RUUPA adalah pertama kalinya pemerintah mengajukan RUU yang muatannya khusus mengatur kepentingan hukum bagi sebagian warga negara, yaitu umat Islam Indonesia. Sekalipun berdasarkan perundang-undangan yang yang berlaku, secara gamblang eksistensi Peradilan Agama mendapat jaminan, dan bahkan selama seabad lebih telah berfungsi tanpa pernah digugat oleh pihak mana pun juga.
Kehadiran RUUPA tak urung mendapat reaksi keras, ia dinilai tidak senafas dengan Pancasila, UUD 45 dan Wawasan Nusantara. Lebih dari itu, pengajuannya disinyalir sebagai upaya terselubung menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Penilaian dan sinyalemen inilah yang kemudian mengundang dialog yang panas di antara kalangan yang menerima dan menolak RUUPA.
Sebelum ada RUUPA, pengadilan agama hanya mengurusi masalah Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk saja. Setelah dibuatkan UU baru ini, mengatur bukan hanya sebatas perkawinan dan perceraian, tapi juga segala akibatnya, selain itu juga menurunkan pasal pasal yang mengatur tentang wasiat, waris, hibah, wakaf dan shadaqah.
Perdebatan tentang RUUPA ini muncul pada tahun 1989-an, namun layak kita maknai pada hari ini, bagaimana perbedaan pendapat waktu itu disampaikan dalam suasana dialogis, sehingga perbedaan perndapat dan pertentangan yang naik ke permukaan tidak sedikit pun mempengaruhi persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu RUUPA juga menjadi tambahan literatur bagi siapa saja yang memninati studi hukum Islam.
Otoritas Negara dalam Pelaksanaan Hukum Islam bagi Pemeluknya, Konsekuensi Obyektif Negara Pancasila
Magnis Susesono SJ menulis artikel di Kompas yang mengkhawatirkan bahwa RUUPA yang akan dibuat secara formal didasarkan pada pandangan salah satu agama saja, sehingga yang menjadi penafsir dan pembatas keberlakuannya adalah salah satu agama dan bukan lagi negara. Dia juga menulis bahwa Peradilan Agama akan menggerogoti kedaulatan negara, “…Negara menjadi taat kepada hukum bukan bikinan sendiri. Itu pun merupakan suatu pengurangan kedaulatan negara. Dengan pengadaan peradilan agama sebagai peradilan negara bisa menggerogoti kedaulatan dan dengan demikian ketahanannya sendiri”.[1]
Heru Santoso membantahnya dengan menulis bahwa Peradilan Agama tidak akan menggerogoti negara karena eksistensi peradilan agama sudah dirasa perlu oleh pemegang kedaulatan tertinggi yaitu MPR yang merupakan penjelmaan rakyat Indonesia[2].Yusril Ihza M menulis bahwa Peradilan Agama awalnya memang milik kesultanan Islam sejak zaman pra-kolonial kemudian setelah merdeka dikukuhkan oleh RI, maka Peradilan Agama bukan berarti penyerahan kewenangan negara kepada bukan negara, malah ‘pengambilalihan’ oleh negara, sehingga kedaulatan, kewenangan dan wibawa negara bukannya merosot, tetapi semakin kukuh dan tegak.[3]
Prof, H. Mohammad Daud Ali, SH menjelaskan bahwa sejak tahun 1882 sudah didirikan Peradilan Agama di Jawa dan Madura, sejak tahun 1337 didirikan Mahkamah Qadhi di Kalimantan. Tahun 1980 nama pengadilan pengadilan agama disatukan dengan nama Peradilan Agama untuk seluruh Indonesia. Berdasarkan UU No 14 tahun 1970 kedudukan Peradilan Agama disamakan dengan peradilan militer dan peradilan tata usaha, tapi dalam kenyataannya masih memiliki kekurangan, dan RUUPA hendak melengkapi kekurangan-kekurangan tersebut[4]. Prof. Rasjidi menulis berdasarkan UU No 14 Tahun 1970 bahwa PA masuk dalam peradilan khusus yang berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung dengan demikian PA adalah bagian dari peradilan negara dalam sistem peradilan nasional.[5]
RUUPA dan Orbit Konstitusional Ideologis Negara Republik Indonesia
Widojo menulis di Majalah Hidup bahwa RUU bertentangan dengan Pancasila, RUUPA diskriminasi terhadap warga negara, menurutnya kalau orang Islam membagi waris atau nikah dengan hukum Islam, dan kalau mereka bersengketa PA memutuskannya dengan hukum Islam, maka Indonesia berubah menjadi Negara Islam.[6]
Tulisan S. Widojo di atas mendapat tanggapan dari Yusril Ihza M yang menganggap logika berpikirnya kurang lurus, dan Yusril memberikan bukti bahwa agama diurus Pemerintah melalui Kementrian PPK yang disetujui semua anggota PPKI yang hadir. Termasuk di dalamnya dua orang kristen yaitu Latuharhary dan Ratulangie, orang Hindu Dharma seperti I Goeti Ktut Poedja dan beragama Budha seperti Yap Tjwan Bing. Termasuk pula yang setuju adalah Sayoeti Melik sendiri yang sejak muda mengaku seorang Marxis-Leninis.[7]
Tanggapan dari M. Natsir menyebutkan bahwa RUUPA tersebut hanya memberikan sarana hukum untuk melaksanakan sebagian kecil saja dari syariat agama Islam dan sama sekali tidak menganggu siapapun yang beragama lain.[8]
Agar tidak ada dualisme hukum dalam negara Indonesia, menurut P.J Suwarno Peradilan Agama hendaknya berisi muatan pokok yang mengatur hubungan antar umat beragama yang diakui di Indonesia. Maka kompetensi pokok peradilan agama mengadili perkara atau sengketa antar umat beragama diselesaikan masing-masing. Adapun keputusan Peradilan Agama intern umat beragama memerlukan executoir verklaring dan Peradilan Umum untuk mendapatkan dasar hukum berlakunya di Indonesia. Executoir verklaring dibuat untuk mencegah timbulnya dualisme hukum dalam satu negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 45.[9]
Peradilan Agama dalam Kerangka Sistem dan Tata Hukum Nasional
Eksistensi dan kedudukan hukum Peradilan Agama di zaman Indonesia merdeka, selain diakui dan dicantumkan dalam PP No.45 tahun 1957 (pelaksanaan dari UU No.1 Tahun 1951), diakui dan dicantumkan pula dalam UU No.14 tahun 1970 LN 1970-74 (ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman), dalam PP No. 1 tahun 1974, LN 1974-1 (perkawinan), dalam PP No. 28 tahun 1977, LN 1977-38 (Perwakafan Tanah Milik) yang merupakan pelaksanaan dari UU No. 5 tahun 1960, LN 1960-104 (peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria), dalam UU NO. 14 tahun 1985, LN 1985-73 (Mahkamah Agung). Semua PP tersebut termasuk dari zaman penjajahan, mengartikan Peradilan Agama adalah Peradilan Islam, tidak pernah ada tafsiran lain, atau beranggapan bahwa UU tentang Peradilan Agama itu tidak perlu.[10]
Mulya Lubis menulis catatan tentang RUPPA bahwa dalam konteks cita-cita hukum nasional RUUPA mengarah tumbuhnya satu kekuasaan kehakiman yang bebas, merdeka, adil dan mandiri. Peradilan Agama seharusnya merupakan bagian integral dari kekuasaan kehakiman tersebut. Dan menulis catatan penutup bahwa persoalan pokok saat ini adalah mewujudkan suatu peradilan yang kuat dan berwibawa, suatu tempat untuk memperoleh keadilan.[11]
Ismail Suny menulis bahwa RUUPA tidak menimbulkan dualisme dalam kekuasaan kehakiman, karena UUD 45 pasal 24 memungkinkan adanya Mahkamah Agung dan lain lain Badan Kehakiman asal diatur dengan Undang Undang. UU No. 14/1974 telah mengatur adanya peradilan umum mengebaik perkara perdata, maupun perkara pidana. Dan peradilan agama adalah peradilan khusus yang mengadili perkara-perkara tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu.
Di negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45, setiap produk hukum harus bersumber dan dijiwai oleh Pancasila sebagai sumber hukum. Oleh karena RUUPA merupakan pengamalan Pancasila dan UUD 45 maka sudah tepat untuk disetujui sebagai UU yang berlaku.
Kemudian menurut beliau RUUPA telah sesuai dengan UUD 45, UU No. 14/1974, UU No.1/1974 dan UU No. 14/1985. Tidak benar RUUPA ini menimbulkan dualisme, yakni peradilan negara yang menegakkan hukum negara dan peradilan agama yang menegakkan hukum Agama Islam. Sebagaimana adanya peradilan militer tidak berarti, telah terbentuknya negara militer.[12]
Aspek-Aspek Fundamental dalam Upaya Pembangunan dan Pembaruan Hukum Nasional
Ada 3 dimensi pembangunan hukum nasional. Pertama, dimensi pemeliharaan, yaitu suatu dimensi untuk memelihara tatanan hukum yang ada, walaupun sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan. Contohnya, sebagian besar hukum yang berlaku di masa Hindia Belanda masih tetap berlaku dewasa ini. Kedua, dimensi pembaharuan, yaitu suatu dimensi yang merupakan usaha untuk lebih meningkatkan dan menyempurnakan pembangunan hukum nasional. Ketiga, dimensi penciptaan yang berarti dimensi dinamika dan kreativitas.[13]
Dalam menyusun hukum nasional dapat dipergunakan bahan-bahan hukum adat, hukum Islam, hukum Barat yang telah ada di Indonesia, bahkan terbuka pula kemungkinan untuk menggunakan sumber-sumber hukum dari negara-negara lain yang semula tidak dikenal di negara kita, dan hukum internasional, apabila bahan tersebut sesuai dan serasi dengan kebutuhan hukum seluruh rakyat pada masa mendatang dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.[14]
Wawasan Nasional dalam membangun hukum di Indonesia ada 3 yaitu: Wawasan Kebangsaan, Nusantara Nusantara, dan Wawasan Bhineka Tunggal Ika. Wawasan Kebangsaan hukum Nasional hendaknya berorientasi penuh pada aspirasi dan kepentingan bangsa serta mencerminkan cita-cita hukum, tujuan dan fungsi hukum, ciri dan tujuan kehidupan berbangsa serta bernegara Indonesia. Wawasan Nusantara hukum Nasional berarti adanya satu kesatuan hukum nasional, maka unifikasi di bidang hukum harus sejauh mungkin dilaksanakan. Untuk itu perlu diciptakan iklim kehidupan di segala bidang yang dapat mendorong tumbuhnya kesadaran hidup di bawah satu hukum bagi semua golongan masyarakat.
Disamping Wawasan Kebangsaan, Wawasan Nusantara, perlu juga Wawasan Bhineka Tunggal Ika sehingga unifikasi hukum yang diusahakan itu sekaligus juga menjamin tertuangnya aspirasi, nilai-nilai dan kebutuhan hukum kelompok masyarakat ke dalam sistem hukum nasional, yang dengan sendirinya harus sesuai atau tidak bertentangan dengan aspirasi dan kehidupan berbangsa dan bernegara.[15]
Sumber:
Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila: Dialog tentang RUUPA oleh Drs. H. Zuffran Sabrie dan Pengantar: Prof. Dr. H. A. Ghani Abdullah, SH.
*Tugas Islamic Law di Sps UIN Jakarta
Artikel dalam format Pdf
[1] Franz Magnis Suseno SJ, Seputar Rencana UU Peradilan Agama, Kompas, 16 Juni 1989
[2] Heru Santoso, Seputar RUU Peradilan Agama yang Berputar-Putar, Kompas, 21 Juni 1989
[3] Yusril Ihza Mahendra, Kedaulatan Negara dan Peradilan Agam, Pelita, 27 Juni 1989
[4] Prof, H. Mohammad Daud Ali, SH. Hukum Islam dan Peradilan Agama: Keberlakuan dan Keberadaannya di Indonesia, Panji Masyarakat, No. 604, 1-10- Maret 1989
[5] Prof. Rasjidi, Seputar Rencana UU Peradilan Agama, Panji Masyarakat, No.616, 19 Juni 1989
[6] S. Widjojo, Kesaktian Pancasila dalam Tantangan, Majalah Hidup, No. 15 Maret 1989
[7] Yusril Ihza Mahendra, Catatan Buat Majalah Hidup, Panji Masyarakat, No.616, 1-10 Juli 1989
[8] M. Natsir, Tanpa Toleransi Tak kan Ada Kerukunan, Serial Media Dakwah, Agustus 1989
[9] P.J. Suwarno, Peradilan Agama di Negara Pancasila, Suara Pembaruan, 6 April 1989
[10] Marulak Pardede, SH, Eksistensi dan Kedudukan Hukum Peradilan Agama dalam Tata Hukum Indonesia, Angkatan Bersenjata, 24 Agustus 1989
[11] T. Mulya Lubis, Cita-Cita Hukum Nasional dan RUUPA, Kompas, 23 dan 24 Juni 1989
[12] Prof. Dr. Islamil Suny, SH.MCL, Sekitar RUUPA, Suara Muhammadiyah No. 11/69/1989 dan 13/69/1989
[13] Ismail Saleh, Wawasan Pembangunan Hukum Nasional, Kompas, 1 dan 2 Juni 1989
[14] Ismail Saleh, Eksistensi Hukum Islam dan Sumbangannya Terhadap Hukum Nasional, Kompas, 1 dan 2 Juni 1989
[15] H. Mohammad Daud Ali, RUUPA, GBHN, Wawasan Nusantara dan Pembangunan Hukum Nasional, Pelita, 18 dan 19 Juli 1989
https://polldaddy.com/js/rating/rating.jsKalau untuk golongan islam itu juga masuk dalam undang-undang ini tidak? Misal masalah golongan syiah, golongan khawarij itu juga di bahas di dalamnya tidak?
RUUPA tidak membahas sampai pada aqidah, lebih spesifik ke fiqih dan mayoritas Islam dalam hal fiqih sama meskipun beda dalam beraqidah.
Sebelum ada RUUPA, pengadilan agama hanya mengurusi masalah Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk saja. Setelah dibuatkan UU baru ini, mengatur bukan hanya sebatas perkawinan dan perceraian, tapi juga segala akibatnya, selain itu juga menurunkan pasal pasal yang mengatur tentang wasiat, waris, hibah, wakaf dan shadaqah.