Istilah “al-Mushaharah” menurut tata bahasa Arab; berasal dari kata “Shaahara”. Dikatakan “Shaahartu al-Qoum” (saya menjadikan mereka ipar), manakala saya menikah seseorang dari mereka.
Al-Azhari menjelaskan: “Kata “ash-shihru” mengandung makna “kerabat wanita yang berstatus muhrim, dan juga para wanita yang masih berstatus muhrim, seperti kedua orang tua dan saudara-saudara perempuan…., dst. Manakala sebelum menikah berstatus kerabat yang berstatus muhrim, maka (setelah menikah) juga disebut ipar wanita tersebut.”
Sehingga “periparan” menurut etika bahasa, adalah kerabat dari pihak wanita, meskipun kadang diterapkan juga pada pihak kerabat pihak lelaki. Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menjadikan hal itu sebagai bagian tanda-tanda kekuasaan-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan Dialah yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.” (QS: Al-Furqaan 54).
Penyaluran kebutuhan seksual merupakan salah satu bentuk saling membutuhkan antara makhluk yang berpasangan. Penyaluran kebutuhan seksual bagi manusia berguna untuk menyehatkan tubuh, meningkatkan kualitas jantung, merangsang paru-paru, membersihkan pikiran dari problema yang mengganggu, serta menimbulkan ketenangan dan kepuasan batin.[1]
Salah satu upaya menyalurkan naluri seksual bagi manusia Allah SWT menetapkan suatu jalan yang disebut dengan pernikahan. Melalui pernikahan manusia tidak saja dapat menyalurkan nafsu seks, tetapi juga membentuk keluarga sakinah serta meneruskan dan memelihara keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas permukaan bumi.(Q.S. al-Rum : 21).
Terjadinya pekawinan antara seorang laki-laki dan perempuan menyebabkan hubungan mushaharah[2] yang mempunyai konsekuensi dilarang melakukan perkawinan dengan perempuan kerabat dari masing-masing pasangan, di antaranya adalah mertua, ibu tiri, menantu, dan anak tiri. (Q.S. Al-Nisa‟ : 22-23)
Namun dalam kehidupan sehari-hari terjadi penyelewengan dalam menyalurkan naluri seksual, seperti dengan perzinahan, homoseksual, lesbian dan sodomi (liwath).[3] Menanggapi penyelewengan seksual secara sodomi, ulama Hanafiyah, Syafi‟iyah, dan Malikiyah berpendapat bahwa sodomi tidak menyebabkan mahram mushaharah, berbeda dengan ulama Hanabilah menyatakan bahwa perbuatan liwath atau sodomi dapat menyebabkan adanya mahram mushaharah.[4]
Penulis ingin mengetahui lebih jauh apa alasan ulama Hanabilah menyatakan sodomi dapat menimbulkan mahram mushaharah sedangkan sodomi merupakan salah satu hubungan seks yang tidak sesuai dengan ketentuan naluri manusia. Disamping itu sodomi itu merupakan perbuatan keji dan termasuk dosa besar.
Pengertian Sodomi
Sodomi (liwath) merupakan perbuatan keji dan termasuk dosa besar. Sodomi juga termasuk salah satu perbuatan yang merusak moral, fitrah manusia, agama, dunia bahkan merusak pada kesehatan jiwa.
Secara bahasa kata sodomi sama dengan liwath yang berarti menempel, melekat, kata liwath juga mempunyai akar kata yang sama dengan akar kata luth, yang merupakan nama dari Nabi Luth as. Kata liwath disamakan dengan nama Luth. Karena perbuatan ini pernah dilakukan oleh kaum yang durhaka pada seruan Nabi Luth as.
Kaum itu berdomisili di negeri Sodom (sebelah Timur Laut Mati atau Yordania sekarang) sebab itu kalangan bangsa Barat yang beragama Kristen perbuatan demikian disebut sodomi. Secara terminologi dapat didefinisikan sodomi (liwath) adalah perbuatan memasukan penis kedalam anus (dubur) laki-laki.
Hubungan Mushaharah Karena Sosomi Dalam Fiqih Hanabilah[5]
Ulama sepakat, akad nikah yang sah dan hubungan seks yang halal dapat menimbulkan hubungan mushaharah. Namun hubungan seks yang menyimpang yang dilakukan di luar akad nikah yang sah seperti perzinaan dan homoseksual; sodomi (liwath), dan lesbian, ulama berbeda pendapat menetapkan sebagai larangan perkawinan karena hubungan mushaharah.
Perbedaan pendapat ini terjadi karena tidak samanya para ulama dalam menetapkan sebab-sebab mahram mushaharah. Menurut Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah hubungan seks haram seperti zina tidak dapat menimbulkan hubungan mushsharah. Berbeda dengan ulama Hanafiyah dan Hanabilah perbuatan zina dapat menimbulkan hubungan mushaharah.
Meskipun Ulama Hanafiyah dan Hanabilah sependapat menetapkan perbuatan zina dapat menimbulkan mushaharah, namun mereka berbeda dalam menetapkan perbuatan sodomi sebagai sebab terjadinya hubungan mushaharah. Menurut Ulama Hanabilah sodomi dapat menyebabkan terjadinya hubungan mushaharah, yang notabenenya terjadinya larangan perkawinan dengan wanita kerabat dari masing-masing pihak. Sementara Ulama Hanafiyah tidak menjadikan perbuatan sodomi sebagai penyebab hubungan mushaharah.
Perbedaan pendapat Ulama Hanafiyah dan Ulama Hanabilah terjadi karena berbeda mereka dalam mendefenisikan zina. Ulama Hanafiyah mengemukakan defenisi zina dengan persetubuhan yang dilakukan pada faraz (qubul) perempuan yang bukan miliknya dan bukan pula menyerupai milik (syubhat)[6],
Sementara Ulama Hanabilah mendefenisikan perzinaan adalah orang yang melakukan perbuatan jahat (fahisyah) dengan cara menyetubuhi pada qubul ataupun anus (dubur).[7]
Kedua defenisi ini mempunyai implementasi yang berbeda, bagi Ulama Hanafiyah hubungan seks yang dilakukan pada selain qubul perempuan tidak dinamakan zina. Lain lagi dengan Ulama Hanabilah, mereka memasukkan perbuatan homoseks (sodomi/liwath) kedalam kategori perbuatan zina. Sebagaimana yang mereka ungkapkan dalam kitab al-Mughniy:
“Hubungan seks haram menimbulkan mahram sebagaimana hubungan seks secara halal dan syubhat. Artinya, terjadinya hubungan mushaharah karena melakukan hubungan seks haram.
Oleh karena itu apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan maka perempuan yang berzina tersebut haram melakukan perkawinan dengan bapak laki-laki (partner zinanya) dan anak laki-laki dari laki-laki yang berzina.
Begitu juga ibu dan anak perempuan dari wanita yang berzina diharamkan bagi laki-laki yang berzina. Hal ini disamakan dengan orang yang melakukan hubungan seks yang syubhat dan hubungan seks yang halal.”[8]
Menurut Ulama Hanabilah pendapat ini juga ditetapkan oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal berdasarkan riwayat Jama’ah.[9] Imam Ahmad Ibnu Hanbal mengungkapkan dalam kitab al-mughniy, bahwa tidak ada bedanya melakukan zina melalui qubul atau dubur. Sesungguhnya hubungan keharaman terjadi apabila seseorang telah telah mempunyai istri dan budak perempuan, begitu pula kaitan mahram dengan melakukan zina.
Sehingga bila seorang laki-laki melakukan sodomi dengan anak laki-laki, maka terjadi keharaman kawin; dengan ibu dan anak perempuan yang disodomi, begitu sebaliknya haram ibu dan anak perempuan yang menyodomi bagi laki-laki yang disodomi.[10]
Pendapat inilah agaknya yang dipakai oleh ulama Hanabilah, bahwa terjadinya hubungan mushaharah akibat hubungan seks haram, baik pelaku melakukan hubungan melalui qubul maupun dubur. Pada gilirannya mereka menetapkan terjadinya hubungan mushaharah bagi pelaku sodomi, karena sodomi merupakan persetubuhan yang dilakukan seorang laki-laki dengan laki-laki lain melalui dubur.
Guna menegaskan pendapatnya, Ulama Hanabilah mengemukakan alasan berdasarkan firman Allah SWT surat An-Nisa’ ayat 22 yang berbunyi :
وَلاَ تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتاً وَسَاء سَبِيلاً
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali pada masa lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh.” (Q.S. An-Nisa’ : 22)
Mereka berpendapat makna nikah (na-ka-ha) dalan ayat adalah watha’ atau setubuh. Kemudian firman Allah yang mengungkapkan “perbuatan keji dan biadab“ adalah watha’, indikasi ini mereka pahami dalam hadits yang berbunyi: “Allah tidak memandang kepada seorang laki-laki yang melihat pada faraj anak perempuannya”.
Selanjutnya Hadits lain yang diriwayatkan oleh Jurjani dari Wahab ibn Manbah: “Dilaknati orang yang melihat faraj wanita dan anak perempuannya”. Dari kedua hadits ini mereka pahami perbuatan keji yang dimarahi oleh Allah adalah watha’. Sehingga mereka memberlakukan keumuman ayat bahwa orang yang melakukan watha’ (setubuh) dilarang mengawini istri bapaknya, sekalipun persetubuhan melalui sodomi.[11]
Hikmah terjadinya hubungan mushaharah karena sodomi menurut Ulama Hanabilah adalah untuk menambah berat hukuman bagi orang yang melakukan sodomi atau merupakan balasan baginya sehingga dia tidak boleh kawin dengan keluarga lawan sodomimya.[12]
Ibn Qayyim al-Jauziyyah salah satu pengikut Mazhab Hanbali, mengkritik pendapat Imam Ahmad Ibn Hanbal dan Imam Hanafi menurutnya menetapkan perbuatan zina sebagai penyebab terjadinya mahram mushaharah merupakan hilah yang batal secara syara’.
Lebih jauh ia menegaskan mengqiyaskan perbuatan zina dengan nikah tidak sah, sebab antara keduanya mempunyai perbedaan. Allah SWT telah menetapkan mahram mushaharah sebagai bagian dari nasab. Ini semua merupakan nikmat dan kebaikan yang diberikan oleh Allah pada hamba Nya. Maka tidak akan timbul hubungan mushaharah karena perbuatan haram (zina) atau sodomi. Sebagaimana tidak ada terjadi hubungan nasab akibat perbuatan zina. Dengan demikian jika terjadi hubungan musharah karena perbuatan haram (zina), maka sebaliknya terjadi pula hubungan nasab karena perbuatan haram (zina), sebab mushaharah bagian dari nasab.
Kesimpulan semacam ini menurut Ibn Qayyim adalah batal. Selanjutnya Ibn Qayyim menegaskan maksud firman Allah SWT (Q.S. 4:22) adalah nikah bukan lawan dari nikah. Demikian juga tidak ada disebutkan dalam al-Qur’an makna nikah hanya untuk watha’, tetapi selalu dikaitkan dengan akad.
Menanggapi pandangan Hanabilah tentang sebab-sebab terjadinya hubungan mushaharah, penulis sependapat dengan pendapat Ibn Qayyim al-Jauziyyah bahwa alasan yang dikemukakan terlalu mengada-ngada atau merupakan hilah saja, boleh saja mereka memakai makna nikah dengan arti watha’ atau akad, karena lafaz nikah adalah lafaz musytarak.[13]
Namun bila ada indikasi yang lain atau dalil lain yang memalingkan kepada salah satu makna, maka seharusnya dipalingkan kepada makna yang dituju. Dalam persoalan hubungan mushaharah akibat watha’ haram atau sodomi, menurut hemat penulis tidak dapat dijadikan penyebab terjadinya mahram mushaharah, dengan alasan untuk mengetahui pengertian nikah yang dimaksud firman Allah SWT (Q.S. 4:22) perlu diketahui asbab al-nuzul ayat tersebut. Surat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa yang terjadi masa Nabi SAW, yaitu larangan Nabi SAW kepada anak Abu Qais Ibn Aslat, mengawini istrinya setelah Abu Qais meninggal.[14]
Sehingga dapat dipahami bahwa, salah satu hikmah Allah SWT mengharamkan nikah karena perkawinan adalah untuk mengharamkan istri bapak, sebagaimana halnya haram perkawianan karena nasab yaitu untuk penghormatan kepada nasab itu sendiri, dan ini merupakan nikmat Allah SWT.
Dengan demikian rahasia pengharaman tidak ditemukan dalam watha’ haram atau sodomi, yang jelas-jelas dibenci dan dimurkai Allah SWT, serta mendapat dosa besar. Alasan ini dikuatkan dengan hadits Nabi SAW yang berbunyi: “Sesuatu yang haram tidak dapat mengharamkan yang halal, sebenarnya yang bisa mengharamkan itu adalah perkawinan”.[15] Lebih tegas dapat dinyatakan bahwa makna hakiki yang dituju dari lafaz nikah adalah akad. Oleh karena itu tidak pantas perbuatan sodomi dapat menyebabkan hubungan mushaharah.
Sumber: Artikel format Pdf oleh Jumni Nelli, Dosen Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru. Bisa di Download di Link ini.
Untuk mengetahui hukum-hukum Islam kepada pelaku Homo seks dan Sodomi. Silahkan membuka link ini. Eksekusi Pelaku Homoseks dan Lesbian.
[1] . Ruqyah Waris Maqsood, Mengantar Remaja ke Syurga, (Bandung: al-Bayan, 1997), hal.342
[2] . Mushaharah adalah hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita yang mengakibatkan terhalangnya perkawinan, baik secara mandiri atau secara bersama-sama. Lihat lebih lanjut, Abd Rahman al-Jaziriy, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Arba’ah, (Mesir: al-Tijariyah al-Kubra, 1969), juz IV, h. 125. Muhammad Jaward Mughniyah, al-Ahwal al-Syakhshiyah, (Beirut: Dar al-Ilmi al-Malayin, 1964), cet. 1, h. 54. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Jilid. II, h. 63.
[3] . Liwath atau Sodomi adalah persetubuhan antara sesama lelaki. Lebih lanjut, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 31
[4] . Abd Rahman al-Jaziriy, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Mesir: al-Tijariyah al-Kubra, 1969), juz V hal.143.
[5] . Fiqh Hanabilah atau mazhab Hambali, merupakan mazhab keempat setelah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i. Mazhab Hambali dinisbahkan kepada Imam Ahmad Ibn Hanbal al-Syaibaniy. Sebagai seorang mujtahid Imam Ahmad Ibn Hanbal dalam menetapkan (mengistinbathkan) hukum suatu persoalan mempunyai usul mazhab tersendiri. Ia mempunyai lima dasar sebagai bahan dalam menetapkan hukum, pertama, nash (al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW) Kedua, Fatwa Sahabat, Ketiga, Hadis Mursal, baik mursal sahabi maupun mursal tabi’in. Keempat, Hadis Dha’if, Kelima, Qiyas, istishab, marsalah al-mursalah, ‘urf, dan lainnya
[6] . Abd Qadir Audah, al- Tasyri’ wa al-Jana’I al-Islamiy, (Kairo: Dar al-Qurubah, 1963), Juz II, h. 349.
[7] . Ibn Qudamah, al-Mughniy, (Riyadh: Maktabah al-Riyadah al-Hadisah, t.th), Jilid X, h. 181.
[8] . ibid, Jilid IX, h. 482
[9]. Pendapat ini juga diriwayatkan oleh Imran Ibn Hushain, Haran, ‘Atha’, Thaus, Mujahid, Sya’abi, Naha’i, Ishaq. Berbeda dengan riwayat Ibn Abbas, menurutnya hubungan seksual haram tidak menyebabkan hubungan mushaharah. Lihat ibid,
[10] . ibid, h. 484
[11] . Ibid, h. 482
[12] . Abd Rahman al-Jaziriy, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Mesir: al-Tijariyah al-Kubra, 1969), juz V hal.143.
[13] . Lafaz musytarak adalah suatu lafaz yang menunjukkan kepada dua atau banyak makna yang berbeda. Lihat al-Zuhailiy, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, (Damsyik: Dar al-Fikr, 1986), h. 338. Ali Hasbullauh, Ushul al-Tasyrik al- Islamiy, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971), h. 263.
[14] . Hadis berbunyi: Abu Qais Ibn Aslat ketika meninggal dunia, isterinya dipinang oleh anaknya sendiri yaitu Qais. Lalu isteri itu berkata: “engkau kuanggap sebagai anakku sendiri, dan engkau merupakan putra terbaik bagi kaummu. Tunggu dulu, aku akan datang ke Rasulullah SAW untuk minta izin. Lalu ia datang pada Rasulullah minta izin seraya berkata: Kuanggap dia sebagai anak, maka bagaimana pendapatmu, Rasul menjawab kembalilah kerumahmu. Maka tidak lama kemudian turunlah surat an-Nisa‟ ayat 22 ini. Al-Subuniy, loc.cit.
[15] . Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, (Kairo: Dar al-Hadis, t.th), Juz I, h. 549.