Peran Al-Ghazali dalam Mengembangkan Keilmuan Fiqih dan Ushul Fiqh Mazhab Syafi’i

AHMADBINHANBAL.COM – Abu Hamid al Ghazali atau dikenal al Ghazali adalah intelektual raksasa.  Dikenal sebagai sarjana besar Islam yang menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Ia berguru kepada banyak tokoh, baik di kampungnya atau di luar daerahnya. Al-Ghazali mulai menuntut ilmu sejak masa kecilnya pada tahun 465 H. Ilmu yang pertama kali dipelajarinya adalah ilmu fiqih di Thus dari Syaikh Ahmad Ar-Radzakani kemudian pindah ke Jurjan dan menuntut ilmu kepada Syaikh Al-Ismaili.

Kisah Imam Ghazali dan Penyamun

Selama proses belajarnya, Al-Ghazali menulis kitab At-Ta’liqah yaitu catatan ilmu yang dia hafal dan dengarkan. Al-Ghazali rajin mencatat keterangan yang disampaikan oleh para gurunya.

Suatu hari dalam sebuah perjalanan dari Jurjan menuju kota kelahirannya, Thus. Rombongan beliau dihadang oleh sekawanan penyamun. Mereka merampok segalanya. Segala perlengkapan beliau, termasuk buku catatan (at-ta’liiqah) tersebut juga diambil. Dengan berani, Imam Ghazali mengejar kawanan perampok itu. Merasa dibuntuti, pimpinan perampok itu berpaling dan berkata, “Celakalah kau, kembalilah atau kubunuh kau.”

Imam Ghazali tak gentar. Beliau berkata kepadanya, “Dengan kebesaran Allah yang kepada-Nya kau memohon keselamatan, tolong kembalikan bukuku. Ia tidak bermanfaat bagi kalian.”

“Buku apa?” tanya pimpinan perampok itu.

“Sebuah buku di dalam tas kecil itu. Aku telah melakukan perjalanan jauh untuk mendengarkan petuah para ulama dan kemudian semua keterangan kucatat dalam buku itu,” jawab Imam Ghazali.

Pimpinan perampok itu tertawa terbahak-bahak kemudian berkata, “Sekarang kau tidak mengetahui apa-apa. Bukumu bersama kami. Kau tidak memiliki ilmu lagi.”

Kemudian ia perintahkan anak buahnya untuk menyerahkan buku itu kepada Imam Ghazali. Imam Ghazali menyadari bahwa Allahlah yang menuntun pimpinan perampok tersebut untuk berbicara seperti itu.

Setibanya di Thus, Imam Ghazali berjuang menghafal semua catatannya. Dalam waktu tiga tahun (470 – 473 H), beliau berhasil menghafalnya.

Pada tahun 473 Hijriah, Al-Ghazali belajar ke Madrasah Nizamiyyah di kota Naisabur dan berguru kepada Imamul Haramain Al-Juwaini yang disebut sebagai guru Al-Ghazali yang paling berpengaruh terhadap otoritas keilmuannya.

Selain mengajarkan fiqih Syafi’i dan Kalam Asy’ari, Al-Juwaini memperkenalkan Al-Ghazali dengan filsafat, sehingga Al-Ghazali dapat menguasai ilmu manthiq, ilmu kalam dan ilmu berdebat dengan sangat baik.

Kecerdasan dan keluasan berpikir Imam Al-Ghazali membuatnya populer, Al-Juwaini menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan ‘Bahrun Mughriq’ atau lautan yang menghanyutkan karena ilmunya yang luas dan ilmu debatnya yang hebat mampu membuat diam siapapun yang mendebatnya.

Al-Juwaini menjadikan Al-Ghazali sebagai asisten mengajarnya, setiap Al-Juwaini berhalangan maka Al-Ghazali yang akan menggantikan gurunya.

Benarkah Al-Juwaini iri dengan Al-Ghazali?

Ketika Al-Ghazali menulis kitab “Al-Mankhul fii Ilmil Ushuul” Al-Juwaini mengatakan kepadanya «دفنتني وأنا حي، هلّا صبرتَ حتى أموت» apakah engkau ingin menguburku ketika aku masih hidup, apakah engkau tidak bisa sabar sampai aku mati.

Pernyataan Al-Juwaini oleh beberapa penulis seperti Roy Jackson dalam bukunya ‘Fifty Key Figures in Islam’ dan Kyai Saiq Aqil Siraj di salah satu kuliah umumnya tentang Al-Ghazali menilai bahwa Al-Juwaini memiliki rasa iri kepada Al-Ghazali.

Dilihat dari sudut hubungan guru dan murid, hal ini tidaklah benar. Ungkapan di atas menunjukkan kebanggan Al-Juwaini atas prestasi Imam Al-Ghazali. Sama halnya dengan orang tua, guru akan selalu merasa bangga melihat kesuksesan muridnya. Mereka akan bangga karena murid yang dulu diajarinya kini menjadi orang sukses dan lebih alim dari dirinya.

Kalau pun iri, maka irinya Al-Juwaini adalah iri dalam kebaikan yang disebut dengan Ghibthah, yaitu menginginkan kebaikan atau nikmat pada orang lain tanpa menginginkan hal tersebut hilang dari orang lain.

Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata tentang Ghibthah

الغبطة من الايمان والحسد من النفاق والمؤمن يغبط ولا يحسد والمنافق يحسد ولا يغبط والمؤمن يستر ويعظ وينصح والفاجر يهتك ويعير ويفشي

“Ghibtah adalah bagian dari iman. Sedangkan hasad adalah bagian dari kemunafikan. Seorang mukmin punya sifat ghibtah, sedangkan ia tidaklah hasad (iri atau dengki). Adapun orang munafik punya sifat hasad dan tidak punya sifat ghibtah. Seorang mukmin menasehati orang lain secara diam-diam. Sedangkan orang fajir (pelaku dosa) biasanya ingin menjatuhkan dan menjelek-jelekkan orang lain.” (Hilyatul Auliya’, 8: 95).

Sebelum berlanjut kepada pembahasa fiqih dan ushul fiqh Imam Ghazali, kami ketengahkan sedikit biografi dari guru Imam Ghazali, yaitu Imam Al Haramain Al Juwaini atau dikenal dengan Abul Ma’ali Al Juwaini.

Kehebatan Seseorang Bergantung pada Kehebatan Gurunya

Nama lengkap Imam Al-Haramain Al-Juwaini adalah Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Hayyuyah Al-Juwaini, lahir di salah satu wilayah Khurasan, Persia. Ayahnya bernama Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf bin Abdillah bin Yusuf Al-Juwaini, ulama besar dalam bidang tafsir, fiqih, adab dan bahasa Arab. Banyak ulama besar berguru kepadanya, antara lain, anaknya sendiri, Imam Al-Haramain. Ibunya adalah seorang budak salihah baik hati yang dibeli sang ayah dari uang halal hasil kerja kerasnya.

Abu Muhammad, Ayah dari Imam Al Juwaini merupakan pakar fiqih yang mumpuni, menurut Dr. Mawardi dalam kuliah pemikiran Imam Ghazali di Atco College Depok yang saya ikuti selama satu tahun, beliau menyebutkan kejeniusannya Imam dalam masalah fiqih dengan menulis kitab fiqih berjudul “Al Jam’u wal Farqu”. Al Jam’u adalah ilmu qawaid fiqhiyyah yaitu kaidah kaidah fiqih yang menyimpulkan masalah masalah yang begitu banyak dalam satu kaidah yang mudah diingat. Dan Al Farqu adalah masalah masalah yang kelihatannya sama tetapi berbeda.

Imam Al-Haramain memiliki paman yang dikenal sebagai ulama besar yaitu Syaikh Abul Hasan Ali bin Yusuf bin Abdillah bin Yusuf dan dikenal sebagai Syaikh Hijaz. Pamannya yang lain adalah Abu Sa’id Abdush Shamad Al-Juwaini, seorang ulama yang wara’, rajin tahajud dan rajin membaca Al-Quran.

Selain belajar pada sang ayah, Imam Al-Haramain belajar dari Syaikh Abu Abdillah, belajar hadis dari Abu Hasan bin Muhammad Abu Said Abdurrahman bin Hamnda An-Nadhrawi, Mansyur bin Ramisy dan ulama besar lainnya pada masa itu.

Ketika sang ayat wafat, Al-Juwaini baru berumur 20 tahun, beliau menggantikan posisinya untuk mengajar di majlis ilmiah, tanpa berhenti terus menggali ilmu dari ulama lain saat itu.

Sebagai ulama besar yang diakui keilmuannya secara luas, ada beberapa gelar kehormatan yang diberikan ulama kepadanya:

  1. Abul Ma’ali. Diberikan karena integritasnya yang tinggi, kepribadiannya yang luhur dan keilmuannyang yang luas.
  2. Imam Al-Haramain. Pada bagian perjalanan hidupnya beliau mengajar, memberi fatwa dan berkarya di Makkah dan Madinah selama 4 tahun dan menjadi imam masjid disana.
  3. Fakhrul Islam (Kebanggaan Islam). Sosok beliau yang menjadi kebanggaan umat Islam.
  4. Diya’uddin, karena ia mempunyai kelebihan dalam menerangi hati dan pikiran para pembela aqidah Islamiyah, karenanya tokoh Ahl al-Sunnah dapat menangkis serangan dari para pengikut golongan sesat yang telah terjerumus dalam kesesatan.
Baca juga:   Plagiarisme, Bagaimana Mengatasinya?

Beliau tidak merasa cukup dengan hanya mengikuti ayahnya dan murid-murid ayahnya. Beliau serius mempelajari mazhab, perbedaan pendapat, dan majelis-majelis debat sehingga tampaklah keunggulan dirinya. Keseriusannya ini mejadikannya layak mengisi majelis ayahnya di saat belum genap berusia dua puluh tahun.

Kelebihan dirinya tersebut tidak menghalanginya untuk terus menuntut ilmu. Beliau pergi belajar Masjid al-Ustadz Abu Abdillah al-Khabbazi guna belajar al-Qur`an dan ilmu apa saja yang bisa di dapatnya dari sana. Kemudian beliau kembali ke Madrasah ayahnya dan menyibukkan diri dengan aktivitas mengajar. Setelah tugas mengajarnya selesai, beliau berangkat lagi ke Madrasah al-Baihaqi sampai menguasai Ilmu Kalam dan Ushul Fikih dari Abul Qasim al-Isfira`aini. Beliau terus menggali dan menguasai ilmu sejak kecil hingga usia tua.

Ketika gelombang fanatisme muncul di negerinya, keadaan menjadi tidak kondusif dan fitnah semakin menjadi-jadi, menjadikan Imam al-Haramain terpaksa keluar dari negerinya. Beliau berangkat menuju Baghdad pada tahun 446 H, bertemu dengan para ulama-ulama besar, saling belajar dan mengajar, saling berdiskusi dan berdebat hingga termasyhurlah kehebatan beliau.

Kemudian Imam al-Haramain melanjutkan perjalanannya ke wilayah Hijaz untuk menunaikan ibadah haji. Selepas berhaji, beliau menetap di sana selama kurang lebih empat tahun. Dalam masa tersebut Imam al-Haramain bolak-balik antara Makkah dan Madinah untuk memberi fatwa, mengajar dan berdiskusi sehingga digelarilah beliau dengan Imam al-Haramain.

Setelah empat tahun di Hijaz, Imam al-Haramain kembali ke Naisabur, dimana fitnah di sana telah mereda. Dibangunkanlah untuk beliau cabang Madrasah Nizhamiyah. Semua urusan pembelajaran di madrasah tersebut diserahkan sepenuhnya kepada beliau. Dari madrasah inilah Imam al-Haramain memberi fatwa, mengajar dan membesarkan Mazhab Ahlussunnah.

Selama hidupnya Imam Haramain tak pernah menyianyiakan waktunya kecuali untuk ilmu. Ia pernah mengatakan kepada murid-muridnya, “Aku tidak pernah makan dan tidur seperti kebanyakan orang. Aku tidur ketika sudah sangat payah baik siang maupun malam dan aku makan ketika sudah sangat lapar.”

Di antara kitab-kitab karya Imam Haramain adalah:

  1. Kitab Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Mazhab. Kitab ini dipandang sebagai sebuah kitab yang merangkum seluruh pemikiran Imam Haramain dalam ilmu fiqih sepanjang hidupnya.
  2. Kitab Mukhtashar an-Nihayah. Kitab ini adalah ringkasan dari kitab Nihayah al-Mathlab yang dikarang sebelumnya.
  3. Kitab at-Talkhis fi Ushul al-Fiqh. Kitab ini adalah sebuah ringkasan dan penjelasan terhadap kitab at-Taqrib wa al-Irsyad al-Kabir yang ditulis oleh al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani. Kitab ini adalah karya pertama Imam Haramain dalam ilmu ushul fiqh dan ditulis semasa menetap di kota Makkah. 
  4. Kitab Asy-Syamil fi Ushul al-Fiqh. Kitab ini adalah kitab terbesar yang dikarang oleh Imam Haramain.
  5. Kitab al-Irsyad ila Qawathi’ al-Adillah fi Ushul al-‘Itiqad. Kitab ini adalah ringkasan dari kitab asy-Syamil yang telah dikarang sebelumnya.   
  6. Kitab Ghiyats al-Umam fi at-Tiyats adz-Dzulam atau dikenal dengan kitab al-Ghiyatsi. Kitab ini menjelaskan tentang ilmu politik Islam baik dari segi takaran maupun timbangannya dalam syariat.  
  7. Kitab al-Kafiyah fi al-Jadal. Kitab ini menjelaskan tentang tata cara dan kode etik dalam perdebatan yang mampu menghasilkan kesimpulan akhir/natijah.  
  8. Kitab al-Asalib wa al-‘Umd. Kitab ini beberapa kali disebut Imam Haramain dalam kitab al-Burhan dan dicatat oleh Ibnu Subki dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyyah.
  9. Kitab ad-Durrah al-Mudhiy’ah fima Waqa’a fihi al-Khilaf baina Syafi’iyyah wa al-Hanafiyyah. Kitab ini membahas tentang perbedaan pendapat di antara mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i.
  10. Kitab at-Tuhfah fi Ushul al-Fiqh. Sayangnya, kitab ini hilang dari sejarah.  
  11. Kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh. Kitab ini adalah karya terakhir Imam Haramain dalam ilmu ushul fiqh.

Ada ulama yang dikenal dengan peran dalam fiqih, ada ulama yang dikenal dengan perannya dalam bidang ushul fiqih. Imam Al-Ghazali menggabungkan keduanya, dia dikenal dalam bidang fiqih dan ushul fiqih.

Link ke flyer dengan resolusi tinggi (link)

Berikut ini bahasan tentang peran Imam Ghazali dalam mengembangkan ilmu fiqih dan ushul fiqh.

Peran Al-Ghazali dalam Mengembangkan Keilmuan Fiqih Syafi’i

Mazhab Syafi’i adalah mazhab yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia. Kitab fiqihnya banyak ditulis oleh Imam Syafi’i sendiri atau oleh ulama Syafi’iyyah.

Al-Ghazali sendiri adalah seorang ulama Syafi’i Asy’ari. Maksudnya, dalam bidang fiqih, al-Ghazali mengikuti Madzhab Syafi’i. Sedangkan dalam aqidah mengikuti madzhab Asy’ari.

Pengaruh dan bukti bahwa al-Ghazali itu ulama bermadzhab Syafi’i bisa dilihat setidaknya dari buku-buku beliau, al-Ghazali telah menulis sejumlah kitab fiqih dalam Madzhab Syafi’i. Sebut saja al-Basith, al-Wasith, al-Khulashah dan al-Wajiz. Kitab-kitab yang ditulis al-Ghazali ini memiliki kedudukan yang tinggi dalam sanad fiqih Madzhab Syafi’i.

Berikut ini adalah nama-nama sebagian kitab fiqih mazhab syafi’i dari zaman Imam Syafi’i sampai sekarang. Sebagian kitab sifatnya memperjelas kitab yang lain (syarah), merinci dan meringkaskan (mukhtashar).

  1. Kitab al-Umm karya Imam Syafi’i (w. 204 H)
  2. Kitab Mukhtashar al-Muzani karya Imam al-Muzani (w. 264 H)
  3. Kitab al-Hawi al-Kabir karya Imam Mawardi (w. 450 H)
  4. Kitab al-Muhadzdab dan kitab At Tanbih fi Fiqh As Syafi’i karya Imam asy-Syairazi (w. 476 H)
  5. Kitab Nihayatul Mathlab Fi Dirayatil Mazhab karya Imamul Haramin (w. 478 H)
  6. Kitab al-Basit, al-Wasit, al-Wajiz, dan al-Khulashah karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)
  7. Kitab al-Muharrar dan asy-Syarh al-Kabir karya Imam Rafi’i (w. 623 H)
  8. Kitab Minhajut Thalibin, Raudhatut Thalibin dan al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi (w. 676 H)
  9. Kitab Fathul Wahhab karya Imam Zakaria al-Anshari (w. 926 H)

Kitab fiqih yang ditulis oleh imam Syafi’i dan menjadi induk mazhab Syafi’i adalah Kitab Al Umm yang tentu sangat tebal dan panjang pembahasannya.

Adalah Al Muzani, murid cemerlang dari Imam Syafi’i yang ‘meringkas’ kitab Al Umm karya Imam Syafi’i dalam kitab berjudul ‘Al Jami’ Al Mukhtashar’ atau dikenal dengan ‘Mukhtashar Al Muzani’. Meringkas disini bukan bermaksud Al Muzani membaca kitab Al Umm kemudian meringkasnya, Al Muzani memahami ajaran fiqih Syafi’i baik yang tertulis maupun tidak tertulis (lisan), menyerap semuanya kemudian meringkasnya.

Al-Muzani sangat serius dalam menulis kitab ini. Sekitar 20 tahun beliau habiskan untuk menuntaskannya. Proses editingnya sampai 8 kali. Sebelum mengarang, beliau berpuasa terlebih dahulu selama 3 hari dan salat sekian rakaat. Kata Ibnu Khollikan, setiap selesai menulis satu masalah beliau juga menyusulnya dengan salat dua rakaat sebagai tanda syukur. Dengan cara penulisan yang “sangat berbau akhirat” ini, tidak heran jika Al-Baihaqi menyebut Mukhtashor Al-Muzani sebagai kitab yang paling besar manfaatnya, paling luas berkahnya dan paling banyak buahnya.

Perhatian ulama Syafi’iyyah terhadap kitab ini sangat besar. Banyak yang telah menulis syarahnya. Hanya saja, di antara sekian banyak syarah yang paling populer hanya dua yaitu “Al-Hawi Al-Kabir” karya Al-Mawardi dan “Nihayatu Al-Mathlab fi Dirayati Al-Madzhab” karya Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini .

Baca juga:   Pengaruh Religiositas Terhadap Perilaku Koruptif

Kitab al-Hawi al-Kabir karya Imam Mawardi disusun sebagai penjelas (syarah) kepada kitab Mukhtashar al-Muzani. Kitab ini disusun dengan dilengkapi pemaparan pendapat Imam Syafi’i dan pendapat ulama mazhab dengan dalil-dalilnya.

Selain itu, pengarang (al-Mawardi) juga melakukan perbandingan antara pendapat tersebut dengan pendapat mazhab fiqh yang lain seperti mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Hanbali dan mazhab Zahiri. Membuat pentarjihan terhadap masalah yang dibincangkan dengan mentarjihkan (memilih) pendapat mazhab Syafi’i diakhir setiap pembahasan.

Kitab Nihayah al-Mathlab  dianggap sebagai ensiklopedi fiqh mazhab Syafi’i yang menjadi sumber penyusunan kitab-kitab fiqh Syafi’iyah yang muncul setelahnya. Kitab ini juga dikenali sebagai “al-Mazhab al-Kabir”.

Kitab Nihayah al-Mathlab disebut sebagai ringkasan 4 kitab utama mazhab Syafi’i, yaitu Kitab al-Umm, al-Imla’, Mukhtashar al-Buwaithi dan Mukhtashar al-Muzani. Namun menurut Ibn Hajar al-Haytami, kitab Nihayah al-Mathlab hanyalah merupakan syarah (penjelasan)  Kitab Mukhtashar al-Muzani.

Di antara dua karya ini (Al-Hawi Al-Kabir dan Nihayatu Al-Mathlab fi Dirayati Al-Madzhab), yang pengaruhnya paling besar adalah Nihayatu Al-Mathlab karena darinya lahir banyak karya besar yang bercabang-cabang, seperti trio mukhtashor Al-Ghozzali (Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz), Al-Fathu Al-‘Aziz/Asy-Syarhu Al-Kabir karya Ar-Rafi’i, Raudhatu Ath-Thalibin karya Al-Nawawi, Roudhu At-Thalib karya Ibnu Al-Muqri’, Asna Al-Mathalib karya Zakariyya Al-Anshari, Al-Hawi Ash-Shoghir karya Najmuddin Al-Qazwini, Al-Bahjatu Al-Wardiyyah karya Ibnu Al-Wardi, Khulashotu Al-Fawa-id Al-Muhammadiyyah karya Zakariyya Al-Anshari, Al-Ghuraru Al-Bahiyyah karya Zakariyya Al-Anshori, Irsyadu Al-Ghowi Ila Masaliki Al-Hawi karya Ibnu Al-Muqri’, Fathul Jawwad karya Ibnu Hajar Al-Haitami, Khobaya Az-Zawaya karya Zakariyya Al-Anshori dan lain-lain.

Atas sumbangan ilmiah atas Mazhab Syafi’i di atas, para ulama memasukkan al-Ghazali dalam kelompok ulama Madzhab Syafi’i (Thabaqat al-Syafi’iyyah). Kedudukan al-Ghazali di dalam Madzhab Syafi’i ini bukan ulama biasa, tapi mencapai derajat mufti bahkan mujtahid.

Imam dalam bidang Hadits, al-Hafizh Hibatullah Ibn al-Najjar menyatakan bahwa al-Ghazali adalah imam para fuqaha’ secara mutlak, seorang rabbani umat, dan mujtahid pada masanya. Bahkan Imam Muhammad ibn Yahya al-Nisaburi, menyebut al-Ghazali sebagai Imam Syafi’i kedua (al-Syafi’i al-Tsani).

Rangkain Karya Fiqh al-Ghazali

Kitab kitab fiqih yang dikarang oleh Imam Ghazali sebagai khidmahnya kepada mazhab Syafi’i adalah  kitab Khulashah al-Mukhtasar wa Naqawah al-Mu’tashar yang merupakan ringkasan dari mukhtashar Al Muzani dan 3 seri kitabnya yang merupakan ringkasan dari buku fiqih gurunya, Nihayatul Mathlab.

Menurut Imam Nawawi, ada 6 kitab mazhab Syafi’i yang menjadi rujukan utama mazhab Syafi’I yang beredar di seluruh dunia yaitu: 1) Mukhtashar Muzani, 2&3) 2 buku Imam Al Ghazali, Al Wasith dan Al Wajiz, 4) al-Muhadzdab karya Imam asy-Syairazi dan 5) At Tanbih fi Fiqh As Syafi’i 6) al-Muharrar karya Imam Rafi’i.

Dari sini jelas bagaimana posisi Imam Ghazali dalam mazhab Syafi’i.

Imam Al-Ghazali, semoga Allah merahmatinya, menulis bukunya Ihya Ulum al-Din yang membahas tentang disiplin diri dan reformasi hati berdasarkan sumber Alquran dan Sunnah.

Dalam bukunya Al-Ihya, beliau menjelaskan jenis-jenis ilmu yang membantu seseorang untuk menjadi religius dan mendekatkan diri kepada Allah, di antaranya ilmu-ilmu hukum, dan beliau membagi pengerjaannya menjadi tiga yaitu اقتصارٌ واقتصادٌ واستقصاءٌ kemudian dia aplikasikan kaidah ini dalam seluruh karyanya dalam bidang fiqih.

Imam Al Ghazali menyatakan sebagai berikut:

“وأما الفقه: فالاقتصار فيه على ما يحويه مختصرُ المزنيِّ رحمه الله، وهو الذي رتَّبناه في خلاصة المختصر، والاقتصادُ فيه ما يبلغ ثلاثة أمثاله، وهو القدر الذي أوردناه في الوسيط من المذهب، والاستقصاء ما أوردناه في البسيط إلى ما وراء ذلك من المطولات”

Abu Hamid Al Ghazali meyakini bahwa ilmu pengetahuan dapat dikaryakan berdasarkan 3 seri ini, iqtishar, iqtishad dan istiqsha’. Kita dapatkan karya Al Ghazali yang masuk dalam seri Istiqsha’ adalah kitab Al Basith fil Mazhab, kemudian dalam seri Iqtishad atau Tawasuth adalah Al Wasith fil Mazhab dan seri Iqtishar adalah kitab Al Wajiz.

Al-Ghazzali -murid cemerlang Al-Juwaini- meringkas kitab “Nihayatu Al-Mathlab” dalam sebuah kitab berjudul “Al-Basith” (البسيط). Namun, karena kitab “Al-Basith” ini masih dipandang terlalu tebal, Al-Ghazzali meringkasnya lagi dalam sebuah kitab yang diberi nama “Al-Wasith” (الوسيط). Kitab “Al-Wasith” pun masih dianggap tebal, sehingga Al-Ghazzali meringkasnya lagi dalam sebuah kitab yang diberi nama “Al-Wajiz” (الوجيز).

Kitab Khulashah al-Mukhtasar wa Naqawah al-Mu’tashar

Kitab Khulashah al-Mukhtasar wa Naqawah al-Mu’tashar (خلاصة المختصر ونقاوة المعتصر), lebih dikenal dengan kitab Al Khulashah. Ada yang berpendapat kitab ini merupakan ringkasan kitab al-Wajiz, karya al-Ghazali juga. Namun pendapat ini tidak tepat, karena kesahihan kitab al-Khulashah sebagai ringkasan kitab Mukhtashar al-Muzani dinyatakan sendiri oleh al-Ghazali dalam Muqadimah kitab ini.  Hal ini juga disebutkan oleh al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin dalam Kitab al-‘Ilm – , ketika menyebutkan maratib (tingkatan) ilmu dan juga dalam kitab Jawahir al-Quran.

Kitab Al Basith fil Mazhab

Walaupun kitab al-Basith merupakan ringkasan dari kitab Nihayah al-Mathlab, tidak berarti semua kandungannya bersumber daripada kitab tersebut,  Imam al-Ghazali turut serta memberikan pandangan-pandangannya. Ini adalah manhaj ulama terdahulu dalam meringkas kitab. Sebagaimana Imam al-Nawawi (676 H) yang meringkaskan kitab al-Muharrar karya Imam al-Rafi’i dengan penambahan dan pembetulan.

Kitab Al Wasith fil Mazhab

Imam al-Ghazali telah menyusun kitab al-Wasith ini  sebagai ringkasan bagi sebuah karya beliau yang lain iaitu kitab al-Basith fi al-Mazhab (البسيط في المذهب) al-Basith fi al-Mazhab (البسيط في المذهب).

Kitab Al Wajiz fi Fiqh Mazhab Syafi’i

Kitab al-Wajiz adalah karya fiqh yang ringkas dan padat yang menghimpun rumusan al-Ghazali terhadap pendapat-pendapat tokoh fuqaha mazhab Syafi’i sebelumnya mengenai beberapa permasalahan fiqh. Di samping pendapat-pendapat Imam Syafi’i dan tokoh-tokoh mazhabnya, disebutkan juga beberapa pendapat lain seperti pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik sebagai perbandingan.

Kitab al-Wajiz termasuk dalam rangkain seri karya fiqh al-Ghazali yang terkenal, iaitu al-Basith, al-Wasith dan al-Wajiz. Sumber penyusunan ketiga kitab tersebut berdasarkan kitab Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Mazhab karya lmam al-Juwaini. Menurut Ibn Hajar al-Haytami, pada awalnya al-Imam al-Ghazali telah meringkaskan kitab Nihayah al-Mathalib melalui kitabnya al-Basith dan kemudiannya, al-Ghazali telah meringkaskan kitab al-Basith pula melalui karyanya yang berjudul al-Wasith. Akhirnya al-Ghazali telah meringkaskan lagi kitab al-Wasith melalui kitabnya yang berjudul al-Wajiz.

Kitab al-Wajiz merupakan salah satu rujukan fiqh yang utama dalam mazhab al-Syafi’i. maka tidak heran jika ia mendapat perhatian dan sentuhan pena di kalangan ulama mazhab Syafi’i dengan menyusun beberapa karya fiqh berupa penjelasan (syarah) atau  ringkasannya.

Berikut beberapa kitab yang menjelaskan kandungan kitab al-Wajiz;

  1. Syarh Ibham al-Wajiz wa al-Wasith, karya Syaikh As’ad bin Mahmud al-‘Ujli (600H).
  2. Syarh al-Wajiz, karya al-Imam Fakhruddin, Abu Abdullah Muhammad bin ‘Umar bin al-Husain al-Razi (544-606H).
  3.  Iydhah al-Wajiz, karya Mu’inuddin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim bin Abu al-Fadhl al-Sahli al-Jajarmi  (613H)   
  4. al-‘Aziz fi Syarh al-Wajiz, Syarh al-Wajiz al-Shahir  dan al-Taznib fi al-Furu’  ‘ala al-Wajiz, karya Imam Abu al-Qasim Abdul Karim bin Muhammad al-Rafi’i (623H).
  5. al-Tathriz Syarh al-Wajiz, karya Tajuddin Abu al-Qasim Abdul Rahim bin Muhammad bin Muhammad al-Mawshuli (671H)
Baca juga:   Mengajar Reflektif | Reflective Teaching

Adapun dalam bentuk ringkasan kitab al-Wajiz;

  1. Mukhtashar al-Tibrizi (Talkhish al-Wajiz), karya Aminuddin Abu al-Khayr Muzaffar bin Abu Muhammad bin Ismail al-Rarani al-Tibrizi  (558-621H)
  2. Al-Muharrar, karya al-Imam Abu al-Qasim Abdul Karim bin Muhammad bin Abdul Karim al-Rafi‘i al-Qazwaini (624H)
  3. Al-Ta’jiz fi Ikhtishar al-Wajiz, karya Tajuddin Abu al-Qasim Abdul Rahim bin Muhammad bin Muhammad al-Mawshuli (671H)

Peran Al-Ghazali dalam Mengembangkan Keilmuan Ushul Fiqh

Mazhab Syafi’i merupakan mazhab yang menuliskan ushul mazhabnya dalam sebuah kitab, oleh Imam As-Syafi’i dalam kitabnya Ar-Risalah yang berisi kaidah-kaidah ushul fiqih. Lewat bukunya ini, As-Syafi’I dikenal sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqih dan orang yang pertama menuliskan ilmu ushul fiqih dalam kitab tersendiri.

Secara umum, ushul fiqih mazhab Syafi’i berpedoman kepada Al-Quran, hadits, ijma’ dan qiyas. Meskipun dalam praktiknya juga menggunakan dalil syar’i lainnya seperti istihsan, maslahah murasalah, istishab dan lainnya.

Ushul fiqih mazhab Syafi’i bisa kita baca dalam kitab-kitab Ushul yang dikarang para  ulama besar mazhab syafi’i di antaranya:

  1. Kitab ar-Risalah karya Imam Syafi’i (w. 204 H)
  2. Kitab al-Burhan karya Imamul Haramain (w. 478 H)
  3. Kitab al-Mustashfa karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)
  4. Kitab al-Mahsul Fii Ilmil Ushul karya Imam ar-Razi (w. 606 H)
  5. Kitab al-Ihkam Fii Ushulil Ahkam karya Imam al-Amidi (w. 630 H).

Al-Ghazali bisa disebut tokoh yang mengembangkan ilmu ushul fiqh setelah al-Syafi’i. Di masa al-Syafi’i ushul fikih terbatas pada masalah kiyas. Sementara di era al-Ghazali ushul fikih sudah berkembang sampai pada tahapan istidal.

Hal ini tidak lain dari keilmuan Imam Ghazali tentang filsafat yang mumpuni. Ketika filsafat Aristotelian sedang gencar menggempur dunia Islam. Salah satunya serangan kepada ilmu ushul fiqih sebagai metodologi memahami wahyu. Imam Ghazali menulis buku ilmu ushul fiqih yang menggunakan mantiq dan logika. Campur tangan mantiq dan logika ke dalam pembahasan ushul fiqh bermula sejak era Ghazali.

Rangkain Karya Ushul Fiqh al-Ghazali

Rangkain Karya Ushul Fiqh al-Ghazali adalah Al-Mankhul min Ta’liqat al Ushuul, Syifa’ al Ghalil fi Bayani As Shabah wa al Mukhil wa Masalik al Ta’lil dan Al-Mustashfa fi Ilmil Ushul.

Ketiga kitab ini merupakan satu kesatuan yang utuh. Apabila suatu informasi tidak ditemukan pada al Mankhul, maka harus dicari pada Syifa al Ghalil dan al Mustashfa.

Tiga kitab ini termasuk kitab ushul fiqih standar yang menjadi bahan rujukan para ahli fiqih dan ushul fiqh.

Al-Mankhul min Ta’liqat al Ushuul

Kitab Al-Mankhul menjadi kitab pertama dalam ushul fiqih yang mengangkat namanya, ditulis sebelum tahun 478 H ketika gurunya Al-Juwaini masih hidup. Dalam buku ini Al-Ghazali meringkas pendapat-pendapat guru-gurunya dan taqrir mereka dalam masalah ushul, akan tetapi yang membuatnya berbeda adalah kecerdasanya yang kritis dan kuat menambah menarik buku ini bahkan sempat mengalahkan ketenaran buku Al-Juwaini.

Buku Al Ghazai ini lebih diminati dan dibaca orang banyak. Dahulu ada budaya, jika suatu karya besar keluar, semua orang berebut untuk mendapatkannya, membaca dan menghafalnya.

Al-Ghazali mengoreksi kembali (ruju’) pendapat-pendapatnya ushulnya di Al-Mankhul di kitabnya yang lain seperti Al-Mustaasfaa. Hal ini membuat perhatian para pentahqiq kurang daripada perhatian kepada buku Al-Ghazali lainnya.

Syifa’ al Ghalil fi Bayani As Shabah wa al Mukhil wa Masalik al Ta’lil

Kitab 2 jilid ini merupakan rangkaian kitab ushul fiqih Imam Ghazali setelah Al Mankhul.

Pada 2 kitab ini (Al Mankhul dan Syifa Ghalil), tipologi yang dikembangan Al Ghazali masih mengikuti corak pemikiran hokum gurunya, Imam Al Juwaini.

Dua kitab ini pun ditulis Al Ghazali sebelum dia memperdalam ilmu filsafat yaitu sebelum Al Ghazali mengadakan rihlah ilmiah dari universitas Nidzamiyyah di Baghdad.

Imam Ghazali masih menggunakan bahasa yang mudah dan lugas. Menggunakan metode tanya jawab yang dijawab sendiri oleh Al Ghazali.

Sebagai murid Al Juwaini, Al Ghazali masih menyandarkan isi bukunya kepada karya gurunya dalam Al Burhan fi Ilm Ushul Fiqh.

Al-Mustashfa fi Ilmil Ushul

Kitab yang berjudul al-Mustashfa fi Ilm al-Ushul ini bukti kepiawaian al-Ghazali dalam pembacaan secara integral dalil-dalil syar’i, baik Alquran, hadis, ijmak, atau qiyas.

Tipologi hukum yang dikembangkan Al Ghazali murni dari pemikiran hukumnya, dia menjadi lebih independen dari pengaruh luar. Pola penulisan sangat sistematis dan logis, hal ini tak terlepas dari latar belakang al-Ghazali yang pakar juga di bidang filsafat. Kitab ini disebut-sebut sebagai kitab ushul fikih yang kental dengan nuansa ilmu mantik (logika).

Sistematika penulisan kitab al-Mustashfa min ilm Ushul Ghazali dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu : tsamrah (al ahkam), al mutsmir (adillar al-ahkam), turuq al-istismar (wajhu al-istidlal), dan al-mustatsmir (al-mujtahid). Empat pokok kajian yang ada dalam al-Mustafshfa, ia disebut al-aqtab al arba’ah.

Dalam qatb yang pertama (al-tsamrah) ini berisi tentang hukum wadh’i, taklift rukhshah, azimah dan berbagai permasalahan yang terkait. Yang kedua (al-mutsmir), meliputi pembahasan dasar hukum al-kitab, as-Sunnah dan ijma’. Sedangkan untuk al-qutb yang ketiga berisi tentang cara-cara istidlal. Atau dengan kata lain bagaimana sebuah hukum itu dibuat dielaborasi dari dalil-dalil yang pasti, dengan dua cara; pertama dengan cara kebahasaan dan kedua dengan memahami konteks al-isyarah, al-mafhum dan lain-lain. Dan yang terakhir adalah tentang al-mustasmir. Qutb ini berisi ijtihad mujtahid dan lain-lain yang berkaitan dengan ijtihad.

Sistematika penulisan yang demikian ini sesuai dengan tahapan aspek-aspek kajian dalam ushul fiqh yang harus diketahui oleh orang yang akan melakukan pencarian hukum (istinbath al-ahkam). Disini nampak keunggulan Ghazali dalam menyusun materi kajian dalam sebuah kitab ilmiah.

Rujukan

Pemikiran Fiqih dan Ushul Fiqh Imam Al Ghazali, Kelas Pemikiran Imam Al Ghazali dan Syed Alattas di Atco College bersama Dr. Mawardi, Lc.

Salih, Enes. “ الآثار السلبية للاشتغال بعلم الحديث في نظر الإمام الغزالي / el-Âsâru’s-selbiyyetü li’l-iştiğâli bi ilmi’l-hadîs fî nazari’l-İmâm el-Ğazâlî / Negative Effects of Being Busy with Ḥadīth Science According to Imam Al-G̲h̲azālī”. HADITH 3 (Aralık/December 2019): 129-162

زين العابدين مغربي, « الأسُسُ المنطقيّة لتشيّيد عِلم أصُول الفقه عند “أبي حَامد الغزالي” من جهة الحِّد والقِياس », Insaniyat / إنسانيات [En ligne], 43 | 2009, mis en ligne le 01 mai 2012, consulté le 07 novembre 2021. URL : http://journals.openedition.org/insaniyat/936  ; DOI : https://doi.org/10.4000/insaniyat.936

Abdurrahman Mubarak Al Hadawi, اقتصار واقتصاد واستقصاء, Link: https://annahda.in/2017/04/28/%D8%A7%D9%82%D8%AA%D8%B5%D8%A7%D8%B1-%D9%88%D8%A7%D9%82%D8%AA%D8%B5%D8%A7%D8%AF-%D9%88%D8%A7%D8%B3%D8%AA%D9%82%D8%B5%D8%A7%D8%A1/, diakses pada November 7, 2021

Feqh Web, الخُلاصة لأبي حامد الغزاليِّ / سلسلة كل يوم كتاب في الفقه الشافعي, https://feqhweb.com/vb/threads/%D8%A7%D9%84%D8%AE%D9%8F%D9%84%D8%A7%D8%B5%D8%A9-%D9%84%D8%A3%D8%A8%D9%8A-%D8%AD%D8%A7%D9%85%D8%AF-%D8%A7%D9%84%D8%BA%D8%B2%D8%A7%D9%84%D9%8A%D9%91%D9%90-%D8%B3%D9%84%D8%B3%D9%84%D8%A9-%D9%83%D9%84-%D9%8A%D9%88%D9%85-%D9%83%D8%AA%D8%A7%D8%A8-%D9%81%D9%8A-%D8%A7%D9%84%D9%81%D9%82%D9%87-%D8%A7%D9%84%D8%B4%D8%A7%D9%81%D8%B9%D9%8A.13520/, diakses pada November 7, 2021

Dinamika Pemikiran Ushul Fiqh Imam Ghozali, Febi UIN Walisongo, link: https://febi.walisongo.ac.id/editorial/dinamika-pemikiran-ushul-fiqh-imam-ghozali/, diakses pada November 7, 2021

***

Sila kunjungi senarai tulisan tentang Imam Al-Ghazali lainnya:

  1. Imam Al-Ghazali dan Ilmu Hadis
  2. Imam Al-Ghazali dan Tuduhan Kemunduran Sains Islam
  3. Imam Al-Ghazali dan Argumentasi Kosmologi tentang Tuhan
  4. Imam Al-Ghazali dan Tasawuf
  5. Imam Al-Ghazali dan Ilmu Kalam
  6. Imam Al-Ghazali dan Filsafat Jiwa

Jumal Ahmad | ahmadbinhanbal.com

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

4 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *