Perampokan Untuk Jihad : Antara Pandangan Al Qaeda dan Aksi Para Pengagumnya Di Indonesia

Aksi merampok untuk jihad, alias menjadikan harta hasil rampokan sebagai harta fa’i, belakangan ini ramai diperbincangkan. Tidak hanya aparat keamanan yang ikut sibuk membahas dan menerangkan istilah fa’i, berbagai kalangan dan aktivis harakah Islam juga urun rembuk membahasnya. Ada yang pro ada yang kontra. Berikut artikel yang membahas harta fa’i  perspektif Al Qaeda dan para pendukungnya.

Kita telah sama-sama mendengar adanya informasi dari media-media fasik nan kufur bahwa telah terjadi perampokan dengan motif mencari dana untuk membiayai aksi teror (jihad). Opini sengaja dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadikan citra buruk bagi para Mujahid. Pada kesempatan ini kita akan membahas bagaimana kedudukan merampok (mengambil fa’i) untuk membiayai jihad dengan asumsi jika benar pelaku perampokkan adalah Mujahidin yang ingin mengikuti jejak Tanzhim Qoidatul Jihad (Al Qaeda) dalam melancarkan aksi jihad.

Sebelum kita membahas asumsi bahwa pelakunya adalah Mujahidin, tidak ada salahnya kita menengok sejenak teori konspirasi dalam kasus ini, mengingat masih hangat perbincangan seputar rangkaian kasus Aceh yang sarat dengan konspirasi bersamaan munculnya sosok kontroversial Sofyan Tsauri. Untuk kasus perampokan ini ada beberapa analisa diantaranya,

1. Kasus tersebut adalah buatan aparat pemerintah dalam hal ini gabungan TNI/POLRI dengan institusi nasional antiteror yang dipimpin Ansyad Embay, kepentingan mereka membuat kasus ini adalah untuk membentuk opini sedemikian rupa di masyarakat akan bahayanya para “teroris” yang semakin hari semakin menjadi, padahal Densus 88 sudah bekerja keras menangkapi bahkan membunuhi mereka yang diduga “teroris” sampai yang tidak jelas identitasnya pun dibunuh (seperti dua orang korban penembakan cawang) sehingga mereka mempunyai alasan kuat dan berharap dukungan masyarakat yang telah dibuat ketakutan oleh mereka untuk kembali memberlakukan sejenis UU subversi seperti pada masa Orba, namun itu khusus berlaku bagi gerakan Islam yang berpotensi memusuhi negara sementara gerakan ideologi lain seperti komunis tidak perlu diberlakukan UU tersebut karena faktanya aktivis-aktivis berpaham komunis dibiarkan berkeliaran menyebarkan pahamnya di kampus maupun masyarakat dengan kedok LSM-LSM sosial. Hal ini terlihat melalui statement-statement Ansyad Embay sebagai komandan antiteror nasional yang provokatif mengarahkan untuk kembali memberlakukan UU sejenis subversi pada masa Orba dimulai dengan mengawasi masjid-masjid yang dianggap tempat perekrutan para “teroris”, disamping itu TVone sebagai “TV Polisi” juga tidak kalah membentuk opini serupa dengan mewawancara Sudomo mantan Pangkopkamtib pada masa Orba dalam rangka membeberkan “kesuksesannya” menjaga keamanan NKRI.

2. Kasus itu adalah buatan TNI karena merasa dianaktirikan dalam upaya penanggulangan teror di Indonesia, sementara POLRI bagaikan pahlawan terdepan dalam memerangi terorisme, tentu juga ditambah dengan dana jutaan dolar yang didapat POLRI dari AS dan sekutunya. Hal ini menyebabkan TNI perlu membentuk opini bahwa POLRI belum cukup untuk menanggulangi teror dengan membuat kasus tersebut sehingga kelak TNI akan dilibatkan. Benang merah bisa kita lihat dengan digelarnya latihan gabungan antiteror Kopassus dengan pasukan elit Australia di Bali baru-baru ini. Perlu juga diingat bahwa dua institusi ini (TNI/POLRI) memiliki track record seperti Tom & Jerry yang sampai hari ini belum ada kata damai permanen diantara keduanya.

3.Kasus ini buatan POLRI sendiri dalam rangka memelihara sosok mengerikan yang bernama teroris agar proyek POLRI ini terus mendapat kucuran dana dari AS dan sekutunya, salah satu yang menguatkan analisa ini adalah POLRI dalam waktu singkat langsung memiliki foto dengan gambar yang cukup fokus sangat tidak mungkin hanya diambil dari CCTV karena gambarnya cukup jernih dan dari beberapa sisi dengan asumsi jarak pengambilan foto lebih kurang 15-20 meter dari lokasi kejadian, siapa yang mengambil foto dengan sangat bagus itu ? Bisa jadi itu adalah adegan narsis-nya polisi yang berlagak sebagai perampok minta difoto oleh temannya sendiri.

Tiga analisa diatas cukup mewakili para penganut madzhab konspirasi disamping banyak analisa-analisa lain seputar kasus ini. Namun tidak adil selalu memandang kasus dari kacamata ini karena seakan menunjukkan bahwa kita mengakui bola pertarungan selalu berada di tangan musuh yang membuat mereka bebas memainkannya. Sekarang kita kembali kepada asumsi awal yaitu jika pelakunya adalah Mujahidin.

 

Akar Pemahaman Munculnya Aksi Perampokan (Mengambil Fa’i)

Dari beberapa kasus amaliyah jihadiyah di negri ini, mulai pengeboman, pelatihan militer sampai perampokan dalam rangka mengambil fa’i selalu memunculkan dikotomi awal yaitu yang memandang negara ini adalah daerah konflik (daerah dimana ada batasan jelas antara siapa kawan siapa lawan) dan daerah nonkonflik. Mereka yang gencar melakasanakan amaliyah jihadiyah mengatakan bahwa Indonesia adalah daerah konflik mengacu kepada ijtihad perang global yang dilancarkan Al Qaeda karenanya wajib melaksanakan amaliyah jihadiyah mengingat pula hukum jihad telah menjadi fardhu’ain hari ini.

Pihak yang berpendapat Indonesia bukan daerah konflik mengatakan bahwa Indonesia belum saatnya melaksanakan amaliyah jihadiyah dengan mengamati realitas situasi dan kondisi Indonesia tanpa menolak adanya fatwa Al Qaeda dan konsep umum bahwa jihad telah menjadi fardhu’ain dengan dijajahnya negri-negri kaum Muslimin oleh kaum kuffar berikut antek-anteknya dari penguasa lokal. Titik masalahnya adalah hanya persoalan waktu dan kondisi yang tepat serta terukur untuk medeklarasikan jihad melawan thaghut internasional maupun thaghut nasional dalam rangka Iqomatuddin.

Ketika terjadi perbedaan ini maka konsekuensi berikutnya dalam memandang suatu hukum terkait persoalan jihad pun akan berbeda termasuk mengambil fa’i. Bagi mereka yang memandang Indonesia termasuk daerah konflik maka jelas mengambil fa’i tidak diragukan kehalalannya, sementara bagi yang memandang Indonesia bukan daerah konflik maka mengambil fa’i perlu ditinjau ulang (walaupun pengambilan fa’i tidak disyaratkan harus dalam kondisi terjadinya perang) mengingat di Indonesia terdapat kemungkinan tercampurnya harta orang mukmin dan orang kafir di lembaga-lembaga usaha seperti Bank dan lain-lain, kemudian fakta di Indonesia masih terus berjalan proses tarbiyah kepada umat dalam mengenalkan Islam yang kaffah setelah umat dibuat apriori selama 32 tahun tentang wacana syari’at Islam, tentunya pada tahapan ini kita perlu mempertimbangkan mudharat yang dapat menggangu proses tarbiyah ini dengan munculnya aksi pengambilan fa’i dimana umat Islam masih banyak yang belum memahami persoalan fa’i kemudian akhirnya musuh Islam pun dapat celah untuk melakukan pembunuhan karakter terhadap gerakan Islam, konsekuensinya proses tarbiyah semakin berat dengan bertambahnya syubhat besar di tengah umat.

 

Halalnya Mengambil Fa’i Dalam Islam

Fa’i secara bahasa mengandung makna mengembalikan atau mengumpulkan. Secara syar’i bermakna segala apa yang dirampas dari orang kafir tanpa melalui perang seperti harta yang ditinggal lari oleh orang kafir karena ketakutan, termasuk harta ahli dzimmah yang tidak memiiliki ahli waris. (Al Jihadu Sabiluna, Abdul Baqi’ Ramdhun)

Dalam konteks ini maka harta orang kafir diluar kafir dizimmi (kafir yang tunduk kepada pemerintah Islam dan membayar jizyah), kafir musta’man (kafir yang dapat jaminan keamanan), kafir mu’ahad (kafir yang terikat perjanjian dengan kaum Muslimin) menjadi halal untuk diambil sebagai fa’i dengan tetap memperhatikan batasan-batasan syar’i (disini tidak cukup untuk membahasnya lebih detail)

Baca juga:   Persaudaraan dalam Islam

Diantara dalilnya adalah,

“Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya

(dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada RasulNya terhadap apa saja yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”

( Al Hasyr 6 -7)

Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa alokasi fa’i adalah untuk kemashlahatan kaum Muslimin termasuk di dalamnya jihad yang merupakan sarana untuk memperoleh kemashlahat kaum Muslimin dari rongrongan musuh-musuhnya.Tentunya berdasarkan konteks ini pertimbangan mashlahat dan mudharat menjadi penting untuk diperhatikan.

 

Diantara Dalil Para Mujahidin Lokal Dalam Melancarkan Perampokan

Dalil yang cukup kuat sebagai dasar oleh Mujahidin (sekali lagi kalau benar pelakunya mereka) dalam melakukan aksi perampokkan adalah kisah Abu Basyir dan Abu Jandal serta tim mereka Radhiallahu’anhum Ajma’in, ketika mereka tidak dapat memasuki Madinah pasca perjanjian Hudaibiyah mereka akhirnya membuat camp di dekat pantai, kemudian setiap orang yang lari dari Mekkah bergabung dengan mereka dengan sebab tidak dapat masuk Madinah. Selama mereka mendiami tempat itu tidak ada satu pun orang musyrikin Quraisy yang melewati tempat itu melainkan mereka bunuh dan rampas hartanya, hingga kemudian Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam mengizinkan mereka masuk Madinah atas keluhan orang musyrik Quraisy karena keamanan mereka terancam. (Shahih Bukhari I/378-381, Shahih Muslim II/140,105-106, Sirah Ibnu Hisyam II/308-322, Zadul Ma’ad II/122-127)

Dalam Kisah tersebut bukan berarti dihalalkan mengingkari perjanjian dengan orang kafir karena Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam tetap tidak mengizinkan Abu Basyir Radhiallahu’anhu di Madinah, dengan mengatakan “Celaka, ia bisa menjadi pemicu peperangan bila mempunyai satu teman lagi” ketika salah seorang Quraisy yang menangkap Abu Basyir mengadu kepada Nabi Shalallahu’alaihi Wasallam karena temannya telah dibunuh oleh Abu Basyir, maka Abu Basyir Radhiallahu’anhu sadar bahwa Nabi Shalallahu’alaihi Wasallam tetap tidak mengizinkannya masuk Madinah dengan kalimat tersebut, dengan kata lain Abu Basyir diluar tanggung jawab Nabi Shalallahu’alaihi Wasallam, bahkan sebaliknya itu merupakan tanggungjawab musyirikin Mekkah untuk menangkapnya bila mampu. Dari kalimat Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam di atas pun dapat kita ambil nilai penting yaitu setiap model aksi (seperti yang dilakukan Abu Basyir Radhiallahu’anhu) perlu melihat pertimbangan politis jangan sampai memicu peperangan yang bisa jadi dalam suatu kondisi merugikan kaum Muslimin secara umum.

Berkaitan dengan kasus perampokan Bank di negri ini, penggunaan kisah Abu Basyir Radhiallahu’anhu sebagai dalil perlu penelitian ulang mengingat kondisi Abu Basyir Radhiallahu’anhu sebagai bagian dari kaum Muslimin ketika itu jelas memandang musyrikin Quraisy sebagai musuh sesuai fakta bahwa telah terjadi dua peperangan besar (Badar dan Uhud) sebelumnya antara kaum Muslimin dan musyrikin Quraisy, adapun dalam konteks realitas Indonesia, menyimpulkan bahwa Bank khususnya CIMB Niaga sebagai bagian dari musuh merupakan kesimpulan yang terlalu dini.

 

Pandangan Al Qaeda Dalam Masalah Fa’i

Sebuah realitas yang sulit dibantah bahwa ujung tombak gerakan Islam internasional yang konsern dalam masalah jihad dan menjadi inspirasi berbagai macam gerakan jihadi di berbagi negri adalah Al Qaeda, pun demikian di Indonesia berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dari publikasi-publikasi Mujahidin lokal seputar inspirasi perlawanan mereka yang berasal dari Tanzhim Qo’idatul Jihad (Al Qaeda). Berdasarkan fakta ini, perlu kiranya kita melihat bagaimana cara pandang salah seorang anasirnya yang cukup mewakili pemikiran Al Qaeda yaitu Qodatul Mujahidin Asy Syaikh Abu Mus’ab As Sury Fakkallahu Asroh dalam kitabnya yang fenomenal Da’watul Muqowwama Al ‘Alamiyah Al Islamiyah, berikut kutipannya,

Sebelumnya telah kami sebutkan Bab tentang hukum-hukum jihad secara syar’i di Bab ketiga, yaitu Bab Pendidikan Yang Sempurna Bagi Seorang Mujahid. Oleh karena itu, di sini kami singgung sedikit tanpa harus merinci kembali. Kami katakan, Hukum-hukum jihad ini disandarkan kepada fakta syar’i yang sekarang terjadi di negeri-negeri Muslim, penjelasannya juga sudah dibahas pada pasal kedua yaitu pasal Hukum Syar’i Yang Berlaku Pada Realita Kaum Muslimin Hari ini.

Intinya: pemerintahan-pemerintahan yang sekarang tegak di negara-negara Arab dan Islam hari ini statusnya adalah pemerintahan yang tidak syar’i dan gugur disebabkan murtadnya para penguasa tersebut yang loyal kepada orang-orang kafir, berhukum kepada selain yang Alloh turunkan, membuat syariat (undang-undang) yang menyelisihi syariat Alloh, serta sebab-sebab lain yang semakin menguatkan status hukum ini.

Atas dasar itu, disimpulkan mengenai beberapa hukum:

1.Halalnya harta pemerintahan yang murtad dan aset-aset umum yang mereka miliki, serta aset-aset para tokohnya.

2.Halalnya harta semua orang kafir asing yang ada di negri kaum Muslimin, sebab jaminan keamanan mereka gugur (tidak berlaku secara syar’i) seiring dengan gugurnya keabsahan pemerintahan yang ada secara syar’i sehingga pemerintah ini tidak berhak memberi jaminan keamanan dan perlindungan, atau menjalin ikatan perjanjian dan kesepakatan dengan orang-orang kafir.

3.Halalnya harta semua non-muslim yang tinggal di negeri kaum Muslimin, dengan sebab yang sama dengan point sebelumnya.

4.Halalnya harta orang-orang murtad, yaitu mereka yang secara terang-terangan menyatakan kerja sama mereka dengan tentara pendudukan serta membantu mereka dalam memusuhi kaum Muslimin.

5.Halalnya harta orang-orang kafir yang tinggal di negara harbiy (yang memerangi kaum Muslimin), karena status perang antara kita dan mereka telah tegak, dan tidak adanya perjanjian antara mereka dengan pihak pemerintahan Islam yang syar’i yang mengharuskan rakyat (kaum Muslimin) menepati janji tersebut.

Inilah gambaran secara umum.

Untuk keterangan berdasarkan syar’i secara lebih terperinci bisa dilihat kembali pasal khusus tentang itu, seperti telah disebutkan, demikian juga penjelasan rinci tentang kepentingan-kepentingan dari segi politis ketika menghindari penyerangan terhadap sebagian target yang semula akan diserang.

Dan di sini saya mengingatkan beberapa hal yang penting:

1.Haramnya (secara tegas) harta dan darah kaum Muslimin di manapun mereka berada, baik di negeri Muslim atau di negeri kafir, sebesar apapun kefasikan, kemaksiatan dan kekurangan yang mereka miliki, bahkan ketika ada keraguan tentang pokok iman (ashlul Iman) yang mereka miliki sekalipun, sebab keraguan tidak menghilangkan rasa yakin. Yakin di sini adalah mereka sudah bersyahadat La ilaha illalloh Muhammad Rosululloh. Oleh karena itu, harus dihindari betul dalam hal mengenai darah, harta dan kehormatan kaum Muslimin, sebab semua ini adalah haram dan suci.

2.Siapa yang memiliki hubungan pribadi dengan orang kafir, baik berupa akad atau pernjanjian untuk memberikan jaminan keamanan, maka ia tidak boleh membatalkan janjinya, atau jaminan perlindungan dan keamanannya, baik dia berada di negeri Muslim maupun negeri kafir. Alloh Ta’ala berfirman:

Baca juga:   Usamah bin Ladin, "Sang Mujahid" Pengguncang Tahta Fir’aun Abad Ini

يَا أَيُّهَا الَّذِين آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ َ

“Hai orang-orang yang beriman, tepatilah janji-janji.” (Al-Maidah 1)

َ وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنّ الْعَهْدَ كَانمَسْؤُولاً

“…dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggung jawaban.” (Al-Isro’34)

3.Jaminan keamanan para pemimpin Jihad dan kaum Muslimin, jika mereka berada di daerah kekuasaan orang-orang kafir, maka jaminan itu harus dihormati. Para anggota juga harus memenuhi jaminan perlindungan dan keamanan yang diberikan oleh para pemimpin mereka kepada orang-orang kafir.

4.Yang saya sebutkan ini tadi adalah hukum kehalalan harta orang-orang kafir dan murtad secara syar’i berikut syarat-syaratnya. Adapun penerapan hukum-hukum ini dan memperlakukan status ghonimah kepada harta mereka, maka harus dijalankan setelah dilakukan kajian tentang maslahat dan mafsadah dari sisi politis ketika hendak menyerang suatu target di suatu lokasi dan di waktu tertentu. Jika ternyata hal itu mengakibatkan kerusakan nyata terhadap Islam dan kaum Muslimin, maka operasi penyerangan itu haram dilakukan. Bukan karena pada aslinya haram, namun karena adanya kerusakan yang ditimbulkan.

Untuk orang yang tidak mengetahui perkiraan-perkiraan seperti ini, maka ia tidak boleh terjun tanpa ilmu. Tetapi ia harus bertanya kepada ulama yang ia percaya, yaitu orang-orang yang mengerti hukum-hukum syar’i dan politik yang benar menurut syar’i, yang keislaman, pemahanan dan jihadnya bisa dipercaya.

Kemudian Syaikh Abu Mus’ab As Sury berkata,

Kembali ke konteks pembahasan, kami katakan bahwa sumber pendanaan utama tim-tim perlawanan Islam global setelah dari harta pribadi mujahidin dan sumbangan-sumbangan tak bersyarat dari muhsinin yang baik, adalah dari ghonimah dan fai yang berasal dari,

1.Harta orang-orang kafir harby yang tinggal di negeri mereka sendiri atau di negeri kita.

2.Harta pemerintah murtad yang bekerja sama dengan pasukan penjajah, dengan tetap berhati-hati jangan sampai tertumpah darah kaum Muslimin yang bekerja di aset-aset mereka tersebut.

3.Orang-orang yang terbukti kemurtadannya, karena memberikan kesetiaan dan bantuan kepada orang-orang kafir dalam rangka memerangi kaum Muslimin. Harta orang-orang ini adalah halal, sama dengan status darahnya. Sebab mereka telah melakukan perbuatan riddah. Selesai kutipan dari Da’watul Muqowwama Al ‘Alamiyah Al Islamiyah.

Dari kutipan di atas jelas terlihat bagaimana pandangan seorang tokoh Al Qaeda seputar pelaksanaan aksi mengambil fa’i, dimana sekelas Al Qaeda saja begitu berhati-hati dan penuh pertimbangan dalam melancarkan aksi tersebut.

Perlu penelitian yang mendetail jangan sampai ada harta kaum Muslimin (ahlul kiblat) yang ikut terambil dalam melancarkan aksi atau bahkan ada orang Muslim yang terbunuh. Terlebih di negri seperti Indonesia yang mayoritas Muslim secara zhahir maka perlu kehati-hatian tingkat tinggi mengingat sekalipun PNS (Pegawai Negri Sipil) misalnya tidak bisa langsung kita vonis murtad dan halal hartanya, begitu pula Bank yang sangat dimungkinkan tercampurnya harta kaum Muslimin dan orang kafir meskipun Bank tersebut adalah Bank riba karena riba adalah kemaksiatan bukan kekufuran yang menyebabkan orang-orang yang melaksanakannya bisa dihalalkan harta dan darahnya.

Jihad Global Fardhu’ain, Menelisik Maksud Seruan Qodatul Mujahidin Al Qaeda

Pada pembahasan di atas telah disinggung sedikit latarbelakang paham maraknya amaliyah jihadiyah di Indonesia yaitu seruan jihad global yang fardhu’ain, sampai kemudian sebagian orang memudahkan diri dalam mengambil fa’i (merampok orang atau pihak yang dinilai musuh dan kafir) untuk membiayai jihad yang fardhu’ain ini.

Dalam bagian ini mari kita simak kutipan fatwa Asy Syaikh Abu Abdurrahman Athiyatullah Al Libbiy Hafizhahullah, seorang ulama yang konsern di bidang kajian ilmiyah untuk Tanzhim Qoidatul Jihad (Al Qaeda) mengikuti peran pendahulu beliau Asy Syahid Syaikhul Battar Yusuf bin Sholih Al ‘Uyairiy Rahimahullah, seputar makna dari jihad fardhu’ain dalam risalahnya Ajwibah fi Hukmi An Nafir Wa Syartil Mutashoddi Lit Takfir yang dipublikasi oleh Media Nukhbatul I’lam Al Jihad.

Asy Syaikh ditanya,

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Syaikhuna Al Karim (guru kami yang mulia), demi Allah saya mencintai Anda karena Allah

Guru kami yang mulia, saya mempunyai beberapa masalah

Saya pernah berdiskusi dengan salah seorang ikhwah (ia pernah berjihad di Afghanistan setelah peristiwa 11 September) mengenai masalah pergi berjihad dan hukumnya. Saya sebutkan bahwa hukumnya fardhu ‘ain. Ia berkata, “Apakah mujahidin membutukanmu sebagai seorang pribadi?. Yang saya tahu mereka lebih membutuhkan dana daripada orang. Bahkan sebaliknya. Sepekan yang lalu saya berkomunikasi dengan salah seorang ikhwah. Ia menyebutkan baru saja selesai tadrib. Di sana sudah enam bulanan tanpa pernah turun ikut pertempuran. Ditawari ikut amaliyah istisyhadiyah tapi tidak berminat. Sampai sekarang belum pernah turun ke medan pertempuran.”

Apakah perkataannya benar?? Apabila demikian halnya, apakah hukum pergi berjihad fardhu ‘ain atau fardhu kifayah? Apabila perkataannya tidak benar, apakah hukumnya fardhu ‘ain? Dan apakah saya harus minta izin kepada kedua orang tua atau tidak perlu?

Asy Syaikh Abu Abdurrahman menjawab,

Wa ‘alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh

Wa ahabbakallah alladzi ahbabtani fih (semoga Allah mencintaimu, Dzat yang membuatmu mencintaiku karena-Nya). Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya.

Wa ba’du,

Ya, pada fase ini (saya tegaskan “pada fase ini”, karena bisa jadi ini berubah pada fase yang lain), mujahidin di Afghanistan dan Pakistan tidak membutuhkan mujahid muqatil dalam jumlah besar.

Alhamdulillah, jumlah mujahid muqatil yang ada dari kalangan muhajirin dan anshar (penduduk setempat) banyak sekali. Tetapi, ini disebabkan kemampuan medan dan sistem jihadnya (jamaah-jamaah jihad yang eksis di sana) yang bisa menyerap orang-orang dari sisi mempersenjatai, memberikan pelatihan, pengajaran, pemahaman agama, dan peningkatan kualitas mereka secara psikologis dan kesadaran, dst. Bahkan daya serap mereka dari sisi: pemberian tempat tinggal, jaminan hidup dalam arti biaya makan, minum, dst.

Mujahidin Imarah Islam Afghanistan (Taliban), Al-Qaida, atau organisasi jihad lainnya tidak memiliki kemampuan menyerap dalam jumlah yang banyak sekali. Oleh karena sebab ini, yaitu tidak adanya kemampuan finansial dan yang serupa, dan sampai masalah kemampuan berkaitan dengan kondisi geografis. Oleh karena itu kami memandang, kita sedang ada di fase seleksi dan pemilihan. Maka kami ajak kader-kader khusus (spesialis) yang pertama kali dibutuhkan jihad. Kemudian, muqatil biasa sesuai kebutuhan berdasarkan keputusan yang diambil para komandan dan pemimpinnya.

Kami menerima personal sedikit demi sedikit dan dengan adanya pemilihan dan rekomendasi. Di tangan Allah lah segala taufik.

Ini sehubungan dengan medan kami di sini. Sementara, medan-medan yang lain, masing-masing menyesuaikan situasi dan kondisi. Bisa jadi ada medan yang membutuhkan banyak personal sedangkan di saat yang sama ada medan lain yang tidak memerlukannya. Demikian seterusnya.

Namun, apakah ini menjadikan kita berpendapat bahwa jihad sekarang ini fardhu kifayah? Menurut pendapatku, pendapat ini tidak tepat. Dan saya tidak bisa berpendapat secara mutlak bahwa sekarang jihad fardhu kifayah. Karena kecukupan tidak terwujud dalam kenyataan. Karena, makna kifayah, sebagaimana dijelaskan ulama, terusirnya musuh, atau terpenuhinya jumlah yang dengannya musuh menjadi terusir dan ini sebenarnya juga belum terwujud. Kecukupan kami yang saya bicarakan ini kembali kepada ketidakmampuan kita menyerap personal dalam jumlah besar.

Baca juga:   Sayyidina Ali ra, Peletak Dasar Ilmu Nahwu

Faktor ini sebab terbesarnya adalah kesalahan orang-orang kaya dalam umat ini dan kesalahan orang-orang yang mempunyai kapasitas ilmu, para pemimpin dan kader-kader pilihan yang telah diberi banyak keahlian. Kalau tidak demikian, silahkan beri saya dana dan kader-kader pilihan, maka akan Anda lihat front-front dan kamp-kamp pelatihan yang akan kami buka untuk mereka dan Anda akan melihat apa yang akan kami perbuat terhadap musuh-musuh Allah, tentunya dengan pertolongan Allah. Wallahul musta’aan wa hasbunallah wa ni’mal wakiil (Allahlah tempat meminta pertolongan dan cukuplah Allah penolong kami dan Dialah sebaik-baik penolong).

Kemudian, karena kecukupan ini bersifat sementara maka aku katakan kepada Anda, sekarang ini kami tidak membutuhkan banyak personal. Namun, suatu hari nanti bisa jadi saya akan menyerukan dan mengatakan, “Marilah ke sini wahai para pemuda Islam, kami membutuhkan muqatil sebanyak-banyaknya. Karena ini adalah perang. Perang akan memakan banyak korban. Dan Allahlah Yang Maha Melindungi.

Demikian juga front-front, ia akan dibuka tergantung kemampuan dan hikmah serta kepentingan (maslahat). Ini harus diperhatikan.

Kemudian hal lain yang perlu saya ingatkan, saya membatasi dengan medan kita dan medan-medan yang serupa, namun bagaimana dengan negeri-negeri Islam, bahkan seluruh dunia? Pertama (negeri Islam), tidak diragukan lagi bahwa banyak negeri kaum muslimin sedang dijajah dan dikuasai oleh orang-orang kafir dan sebagianya sudah berlangsung berabad-abad. Wallahul musta’aan. Dari mulai Andalusia di sebelah barat, pesisir Eropa Selatan, Asia Tengah, Semenanjung Balkan, Kaukasus dan sekitarnya, sampai Turkistan Selatan di Cina, sampai banyak negara Asia Tenggara, Singapura, Philipina, Thailand, dan lain-lain. Bahkan India atau sebagian besarnya dan negara-negara lainnya. Semua negeri-negeri tersebut dulunya pernah menjadi negri Islam dan negara Islam, namun kemudian dirampas musuh. Maka wajib atas kaum muslimin mengembalikannya dan membebaskannya dari tangan orang-orang kafir murtad yang berasal dari bangsa kita sendiri. Wajib berperang dan berjihad melawan mereka. Setiap orang yang mampu wajib melaksanakannya. Secara syar’i, hukum asalnya, memerangi mereka lebih didahulukan daripada menyerang orang-orang kafir asli di negara-negara mereka. Adapun ketika sekarang lebih memprioritaskan memerangi orang-orang kafir asli (Amerika dan sekutunya) karena ada faktor yang mengharuskan demikian. Lalu siapa yang berjihad melawan mereka? Dan bagaimana kami katakan jihad hukumnya fardhu kifayah?! Kalau kami demikian, sungguh kami orang-orang yang terlalu berani!

Kedua yaitu ucapanku, bahkan seluruh dunia. Karena seluruh dunia menunggu-nunggu kita untuk menaklukkannya dengan Islam dengan cara memerangi negara-negara kafir dan menaklukkannya sehingga tidak ada satu pun fitnah dan seluruh dien hanya milik Allah dan sehingga kekafiran tidak memiliki kekuasaan perkasa yang menghalangi manusia dari Islam.

Pada asalnya ini hukumnya fardhu kifayah atas umat Islam. Namun bisa Anda lihat, ia disia-siakan dan tidak yang melaksanakannya. Jadi, semuanya terancam mendapat sanksi kecuali orang yang menyampaikan udzur kepada Allah dengan mengamalkan apa yang mampu dilakukannya.

Mungkin bisa kami tambah kewajiban-kewajiban yang lain, seperti membebaskan tawanan. Ini adalah fardhu kifayah atas umat ini dengan segala jalan yang disyariatkan. Dari mulai dengan menebus mereka dengan harta atau membebaskan dengan jalan kekuatan, perang dan senjata, atau dengan spionase dan tipu daya.

Wajibnya menegakkan khilafah kaum Muslimin dan Daulah Islam yang sebisa mungkin menyatukan semua elemen umat Islam. dan kewajiban-kewajiban lainnya.

Oleh karena itu, kami katakan, penjelasan makna jihad fardhu ‘ain atas kita sekarang ini adalah bahwasanya wajib atas setiap muslim melaksanakannya menurut kesanggupannya dan sesuai dengan kondisinya serta menurut apa yang wajib baginya.

Ringkasnya, sebagaimana sering saya katakan, adalah kalimat Syaikh Abdullah Azzam Rahimahullah dalam kitab “Ilhaq bil Kafilah“: Barang siapa yang bergabung dengan kafilah jihad dan Mujahidin dengan mengorbankan dirinya dan mempersiapkan diri, lisan perbuatannya mengatakan, sebelum lisannya, inilah saya salah satu panah kaum Muslimin silakan para pemimpin kaum muslimin lemparkan aku semau kalian. Maka dikatakan kepadanya: wahai fulan Anda pergi ke tempat ini, Anda pergilah ke Chechnya, karena mereka membutuhkan orang seperti Anda dan karena pergi ke sana bagi Anda mudah, misalnya. Anda wahai fulan pergilah ke tempat itu, dan Anda tetaplah tinggal di tempatmu, bekerjalah di bidang ekonomi, finansial, bisnis, tulis-menulis, berceramah, dakwah, dan media atau menuntut ilmu, Anda wahai fulan Anda harus begini. Barang siapa yang memungkinkan berhubungan dengan para komandan jihad sehingga ia bisa menjelaskan kepadanya apa yang sesuai dan wajib baginya dengan tulus, jujur dan ikhlas, ini sudah jelas (tidak perlu dibahas). Dan barang siapa yang tidak mampu, padahal ini kebanyakannya, maka orang semacam ini hendaknya berjalan sesuai dengan strategi umum yang sudah dikenal, mencurahkan kerja kerasnya menurut kesanggupannya, bertakwa kepada Allah, bermusyawarah dengan ulama dan mujahid yang bagus dan amanah dalam dien dan ilmunya. Semoga Allah memberinya taufik dan petunjuk. Dengan itu, ia telah menunaikan kewajibannya dan terlepas dari kewajiban insya Allah. Allah menerima amalan orang-orang bertakwa. Oleh karena itu, pendapat yang benar, jihad pada hari ini tidak wajib minta izin kepada kedua orang tua. Wallahu A’lam. Wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah.

(…Kemudian Syaikh mengklarifikasi seputar pertanyaan mengenai kondisi ikhwah yang enam bulan di afghan dan belum diturunkan ke front…)_Selesai jawaban dari Syaikh.

Dari fatwa Syaikh Athiyatullah Hafizhahullah jelaslah bahwa memaknai jihad global fardhu’ain sampai Andalusia kembali ke tangan kaum Muslimin bukan berarti harus langsung melakukan amaliyah jihadiyah seperti melaksanakan sholat yang bisa kapan saja dimana saja ketika masuk waktu langsung dilaksanakan, sholat pun ternyata juga perlu persiapan seperti wudhunya bagaimana, tempat sholatnya layak atau tidak dan seterusnya. Bila jihad fardhu’ain dipahami pokoknya wajib amaliyah maka akan terjadi konsep “yang penting jihad” tanpa mempertimbangkan perhitungan kemampuan yang cukup, situasi, kondisi waqi’, pertimbangan politis dan keberlangsungan jihad itu sendiri. Jika sholat saja yang fardhu’ain perlu pendahuluan yang cukup seperti wudhu dan lain-lain, bagaimana halnya dengan jihad yang terkait dengan penghalalan darah, harta, juga dalam rangka iqomatuddin, maka tentu harus lebih dipersiapkan dan dipertimbangkan lebih matang lagi.

Akhirnya, kita bisa melihat betapa Al Qaeda yang luar biasa dalam aksi jihadnya begitu bijak dalam menyikapi realitas dan sangat berhati-hati dalam beraksi, bagi kita di Indonesia yang jelas belum sebanding dengan mereka maka selayaknya kita mengambil pelajaran yang banyak dari mereka guna mengulang sukses mereka di negri ini. Kita semua yang merindukan tegaknya Islam melalui salah satu jalannya yang bernama jihad harus menyadari bahwa masih banyak hal-hal yang perlu kita persiapkan lebih masak untuk kemudian merealisasikan jihad di Indonesia sebagaimana Tanzhim Qoidatul Jihad (Al Qaeda di Afghanistan, Iraq, Somalia dan front-front lainnya. Wallahu’alam.

Salam hangat bagi para perindu jihad.

 

Sumber: www.arrahmah.com

 

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *