolkan diri, karena Muktazilah ini menjadi garda depan pemerintah ketika mulai terjadi penyerangan-penyerangan oleh orang-orang non Islam terhadap Islam, sehingga aliran ini menjadi terkemuka dan banyak tokoh Muktazilah yang terkenal.
Meskipun filsafat tidak menjadi tujuan utama dari Muktazilah, melainkan sebagai alat untuk menolak serangan-serangan lawannya. Namun dengan adanya filsafat itu mereka serta merta memasuki fase baru dalam sejarah mereka. Karena filsafat telah menimbulkan revolusi pikiran yang penting bagi kehidupan mereka. Setelah mereka mengenal persoalan-persoalannya dan memperdalamnya, maka mereka mencintai filsafat karena filsafat itu sendiri.[18]
Pada periode khalifah Abu Ja’far al Mansur, Muktazilah mulai lebih menonjolkan diri; hal ini dikarenakan Al Mansur sendiri adalah seorang yang cinta ilmu pengetahuan dan suka menggunakan akal pikirannya. Selain itu salah seorang pemuka Muktazilah yaitu Amr Ibnu Ubaid adalah seorang teman dekat Abu Ja’far Al Mansur sebelum beliau menjadi khalifah, sehingga Muktazilah dapat memiliki kebebasan dan leluasa dalam mengembangkan ajaran-ajarannya.
Pada masa Harun al Rasyid, khalifah kelima dari bani Abbasyiah, Muktazilah mulai terangkat karena banyak diantara mereka yang menjadi penasihat dan pendidik putra-putri khalifah dan Muktazilah mulai mengadakan pendekatan-pendekatan kepada penguasa saat itu.
Muktazilah berkembang pesat pada masa Al Ma’mun. Beliau adalah seorang intelektual yang cerdas, pintar dan cinta kepada ilmu pengetahuan. Beliau memilih Muktazilah yang rasional dan liberal. Muktazilah pada priode ini disebut aliran Baghdad; hal ini dikarenakan washil bin Atha’ pernah mengutus muridnya yang bernama Bisyir al Mu’tamar untuk menjadi pemimpin Muktazilah di Bashrah. Selain hal tersebut, Al Ma’mun memindahkan ibu kota dari Al Hasyimiah yang didirikan di dekat kota Kuffah ke Baghdad, sehingga dengan demikian secara otomatis kota Baghdad menjadi jantung kota dan pusat segala kegiatan masyarakatnya. Terutama sebagai pusat peradaban baik dalam bidang seni, politik, agama dan ilmu pengetahuan.[19]
Menjadinya al Ma’mun sebagai penganut Muktazilah, maka kedudukan Muktazilah berubah menjadi mazhab resmi negara. Kemudian al Ma’mun mulai mengadakan majlis-majlis besar untuk membahas ilmu-ilmu pengetahuan dari aliran Muktazilah. Beliau menjadikan istana negaranya untuk menjadi tempat-tempat pertemuan ahli pikir dari semua aliran yang ada. Bahkan dalam mengekspresikan kefanatikannya terhadap Muktazilah, beliau menggunakan kekuasaannya memaksa rakyat untuk mengikuti aliran kepercayaan yang dianutnya tersebut dengan melakukan Mihnah[20].
Peristiwa Mihnah ini mengalami puncaknya pada tahun 218 Hijriyah ketika Al-Makmun menginstruksikan kepada Ishaq bin Ibrahim Al-Khuza’i untuk mengumpulkan para ulama guna melakukan pengujian (fit and proper test) bagaimana sikap mereka terhadap pernyataan Khalqul Quran. Al-Makmun juga menulis kepadanya untuk memeriksa tujuh orang yaitu; Muhammad bin Sa’ad, Abu Muslim Al-Mustamli, Yazid bin Harun, Yahya bin Ma’in, Abu Khaitsamah Zuhari bin Harb, Ismail bin Abu Mas’ud, Ismail bin Daud dan Ahmad bin Ibrahim Al-Daruqi. Awalnya mereka tidak berkomentar tentang kemakhlukan Al-Quran, namun belakangan di bawah ancaman pedang mereka bertaqiyyah dengan mengatakan sebagaimana yang dikatakan Al-Makmun, contohnya Yahya bin Ma’in yang mengatakan: “kami memberi komentar karena takut terhadap ancaman pedang”.
Dan parahnya, sikap ulama tersebut dijadikan sebagai bentuk rekomendasi dan dukungan tentang pernyataannya, karena para pengusung ajaran Jahmiyah itu selanjutnya menyeru kepada masyarakat untuk menerima doktrin tersebut dengan menyertakan jawaban para ulama di atas, akibatnya banyak dari mereka yang terpengaruh dengan seruan bid’ah ini sehingga terjadilah fitnah yang amat besar.
Kemudian Al-Makmun memerintahkan kepada Ishaq bin Ibrahim untuk memanggil ulama periode kedua, di antara mereka adalah Ahmad bin Hanbal, Qutaibah bin Sa’id, Bisyr bin Al-Walid, Abu Hasan Al-Ziyadi, Ali bin Abu Muqatil, Sa’dawaih Al-Washiti, Ali bin Ja’di, Ishaq bin Abu Israil, Ibnu Al-Hars, Ibnu Aliyah Al-Akbar, Yahya bin Abdul Hamid Al-Umari, Abu Nashr Al-Tamr, Abu Ma’mar Al-Qathi’i, Muhammad bin Hatim bin Maimun, Muhammad bin Nuh, Al-Fadhl bin Ghanim, Ubaidillah bin Umar Al-Qawariri, Al-Hasan bin Hammad Sajadah dan lainnya. Setelah mereka terkumpul Ishaq bin Ibrahim membacakan surat dari khalifah Al-Makmun kepada mereka.
Empat orang saja yang tetap tegar tidak mengakui pernyataan tesebut, keempatnya adalah Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Nuh, Al-Hasan bin Hammad Sajadah dan Ubaidillah bin Amr Al-Qawariri, dan akhirnya mereka dibelenggu dengan rantai besi. Keesokan harinya mereka diinterogasi kembali, Sajadah mengakui kemakhlukan Al-Quran, lalu ia dilepaskan dari belenggunya dan dibiarkan pergi, hari berikutnya giliran Al-Qawariri yang mengakui bahwa Al-Quran itu makhluk sehingga ia dilepaskan menyusul rekannya Sajadah, hingaa yang tetap ditahan adalah Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh.
Sebelum meninggal dunia al Ma’mun menulis surat wasiat kepada penggantinya yaitu Abu Ishak Muhammad al Mu’tashim, agar tetap terus melaksanakan mihnah. Al Mu’tashim sendiri dibesarkan dalam suasana ketentaraan, sehingga beliau lebih menyenangi kemiliteran dari pada ilmu pengetahuan, sehingga Muktazilah tidak lagi mendapat prioritas yang utama. Mihnah sendiri tetap dilaksakan, hanya saja sebatas pemenuhan surat wasiat. Akan tetapi bagi yang membangkang ia akan diberi hukuman tegas. Dalam pelaksanaan wasiat ini al Mu’tashim melakukan mihnah dengan lebih kejam kepada para ulama. Bahkan sebagian ada yang dibunuh. Ahmad Ibnu Hambal dicambuk dan dipenjarakan karena faham khalq Al Qur’an dan ia menerimanya dengan tabah.[21]
Setelah al Mu’tashim meninggal dunia dan digantikan oleh Abu Ja’far Harun al Watsiq. Pada periode ini mihnah tetap dilaksanakan, bahkan ia sendiri yang membunuh pembangkang yang menolak mihnah. Kemudian ia meninggal dunia. Khaliafah selanjutnya adalah Abu Ja’far Al Mutawakkil. Al Mutawakkil bukan penganut Muktazilah, sehingga pada masanya, mihnah hanya berlangsung 2 tahun saja. Kemudian ia menurunkan aliran ini dari mazhab resmi negara dan membebaskan Ahmad Ibnu Hambal.
Tokoh Muktazilah
Dalam perkembangannya, Muktazilah tidak hanya berpusat di kota Basrah sebagai kota kelahirannya, tetapi juga berpusat di kota Bagdad, yang merupakan ibu kota pemerintahan. Karena itu, jika berbicara tentang tokoh pendukungnya maka kita harus melihatnya dari kedua kota tersebut.
Menurut analisa Yoesoef Sou’yb, antara kedua daerah tersebut terdapat beberapa perbedaan karakteristik, yaitu : Pertama, Pemuka Muktazilah di Basrah cenderung menghindari jabatan birokrasi di pemerintahan maupun di pengadilan. Dengan demikian mereka dapat lebih fokus pada bidang agama dan keilmuan dan dapat mengemukakan pemikiran secara leluasa tanpa terikat dengan kepentingan pemerintah atau pihak lainnya. Sedangkan di Bagdad, mereka menggunakan kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan dengan tujuan untuk mendapat dukungan sekaligus perlindungan. Kedua, Pemuka di Basrah menyebarkan paham tanpa pemaksaan dan kekerasan, melainkan lebih banyak menanti kesadaran umat untuk mengikutinya. Sedangkan di Bagdad, terkadang berusaha secara sungguh-sungguh dan melakukan kekerasan agar masyarakat mengikuti aliran Muktazilah.[22]
Tokoh-Tokoh Muktazilah Bashrah:
- Washil ibn Atha (80-131 H). Ia dilahirkan di Madinah dan kemudian menetap di Bashrah. Ia merupakan tokoh pertama yang melahirkan aliran Muktazilah. Karenanya, ia diberi gelar kehormatan dengan sebutan Syaikh al-Muktazilah wa Qadimuha, yang berarti pimpinan sekaligus orang tertua dalam Muktazilah.
- Abu Huzail Muhammad ibn Huzail ibn Ubaidillah ibn Makhul al-Allaf. Ia lahir di Bashrah tahun 135 dan wafat tahun 235 H. Ia lebih populer dengan panggilan al-Allaf karena rumahnya dekat dengan tempat penjualan makanan ternak. Gurunya bernama Usman al-Tawil salah seorang murid Washil ibn Atha.
- Ibrahim ibn Sayyar ibn Hani al-Nazham. Tahun kelahirannya tidak diketahui, dan wafat tahun 231 H . Ia lebih populer dengan sebutan Al-Nazhzham.
- Abu Ali Muhammad ibn Ali al-Jubba’i. Dilahirkan di Jubba sebuah kota kecil di propinsi Chuzestan Iran tahun 135 H dan wafat tahun 267 H. Panggilan akrabnya ialah Al-Jubba’i dinisbahkan kepada daerah kelahirannya di Jubba. Ia adalah ayah tiri dan juga guru dari pemuka Ahlussunnah Waljamaah Imam Abu Hasan al-Asy’ari.
Tokoh-Tokoh Muktazilah Baghdad:
- Bisyir ibn al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M). Ia merupakan pendiri Muktazilah di Bagdad.
- Abu al-Husain al-Khayyat (wafat 300 H/912 M). Ia pemuka yang mengarang buku Al-Intishar yang berisi pembelaan terhadap serangan ibn Al-Rawandy.
- Jarullah Abul Qasim Muhammad ibn Umar (467-538 H/1075-1144 M). Ia lebih dikenal dengan panggilan al-Zamakhsyari. Ia lahir di Khawarazm (sebelah selatan lautan Qazwen), Iran. Ia tokoh yang telah menelorkan karya tulis yang monumental yaitu Tafsir Al-Kasysyaf.
- Abul Hasan Abdul Jabbar ibn Ahmad ibn Abdullah al-Hamazani al-Asadi. (325-425 H). Ia lahir di Hamazan Khurasan dan wafat di Ray Teheran. Ia lebih dikenal dengan sebutan Al-Qadi Abdul Jabbar. Ia hidup pada masa kemunduran Muktazilah. Kendati demikian ia tetap berusaha mengembangkan dan menghidupkan paham-paham Muktazilah melalui karya tulisnya yang sangat banyak. Di antaranya yang cukup populer dan berpengaruh adalah Syarah Ushul al-Khamsah dan Al-Mughni fi Ahwali Wa al-Tauhid..
Lima Prinsip Dasar (Al-Ushūl Al-Khamsah) Muktazilah
Secara umum Muktazilah adalah kelompok yang menolak sifat azali bagi Allah SWT yang bertujuan untuk mempertahankan konsep Tauhid mutlak bagi Allah SWT. Mereka berpendapat seperti ini karena: Pertama, Mengcounter golongan Al-Musyabbihah dan Al-Mujassimah yang meyerupakan Allah dengan makhluk dan menyamakan Allah dengan makhluk. Kedua, Menolak pendapat agama Thanawi yaitu agama yang menduakan Allah yang keduanya adalah azali dan qadim.
Muktazilah berpendapat bahwa menetapkan ma’na (setiap yang ada pada zat dan wajib baginya dari segi hukum) akan menisbahkan dua Tuhan. Muktazilah menafikan semua sifat Allah SWT, tetapi yang dinafikan adalah ma’na yang terkandung di dalam nama-nama itu yang dianggap akan membawakan penisbahan berbilangnya qadim. Ketiga, Menolak pendapat Kristen yang menganggap bahwa Tuhan ada oknum oknum yaitu Bapak, Anak dan Ruh Kudus. Keempat, Menolak pendapat Yahudi yang menggambarkan Allah SWT seperti makhluk.[23]
As-Sahrastani menjelaskan beberapa faktor terjadinya perbedaan pandangan yang menyebabkan lahirnya sekte atau golongan dalam Islam: Pertama, masalah sifat dan keesaan Allah SWT, termasuk sifat azali-Nya, sebagian ada yang menerima atau mengakui sifat Allah dan sebagian ada yang menolaknya. Begitu juga tentang sifat yang wajib, mustahil dan jaiz. Masalah ini menjadi ajang perdebatan di antara golongan Asyariyah, Karamiyah, Mujassimah dan Muktazilah.
Kedua, masalah qadha, qadar, keadilan Allah, jabar dan kasab, keinginan berbuat baik dan jahat dan masalah yang berada di luar kemampuan manusia. Masalah ini diperdebatkan oleh Qadariyah, Najariyah, Asyariyah dan Karamiyah. Ketiga, masalah janji (wa’ad), wa’id (ancaman) dan asma Allah. Masalah ini diperdebatkan oleh Murji’ah, Wa’diyah, Muktazilah, Asyariyah dan Karamiah.
Keempat, masalah wahyu, akal, kenabian dan imamah. Sebagian golongan menyatakan imam sudah ditunjuk oleh Nabi dan sebagian yang lain menyatakan imam harus dipilih, sementara mengenai cara penggantian imam, ada yang mengatakan melalui penunjukan dan ada yang mengatakan melalui pemilihan. Masalah ini diperdebatkan oleh Syiah, Khawarij, Muktazilah, Karmiyah dan Asyariyah.[24]
Menurut Abu Zahrah, dalam menetapkan akidah, Muktazilah berpegang pada premis-premis logika, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak dapat dijangkau akal. Mereka mempercayai kemampuan dan kekuatan akal. Setiap masalah yang timbul mereka hadapkan kepada akal. Yang dapat diterima akal, mereka terima, dan yang tidak dapat diterima akal mereka tolak.
Muktazilah sering disebut filosof Islam karena banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani dan logika dalam menemukan landasan-landasan paham mereka. Penyebabnya adalah karena mereka menemukan dalam filsafat Yunani, keserasian dengan kecenderungan pemikiran mereka, kemudian mereka jadikan sebagai metode berpikir dan berargumentasi. Dan ketika pihak dari luar Islam berusaha meruntuhkan dasar ajaran Islam dengan argumentasi logis, Muktazilah dengan gigih menolak mereka dengan menggunakan metode diskusi dan debat.[25]
Menurut pemuka Muktazilah, Abu al-Husain al-Khayyat, seseorang belum bisa diakui sebagai anggota Muktazilah kecuali jika sudah mengakui dan menerima lima dasar ajaran Muktazilah (al-ushul al-khamsah).[26] Sehingga Muktazilah adalah aliran yang mendasarkan faham keagamaan mereka pada lima ajaran ini. Lima ajaran ini adalah : 1) “at-tauhid” keesaan Tuhan, 2) “al-adl” keadilan Tuhan, 3) “al-wa’du wal wa’id” janji dan ancaman 4) “al-manzilah bainal manzilatain” posisi antara dua posisi dan 5) “amar makruf nahi mungkar” (menyuruh berbuat kebaikan dan melarang segala kemungkaran).
Keesaan Tuhan (At-Tauhid)
Al-Quran menurut Muktazilah kedudukannya sebagai pelengkap dari kekuatan akal manusia, menurut mereka akal mempunyai kekuatan luar biasa yang memungkinkan melakukan empat hal penting dalam kehidupan meskipun tidak mendapatkan bimbingan wahyu, yaitu 1) akal manusia dapat mengetahui Tuhan, 2) akal manusia bisa berterima kasih kepada Tuhan atas apa yang diberikan Tuhan, 3) akal manusia dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang burukk, 4) dengan akal manusia bisa mengerjakan kebaikan dan menjauhi keburukan.[27]
Imam Al Asy’ari dalam kitabnya: Maqolat al Islamiyyin, menyebutkan pengertian Tauhid menurut Muktazilah sebagai berikut : Allah itu Esa, tidak ada yang menyamai-Nya, bukan jisim (benda) bukan pribadi (syahs), bukan jauhar (substansi), bukan aradl (non essential property), tidak berlaku padanya masa. Tiada tempat baginya, tiada bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk yang menunjukkan ketidak azaliannya, tiada batas bagi-Nya, tiada melahirkan dan tiada dilahirkan, tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan tidak bisa digambarkan dengan akal pikiran. Ia Maha mengetahui, Yang Berkuasa dan Yang Hidup. Hanya Ia sendiri Yang Qodim, tiada yang Qodim selain- Nya, tiada pembantu bagi-Nya dalam menciptakan.[28]
Dari pengertian di atas, nampak jelas bahwa pikiran-pikiran Muktazilah mengambil istilah-istilah filsafat seperti syahs, jauhar, aradl, teladan (contah/idea) dan sebagainya. Prinsip Tauhid ini dipertahankan dan diberi argumentasi sedemikian rupa, sehingga betul betul murni.
Pemahaman Tauhid di atas juga berimplkasi pada pernyataan kemakhlukan Al-Quran sebagai konsekuensi peniadaan tajsim dan nafyus shifat karena dianggap mengotori keesaan Allah.
Beberapa contoh pendapat Muktazilah terkait konsep Tauhid pendapat Muktazilah tentang ayat yang menunjukkan Tuhan punya tangan, tangan di sini diartikan kekuasaan dan dalam ayat yang menunjukkan Tuhan bertempat dalam Arsy’ diartikan bahwa Tuhan menguasai dan sebagainya. Alasan Muktazilah menta’wilkan ayat-ayat tersebut, karena apabila diartikan secara harfiah tidak masuk akal dan bertentangan dengan ayat yang lain serta akan mengurangi kesucian Tuhan sendiri. oleh sebab itu di dalam menjabarkan Tuhan Yang Maha Esa ini mensifatinya dengan sifat-sifat salbiyah (negatif) seperti tidak berjisim, tidak berarah, tidak berupa, tidak dan sebagainya yang pada prinsipnya tidak sama dengan sifat makhluk.
Contoh lainnya dalam masalah melihat Tuhan. dikatakan bahwa Tuhan tidak berjisim, maka juga tidak berarah. Jika Tuhan tidak berarah, maka manusia tidak dapat melihat-Nya karena setiap sesuatu yang dapat dilihat itu pasti berada pada suatu tempat atau arah, disamping dibutuhkan beberapa syarat seperti adanya cahaya, warna dan sebagainya, dan yang demikian itu mustahil bagi Allah.[29]
Keadilan Tuhan (Al-Adl)
Keadilan Tuhan bagi Muktazilah erat hubungannya dengan keesaan Tuhan (At-Tauhid). Kalau At-Tauhid adalah mensucikan Tuhan dari adanya persamaan dengan makhluk, maka Al-Adl adalah mensucikan Tuhan dari perbuatan dhalim. Keadilan Tuhan adalah salah satu sendi pokok setalah keesaan Tuhan dalam pokok ajaran Muktazilah. Mereka bangga menamakan diri sebagai ahlul ‘adl wat tauhid. Meskipun seluruh kaum muslimin mengakui bahwa Allah adalah Maha Adil, namun Muktazilah memberi penekanan khusus pada keadilan Tuhan.
Ada tiga hal pokok yang menjadi penekanan Muktazilah sehubungan dengan prinsip keadilan yaitu: Pertama, Allah mengarahkan makhluknya kepada suatu tujuan dan bahwa Allah menghendaki yang terbaik bagi hamba-Nya. Kedua, Allah tidak menghendaki keburukan, maka dari itu tidak memerintahkan yang buruk. Ketiga, Allah tidak menciptakan perbuatan hamba-Nya yang baik maupun yang buruk; manusia itu bebas dan ia menciptakan perbuatannya dan itu menjadi dasar adanya pahala dan hukuman.
Menurut Muktazilah, Tuhan yang Maha Bijaksana tidak akan bertindak secara semena-mena, akan tetapi dalam tindakan-Nya itu terkandung kebijaksanaan dan tujuan. Orang bijak mungkin berbuat untuk kepentingan dirinya atau untuk kepentingan orang lain, akan tetapi Tuhan mustahil berbuat untuk kepentingan diri-Nya sendiri karena mengejar kepentingan diri sendiri adalah pertanda kekurangan. Oleh karena itu pastilah Tuhan berbuat baik untuk kepentingan orang lain dalam hal ini makhluk-Nya.
Maka kebaikan dan kemaslahatan makhluk adalah tujuan yang terkandung dalam perbuatan Tuhan. Demi keadilan-Nya Allah tidak akan pernah berbuat buruk atau dzalim terhadap makluk-Nya. Bahkan menurut suatu pandangan Muktazilah, Tuhan wajib melakukan yang terbaik bagi hamba-Nya.[30]
Konsekuensi lanjut dari keadilan menurut Muktazilah bahwa manusia menciptakan perbuatannya. Penegasan ini untuk menjelaskan arti tanggung jawab manusia. Menurut mereka, tidak adil jika manusia tidak menciptakan perbuatannya sehingga Tuhan menghukumnya atas sesuatu yang ia tidak berdaya apa apa terhadapnya. Konsekuensi selanjutnya Muktazilah memberikan penghargaam yang tinggi kepada kemampuan manusia dan kompetensi akalnya untuk mengetahui yang baik dan yang buruk. Menurut Muktazilah baik dan buruk itu bersifat dzati (objektif), padanya terdapat suatu kualitas yang dapat dipatoki untuk menentukan baik dan buruk.[31]
Janji dan Ancaman (Al-Wa’du dan Al-Wa’īd)
Janji dan ancaman merupakan kelanjutan dari prinsip keadilan. Mereka yakin bahwa janji Tuhan akan memberikan pahala berupa syurga dan ancaman akan menjatuhkan siksa yaitu neraka sebagai yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, pasti dilaksanakan karena Tuhan sendiri sudah menjanjikan hal yang demikian itu.
Siapa yang berbuat baik akan dibalas kebaikan dan siapa yang akan berbuat jahat akan dibalas pula dengan kejahatan. Siapa yang keluar dari dunia penuh dengan ketaatan dan taubat, ia berhak akan pahala dan mendapatkan tempat di syurga..Sebaliknya siapa yang keluar dari dunia sebelum taubat dari dosa besar yang pernah dibuatnya, maka ia akan diabadikan di dalam neraka. Namun demikian menurut Muktazilah, siksa yang diterimanya akan lebih ringan jika dibandingkan dengan yang kafir sama sekali.
Posisi antara dua posisi (Al-Manzilah bainal Manzilatain)
Al-Manzilah baina al-Manzilatain merupakan ajaran dasar pertama yang lahir di kalangan Muktazilah. Ini adalah satu istilah khusus yang digunakan oleh kaum Muktazilah untuk merespon fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat pada masa pemerintahan Amirul Mukmini Ali bin Abi Thalib. Yakni ketika terjadi selisih paham antara kaum khawarij dan Murjiah menyangkut perkara kafir dan mengkafirkan orang muslim yang kedapatan telah melakukan dosa besar (fasik).
Bagi kaum khawarij, mereka yang fasik itu (para pendosa) bisa digolongkan kedalam orang-orang yang kufur, oleh karena itu mereka sama saja dengan orang kafir. Atau tegasnya, menurut kaum khawarij mereka itu adalah kafir.
Sebaliknya, menurut kelompok Murjiah, sepanjang imannya masih utuh walaupun seseorang telah melakukan kejahatan dan berdosa besar maka dia masih tetap dianggap orang muslim. Alasan kelompok ini sederhana, bahwa urusan hati siapa yang tahu. Dan iman adalah urusan hati. Jadi sepanjang hatinya masih beriman maka dia adalah tetap orang muslim.
Kaum Muktazilah tampil ditengah-tengah mereka dengan mengatakan bahwa untuk perkara seperti itu maka manzilah wal manziltain- lah dia. Orang yang melakukan perbuatan dosa besar itu adalah ada diantara dua posisi, yakni antara kafir dan muslim. Orang yang melakukan perbuatan fasik itu bukanlah termasuk kedalam golongan kaum muslimin dan bukan pula termasuk kedalam golongan kafir, mereka ada diantara dua posisi itu.
Doktrin inilah yang kemudian melahirkan aliran Muktazilah yang digagas oleh Washil ibn Atha. Wasil memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa besar selain syirik, tidak mukmin tidak pula kafir, tetapi fasik. Jadi kefasikan adalah suatu hal yang berdiri sendiri antara iman dan kafir. Tingkatan orang fasik di bawah orang mukmin dan di atas orang kafir. jalan tengah ini diambilnya dari:
- Ayat-ayat Quran dan hadis-hadis yang menganjurkan kita mengambil jalan tengah dalam segala sesuatu.
- Pikiran-pikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa ke-utamaan (fadilah) ialah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.
- Plato yang mengatakan bahwa ada suatu tempat diantara baik dan buruk.
Amar Makruf Nahi Mungkar
Ajaran ini berhubungan dengan pembinaan moral, dimana dalam membina moral umat, Muktazilah berpendapat bahwa amar ma’ruf nahi mungkar sebagai suatu bentuk dari kontrol sosial wajib dijalankan. Kalau dapat cukup dengan seruan, tetapi kalau terpaksa dengan kekerasan.[32]
Sejarah mencatat, Muktazilah pernah memakai kekerasan dalam menyiarkan ajarannya yang menyangkut seorang ulama besar, yakni Ahmad ibn Hambal terpaksa masuk penjara karena berbeda pendapatnya mengenai status Al-Qur’an, dalam peristiwa “Mihnah”, semacam ujian monoloyalitas bagi pejabat-pejabat negara.
[ ]
Jumal Ahmad | ahmadbinhanbal.com
Tautan makalah di ResearchGate Link
Bahan Rujukan
Buku
A Hanafi, Pengantar teologi Islam, Al husna Dzikra, Jakarta, 2001
Achmad Ghalib, M.A, Rekonstruksi Pemikiran Islam, UIN Jakarta Press, Ciputat, Cet. 1 tanpa tahun.
Ahmad Zaeny, Idiologi dan Politik Kekuasaan Kaum Muktazilah, Jurnal TAPIs Vol.7 No.13 Juli-Desember 2011
Analiansyah, Peran Akal dan Kebebasan Bertindak dalam Filsafat Ketuhanan Muktazilah, Jurnal Substantia, Vol.15 No.1, April, 2013
Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Raja Grafindo Persada Jakarta, 2000
Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonedia Abad XX, Serambi Ilmu Semesta, Cet. 1, 2004
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Antara Pustaka, Jakarta, 1996
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan Jakarta: UI Press, 1972
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Pikiran Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1982), cet.I.
Jurnal
Khaitunnas Jamal, Peran Muktazilah dalam Menafsirkan Al-Quran, Jurnal An-Nur, Vol.4 No.2, 2015
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013
Mudasir bin Rosder, Masalah Uluhiyah dalam Aliran Muktazilah, Jurnal Islamiyyat, Vol.15 No.3-14
Syamsul Anwar, Tiga Aliran Epistemologi Hukum Islam, Jurnal Al-Mawarid Edisi Pertama, September- Desember 1993
[1] QS. Ad-Dhukhan ayat 21
[2] Qamus Al-Muhiith, Juz 4 Hal. 15
[3] Washil bin Atha lahir tahun 80 H, murid dari Hasan Al-Bashri, tidak keluar dari majlisnya sampai terjadi kasus al-manzilah bainal manzilatain. Pendiri kelompok Muktazilah. Menulis beberapa kitab seperti Ashnaf Al-Murjiah, Ma’ani Al-Quran. Wafat pada tahun 131 H.
[4] Abu Said Al-Hasan bin Abi Hasan bin Yasar Al-Bashri, termasuk pembesar pada masa Tabi’in. Ayahnya adalah maula Zaid bin Tsabit ra dan ibnunya maula Ummu Salamah ra. Wafat 110 di Bashrah.
[5] Al-Jurjaani, At-Ta’riifaat, hal. 238
[6] Awad bin Abdullah Al-Mu’tiq, Al-Mu’tazilah wa Ushuluhum Al-Khamsah wa Mauqifu Ahlus Sunnah Minha, hal. 21-24
[7] Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013, hal. 90
[8] Awad bin Abdullah Al-Mu’tiq, Al-Mu’tazilah wa Ushuluhum Al-Khamsah wa Mauqifu Ahlus Sunnah Minha, hal.26
[9] Namanya adalah Abu Said Al-Hasan bin Abil Hasan bin Yasar Al-Bashri. Sangat dihormati dan ulama besar dari kalangan Tabi’in. Ayahnya maula Zaid bin Tsabit dan ibunya maula dari Ummu Salamah. Wafat tahun 110 H.
[10] Analiansyah, Peran Akal dan Kebebasan Bertindak dalam Filsafat Ketuhanan Muktazilah, Jurnal Substantia, Vol.15 No.1, April, 2013, hal. 93. Peristiwa tersebut menurut Ahmad Amin semata- mata bertema agama, bukan bertema politik. Lihat Ahmad Amin, Fajrul Islam, h. 288-289.
[11] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1972), hal. 38-39. Lihat juga Wafayatul A’yan: 4 hal.85
[12] Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013, hal. 89
[13] Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013, hal. 89
[14] Ahmad Zaeny, Idiologi dan Politik Kekuasaan Kaum Muktazilah, Jurnal TAPIs Vol.7 No.13 Juli-Desember 2011 hal.95
[15] Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Antara Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 40
[16] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hal.11
[17] Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Raja Grafindo Persada Jakarta, 2000, hal. 57
[18] A Hanafi, Pengantar teologi Islam, Al husna Dzikra, Jakarta, 2001, hal. 74
[19] Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Antara Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 64
[20] Kata Mihnah berasal dari kata bahasa Arab yang artinya mencobai, menguji. Sedangkan Mihnah dalam konteks aliran Mu’tazilah adalah pengujian keyakinan terhadap para ahli fiqh dan ahli Hadits tentang kemakhlukan Al Qur’an, serta sangsi hukum yang harus mereka terima sehubungan dengan keyakinan mereka tersebut.Lihat: Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, hal.77
[21] Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Antara Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 82
[22] Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Pikiran Islam, (Jakarta: PustakaAl-Husna, 1982), cet.I, h.265.
[23] Mudasir bin Rosder, Masalah Uluhiyah dalam Aliran Muktazilah, Jurnal Islamiyyat, Vol.15 No.3-14, hal. 4
[24] Zuhelmi, Epistimologi Pemikiran Muktazilah Pengaruhnya terhadap Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia, Jurnal LIA, No.2, Desember 2013, Th XIV, hal. 128
[25] Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013, hal. 94
[26] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, juz III, (Cairo Al-Nahdhah al-Mishriyah, 1966), h.22.
[27] Khaitunnas Jamal, Peran Muktazilah dalam Menafsirkan Al-Quran, Jurnal An-Nur, Vol.4 No.2, 2015, hal. 241.
[28] Imam Al-Asy’ari, Maqalatul Islamiyyin wa Ikhtilaful Mushalliin, (Dar Faraznir, 1980, cet.3), hal.156
[29] Analiansyah, Peran Akal dan Kebebasan Bertindak dalam Filsafat Ketuhanan Muktazilah, Jurnal Substantia, Vol.15 No.1, April, 2013, hal. 92
[30] Drs. H. Achmad Ghalib, M.A, Rekonstruksi Pemikiran Islam, UIN Jakarta Press, Ciputat, hal. 48
[31] Syamsul Anwar, Tiga Aliran Epistemologi Hukum Islam, Jurnal Al-Mawarid Edisi Pertama, September- Desember 1993, hal. 13
[32] Drs. H. Achmad Ghalib, M.A, Rekonstruksi Pemikiran Islam, UIN Jakarta Press, Ciputat, hal. 49