Pernikahan merupakan sunnatullah pada alam ini, tidak ada yang keluar dari garis-Nya, baik itu manusia, hewan maupun tumbuhan. Allah swt berfirman “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah” (QS Adz Dzariyat : 49).
Allah memilih sarana ini untuk berkembang-biaknya alam dan berkesinambungannya ciptaan, setelah mempersiapkan setiap pasangan tugas dan posisi masing-masing.
Allah swt menciptakan manusia seperti ciptaan yang lainnya, tidak membiarkan nalurinya berbuat sekehendaknya, atau membiarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan kacau tidak beraturan. Tetapi Allah meletakkan rambu-rambu dan aturan sebagaimana telah diterangkan oleh utusan-Nya, Muhammad saw.
Oleh karenanya, salah satu maqashid syari’ah (pokok dasar syariah), yaitu menjaga keturunan. Islam menganjurkan umat Islam untuk menikah dan diharamkan membujang. Islam melarang mendekati zina dan menutup sarana-sarana yang menjurus kepada perbuatan kotor tersebut. Islam juga mengharamkan perzinaan yang berbalutkan dengan sampul pernikahan, atau pelacuran menggunakan baju kehormatan.
Di antara pernikahan yang diharamkan oleh Islam adalah nikah mut’ah atau kawin kontrak yaitu pernikahan antara seorang pria dan wanita dalam batas waktu tertentu, dengan suatu pemberian berupa harta, makanan, pakaian dan yang lainnya. Jika masanya telah selesai, dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.
Uniknya, nikah mut’ah ini dilanggengkan dan dilestarikan di negeri Iran dengan mengatasnamakan agama. Majalah Ulumul Quran no.4 tahun 1995 pernah mengangkat masalah Syiah dan realitanya di negeri Iran oleh Shahla Haeri, mahasiswa Pasca Doktoral di pusat studi Islam Timur Tengah Universitas Harvard, tulisan tersebut membahas secara khusus masalah nikah mut’ah berdasarkan hasil penelitiannya di Iran tahun 1981-1982. Berikut petikannya:
“Secara ideologi, doktrin Syiah membedakan perkawinan temporer, mut’ah dari perkawinan permanen, nikah, dalam hal tujuan mut’ah adalah untuk memperoleh kesenangan seksual, istimta’, sementara nikah untuk mendapat keturunan….”
“….Perkawinan mut’ah akad personal yang berdasarkan kepada persetujuan antara seorang pria dan seorang wanita yang tidak bersuami, biasanya tanpa intervensi dari keluarga wanita. Suatu akad perkawinan mut’ah tidak memerlukan saksi-saksi dan juga tidak perlu tercatat. Lamanya kontrak perkawinan mut’ah adalah tergantung dari keinginan pasangannya……” (hal. 47)
Sahla Haeri selanjutya menjelaskan macam-macam sigheh (mut’ah) yang ada dan terjadi di negeri Iran.
Sigheh Seksual
“…..karena akad perkawinan sigheh relatif tidak menimbulkan noda bagi pria, praktek tersebut tidak terbatas kepada suatu kelas tertentu. Akan tetapi, faktor umum bagi pria yang memasuki perkawinan ini adalah afiliasi religius mereka. Diketahui bahwa semakin dekat seorang pria mengidentifikasikan diri dengan tatanan keagamaan, semakin besar kecenderungannya untuk melakukan sigheh. Karena itu, tidak mengherankan bila perkawinan sigheh khususnya populer di kalangan Mullah. Mayoritas pria yang dapat saya wawancarai, yang kebetulan para mullah, adalah mendukung kepercayaan ini”. (hal. 40)
Perkawinan Percobaan
“Dengan menampilkan tema non seksual Sigheh, beberapa pemimpin rezim Islam sendiri telah menciptakan variasi lain tentang Sigheh, walaupun kata itu diganti dengan istilah “perkawinan percobaan”. Alasan ulama dan prosedur bagi perkawinan ini tercantum dalam teks agama sekolah lanjutan di Iran, dan diajarkan kepada pelajar-pelajar dari kelas 10 ke atas.
Mereka berpanutan kepada almarhum Ayatullah Muthahhari, Dr. Bahunar (mantan Perdana Mentri Islam) dan Gulyadih Gafuri (seorang anggota Dewan Perwakilan) yang berpendapat karena dorongan-dorongan seksual secara biologis adalah determinan, dorongan-dorongan tersebut tidak terhindar dan harus terpenuhi. Mereka mengatakan bahwa dalam konteks masyarakat kontemporer, perkawinan permanen adalah mahal, memaksa kalangan muda banyak bertanggung jawab yang tidak kondusif terhadap pertumbuhan dan perkembangan pribadi mereka.
Pada saat yang sama mereka berpendapat tidak harus –dan tidak bisa- diharapkan menjalani “masa aksetisme”, melainkan mereka diinstruksikan untuk memanfaatkan perkawinan temporer atau untuk mempergunakannya sebagai suatu bentuk perkawinan percobaan” (hal. 80)
Sigheh Kelompok
“Sigheh improvisasi par exelence, sigheh kelompok secara jelas merupakan suatu gabungan antara sigheh seksual dan non seksual. Dalam suatu wawancara dengan seorang Mullah di Qum, ia secara grafik menguraikan secara variasi sigheh ini. Suati sigheh kelompok bisa dilakukan antara seorang wanita dengan beberapa pria, agaknya secara serial, namun kadangkala juga dalam periode terbatas selama beberapa jam.
Dalam salah satu perjalanan Mullah tersebut ke Teheran (pada Desember 1981) ia dihadapi oleh sekelompok pemuda yang sedang berkumpul. Para pemuda itu mulai mengusik sang Mullah, dengan mengklaim bahwa Islam membatasi kesenangan manusia tidak membolehkan hubungan heteroseksualplural, seperti antara empat pria dan seorang wanita” (hal. 81)
Sigheh Pertobatan
“Sebagai langkah pertama untuk “membersihkan”, paksazi, dekadensi Barat, Pemerintahan revolusi Islam menggusur daerah pelacuran di Teheran dan menangkap, memenjarakan dan juga menghukum sejumlah penduduk wanitanya, akan tetapi banyak yang lain yang dibawa ke rumah sitaan di Teheran untuk direhabilitasi dan purifikasi.
Uang mengalir dari mereka yang merasa simpatik dengan revolusi dan ingin membantu program-program revolusi tersebut. Dua di antara informan saya menyumbang sejumlah besar uang kepada pusat rehabilitasi itu dengan harapan dapat membantu wanita yang “terjerumus” untuk mengubah hidup mereka dan memulai dengan lebih baik.
Dengan menganggap bahwa keperluan finansial adalah penyebab di belakang prostitusi, pusat rehabilitasi tersebut menyediakan kamar dan makanan bagi pelacur dan sebagai imbalannya mengharapkan mereka dapat membantu berbagai pekerjaan di pusat rehabilitasi tersebut. Mereka dilarang meninggalkan pusat rehabilitasu tersebut dan terus diawasi oleh para pengawal revolusi, dengan harapan dengan adanya gemblengan yang intensif, mereka dapat direhabilitasi.
Akan tetapi keberhasilan bisa diraih dan pertobatan akan tercapai ketika seseorang menjadi istri sigheh dari salah seorang pengawal revolusi atau seorang serdadu yang kembali dari perang Iran-Irak. Dalam bahasa metafora dan tidak terlalu halus, hal ini dikenal sebagai Ab-Itubih Rikhtan, yang artinya adalah kemerdekaan (pencucian) melalui pertobatan. Sementara dilaporkan bahwa beberapa wanita memilih cara ini untuk memperoleh keselamatan di akhirat, banyak yang lainnya dipaksa berulangkali untuk melakukan perkawinan sigheh, banyak di antara mereka yang tidak menyukai cara ini.
Biasanya perkawinan sigheh itu jangka pendek, dan setelah itu menyelesaikan masa ‘iddahnya, perkawinan sigheh jangka pendek dilakukan untuk wanita tersebut dengan pengawal revolusi lain atau serdadu yang baru kembali lainnya. Alasan utama di belakang perkawinan ini adalah bahwa janda yang tidak terikat merupakan sumber godaan dan immoralitas. Karena itu untuk mencegah perbuatan dosa, perkawinan cara ini dilakukan”. (hal. 81-82)
Sigheh Hukuman
“Begitu faksionalisme antara rezim Islam yang baru terbentuk dengan pihak oposisi menjadi jelas, pembersihan oposisi besar-besaran dimulai. Karena banyak di antara mereka yang ditahan dan dipejarakan adalah wanita belasan tahun, rezim Islam dihadapkan pada situasi yang sulit.
Jika mereka dijatuhi hukuman sementara mereka masih perawan, menurut kepercayaan agama, mereka akan masuk surga. Karena itu sebelum dijatuhi hukuman (hal ini dipercaya secara luas), para perawan remaja ini dipaksa melakukan sigheh dengan salah seorang sipir penjara. Dengan “menodai” pada perawan remaja ini, bukan hanya untuk merendahkan mereka tetapi juga untuk mencegah mereka ke surga.
Sigheh hukuman hampir merupakan antitesis terhadap Sigheh Pertobatan. Sementara pada Sigheh yang satu tindakan seksual dipercayai untuk “membersihkan” dosa wanita (sigheh pertobatan), sedangkan pada sigheh yang lain (sigheh hukuman) dipercayai untuk “menodai” kemurnian dan kepolosan” (hal. 82).
Inilah keterangan tentang realitas mut’ah di negeri Iran, dan untuk menggalakkan serta menghimbau pengikut mereka untuk kawin mut’ah, Syiah telah berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya, dan berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa kawin mut’ah satu kali derakatnya sama dengan derajat Alhusain, dan barangsiapa kawin mut’ah dua kali derajatnya sama dengan Alhasan, dan barangsiapa kawin mut’ah tiga kali maka derajatnya sama dengan derajat Ali bin Abi Thalib, dan barangsiapa kawin mut’ah empat kali maka derajatnya sama dengan derajatku”. (Tafsir Minhajusshadiqin 2: 493)
Demikianlah dusta mereka kepada Rasulullah saw, mereka juga berkata, kawin mut’ah itu bermula dan berakhir; tanpa saksi, tanpa wali, tanpa warisan, tanpa perceraian dan boleh untuk satu jam, satu hari atau lebih dari itu, menurut hajat keperluan kepada wanita-wanita itu.
Telah diriwayatkan oleh Alkulaini, bahwa Abban bin Thal’ab berkata kepada Ja’far Ash-Shadiq: Pada suatu waktu saya dalam perjalanan melihat wanita cantik (untuk saya kawin mut’ah) tetapi saya ragu-ragu kalau wanita itu punya suami atau wanita jalang, dijawab oleh Ja’far Ash-Shadiq: Itu tidak menjadi soal bagimu, yang penting percaya saja apa yang dikatakan wanita itu. []
Sumber
Haeri, Shahla. Law of desire: Temporary marriage in Shi’i Iran. Syracuse University Press, 2014.
Haeri, Shahla. “Law ofdesire, temporary marriage in Iran.” London: LB. Tauris. HaeriLaw of Desire: Temporary Marriage in Iran1989 (1989).
Wakin, J. (1990). Law of Desire: Temporary Marriage in Shi‘i Iran, by Shahla Haeri. (Contemporary Issues in the Middle East series.) xiii 256 pages, bibliography, index, glossary. Syracuse University Press, Syracuse1989. $39.95/$14.95. Middle East Studies Association Bulletin,24(2), 195-196. doi:10.1017/S0026318400023257
Sampai saat ini, saya belum mengutarakan pendapat terkait tema mutah di blog; karena terlalu dan bahkan sangat sensitif. Begitu sensitifnya sampai kedua kelompok, suni dan Syiah, tidak akan pernah bisa “berdamai”. Setidaknya Shahla Haeri mengakui hal tersebut dalam bukunya. Maksud saya, seberapa banyak dalil yang dikeluarkan oleh suni maupun Syiah tidak akan mengubah posisi. Suni mengharamkan mutlak; Syiah menghalalkan mutlak.
Kalimat “Syiah menghalalkan mutah” juga tidak sepenuhnya tepat. Dengan tuduhan miring yang dilemparkan ke Syiah, seolah Syiah adalah pencipta mutah dan para wanita yang membaca kisah “mengerikan” menjadi phobia. Padahal, suni dan Syiah sepakat bahwa yang menghalalkan mutah adalah syariat Allah; mereka hanya tidak sepakat apakah kemudian “diharamkan” atau tidak.
Setidaknya dalam bukunya Law of Desire yang berbicara tentang mutah, saya tidak menemukan bahwa Shahla Haeri menulis tentang sigheh percobaan, kelompok, apalagi pertobatan. Saya juga tidak sepakat ketika dia menyamakan nikah biasa (daim) sebagai jual-beli, dan nikah mutah sebagai sewa.
Makna “halal” tidak selalu sama interpretasinya dalam hal praktik. Penelitian Shahla yang dilakukan di awal masa revolusi mungkin saja ada benarnya, bahwa praktik mutah menjadi hidup karena di bawah pemerintahan raja Pahlavi sangatlah sulit. Artinya, hukum mutah kemudian menjadi hukum resmi setelah Iran berubah menjadi republik Islam.
Tidak seperti yang digambarkan Shahla Haeri, hukum mutah diatur dalam Bab IV pasal 1075-1077 kitab hukum perdata Iran yang mengatur masalah mahar, waris, hak anak, istri, dsb. Hal yang lebih penting lagi, semua itu harus terdaftar di kantor pemerintah.
Saya ingin mengatakan bahwa posisi praktik mutah dalam Syiah mirip dengan poligami dalam Islam. Hukum keduanya, menurut masing-masing, halal. Tapi dalam praktiknya, tidak semudah kata halal. Bahkan pertentangan tentangnya cukup keras. Tentu disebabkan karena praktik yang disalahgunakan. Seorang wanita non-muslim sulit untuk tertarik dengan Islam jika di awal dikemukakan tentang poligami.
Masih banyak yang ingin saya sampaikan, terkait merespon beberapa paragraf di awal terkait anugrah naluri seksual yang diberikan Allah Swt. Insya Allah, di lain kesempatan.
Terima kasih atas tanggapan mas Ali Reza di postingan ini.
Saya tunggu komentar selanjutnya.
Syiah adalah sebuah ordo agama yang tidak bisa dipisahkan dari mut’ah. Benihnya mulai tumbuh pada akhir masa kekhalifahan Abu Bakar.
Ditanam dan dirawat oleh Abdullah bin Saba dari keturunan Yahudi dengan melemparkan dua isu.
1. Setiap rasul memiliki pewaris kerasulan. Sebagaimana Musa pewarisnya Harun, maka Muhammad pewarisnya Ali dan keturunannya.
2. Para imam dari keturunan tertentu tidak bersifat maksum. Maka tiga khalifah sebelum dianggap bukan pewaris kerasulan Muhammad saw dan kekhalifahan mereka dianggap batal.
Pada masa Abu Bakar dan Umar, intrik Abdullah bin Saba yang menghembuskan fanatisme jahiliyah tidak bisa tumbuh subur. Selain reputasi keduanya hampir tak tercela, juga karena jumlah sahabat masih banyak.
Akan tetapi, pada pengujung masa Utsman, mayoritas kaum muslimin merupakan generasi baru dan belum 100% memahami islam secara benar khususnya Persia, Mesir dan Afrika Utara. Oleh karena itu, segala pemikiran keagamaan yang lahir dari kondisi ini mencerminkan pertentangan dengan islam.
Mereka tidak menghargai keotentikan al-Quran dan kebersihan sahabat dan keyakinan bahwa di dunia ini manusia yang punya sifat maksum hanya nabi dan rasul ditolak secara hina.
Menghalalkan nikah Mut’ah sebagaimana dalam tafsir Minhajus Shadiqin hal.356. Dalam pandangan orang yang berakal, ucapan demikian tentulag menjijikkan dan hanya bermodal syahwat bahkan mereka menganggap pelaku mut’ah lebih mulia dari Nabi saw, seakan mereka mengatakan bahwa kemaluan para pelacur lebih mulia dari Nabi dan sahabat.
Menyoroti komentar seputar mut’ah dan poligami diatas, sepintas mengesankan kearifan sehingga antagonisme mut’ah dan poligami akan tampak sebagai sesuatu yang tidak bertentangan.
Akan tetapi, metode demikian hanya diciptakan untuk menyelesaikan masalah furu’ yang jika diterapkan untuk masalah prinsip, hanya akan membuahkan kemasan tanpa isi. Artinya, luarnya terkesan ilmiah, tetapi isinya tetap ganjil karena masing-masing mengandung pertentangan esensi.
Terakhir, saya mengingatkan satu prinsip dalam islam yakni “Islam lahir sebagai pemberantas taklid buta”.
Soal kapan kemunculan Syiah saja, orang yg berada di luar Syiah tidak pernah sepakat: mereka mengatakan setelah wafat nabi saw; sekarang akhir masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar; nanti di tempat terpisah dikatakan setelah terbunuhnya Khalifah Utsman; nanti di literatur lain dikatakan setelah peristiwa tahkim Imam Ali dng Muawiyah, dst. Dengan semua itu yg tidak disepakati, muncullah nama Abdullah bin Saba; sebuah nama Arab tapi disebut berasal dari Yahudi.
Saya tidak akan mengomentari frasa “kebersihan sahabat” karena bukan bahasan artikel di atas. Sedangkan kehalalan mutah dalam fikih Syiah karena lemahnya hukum pengharaman yg ada; bukan karena segelintir tafsir dan riwayat lemah dalam Syiah.
Terakhir, jika saya taklid buta, mungkin saya akan menjadi kebanyakan muslim Indonesia dan tidak mengenal ahlulbait; tidak tahu peristiwa yg dialami ahlulbait nabi saw. Dengan tidak menjadi taklid buta, saya punya pilihan untuk mengkritisi apa yang ada di dalam praktik pengikut mazhab Syiah dan yang ada di luarnya. Perhatikan kata praktik.
Buku-buku Ahlus Sunnah yang membahas kemunculan Syiah memang menyebutkan macam-macam pendapat terkait awal kemunculan Syiah, meski demikian mereka bersepakat bahwa Syiah Imamiyah yang sekarang muncul setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan.
Alhamdulillah jika anda demikian, jangan seperti salah satu komentar pengunjung di blog yang hantam kromo menganggap Syiah-lah yang benar dan langsung mengajak untuk bermubahalah.
SYiah masih islam, tp ISLAM yg menyimpang, dan harus diluruskan. ditmpt sy aja ada yg me mutah 3 wanita utk 3 hri, bejat