Muslim Mentawai Masih Makan Babi dan Solusinya – Pernah saya tanya ke salah seorang teman yang sering kunjungan ke Mentawai khususnya Siberut tentang apa yang paling dia ingat ketika orang menyebut Mentawai. Teman tersebut menjawab “babi..”.
Awalnya saya heran kenapa dia sebut babi, namun memang orang biasa mengasosiasikan makanan dengan tempat, misalnnya gudeg dengan Jogja, telur asin dengan Brebes dan Palembeng dengan empek-empek. Tatkala teman menyebut Babi, hal itu berkaitan dengan situasi yang dilihat ketika berkunjung ke Siberut.
Hewan babi sangat dekat dengan kehidupan orang Mentawai di Siberut Selatan karena menjadi makanan yang sangat penting untuk persembahan dalam pesta-pesta adat, pembayaran denda adat, ritual penyembuhan oleh Sikerei dan ritual perdamaian antar suku.
Tidak ada pesta adat (punen) yang tidak menggunakan daging babi sebagai makanan atau hidangan pesta. Masyarakat sangat menyukai daging babi ini. Bagi mereka daging babi merupakan santapan yang lezat dalam semua pesta adat.
Selain untuk di konsumsi, babi juga bersungsi sebagai mahar. Mahar yang harus dibayarkan oleh pihak keluarha mempelai wanita.
Dalam prosesi pengobatan, babi berfungsi sebagai upah yang melakukan pengobatan. Bagi yang diberikan kepada sikerei bukan babi yang hidup, tetapi babi yang sudah disembelih dan di potong-potong dagingnya. Selain itu sikerei mendapatkan jatah babi untuk dibawah pulang sebagai ucapan terima kasih.
Babi juga bisa digunakan sebagai alat pembayaran denda ada (Tulou), yaitu hukuman berupa pembayaran yang harus dibayarkan oleh pihak yang dinyatakan bersalah kepada pihak tertentu.
Menurut Maskota Delfi, meskipun Babi penting bagi orang Mentawai, namun untuk pemenuhan protein, mereka dapatkan dari selain hewan Babi dengan cara berburu, hewan-hewan yang mereka buru seperti tupai, trenggiling, rusa, siamang kecil, monyet berhidung pendek, beruk dan jenis ulat khususnya ulat sagu. (Tonton video pengalaman penulis ke tempat pelihara babbi masyarakat Buttui di link ini)
Kepala hewan yang sudah dimakan selanjutnya digantung di Uma mereka dengan keyakinan agar mereka lebih mudah mendapatkan hewan buruan lagi.
Sipuisilam
Sipuisilam adalah penamaan untuk orang Mentawai yang sudah masuk Islam, sedangkan untuk mereka yang memeluk agama Katolik disebut Sipukatolik. Penamaan seseorang juga sering kali (walau tidak selalu) dihubungkan dengan agama yang dianut seseorang.
Sebelum masuknya agama resmi atau agama sasareu khususnya Islam, orang Mentawai tidak (belum) memiliki nama khusus untuk Sipuisilam. Biasanya orang Mentawai hanya memiliki satu nama saja, yaitu nama Mentawai (oni ka Mattawai) selain dari sebutan khusus bila sudah memiliki anak atau cucu.
Orang Mentawai di Siberut yang mengaku beragama Islam masih banyak
yang mengkonsumsi babi. Beberapa orang Mentawai bahkan mengaku jika dalam aturan agama Islam tidak ada larangan untuk makan babi maka mereka mau menjadi pemeluk agama Islam dan bahkan sebelumnya ada di antara mereka yang sudah beragama Islam kemudian beralih menjadi pemeluk agama Katolik karena larangan makan babi.
Meski ada beberapa orang Mentawai yang mengemukakan bahwa sasareu Sipuisilam mengatakan bahwa babi adalah ‘haram’, tetapi pemahaman mereka terhadap maksud kata ‘haram’ tersebut berbeda dengan pemahaman sasareu Sipuisilam. Mereka yang sudah mengaku Sipuisilam di Siberut sering mengatakan bahwa babi itu haram, tetapi mereka sebaliknya juga mengatakan bahwa babi itu ‘mananam’ (enak), salah satunya seperti yang diungkapkan berikut ini. ( informan penelitian Maskota Delfi)
“Kata sasareu Sipuisilam babi haram. Teteu siburuk (nenek moyang terdahulu) kami juga mengatakan kalau sasareu selalu sebut babi itu haram dan sasareu tidak mau memakannya. Tapi kami lihat ada juga sasareu yang memakannya, Sainias (orang Nias) suka makan babi, Saibatak (orang Batak) juga banyak yang suka makan babi. Jadi sasareu itu ada yang makan babi ada yang tidak. Sasareu Sipuisilam tidak makan babi. Kalau di sini di Mentawai di Siberut inilah kami semua suka babi.
Arat Isilam, oni (nama) permandian Islam saya ada. kami sudah lama diberitahu kalau babi haram.Ya babi haram, tapi babi mananam (enak). Kami tidak makan babi yang haram tapi babi yang mananam yang kita makan. Jadi babi haram jangan kita makan, babi yang mananam saja yang kita makan. Rugi kita kalau babi mananam tidak kita makan, seperti kata sasareu rezeki jangan dibuang, itu namanya mubazir. Kalau mubazir tidak boleh, tidak bagus itu. Jadi babi manamam jangan dibuang.”
Informan lain bernama Syafei adalah orang yang sudah masuk Islam, tetapi dia dan keluarganya tetap makan babi dan semua anggota Uma memakannya, menurutnya hal itu tidak apa-apa sebagaimana keterangannya yang ditulis Maskodta Delfi berikut ini.
“Memang Arat saya Islam, kami di Mentawai Siberut ini menyebut orang yang punya arat Islam itu Sipuisilam. Tapi yang Isilam itu kan arat saya. Saya makan babi, anak-anak saya juga makan, semua keluarga saya makan babi, bapak saya yang sudah tua itu juga masih suka makan babi. Kami punya babi, sudah kita pelihara baik-baik, kita kasih makan sagu tiap hari, karena kita mau makan dagingnya. Sayang kalau tidak kita dimakan.
Kalau kita tidak mau makan dagingnya untuk apa kita susah-susah peliharanya. Kadang kami jual juga kalau ada yang mau beli, biasanya kalau ada lia (ritual) orang beli babi pada kami. Saya makan babi karena saya memang suka makan babi walau arat saya Islam. Arat Islam, tapi tubuh saya tidak, tubuh saya ini Mentawai makanya saya makan babi. Yang makan babi itu mulut saya, tubuh saya bukan arat saya.”
Informan saya di Buttui bernama Aman Sasali, mantan ketua muallaf di Buttui menyebut demikian.
“Orang Mentawai tidak bisa meninggalkan Babi karena Babi kebutuhan untuk acara pesta pernikahan, pembuatan rumah, pernilahan, ritual pengobatan. Namun jika ada penggantinya seperti sapi atau kambing, sedikit demi sedikit bisa menggantikan Babi”.
Hal itu menunjukkan bahwa secara kultural babi masih terikat kuat dengan kebiasaan hidup orang Mentawai Siberut sekalipun agama Islam sudah lama diperkenalkan di Mentawai oleh sasareu.
Aturan yang melarang mengonsumsi babi bagi penganut agama Islam tersebut tidak hanya sulit untuk dipahami oleh kebanyakan orang Mentawai Siberut, tetapi untuk mengikuti (mentaati) aturan tersebut jauh lebih sulit. Hal itu disebabkan karena larangan itu bertentangan dengan kebiasaan makan orang Mentawai yang begitu melekat, bahkan banyak orang Mentawai Siberut menganggap kebiasaan makan babi sebagai bagian dari identitasnya orang Mentawai.
Ternak Bebek dan Kambing di Siberut
Peternakan untuk masyarakat Mentawai merupakan pilihan yang tepat. Penduduk Mentawai pada umumnya familiar dengan peternakan. Setiap keluarga cenderung ingin memiliki atau memelihara hewan ternak. Di Buttui setiap keluarga memiliki hewan ternak berupa hewan babi, ayam kampung, bebek ( jawa: banyak) dan menthok.
Hewan Babi mereka letakkan di kandang jauh dari rumah yang untuk kesana mesti melewati satu atau dua bukit. Ayam kampung dipelihara di rumah atau di kandang dekat rumah.
Hewan Bebek/banyak dan menthok dibiarkan bebas di alam seperti yang saya dapatkan di hulu sungai Buttui.
Muslim di Mentawai, 60% nya adalah muallaf. Tapi karena jarangnya pengajian dan dakwah kepada mereka, menyebabkan mereka belum bisa menghilangkan budaya lamanya, yakni makan daging babi di setiap acara-acara yang diadakan saat makan bersama, seperti: anak lahir dan pernikahan. Ironis, orang-orang yang sudah muslim masih suka makan daging babi di acara tersebut. Alasannya, hendak, menghormati yang mengadakan acara. Alasan lain yang mereka utarakan karena sudah menjadi adat dari nenek moyang.
Menurut salah satu ketua muallaf di Buttui, memang untuk merubah kebiasaan atau perilaku orang-orang Mentawai itu sulit. Mengingat budaya itu sudah mendarah daging, bertahun-tahun. Untuk itu perlu meng-hijrahkan orang Mentawai selama 10-20 tahun keluar Mentawai, untuk diberi pendidikan dan ilmu. Setelah itu baru dikembalikan ke kampung halamannya untuk mengabdi. Di desa Matotonan misalnya, para pemuda disana sudah sedikit yang makan babi karena mendapatkan pendidikan dari luar.
Untuk di Buttui butuh perjuangan keras karena mereka sudah terbiasa makan babi dan tinggal di hutan, mereka bilang daging babi lebih enak dari daging kambing. Alhamdulillah, anak yang dididik para dai dan tinggal di asrama dusun Buttui sudah mengerti untuk tidak makan babi, mereka tidak mau meskipun dipaksa orang tua, dan kalaupun mereka terpaksa memakan babi karena ajakan orang tua, mereka akan merasa malu dan tidak menemui ustadz, dipanggilpun lari karena mereka baru makan babi.
Ketika diadakan pengobatan gratis dan penyuluhan kesehatan di Salappa dan Buttui bersama BUMN seperti Asuransi Jasindo dll, dokter Devi dari Jakarta sudah menjelaskan penyebab penyakit mayoritas orang Mentawai yaitu sakit perut, pinggang dan lain sebagainya karena pengaruh makan babi. Meski sudah diberikan pengarahan seperti ini, makan Babi tetap terus berlanjut.
Solusi hewan ternak di Buttui adalah dengan mengganti/subsitusi babi dengan hewan lain seperti sapi dan kambing. Kedua hewan ini sangat cocok dengan kondisi Mentawai yang melimpah dengan rumput hijaunya.
Program ini sedang dilaksanakan APB yang bekerjasama dengan PT. PPA dengan ternak bebek dan YBM PLN dengan ternak kambing di Muntei. Tempat ini akan jadi pusat pelatihan ternak di Mentawai dimana setiap perwakilan desa atau dusun bisa belajar ternak dan mengembangkan di desa masing-masing.
Rujukan
Kunjungan dan wawancara penulis dengan warga dusun Buttui, desa Madobag, Siberut Selatan
Maskota Delfi . 2012. Sipuisilam Dalam Selimut Arat Sabulungan Penganut Islam Di Mentawai Siberut. Jurnal Al-Ulum Volume. 12, Nomor 1, Juni 2012.
Syaiful Kasman, Yayasan Karekat Padang, Babi: Ternak Kesayangan Orang Mentawai