Peran Al-Juwaini dalam Mengembangkan Mazhab Syafi’i

Al-Juwaini adalah guru dari Imam Al-Ghazali, dia memiliki peran mengembangkan Mazhab Syafi’i lewat karyanya Nihayatul Mathlab. Mari kenali biografi, karya dan perannya dalam Mazhab Syafi’i.

Nama Lengkap

Nama lengkap Imam Al-Haramain Al-Juwaini adalah Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Hayyuyah Al-Juwaini, lahir di salah satu wilayah Khurasan, Persia.

Ayahnya bernama Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf bin Abdillah bin Yusuf Al-Juwaini, ulama besar dalam bidang tafsir, fiqih, adab dan bahasa Arab. Banyak ulama besar berguru kepadanya, antara lain, anaknya sendiri, Imam Al-Haramain. Ibunya adalah seorang budak salihah baik hati yang dibeli sang ayah dari uang halal hasil kerja kerasnya.

Abu Muhammad, Ayah dari Imam Al Juwaini merupakan pakar fiqih yang mumpuni, menurut Dr. Mawardi dalam kuliah pemikiran Imam Ghazali di Atco College Depok yang saya ikuti selama satu tahun, beliau menyebutkan kejeniusannya Imam dalam masalah fiqih dengan menulis kitab fiqih berjudul “Al Jam’u wal Farqu”. Al Jam’u adalah ilmu qawaid fiqhiyyah yaitu kaidah kaidah fiqih yang menyimpulkan masalah masalah yang begitu banyak dalam satu kaidah yang mudah diingat. Dan Al Farqu adalah masalah masalah yang kelihatannya sama tetapi berbeda.

Imam Al-Haramain memiliki paman yang dikenal sebagai ulama besar yaitu Syaikh Abul Hasan Ali bin Yusuf bin Abdillah bin Yusuf dan dikenal sebagai Syaikh Hijaz. Pamannya yang lain adalah Abu Sa’id Abdush Shamad Al-Juwaini, seorang ulama yang wara’, rajin tahajud dan rajin membaca Al-Quran.

Selain belajar pada sang ayah, Imam Al-Haramain belajar dari Syaikh Abu Abdillah, belajar hadis dari Abu Hasan bin Muhammad Abu Said Abdurrahman bin Hamnda An-Nadhrawi, Mansyur bin Ramisy dan ulama besar lainnya pada masa itu.

Ketika sang ayat wafat, Al-Juwaini baru berumur 20 tahun, beliau menggantikan posisinya untuk mengajar di majlis ilmiah, tanpa berhenti terus menggali ilmu dari ulama lain saat itu.

Gelar Kehormatan

Sebagai ulama besar yang diakui keilmuannya secara luas, ada beberapa gelar kehormatan yang diberikan ulama kepadanya:

  • Abul Ma’ali. Diberikan karena integritasnya yang tinggi, kepribadiannya yang luhur dan keilmuannyang yang luas.
  • Imam Al-Haramain. Pada bagian perjalanan hidupnya beliau mengajar, memberi fatwa dan berkarya di Makkah dan Madinah selama 4 tahun dan menjadi imam masjid disana.
  • Fakhrul Islam (Kebanggaan Islam). Sosok beliau yang menjadi kebanggaan umat Islam.
  • Diya’uddin, karena ia mempunyai kelebihan dalam menerangi hati dan pikiran para pembela aqidah Islamiyah, karenanya tokoh Ahl al-Sunnah dapat menangkis serangan dari para pengikut golongan sesat yang telah terjerumus dalam kesesatan.

Beliau tidak merasa cukup dengan hanya mengikuti ayahnya dan murid-murid ayahnya. Beliau serius mempelajari mazhab, perbedaan pendapat, dan majelis-majelis debat sehingga tampaklah keunggulan dirinya. Keseriusannya ini mejadikannya layak mengisi majelis ayahnya di saat belum genap berusia dua puluh tahun.

Baca juga:   Puasa Syawal Tidak Sempurna 6 Hari Karena Sakit

Perjalanan Menuntut Ilmu

Kelebihan dirinya tersebut tidak menghalanginya untuk terus menuntut ilmu. Beliau pergi belajar Masjid al-Ustadz Abu Abdillah al-Khabbazi guna belajar al-Qur`an dan ilmu apa saja yang bisa di dapatnya dari sana. Kemudian beliau kembali ke Madrasah ayahnya dan menyibukkan diri dengan aktivitas mengajar.

Setelah tugas mengajarnya selesai, beliau berangkat lagi ke Madrasah al-Baihaqi sampai menguasai Ilmu Kalam dan Ushul Fikih dari Abul Qasim al-Isfira`aini. Beliau terus menggali dan menguasai ilmu sejak kecil hingga usia tua.

Ketika gelombang fanatisme muncul di negerinya, keadaan menjadi tidak kondusif dan fitnah semakin menjadi-jadi, menjadikan Imam al-Haramain terpaksa keluar dari negerinya. Beliau berangkat menuju Baghdad pada tahun 446 H, bertemu dengan para ulama-ulama besar, saling belajar dan mengajar, saling berdiskusi dan berdebat hingga termasyhurlah kehebatan beliau.

Kemudian Imam al-Haramain melanjutkan perjalanannya ke wilayah Hijaz untuk menunaikan ibadah haji. Selepas berhaji, beliau menetap di sana selama kurang lebih empat tahun. Dalam masa tersebut Imam al-Haramain bolak-balik antara Makkah dan Madinah untuk memberi fatwa, mengajar dan berdiskusi sehingga digelarilah beliau dengan Imam al-Haramain.

Setelah empat tahun di Hijaz, Imam al-Haramain kembali ke Naisabur, dimana fitnah di sana telah mereda. Dibangunkanlah untuk beliau cabang Madrasah Nizhamiyah. Semua urusan pembelajaran di madrasah tersebut diserahkan sepenuhnya kepada beliau. Dari madrasah inilah Imam al-Haramain memberi fatwa, mengajar dan membesarkan Mazhab Ahlussunnah.

Selama hidupnya Imam Haramain tak pernah menyianyiakan waktunya kecuali untuk ilmu. Ia pernah mengatakan kepada murid-muridnya, “Aku tidak pernah makan dan tidur seperti kebanyakan orang. Aku tidur ketika sudah sangat payah baik siang maupun malam dan aku makan ketika sudah sangat lapar.”

Karya-Karya Al-Juwaini

Di antara kitab-kitab karya Imam Haramain adalah:

  1. Kitab Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Mazhab. Kitab ini dipandang sebagai sebuah kitab yang merangkum seluruh pemikiran Imam Haramain dalam ilmu fiqih sepanjang hidupnya.
  2. Kitab Mukhtashar an-Nihayah. Kitab ini adalah ringkasan dari kitab Nihayah al-Mathlab yang dikarang sebelumnya.
  3. Kitab at-Talkhis fi Ushul al-Fiqh. Kitab ini adalah sebuah ringkasan dan penjelasan terhadap kitab at-Taqrib wa al-Irsyad al-Kabir yang ditulis oleh al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani. Kitab ini adalah karya pertama Imam Haramain dalam ilmu ushul fiqh dan ditulis semasa menetap di kota Makkah. 
  4. Kitab Asy-Syamil fi Ushul al-Fiqh. Kitab ini adalah kitab terbesar yang dikarang oleh Imam Haramain.
  5. Kitab al-Irsyad ila Qawathi’ al-Adillah fi Ushul al-‘Itiqad. Kitab ini adalah ringkasan dari kitab asy-Syamil yang telah dikarang sebelumnya.   
  6. Kitab Ghiyats al-Umam fi at-Tiyats adz-Dzulam atau dikenal dengan kitab al-Ghiyatsi. Kitab ini menjelaskan tentang ilmu politik Islam baik dari segi takaran maupun timbangannya dalam syariat.  
  7. Kitab al-Kafiyah fi al-Jadal. Kitab ini menjelaskan tentang tata cara dan kode etik dalam perdebatan yang mampu menghasilkan kesimpulan akhir/natijah.  
  8. Kitab al-Asalib wa al-‘Umd. Kitab ini beberapa kali disebut Imam Haramain dalam kitab al-Burhan dan dicatat oleh Ibnu Subki dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyyah.
  9. Kitab ad-Durrah al-Mudhiy’ah fima Waqa’a fihi al-Khilaf baina Syafi’iyyah wa al-Hanafiyyah. Kitab ini membahas tentang perbedaan pendapat di antara mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i.
  10. Kitab at-Tuhfah fi Ushul al-Fiqh. Sayangnya, kitab ini hilang dari sejarah.  
  11. Kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh. Kitab ini adalah karya terakhir Imam Haramain dalam ilmu ushul fiqh.
Baca juga:   Keutamaan Menjadi Imam Shalat di Masjid

Peran Al-Juwaini dalam Mengembangkan Keilmuan Fiqih Syafi’i

Kitab Al-Umm

Kitab fiqih yang ditulis oleh imam Syafi’i dan menjadi induk mazhab Syafi’i adalah Kitab Al Umm yang tentu sangat tebal dan panjang pembahasannya. Kajian dan fatwa-fatwa Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm, telah diserap dengan baik oleh salah satu murid cemerlangnya yang bernama Al-Muzani.

Mukhtashar Al-Muzani

Al Muzani ‘meringkas’ kitab Al Umm karya Imam Syafi’i dalam kitab berjudul ‘Al Jami’ Al Mukhtashar’ atau dikenal dengan ‘Mukhtashar Al Muzani’. Meringkas disini bukan bermaksud Al Muzani membaca kitab Al Umm kemudian meringkasnya, Al Muzani memahami ajaran fiqih Syafi’i baik yang tertulis maupun tidak tertulis (lisan), menyerap semuanya kemudian meringkasnya.

Al-Muzani sangat serius dalam menulis kitab ini. Sekitar 20 tahun beliau habiskan untuk menuntaskannya. Proses editingnya sampai 8 kali. Sebelum mengarang, beliau berpuasa terlebih dahulu selama 3 hari dan salat sekian rakaat. Kata Ibnu Khollikan, setiap selesai menulis satu masalah beliau juga menyusulnya dengan salat dua rakaat sebagai tanda syukur. Dengan cara penulisan yang “sangat berbau akhirat” ini, tidak heran jika Al-Baihaqi menyebut Mukhtashor Al-Muzani sebagai kitab yang paling besar manfaatnya, paling luas berkahnya dan paling banyak buahnya.

Perhatian ulama Syafi’iyyah terhadap kitab ini sangat besar. Banyak yang telah menulis syarahnya. Hanya saja, di antara sekian banyak syarah yang paling populer hanya dua yaitu “Al-Hawi Al-Kabir” karya Al-Mawardi dan “Nihayatu Al-Mathlab fi Dirayati Al-Madzhab” karya Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini.

Al-Hawi Al-Kabir

Kitab al-Hawi al-Kabir karya Imam Mawardi disusun sebagai penjelas (syarah) kepada kitab Mukhtashar al-Muzani. Kitab ini disusun dengan dilengkapi pemaparan pendapat Imam Syafi’i dan pendapat ulama mazhab dengan dalil-dalilnya.

Selain itu, pengarang (al-Mawardi) juga melakukan perbandingan antara pendapat tersebut dengan pendapat mazhab fiqh yang lain seperti mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Hanbali dan mazhab Zahiri. Membuat pentarjihan terhadap masalah yang dibincangkan dengan mentarjihkan (memilih) pendapat mazhab Syafi’i diakhir setiap pembahasan.

Nihayah al-Mathlab

Kitab Nihayah al-Mathlab  dianggap sebagai ensiklopedi fiqh mazhab Syafi’i yang menjadi sumber penyusunan kitab-kitab fiqh Syafi’iyah yang muncul setelahnya. Kitab ini juga dikenali sebagai “al-Mazhab al-Kabir”.

Kitab Nihayah al-Mathlab disebut sebagai ringkasan 4 kitab utama mazhab Syafi’i, yaitu Kitab al-Umm, al-Imla’, Mukhtashar al-Buwaithi dan Mukhtashar al-Muzani. Namun menurut Ibn Hajar al-Haytami, kitab Nihayah al-Mathlab hanyalah merupakan syarah (penjelasan)  Kitab Mukhtashar al-Muzani.

Di antara dua karya ini (Al-Hawi Al-Kabir dan Nihayatu Al-Mathlab fi Dirayati Al-Madzhab), yang pengaruhnya paling besar adalah Nihayatu Al-Mathlab karena darinya lahir banyak karya besar yang bercabang-cabang, seperti trio mukhtashor Al-Ghozzali (Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz), Al-Fathu Al-‘Aziz/Asy-Syarhu Al-Kabir karya Ar-Rafi’i, Raudhatu Ath-Thalibin karya Al-Nawawi, Roudhu At-Thalib karya Ibnu Al-Muqri’, Asna Al-Mathalib karya Zakariyya Al-Anshari, Al-Hawi Ash-Shoghir karya Najmuddin Al-Qazwini, Al-Bahjatu Al-Wardiyyah karya Ibnu Al-Wardi, Khulashotu Al-Fawa-id Al-Muhammadiyyah karya Zakariyya Al-Anshari, Al-Ghuraru Al-Bahiyyah karya Zakariyya Al-Anshori, Irsyadu Al-Ghowi Ila Masaliki Al-Hawi karya Ibnu Al-Muqri’, Fathul Jawwad karya Ibnu Hajar Al-Haitami, Khobaya Az-Zawaya karya Zakariyya Al-Anshori dan lain-lain.

Baca juga:   Mengenal Imam Al-Muzani dan Kitab Mukhtashar Al-Muzani fi Furu al-Syafi'iyyah

Dar Al-Minhaj menerbitkan kitab Nihayatul Mathlab dalam 21 jilid yang tiap jilid rata-rata ketebalannya 450 halaman. Usia kitab ini, jika dihitung semenjak masa penulisannya sampai zaman sekarang kira-kira sudah 1000 tahun. Kitab ini dikarang Al-Juwaini pada tahun-tahun terakhir masa hidupnya.

Kerja Rintisan Al-Juwaini

Di dalamnya, Al-Juwaini bukan hanya berniat untuk mensyarah isi dari Mukhtashor Al-Muzani sebagaimana umumnya syarah yang menyebar di zaman itu, tetapi beliau juga merintis dalam upaya tahrir madzhab (menyeleksi ijtihad ulama syafi’iyyah agar sah dinisbatkan pada madzhab syafi’i)). Selain itu Al-Juwaini juga berupaya untuk “merukunkan” antara ulama Syafi’iyyah aliran Khurasan dengan ulama Syafi’iyyah aliran Irak.

Semenjak tuntas ditulis, “Kitab ini selalu menjadi bahan pembicaraan” demikian pernyataaan Ibnu Hajar Al-Haitami. “Tidak pernah dalam Islam dikarang kitab seperti itu” kata Ibnu ‘Asakir. Demikian besarnya pengaruh Nihayatul Mathlab di kalangan ulama Syafi’iyyah di zaman itu, maka pengarangnya pun digelari Al-Imam. Sejak saat itu, jika di kitab-kitab ulama syafi’iyyah disebut Al-Imam, maka yang dimaksud adalah Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini ini.

Di masa selanjutnya, Al-Ghazzali -murid cemerlang Al-Juwaini- meringkas kitab Nihayatu Al-Mathlab ini dalam sebuah kitab berjudul Al-Basith (البسيط). Namun, karena kitab Al-Basith ini masih dipandang terlalu tebal, Al-Ghazzali meringkasnya lagi dalam sebuah kitab yang diberi nama Al-Wasith (الوسيط). Kitab Al-Wasith pun masih dianggap tebal, sehingga Al-Ghazzali meringkasnya lagi dalam sebuah kitab yang diberi nama Al-Wajiz (الوجيز).

Kita tahu akhirnya kira-kira satu abad kemudian dari Al-Wajiz ini lah Ar-Rofi’i membuat syarah berupa kitab besar berjudul Fathu Al-‘Aziz/Asy-Syarhu Al-Kabir. Kemudian generasi berikutnya, yaitu An-Nawawi meringkasnya menjadi Roudhotu Ath-Tholibin (روضة الطالبين). Setelah itu bersama kitab Al-Muharror dan Minhaj Ath-Tholibin lahirlah karya-karya ulama Syafi’iyyah belakangan yang menjadi tumpuan penganut madzhab Asy-Syafi’i di zaman sekarang.

Jadi, bisa kita katakan bahwa kitab Nihayatu Al-Mathlab karya Al-Juwaini adalah batu loncatan pertama, perintis, dan pelopor dalam proyek besar tahrir madzhab yang kelak akan digarap oleh duo syaikhan; Ar-Rofi’i dan An-Nawawi.

Referensi:

Peran Al-Ghazali dalam Mengembangkan Keilmuan Fiqih dan Ushul Fiqh Mazhab Syafi’i, https://ahmadbinhanbal.com/peran-al-ghazali-dalam-mengembangkan-keilmuan-fiqih-dan-ushul-fiqh/, terbit 10 November 2021

Peran Al-Juwaini dalam Mazhab Syafi’i, https://irtaqi.net/2017/08/20/peran-al-juwaini-dalam-madzhab-syafii/, terbit 20 Agustus 2017

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *