Pengertian Tadabbur menurut Dr. Musaid ath-Thayyar

Musâ’id al-Thayyâr menerangkan bahwa tadabbur berasal dari kata dasar dabbara, yang menunjukkan kepada arti “akhir, ujung sesuatu atau bagian belakang”. Lalu menggunakan bentuk tafa’ul untuk menunjukkan makna dibebankan suatu perbuatan, dan memperoleh hasil setelah adanya kesungguhan. Sehingga tadabbur dalam bentuk ini bermakna sebuah upaya memperhatikan sesuatu yang ditadabburi satu demi satu, atau berkali-kali.

Secara terminologi, tadabbur adalah memperhatikan (nadzar) akhir sesuatu dan memikirkan (tafakkur) akibatnya. Dan tadabbur juga digunakan dalam arti ta`ammul, maksudnya memperhatikan hakikat sesuatu dan bagian-bagiannya, awal atau penyebabnya serta dampak dan akibatnya.

Perintah tadabbur terdapat pada empat tempat dalam al-Quran, perintah tadabbur itu, terdapat dalam dua ayat yang konteksnya tentang orang-orang munafik, dan dua ayat tentang orang-orang kafir.

Sekalipun demikian, orang-orang beriman termasuk dalam konteks tersebut, khususnya dalam QS. Shâd [38]: 29, liyadabbarȗ âyâtih, yang diperkuat (syâhid) dengan adanya qirâah “litadabbarȗ âyâtih” dengan dlamir tâ, yang bermakna supaya engkau, Muhammad dan pengikutmu men-tadabburinya. Ini adalah qirâah Abȗ Ja’far al-Madanî yang termasuk qirâah al-’asyrah, yang dinisbatkan kepada ‘Âshim.

Musâ’id al-Thayyâr menegaskan kembali konteks perintah tadabbur ini, menurutnya sekalipun ayal-ayat tentang tadabbur terdapat dalam konteks orang-orang munafik dan kafir, tetapi konteks atau khithâb untuk orang-orang beriman adalah yang paling relevan, karena mereka adalah kelompok prioritas dalam menerima manfaat dengan melakukan tadabbur al-Qur`an.

Secara konseptual, tadabbur ini dilakukan setelah adanya pemahaman, karena tidak mungkin untuk mentadabburi suatu perkataan yang tidak dimengerti. Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum tidak ada dalam al-Quran yang tidak dapat dipahami maknanya, karena diperintahkan untuk mentadabburinya.

Tadabbur juga berhubungan erat dengan tafsir, karena untuk melakukannya berhubungan dengan makna yang sudah diketahui, artinya tadabbur itu dilakukan setelah tafsir.

Baca juga:   Kritik Musaid ath-Thayyar terhadap Istilah Tafsir Bil Ma’tsur

Terdapat beberapa terminologi yang memiliki makna yang berdekatan dengan tadabbur, seperti tafakkur, tadzakkur, nadzar, taammul, itibâr dan istibshâr. Masing-masing terminologi memiliki karakteristik atau batasannya sendiri-sendiri yang berbeda antara satu dan lain, sekalipun memiliki kedekatan makna.

Selain itu terjadi juga salah kaprah antara tadabbur dan taatstsur. Menurut Musâ’id al-Thayyâr banyak orang yang keliru dalam memahami perasaan gemetar atau merinding yang dialami oleh mereka ketika merasa khusyȗ’ ketika membaca atau mendengar lantunan al-Quran yang itu dianggap sebagai tadabbur

Itu adalah taatstsur, yaitu efek yang terjadi pada hati dan tubuh yang disebabkan oleh perasaan berkesan terhadap al-Quran dan susunannya, atau kondisi psikologis ketika ia membaca atau mendengar al-Quran, atau memang bisa terjadi ketika ia melakukan tadabbur terhadap al-Quran. Karena tadabbur adalah aktivitas akal yang terjadi dalam pikiran, yang memang bisa berpengaruh terhadap diri manusia, dan pengaruh inilah yang disebut dengan ta`atstsur.

Musâ’id al-Thayyâr menguraikan relasi antara tadabbur dengan tafsir, istinbâth, dan tawîl, untuk menunjukkan sisi perbedaan, kesamaan maupun irisan yang mungkin terjadi dengan yang lainnya.

Relasi pertama yang harus ditegaskan antara tadabbur dengan terminologi lain yang berhubungan dengan aktivitas pembacaan terhadap al-Quran adalah dengan tafsir, sebagai aktivitas yang paling sering digunakan untuk menunjukkan upaya menjelaskan makna al-Quran, jika itu tidak dapat dipahami secara langsung. Maka dalam konteks ini menurut Musâ’id Thayyâr tadabbur adalah pembacaan terhadap al-Quran setelah diketahui penafsirannya, karena tadabbur itu dilakukan kepada sesuatu yang sudah dipahamai.

Tetapi di lain sisi, tadabbur juga bisa digunakan berdampingan dengan tafsir, untuk mengetahui tafsir yang ṣaḥîḥ terhadap ayat yang mutâsyabih nisbî dan muḥtamal atau memiliki ragam penafsiran.

Baca juga:   Revolusi Digital dalam Pembelajaran Tafsir: Kenali read.tafsir.one

Relasi kedua antara tadabbur dan istinbâth adalah hubungan yang berkaitan erat, karena
keduanya dilakukan setelah urusan tentang makna atau penafsiran selesai.

Dalam konteks antara tadabbur dan istinbâth, tadabbur adalah pembacaan yang produknya adalah istinbâth maupun faidah-faidah suatu ayat, karena tadabbur sama saja dengan mengeluarkan dari suatu ayat, berupa hikmah-hikmahnya, hukum-hukumnya, dan lainnya.

Kemudian relasi ketiga antara tadabbur dan tawil, dalam hal ini perlu ditegaskan tawil
disini adalah maknanya yang kedua, yaitu mengembalikan perkataan kepada hakikatnya, karena untuk makna yang pertama, tawil semakna dengan tafsir, sama saja dengan relasi yang pertama antara tadabbur dengan tafsir.

Maka dalam relasi ketiga ini, sebagian besar tawil dengan makna yang kedua itu berhubungan dengan hakikat yang hanya diketahui oleh Allah dengan ilmu-Nya, atau disebut juga dengan mutasyâbih kullî, maka dalam konteks ini tadabbur tidak mungkin untuk dilakukan. Seperti dalam urusan yang ghaib, baik tentang waktu atau bagaimana peristiwa yang ghaib itu terjadi, maka tadabbur tidak bisa masuk pada ranah ini.

Sumber: Musaid bin Sulaiman ath-Thayyar, Mafhum al-Tafsir wa al-Ta’wil wa al-Istinbath, wa al-Tadabbur wa al-Mufassir, Dar Ibnu al-Jauzi, 1427 H. Link Ebook: Shamela Online, Archive.

Baca juga:

Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *