Nasionalisme dalam Perspektif Islam

Definisi Nasionalisme

Kata nasional dalam nasionalisme, berasal dari kata “nation” atau bangsa, yakni kumpulan manusia yang terikat oleh kesamaan budaya, wilayah, dan sejarah. Istilah lain yang memiliki makna sama, adalah suku. Hanya saja, kata “suku” seringkali digunakan untuk merepresentasikan bangsa dengan ukuran yang lebih kecil.

Sebuah nation atau bangsa, bisa terdiri dari beberapa bangsa yang lebih kecil (suku). Contoh: Indonesia, sebelumnya berasal dari beberapa kerajaan yang independen, seperti Kutai, Mataram, Samudra Pasai, Ternate/Tidore, dan sebagainya, yang masing-masing memiliki budaya, wilayah, sejarah, bahkan pemerintahan yang berbeda-beda. Atau, bangsa Arab yang terdiri dari bermacam-macam suku, seperti Quraisy, Aus, Kharaj, Hawazin, dan sebagainya.

Jadi, nasionalisme memiliki dua makna.

Pertama, Paham yang mengikat sekumpulan manusia (bisa juga sekumpulan suku) yang memiliki kepentingan yang sama dan hidup dalam wilayah tertentu atau paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan Negara sendiri[1]. Oleh karena itu, meskipun sama-sama merupakan bagian dari bangsa Arab, tetapi karena hidup dalam batas wilayah yang berbeda, orang-orang Arab bisa memiliki nasionalisme yang berbeda (misal: nasionalisme Saudi Arabia, nas Palestina, nas Syria, dan sebagainya).[2]

Kedua, Kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa itu.[3]

Nasionalisme pertama kali disebarkan oleh seorang Kristen Itali bernama Mazzini, yang menurutnya: “Kebangsaan (yang disusun atas dasar ras, bumi dan sejarah) satu-satunya dasar pembentukan Negara. Karenanya Nasionalisme itu mengangkat “kebangsaan menjadi satu Ilah, membuat kepentingan nasional menjadi kepentingan tertingi, norma-norma untuk perbuatan-perbuatannya tidak diambilnya dari firman Tuhan, melainkan dari sumber keruh yakni “darah dan bumi.”[4]

Kecintaan terhadap tempat kelahiran menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup manusia sebagai makhluk social, begitu pula cinta terhadap tanah kelahirannya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw ketika ia diusir dari Makkah oleh orang-orang Quraisy: Telah menceritakan pada kami Qutaibah, telah menceritakan pada kami al-Laits dari Uqail dari az-Zuhri, dari Abu Salamah dari Abdullah bin Adi bin Hamra’ berkata:”Aku melihat Rasulullah saw berdiri di atas al-Hazwarahsembari bersabda:

Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah benar-benar sebaik-baik bumi Allah dan juga merupakan bumi-Nya yang paling Dia cintai. Seandainya saja aku tidak dikeluarkan darimu, niscaya aku tidak akan pergi (meninggalkanmu)” (HR at-Tirmidzi, no: 3860)[5]

Secara naluriah, seseorang akan merasa berat meniggalkan kampung halaman tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Hal ini kiranya yang dialami oleh Rasulullah saw dan para sahabat ketika Allah memerintahkan mereka untuk Hijrah ke Madinah, karena masyarakat Makkah ketika itu menolak ajaran Nabi saw.

Namun rasa berat hati itu luluh saat berhadapan dengan perintah Allah. Mereka lebih memilih ridha Allah daripada sekedar memenuhi keinginan diri. Betapapun demikian, rasa cinta mereka kepada Makkah belum bisa terlupakan oleh para Sahabat ketika awal-awal hijrah, terbukti banyak dari sahabat yang mengalami demam Madinah.

Nasionalisme Sebelum Islam

A. Nasionalisme pada Agama Yahudi

Jika kita membicarakan tentang awal munculnya nasionalisme pada zaman dahulu, maka akan kita dapatkan bahwa kaum Yahudi adalah kaum yang pertama kali menumbuhkan nasionalisme dan menyebarkannya ke negara lain bahkan merekalah yang kaum yang sangat berlebihan dalam masalah nasionalisme, dan pemikiran nasionalisme yang ada di Perancis dan Jerman bersumber dari Yahudi.

Kaum Yahudi adalah kaum yang kuat nasionalismenya dan hal ini telah disinyalir oleh Allah swt dalam QS. Al-Maidah: 18:  “Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami Ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka Mengapa Allah menyiksa kamu Karena dosa-dosamu?” (kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia(biasa).”.  Maka mereka menganggap diri mereka sebagai anak Allah dan kekasih-Nya.

Lalu mereka menganggap bahwa mereka adalah kaum yang terpilih, dan perkataan mereka ini telah disebutkan oleh Allah swt.  “Mereka mengatakan: “Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang yang buta huruf.” (QS. Ali Imran: 75)  “Tetapi ada di antara mereka yang jika engkau percayakan kepadanya satu dinar, dia tidak mengembalikannya kepadamu.” (QS.Ali Imran: 75)

Nasionalisme pada Yahudi muncul karena pemahaman batil mereka terhadap Taurat, tahrif mereka terhadap sebagian nash-nash Taurat dan kitab Bid’ah yang mereka buat, yang lebih mereka ikuti daripada Taurat yaitu kitab yang mereka sebut Talmud[6].

Di antara pengaruh dari nasionalisme pada kaum Yahudi adalah keyakinan mereka bahwa tiadak akan ada nabi kecuali dari Bani Israil, selain itu mereka juga berkeyakinan bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan dan dipilih untuk memimpin dunia, dalam Talmud disebutkan “etnis non-Yahudi (gayim) adalah para pendosa, karenanya Tuhan mengizinkan orang Yahudi untuk mengambil, merampas, menindas, menzalimi, membunuh, dan atau menjajah etnis non-Yahudi demi mengembalikan keistimewaan mereka yang dirampas.”

Baca juga:   Biografi dan Pemikiran Mohammed Arkoun Tentang Dekonstruksi & Historitas Al-Quran

Oleh karena itu di antara sebab kekufuran orang Yahudi kepada risalah Nabi Muhammad saw adalah karena Muhammad adalah orang Ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun Allah swt malah menjadikan ke-Ummi-yan Muhammad saw sebagai sebuah keutamaan.

 “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,”. ( Qs. Al-Jum’ah: 2).

Dan pada ayat selanjutnya Allah menjelaskan bahwa orang Yahudi tidak akan mendapatkan keutamaan di atas.

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, Kemudian mereka tiada memikulnya[7] adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.” (Qs. Al-Jum’ah: 5)

Ke-Ummiyan nabi Muhammad saw justru sebuah hikmah agar manusia semakin yakin akan kebenaran agama yang dibawa oleh Muhammad, berbeda dengan Yahudi yang dipermisalkan oleh Allah sebagai keledai yang memikul kitab-kitab yang tebal.

B.Nasionalisme di Daratan Eropa

Nasionalisme di Eropa mulai muncul setelah maraknya era Renaisance yang cukup merangsang munculnya ideologi nasionalisme di Eropa, selanjutnya kemunculan Nasionalisme di Eropa dapat kita jelaskan melalui poin-poin berikut:

  1. Jatuhnya hukuman pembakaran hidup-hidup kepada Rektor Universiti Praha (Prague), John Hus di Konstanz ( Konstaz adalah satu daerah di perbatasan antara Switzeland dan Jerman).
  2. Munculnya perperangan Hussenitz di Bohemia dan Moravia sehingga membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat Czech.
  3. Lahirnya gerakan reformasi pimpinan Martin Luther yang lantang mengkritik kebobrokan institusi gereja Katolik, Luther telah menumbuhkan kesadaran berbangsa dalam pengertian nation state melalui gerakan Reformasi Protestan[8] yang ia pelopori. Reformasi Marthin Luther menimbulkan gerakan hebat di Eropa dan diantara ekses yang sampai kepada umat Islam adalah gerakan salib.
  4. Adanya terjemahan kitab Bible dalam bahasa Jerman. Terjemahan ini membuka luas penafsiran pribadi yang sebelumnya merupakan hak eksklusif bagi mereka yang menguasai bahasa latin,seperti para pastor, uskup dan kardinal. Implikasinya adalah ia menumbuhkan rasa keunggulan bangsa Aryan di dalam rakyat Jerman. Bahasa Jerman yang digunakan Luther untuk menerjemahkan Injil mengurangi pengaruh Bahasa Latin yang saat itu merupakan bahasa ilmiah dari kesadaran masyarakat Jerman. Dan Mesin Cetak yang ditemukan oleh Johann Gotthenberg turut mempercepat penyebaran kesadaran berbangsa dan kebangsaan masyarakat Jerman.

Namun demikian, nasionalisme Eropa yang pada kelahirannya menghasilkan deklarasi hak-hak manusia, berubah menjadi kebijakan yang didasarkan atas kekuatan dan self interest dan bukan atas kemanusiaan.

Dalam perkembangannya nasionalisme Eropa berpindah haluan menjadi persaingan fanatisme nasional antar bangsa-bangsa Eropa yang melahirkan perjajahan terhadap negeri-negeri yang saat itu belum memiliki nasionalisme di benua Asia, Afrika dan Amerika. Hal ini dipengaruhi oleh dua hal yaitu:

  1. Ledakan ekonomi Eropa kala itu yang berakibat pada melimpahnya hasil produksi
  2. Pandangan pemikir Italia, Nicolo Machiaveli, yang menganjurkan seorang penguasa untuk melakukan apapun demi menjaga eksistensi kekuasaannya.

Nasionalisme Di Negara-Negara Islam

Nasionalisme yang berjangkit di dunia Islam benar-benar telah berubah menjadi agama baru, yang melebihi dari segala yang ada, dan dapat kita saksikan pada beberapa Negara Islam, antara lain:

Pertama; Di Arab

Bermula dari rasa permusuhan orang Turki terhadap orang Arab, di antaranya dengan adanya usaha mencopot kementrian wakaf, mendagri dan menlu yang waktu itu dipegang orang Arab, untuk diganti dengan orang Turki. Hal tersebut membuat bangsa Arab berang, akibatnya dalam waktu singkat bermunculan gerakan “ Fanatisme Arab” dan dengan cepat menyebar diseluruh wilayah pemerintahan Utsmaniyah, seperti Mesir, Syam, Iraq dan Hijaz.

Fanatisme Arab ini bertujuan untuk menumbangkan Khilafah Utsmaniyah yang dipegang orang Turki. Tokohnya adalah orang Nasrani dari Libanon yang bernama Faris Namr dan Najib Naqib Zoury, seorang Kristen  pegawai Pemerintahan “ Utsmani di Palestina”. Ia berhasil menerbitkan buku” Le Revil de la nation arabe”. Di dalam bukunya ersebut, ia mengutarakan untuk membuat gagasan untuk membuat suatu Arab Empire, yang mempunyai batas-btas alami: lembah Eufrat dan Tigris, Lautan India, Terusan Suez dan Lautan Tengah. Gagasan ini jelas akan mendorong lebih cepat terciptanya separatisme wilayah Arab dari kekuasaan Turki Utsmani.[9]

Pada tahun 1945 Antonie Adien, Menlu Brithania terbang menuju Cairo untuk mengumpulkan para pemimpin Arab dan meletakkan batu pertama Proyek Liga Arab. Yang ditanda-tangani pada tanggal 22-3-1945 dan beranggotakan Mesir, Sudi Arabia, Lebanon, Syiria, Iraq, Yordan, Yaman. Dalam pertemuan itu disebutkan bahwa tujuan utamanya adalah membahas berbagai permasalahan yang menyangkut bangsa Arab dan mengadakan usaha-usaha nyata untuk kemajuan bangsa Arab. Namun didalam prakteknya justru proyek tersebut banyak merugikan bangsa Arab, karena mereka secara mental harus terdepak dari dunia islam di dalam menyelesaikan permasalahannya.[10]

Baca juga:   Tafsir Al-Quran dalam Bahasa Indonesia

Kedua; Turki

Turki telah menjadi pusat pemerintahan Islam selama beratus-ratus tahun, dan terkenal dengan nama pemerintahan “Otoman”, nasionalisme Turki mulai disebarkan oleh Mustafa Kamal at-Taturk, pada tangga;l 3Maret 1924, ia berpidato:

”Imperium Usmani tegak diatas dasar keislaman, menurut watak dan tabiatnya, Islam itu adalah Arab dan pandangan-pandangannya bersifat Arab. Ia mengatur peri hidup manusia dari mulai lahir sampai mati, mencetaknya secara khusus dan membelenggu pikiran pemeluk-pemeluknya serta menekan jiwa dinamis dan semangat berjuang, selama Islam masih jadi agamanya yang resmi, maka Negara akan tetap dalam bahaya.”

Dengan Nasionalisme ini Turki tidak pernah tampil kembali sebagai bangsa yang besar, sebagaimana yang pernah diperolehnya ketika berada dibawah pangkaun Islam.

Ketiga; Mesir

Pada mulanya nasionalisme belum dikenal di negara-negara Islam yang berada di bawah pemerintahan Utsmani, kecuali Mesir.

Faham ini muncul lewat kebanggaan dan kemuliaan Mesir dengan kebudayaan masa Firaun dan sebelum Firaun, setiap parta- di Mesir menyerukan nasionalisme seperti Sa’ad Zaghlul dan Musthafa kamal begitu juga dengan para penyair, banyak dari syair mereka berbau nasionalisme seperti Ahmad Sauqi dan Hafidz Ibrahim sampai ada yang mengatakan “Jika saya tidak dilahirkan di Mesir, sungguh saya berharap jika saya menjadi orang Mesir”.

Pada tahun 1919 M pecahlah revolusi Mesir untuk menentang pemerintah Inggris yang dipimpin oleh ulama Al-Azhar. Dan sebagai langkah preventif, pemerintah Inggris mengutus Lord Crinbe sebagai duta baru untuk melihat lebih dekat revolusi ini, setelah melakukan penelitian ia menemukan dua langkah yang harus dilakukan pemerintah Inggris untuk memadamkan api revolusi tersebut, yaitu:

  1. Revolusi ini berpusat di Al-Azhar dan sangat membahayakan kedudukan Inggris, maka Pemerintahan Inggris diharapkan bisa segera mengambil kebijaksanaan baru.
  2. Meminta agar Sa’ad Zaglul dibebaskan dan dikirim ke Kairo.

Sa’ad Zaglul inilah yang menjadi dalang terjadinya perubahan Revolusi Islam menjadi Revolusi Nasionalis yang perjuanganya sebatas pembebasan tanah air saja. Selain itu peyebarang faham nasionalisme ini juga didalangi oleh Nasrani dan Yahudi. Orang nasrani berasal dari daerah Syam yang pindah besar-besaran ke Mesir kemudian mereka membuat koran Al-Ahran dan majalah Al-Muqtathaf untuk menyebarkan faham nasionalisme. Seorang ahli sejarah dari Amerika yang bernama Watson mengatakan “Tidak ada orang asli Turki dalam gerakan nasionalisme Turki, mereka berasal dari Yahudi dan selainnya”.[11]

Keempat; Indonesia

Bangsa Indonesia sangat kaya dengan kebereagaman baik dalam bahasa, pulau dan keyakinan. Keragaman ini tercermin dalam sejarah BPUPKI yang diberi tugas oleh Jepang untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

Badan ini bertugas menyusun konstitusi Negara dan keperluan lain yang dibutuhkan oleh sebuah negara yang baru berdiri. Anggotanya pun beragam yang bisa dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu nasionalis sekuler dan nasionalis islam. Nasionalis sekuler menghendaki agar Indonesia yang akan dibangun kelak berdasarkan kebangsaan tanpa kaitan khusus pada agama. Sedangkan nasionalis Islam ingin agar Negara Indonesia berdasarkan Islam.

Perseteruan antara dua kelompok ini mulai terjadi sejak tahun 1930-an ketika PNI dengan tokoh terkenalnya Soekarno mewakili kelompok nasionalis dan kalangan Islam dengan tokohnya HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, A. Hasan dan M. Natsir. Ketika itu salah satu debat yang cukup fenomenal adalah antara Soekarno dengan M. Natsir terkait bentuk dan dasar Negara. Agar pembahasannya lebih lengkap, berikut kita simak sekelumit sejarah hubungan nasionalis sekuler dan islam di Indonesia.

Pertentangan nasionalis sekuler dan islam yang diwakili Sarekat Islam dimulai sejak munculnya tulisan Marthodarsono dan Djojodikromo di harian Jawi Hisworo yang terbit di Solo, tulisan ini dianggap menghina nabi Muhammad saw dan menimbulkan gelombang kemarahan umat Islam. Sarekat Islam membentuk barisan umat yang disebut Tentara Kanjeng Nabi Muhammad untuk menjaga dan melindungi kehormatan agama Islam.

Kalangan nasionalis membentuk Panitia nasional Jawa. Dalam organisasi itu Soetatmo yang berjiwa fanatik tulen mengusulkan nasionalisme jawa, maka Agus Salim mengajak Soetomo yang nasionalis untuk berdebat yang akhirnya dilaksanakan di Surabaya tanggal 9 januari 1927. Pertentantan kedua kelompok makin tajam, Majalah Timboel dari nasionalis menuduh Agus Salim sebagai petualang yang merubah Sarekat Islam jadi partai ulama.

Selanjutnya setelah berdirinya PNI oleh Soekarno, Agus Salim banyak mengkritik tentang nasionalisme yang berlebih-lebihan dan menganggapnya seperti agama yang diberhalakan, tulisan Agus Salim menjadi polemik antara Soekarno dan Agus salim yang berujung pada perdebatan.

Baca juga:   Bahaya Akademi Fantasi Indonesia (AFI)

Tahun 1932 terjadi perbedaan pandangan antara Soekarno dan Moh. Natsir. Soekarno menulis artikel di Panji Islam yang menolak Islam dijadikan agama Negara artikelnya berjudul ‘Memudahkan pengertian Islam’ disusul ‘Apa sebab Turki memisahkan agama dari negara’. Moh Natsir menolak pemikiran sekuler Soekarno dan menanggapinya dengan memakai nama A. Muchlis dengan menulis artikel berjudul ‘Sikap Islam terhadap kemerdekaan berfikir’. Dan menaggapi tulisan Soekarno yang pro Turki, Natsir menegaskan bahwa dalam Islam mustahil memisahkan agama dan politik dan menurutnya Attaturk bukan menyuburkan Islam seperti yang ditulis Soekarno, justru menghancurkan Islam lewat cara yang halus.

Dalam hal dasar negara, menurut Soekarno, agama merupakan urusan spiritual dan pribadi sedangkan negara merupakan persoalan dunia dan kemasyarakatan dan menurutnya negara tidak memiliki wewenang memgatur apalagi memaksakan ajaran agama kepada warga negaranya.

Sementara itu M. Natsir berpendapat lain, menurutnya ajaran Islam bukan semata-mata mengatur hubungan manusia dengan tuhannya saja, namun juga antara manusia dengan sesamanya. Islam merupakan sebuah idiologi, sehingga seorang muslim tidak mungkin melepaskan keterlibatannya dalam politik tanpa memberikan perhatian pada Islam.

Perjuangan nasionalis islam tidak hanya sampai disitu, mereka juga berjuang untuk disematkannya tujuh kata yang dikenal dengan piagam jakarta, namun pada tanggal 18 Agustus 1945 kesepatakan yang telah dibuat mulai digugat kembali oleh Moh Hatta karena khawatir akan merusak persatuan Indonesia, kelompok nasionalis Islam bersedia dengan alasan pertama demi menjaga kelangsungan proklamasi yang baru berumur satu hari, kedua keyakinan bahwa UUD 45 itu bersifat sementara seperti yang dikatakan Soekarno dan ketiga untuk menghindari perdebatan yang berkepanjangan.

Demikian, pembahasan tentang nasionalisme yang bisa kami sajikan yang jauh dari kesempurnaan, besar harapan kami sajian ini bermanfaat dan menambah ilmu anda. Jika ada kesalahan itu datang dari kekhilafan diri dan jika ada kebaikan itu  datang atas berkah dari Allah swt. Kritik dan saran untuk pembahasan ini sangat kami harapkan demi kesempurnaan artikel kami ini.

Referensi:

  1. Majalah an-Najah edisi 47, hal. 05
  2. Makalah “Mahfum Wathaniyyah fi Dhau’I kitab was Sunnah” dari Maktabah Syamilah
  3. Abdul Qadir Djaelani, Milenium III, Abad Kehancuran Umat Islam?,
  4. www.ahmadzain.com/nasionalisme
  5. Capita selekta Moh. Natsir

Artikel terkait di blog ini

Artikel terkait dari blog/web lain

Jumal Ahmad | ahmadbinhanbal.com


[1] Majalah an-Najah edisi 47, hal. 05

[2] www.hayatulislam.net

[3] Majalah an-Najah edisi 47, hal. 05

[4] Abdul Qadi Djaelani, Milenium III, Abad Kehancuran Umat Islam?, hal. 54

[5] Menurut keterangan Imam Tirmidzi ada jalur lain yang meriwayatkan hadits ini yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Syaikh Mubarak Fuuri dalam kitrabnya Tuhfatul Ahwadzi bahwa kedua jalur di atas sama-sama shahih, sebab az-Zuhri memiliki jalur dari Abu Hurairah.

Hadits di atas menunjukkan salah satu dari keutamaan yang dimiliki oleh kota Makkah, di antara keutamaan Makkah yang lain adalah:

  1. Tidak boleh mengusir binatang buruan di Makkah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam bab Haji.
  2. Shalat di Masjidil Haram memiliki keutamaan yang lebih dari pada di tempat lain, sebagaimana hadits dari Ibnu Umar, lihat Tuhfatul Ahwadzi, 10/326.
  3. Di setiap celahnya, Malaikat menjaga sehingga Dajjal tidak mampu masuk ke dalamnya, sebagaimana hadits riwayat Bukhari.
  4. Orang-orang Musyrik di larang masuk Masjidil Haram, sebagaimana firman Allah Qs at-Taubah: 28.
  5. Daerah Makkah dan sekelilingnya adalah Masjidil Haram, lihat QS. Al-Hajj: 25

[6] Talmud secara bahasa berarti tiupan tukang pembuat emas (al-Muhitah fi al-Lughah: 2: 377) atau kumpulan ajaran dan bid’ah yang diambil Yahudi dari agamawan (al-Mu’jam al-Wasith: 1: 87)

[7]  Maksudnya tidak mengamalkan isinya, antara lain tidak membenarkan kedatangan Nabi Muhammad saw (Foot note dalam al-Quran dan Terjemahnya)

[8] Protestan adalah lawan dari katolik yang terletak di Roma, mereka menolak anggapan Roma yang menyatakan trinitas pada tuhan, namun karena mereka tidak memiliki dasar yang kuat, mereka tidak mengatakan bahwa Allah itu esa. Sedangkan kata Ortodoks berasal dari kata Yunani, yang artinya “having the right opinion” atau “mempunyai pendapat yang benar”. (orthos: straight, correct).

[9] Zumardi Azra, Islam dan Negara: Eksperimen Dalam Masa Modern.

[10] Muhammad Qutb, Madzahib Fikriyah Mu’ashiroh, hal: 15

[11] Ahmadzain.com/nasionalisme.

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

One comment

  1. Beberapa Link Artikel tentang Islam dan Nasionalisme bisa dibaca di link berikut.
    1.
    http://js.ugm.ac.id/2017/03/29/islam-dan-nasionalisme/
    2.
    https://www.academia.edu/12601439/Negara_Islam_dan_Nasionalisme
    3.
    http://www.ppi-kyoto.org/home/islam-dan-nasionalisme-dalam-sejarah-indonesia-dan-tantangannya-di-masa-depan/
    4.
    https://www.google.co.id/amp/m.republika.co.id/amp_version/opug9f319
    5.
    https://www.google.co.id/amp/m.republika.co.id/amp_version/o3rx1b319
    6.
    https://www.google.co.id/amp/s/www.inspirasi.co/amp/joyo101/4978_islam-dan-nasionalisme

    Terima kasih.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *