Perbedaan Shaum dan Shiyam

Home » Perbedaan Shaum dan Shiyam

Kata “shiyam” dan “shaum” pada awalnya memiliki arti yang sama, yaitu menahan diri dari sesuatu. Namun, konteks penggunaannya menentukan jenis pantangannya.

Perbedaan linguistik

Secara bahasa, “shaum” dan “shiyam” berarti menahan diri dari sesuatu, baik makanan, ucapan, atau hal lainnya.

Ibnu Faris dalam Maqayis al-Lughah menyatakan:

صوم: الصاد والواو والميم أصل يدل على إمساك وركود في مكان، يقال صام النهار أي قام وسط السماء، وصام الفرس إذا وقف ولم يتحرك

Shaum berasal dari huruf shad, wawu, dan mim, yang secara etimologis menunjukkan makna menahan dan diam di suatu tempat. Dikatakan sham al-nahar, yang berarti berdiri di tengah-tengah langit, dan kuda dikatakan berpuasa (sham al-faras) jika ia berdiri dan tidak bergerak.

“Shaum” adalah bentuk masdar dari kata kerja “shaama,” yang berarti menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri dari terbit fajar hingga terbenam matahari dengan niat ibadah.

Dalam kamus Lisan al-‘Arab karya Ibnu al-Mandzur, “shaum” diartikan sebagai:

tark al-tha’am wa al-syarrab wa al-nikah wa al-kalam, yakni tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan intim, dan tidak berbicara.

Sementara itu, “shiyam” memiliki arti yang lebih spesifik dalam fikih, yaitu:

imsak ‘an al-‘akl wa al-syurb wa al-jima’ min thulu’ al-fajr ila ghurub al-syams ma’a al-niyyah, yakni menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri dari terbit fajar hingga matahari terbenam dengan niat ibadah.

Perbedaan Hukum dalam Penggunaan di Al-Qur’an

Penggunaan dalam konteks ibadah puasa Ramadhan

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

“Dan berpuasa itu lebih baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Penggunaan dalam konteks menahan diri dari berbicara

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar kepada Tuhan Yang Maha Pemurah untuk berpuasa, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.'” (QS. Maryam: 26)

Baca juga:   Bolehkah Ruqyah Sebagai Profesi?

Dalam ayat ini, “puasa” tidak merujuk pada menahan diri dari makan dan minum, tetapi menahan diri dari berbicara. Hal ini menunjukkan bahwa makna “shaum” bergantung pada konteks penggunaannya.

Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah ﷺ bersabda:

كل عمل ابن آدم له إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به

“Setiap amal anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu milik-Ku, dan Aku yang akan membalasnya.”

Hadis ini tidak bermaksud membedakan antara puasa dan shaum, tetapi menunjukkan bahwa shaum mencakup berbagai bentuk penahanan diri, baik yang bersifat wajib, menahan diri dari maksiat, maupun menjauhi hal-hal yang diharamkan.

Kesimpulan

  • Secara bahasa, “shiyam” dan “shaum” bersinonim dan berarti pantang atau menahan diri.
  • Dalam Al-Qur’an, “shaum” dapat merujuk pada puasa Ramadhan maupun pantangan selain makan dan minum, tergantung pada konteksnya.
  • Dalam fikih, “shiyam” lebih spesifik merujuk pada ibadah puasa yang dilakukan dengan niat dan aturan tertentu.
  • Tidak ada perbedaan hukum yang tegas antara “shiyam” dan “shaum,” karena keduanya berkaitan dengan makna menahan diri.

Semoga ibadah puasa kita diterima dan dosa-dosa kita diampuni.

Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *