Biografi dan Pemikiran Ekonomi Abu Abdullah Muhammad Asy-Syaibani

Biografi Asy-Syaibani

Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin al-Hasan bin FarqadJazariyaasy-Syaibani. Lahir di Wasith 132 H/748 M dan wafat 189 H/804 M), hidup di masa akhir dinasti Umawiyyah dan permulaan Abbasiyah.

Ayahnya seorang tentara Syam pada masa dinasti Umawiyah dan tinggal di Damaskus kemudian pindah dan menetap ke Kufah. Ketika itu Kufah adalah sebagai markaz ilmu fikih, lughah dan nahwu, sama seperti halnya di Basrahmarkaznya ilmu adab, lughah dan nawhu. Ahli fikih dan tokoh ketiga Mazhab Hanafi yang berperan besar mengembangkan dan menulis pandangan Imam Abu Hanifah.

Pendidikannya berawal di rumah di bawah bimbingan langsung dari ayahnya, seorang ahli fikih di zamannya.

Pada usia belia asy-Syaibani telah menghafal Alquran. Pada usia 19 tahun ia belajar kepada Imam Abu Hanifah.

Kemudian ia belajar kepada Imam Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah.

Dari kedua imam inilah asy-Syaibani memahami fikih Mazhab Hanafi dan tumbuh menjadi pendukung utama mazhab tersebut.

Asy-syaibani sendiri di kemudian hari banyak menulis pelajaran yang pernah diberikan Imam Abu Hanifah kepadanya.

Ia belajar hadis dan ilmu hadis kepada Sufyanas-Sauri dan Abdurrahman al-Auza’i. di sampig itu, ketika berusia 30 tahun ia mengunjungi Madinah dan berguru kepada Imam Malik yang mempunyai latar belakang sebagai ulama ahlulhadis dan ahlurra’yi.

Berguru kepada ulama-ulama di atas memberikan nuansa baru dalam pemikiran fikihnya. Asy-Syaibani menjadi tahu lebih banyak tentang hadis yang selama ini luput dari pengamatan Imam Abu Hanifah.

Dari keluasan pendidikannya ini, asy-Sayibani dapat membuat kombinasi antara aliran ahlurra’yi di Irak dan ahulhadis di Madinah.

Ia tidak sepenuhnya sependapat dengan Imam Abu Hanifah yang lebih mengutamakan metodologi nalar (ra’yu). Ia juga mempertimbangkan serta mengutip hadis-hadis yang tidak dipakai Imam Abu Hanifah dalam memperkuat pendapatnya.

Di Baghdad asy-Syaibani, yang berprofesi sebagai guru, banyak berjasa dalam mengembangkan fikih Mazhab Hanafi, Imam asy-Syafi’I sendiri sering ikut dalam majelis pengajian asy-Syaibani.

Hal ini ditopang pula oleh kebijaksanaan pemerintah Dinasti Abbasiyah yang menjadikan Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi negara.

Tidak mengherankan kalau Imam Abu Yusuf, yang diangkat oleh Khalifah Harun ar-Rasyid (149 H/766 M-193 H/809 M) untuk menjadi hakim agung (qadial-qudah), mengangkat asy-Syaibani sebagai hakim di ar-Riqqah (Irak).

Karya-karyanya

Asy-Syaibani cukup produktif dalam menulis buku. Kitab-kitab yang ditulisnya dapat diklasifikasi dalam dua golongan berikut.

1. Zahirar-Riwayah

Kitab-kitab yang ditulis berdasarkan pelajaran yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah.

Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan karya tulis yang mengungkapkan pokok-pokok pikirannya dalam ilmu fikih. Asy-Syaibani-lah yang menukilkan dan merekam pandangan Imam Abu Hanifah dalam Zahirar-Riwayah ini.

Kitab Zahirar-Riwayah terdiri atas enam judul yaitu:

  1. al-Mabsut
  2. al-Jami’ al-Kabir
  3. al-Jami’ as-Sagir
  4. as-Siyar al-Kabir
  5. as-Siyar as-Sagir, dan
  6. az-Ziyadat.

Keenam kitab ini berisikan pendapat Imam Abu Hanifah tentang berbagai masalah keislaman, seperti fikih, usul fikih, ilmu kalam, dan sejarah.

Keenam kitab ini kemudian dihimpun oleh Abi al-Fadl Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w.334 H/945 M) salah seorang ulama fikih Mazhab Hanafi, dalam salah satu kitab yang berjudul al-Kafi.

2. An-Nawadir

Kitab-kitab yang ditulis oleh asy-Syaibani berdasarkan pandangannya sendiri.

Kitab-kitab yang termasuk dalam an-Nawadir adalah:

  1. Amali Muhammad fi al-Fiqh (pandangan asy-Syaibani tentang berbagai masalah fikih),
  2. ar-Ruqayyat (himpunan keputusan terhadap masalah hilah dan jalan keluarnya) ditulis ketika menjadi hakim di Riqqah (Irak).
  3. Ar-Radd ‘ala ahlal-Madinah (penolakan pandangan orang-orang Madinah),
  4. az-Ziyadah (pendapat asy-Syaibani yang tidak terangkum dalam keempat buku tersebut di atas), kitab yang dikarangnya setelah al-Jami’ al-Kabir serta al-Asar.

Kitab yang terakhir ini melahirkan polemik tentang hak-hak non muslim di negara Islam dan ditanggapi oleh Imam asy-Syafi’i dalam kitabny al-Umm.

Imam asy-Syafi’I menulis bantahan dan kritik secara khusus terhadap asy-Syaibani dengan judul ar-Radd ‘ala Muhammad bin Hasan (bantahan terhadap pendapat Muhammad bin al-Hasanasy-Syaibani).

Baca juga:   Tanggapan Terhadap M. Quraish Shihab Tentang Masalah Riba

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemikirannya

Asy-Syaibani hidup ketika perkembangan fikih Islam mencapai puncaknya.

Pada masanya terbentuk dua pola pemikiran fikih yang berbeda.

  • Yang pertama adalah pola pikir ahlur ra’yi yang diwakili oleh Imam Abu Hanifah di Irak
  • dan yang kedua adalah pola pikir ahlul hadits yang diwakili oleh Imam Malik di Madinah.

Di kalangan pengikut mereka tidak jarang terjadi sikap saling menyalahkan.

Pengikut ahlurra’yi berpandangan bahwa hukum Islam mengalami kemandekan di tangan ahlulhadis, karena keterbatasan mereka dalam menggunakan ar-ra’yu (rakyu, penalaran rasional).

Sebaliknya, pengikut aliran ahlulhadis menuduh pengikut ahlurra’yi terlalu bebas memakai ijtihad melalui pendekatan nalar, sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya secara efektif sunnah Nabi Saw.

Dalam kondisi demikianlah asy-Syaibani mencoba menjembatani pertentangan kedua kelompok tersebut.

Sebagai pendukung Mazhab Hanafi, asy-Syaibani tidak dapat melepaskan diri dari pemaksaan istihsan yang dikembangkan oleh Imam Abu Hanifah. Sebagai contoh, jika penduduk suatu kota atau benteng meminta perlindungan kepada kaum muslimin, maka menurut kias, perlindungan tersebut hanya berlaku untuk kota atau bentengnya dan tidak mencakup seluruh sarana dan fasilitas yang ada di dalamnya.

Akan tetapi, asy-Syaibani menolak pendapat berdasarkan kias. Dalam hal ini ia beralih menggunakan istihsan. Menurutnya, berdasarkan istihsan, perlindungan tersebut mencakup kota atau benteng beserta seluruh sarana dan prasarana yang ada di dalamnya. Karena, dalam penggunaan istilah yang umum, kata-kata qal’ah (benteng) atau bangunan, tetapi juga meliputi segala isi dan penghuninya.

Asy-Syaibani sering menyatakan pemakaian istihsan secara eksplisit dalam beberapa tulisannya. Terhadap hal-hal tertentu, ia sering menyatakan bahwa dirinya dan ulama Irak lainnya meninggalkan kias dan beralih kepada istihsan.

Walaupun demikian, dalam beberapa hal ia menolak pendapat gurunya, Imam Abu Hanifah dan mengikuti pandangan ahlul hadis. Misalnya dalam persoalan apakah seorang imam dapat memimpin shalat dengan posisi duduk sedangkan makmum yang dipimpinnya shalat dengan posisi berdiri ia sependapat dengan Imam Malik dan ahlul hadis.

Ia berpendapat bahwa imam harus memimpin shalat dengan posisi berdiri, padahal Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa imam boleh duduk dalam memimpin makmum yang shalat dengan posisi berdiri.

Asy-Syaibani mengikuti tradisi Nabi SAW dan al-Khulafa’ ar-Rasyidun (Empat Khalifah Besar) yang memimpin shalat dalam posisi berdiri.

Menurutnya, tidak ada satu petunjuk pun yang menyampaikan bahwa Nabi Saw dan al-Khulafaar-Rasyidun pernah memimpin shalat dengan posisi duduk. Karena itu, praktek yang lebih autentik inilah yang diikuti oleh asy-Syaibani.

Ia juga tidak segan mengkritik Imam Malik dan ahlul hadis karena mereka mengabaikan tradisi (sunnah) Rasulullah SAW yang mereka riwayatkan sendiri.

Menurut sebuah riwayat dari Imam Malik, melintas di hadapan orang yang sedang shalat tidak terlarang, sementara Nabi SAW jelas melarangnya (HR. Ahmad bin Hanbali dan Abu Dawud). Asy-Syaibani mengkritik hal itu, karena menurutnya Imam Malik dan orang Madinah umumnya menyampaikan dan meriwayatkan tradisi Rasulullah SAW, sedangkan mereka sendiri tidak mengikutinya.

Konsistensi asy-Syaibani dalam mengikuti tradisi Rasulullah SAW juga terlihat dalam perbedaan pendapatnya dengan Imam Abu Hanifah tentang masalah ganimah (harta rampasan perang).

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bagian untuk tentara berkuda sama banyak antara tentara dan kudanya. Masing-masing mendapat satu bagian. Ia tidak mengakui autentisitas hadis Nabi SAW yang mengatakan bahwa tentara berkuda mendapat tiga bagian: dua bagian untuk kudanya dan satu bagian untuk tentara untuk tentara itu sendiri (HR. Abu Dawud).

Asy-Syaibani menolak pendapat Imam Abu Hanifah dan mendukung pendapat tiga bagian untuk tentara berkuda, sebagaimana ditegaskan hadis di atas. Pembagian ini, menurut asy-Syaibani meliputi satu bagian untuk biaya perawatan kuda, satu bagian untuk kepentingan kuda dalam pertempuran, dan satu bagian lagi untuk kepentingan tentara itu sendiri.

Pandangan asy-Syaibani ini memperlihatkan bahwa ia mempunyai pemikiran yang independen. Menurut Fazlur Rahman, pemikir neo modernisme Islam asal Pakistan, kitab as-Siyaral-Kabir yang ditulis as-Syaibani dalam masa akhir hidupnya merupakan ijtihadnya sendiri yang timbul dari kritiknya terhadap pendapat yang berkembang sebelumnya.

Baca juga:   Ibnu Khaldun: Bapak Ekonomi Islam Multitalenta

Pemikiran Ekonomi AsySyaibani

A. Al-Kasb (Kerja)

Dalam kitab Al-Kasb (Kerja) ini, asy-Syaibani mendefinisikan al-Kasb (kerja) sebagai mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas demikian termasuk dalam aktivitas produksi.

Definisi ini mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan aktivitas produksi dalam ekonomi Islam adalah berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional.

Dalam ekonomi Islam, tidak semua aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa disebut sebagai aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat terkait erat dengan halal-haramnya suatu barang atau jasa dan cara memperolehnya.

Dengan kata lain, aktivitas menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang dapat disebut sebagai aktivitas produksi.

Produksi suatu barang atau jasa, seperti yang dinyatakan dalam ilmu ekonomi, dilakukan karena barang atau jasa itu mempunyai utilitas (nilai-guna). Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai utilitas jika mengandung kemaslahatan.

Seperti yang diungkapkan oleh Al-Syatibi, kemaslahatan hanya dapat dicapai dengan memelihara lima unsur pokok kehidupan, yaitu agama, jiwa, akal dan harta. Dengan demikian seorang muslim termotivasi untuk memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki maslahah tersebut.

Hal ini berarti bahwa konsep maslahah merupakan konsep yang objektif terhadap perilaku produsen karena ditentukan oleh tujuan (maqasid) syari’ah, yakni memelihara kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.

Pandangan Islam tersebut tentu jauh berbeda dengan konsep ekonomi konvensional yang menganggap bahwa suatu barang atau jasa mempunyai nilai-guna selama masih ada orang yang menginginkannya.

Dengan kata lain, dalam ekonomi konvensional, nilai guna suatu barang atau jasa ditentukan oleh keinginan (wants) orang per orang dan ini bersifat subjektif.

Dalam pandangan Islam, aktivitas produksi merupakan bagian dari kewajiban ‘imaratul kaum, yakni menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk.

Berkenaan dengan hal tersebut , Al-Syaibani menegaskan bahwa kerja yang merupakan unsur utama produksi mempunyai kedudukan yang sanga penting kehidupan karena menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah SWT dan karenanya, hukum bekerja adalah wajib. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil berikut:

Firman Allah SWT.

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Al-Jumu’ah 62:10)

Hadits Rasulullah SAW.

“Mencari pendapatan adalah wajib bagi setiap muslim”.

Al-Syaibani menyatakan bahwa sesuatu yang dapat menunjang terlaksananya yang wajib, sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya.

Lebih jauh ia menguraikan untuk melaksanakan berbagai kewajiban, seseorang memerlukan kekuatan jasmani dan kekuatan jasmani itu sendiri dapat diperoleh dengan mengkonsumsi makanan yang di dapat dari hasil kerja keras.

Dengan demikian, kerja mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunaikan kewajiban, maka hukum bekerja adalah wajib.

Asy-Syaibani juga menyatakan bahwa bekerja merupakan ajaran para rasul terdahulu dan kaum muslimin diperintahkan untuk meneladani cara hidup mereka.

Dari uraian tersebut, tampak jelas bahwa orientasi bekerja dalam pandangan Al-Syaibani adalah hidup untuk meraih keridhaan Allah SWT.

Di sisi lain, kerja merupakan usaha untuk mengaktifkan roda perekonomian, termasuk proses produksi, konsumsi dan distribusi yang berimplikasi secara makro meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

B. Kekayaan dan Kefakiran

Menurut Asy-Syaibani walaupun telah banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi.

Ia menyatakan apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegaas pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka.

Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir diartikan sebagai kondisi yang cukup (kifayah) bukan kondisi meminta-minta (kafafah). Dengan demikian Asy-Syaibani menyerukan agar manusia hidup dalam kecukupan baik untuk diri sendiri bukan keluarganya.

Di sisi lain ia berpendapat bahwa sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam kemewahan. Sekalipun begitu ia tidak menentang gaya hidup yang lebih dari cukup selama kelebihan tersebut hanya dipergunakan untuk kebaikan.

Baca juga:   Sistem Kapitalisme di Ambang Kehancuran

C. Klasifikasi Usaha-usaha Perekonomian

Asy-Syaibani membagi usaha perekonomian menjadi empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian dan perindustrian. Dari keempat usaha perekonomian tersebut, Asy-Syabani lebih mengutamakan usaha pertanian.

Menurutnya pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksanakan berbagai kewajiban.

Pemikiran As-Syaibani ini berdampak besar pada ekonomi Dinasti Abbasiyah. As-Syaibani lebih mengutamakan usaha pertanian dari pada dengan yang lainnya, hal ini bertujuan agar menyejahterakan masyarakat bawahan, dimana kebutuhan primer dan sekunder didapatkan dari dari hasil bertani.

Para ekonom kontemporer membagi menjadi tiga, yaitu pertanian, perindustrian, dan jasa. Menurut para ulama tersebut usaha jasa meliputi usaha perdagangan.

Dari segi hukum, Asy-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua, yaitu fardu kifayah dan fardu ‘ain.

D. Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi

Al-Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara, yaitu makan, minum, pakaian dan tempat tinggal.

Para ekonom lain mengatakan bahwa keempat hal ini adalah tema ilmu ekonomi. Jika keempat hal tersebut tidak pernah diusahakan untuk dipenuhi, ia akan masuk neraka karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa keempat hal tersebut.

E. Distribusi Pekerjaan

Imam Asy-Syaibani menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang lain. Asy-Syaibani menandaskan bahwa seorang yang fakir membutuhkan orang kaya dan orang kaya membutuhkan tenaga orang miskin.

Dari hasil tolong menolong itu, manusia jadi lebih mudah dalam menjalankan aktivitas kepada-Nya. Dalam konteks demikian, Allah berfirman (Al-Maidah/5:2) :

“… dan saling menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan ketakwaan”

Lebih jauh Asy-Syaibani menyatakan bahwa apabila seseorang bekerja dengan niat melaksanakan ketaatan kepada-Nya atau membantu saudaranya untuk melaksanakan ibadah kepada-Nya, pekerjaan tersebut niscaya akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya. Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti yang di atas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek secara bersamaan, yaitu aspek religius dan aspek ekonomis.

Dari penjelasan di atas, orientasi bekerja dalam pandangan As-Syaibani adalah hidup untuk meraih keridhaan Allah SWT dunia maupun akhirat.

Sebagaimana Allah Swt berfirman yang artinya:

“Sesungguhnya kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan kami adakan bagimu dimuka bumi itu sumber penghidupan”.

Penutup

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat ditarik kesimpulan:

  1. Menurut AsySyaibani, permasalahan ekonomi wajib diketahui oleh umat islam karena dapat menunjang ibadah wajib.
  2. Pemikiran beliau tentang ekonomi terbagi menjadi lima bagian, yaitu: Al-Kasb ( Kerja ), Kekayaan dan Kefakiran, Klasifikasi Usaha-usaha Perekonomian, Kebutuhan-Kebutuhan Ekonomi, Spesialisasi dan Distribusi Pekerjaan.
  3. Sektor usaha yang harus lebih diutamakan menurut Asy-syaibani adalah sektor pertanian, karena pertanian merupakan sektor usaha yang memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksanakan berbagai kewajibannya.

B. Saran

  1. Dari pengkajian yang telah dilakukan diharapkan kita mau lebih memahami tentang salah satu sistem aturan yang ada dalam agama kita yaitu sistem ekonomi Islam.
  2. Para pembaca dan juga penulis mau melibatkan diri dalam pengkajian ekonomi Islam dan juga memiliki kepercayaan diri untuk menyerukan ekonomi Islam di tengah-tengah masayarakat.
  3. Pemerintah dan seluruh aktivis pendidikan diharapkan memfasilitasi siapapun untuk mengkaji ekonomi Islam lebih dalam.

Daftar Pustaka

  1. Adiwarman Azhar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
  2. Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer, Jakarta: Granada Press, 2007.
  3. Dahlan, Abdul Aziz. et. al, Ensiklopedia Hukum Islam., Jilid 1. Jakarta: Ikhtiar vanHoeve, 1995.

Baca Juga:

 

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *