Perjuangan Anak Mentawai Menuntut Ilmu

Fasilitas pendidikan di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, masih jauh dari layak. Murid-murid yang ingin melanjutkan ke SMP harus rela berpisah dari keluarganya karena jarak sekolah yang sangat jauh.

Anak anak desa Muntei di Siberut Selatan, mereka harus tinggal jauh dari orangtua di rumah tidak layak atau gubuk-gubuk bambu selama bersekolah. Kehabisan bekal makanan hingga diganggu orang-orang usil, sudah menjadi santapan sehari-hari.

Mata pencarian penduduk Desa Muntei adalah petani pala, pisang dan kelapa. Untuk bisa bersekolah, anak-anak desa tetangga harus mengarungi laut ke Desa Muntei. Meski jalur darat telah dibuka 2 tahun lalu, namun masyarakat masih memilih jalur laut.

“Jalan darat masih berlumpur. Sudah itu terjal. Sulit dilintasi kendaraan bermotor, apalagi kalau hujan,” kata Mike Tison yang berasal dari Berilou

Agar bisa bersekolah ke Muntei, anak-anak dari Desa di sekitarnya terpaksa mendirikan gubuk di ladang-ladang masyarakat Muntei. Mereka tinggal tanpa penerangan. Hanya ada lampu teplok.

Gubuk-gubuk itu dibangun alaka darnya oleh para orangtua pelajar tersebut. Ada yang dibangun di belakang rumah warga, di ladang, tepi pantai ataupun di lahan-lahan terbuka.

Tak jarang, anak-anak desa tersebut hanya ditinggalkan orang tuanya dengan bekal makanan sekadarnya. Terkadang bekal makanan tersebut tidak mencukupi untuk kebutuhan dua minggu.

Jika sudah begitu, para pelajar itu harus bertahan hidup dengan mengadu ke warga sekitar.

Tesa tak menyerah dengan segala keterbatasan selama tinggal di gubuk pada tahun 2011 lalu. Tesa mengaku sering kehabisan uang untuk membeli minyak lampu teplok. Jika sudah begitu, terpaksa sampai pagi ia harus bergelap-gelapan. Beruntung, ia tinggal berdua bersama sepupunya di gubuk tersebut.

Tak hanya kegelapan, para gadis remaja ini ini sering diganggu laki-laki iseng pada malam hari. “Kadang ada yang memukul pintu pondok di tengah malam. Ada yang menggoyang-goyang gubuk kami. Terang saja kami ketakutan,” kenangnya.

Baca juga:   Dakwah WIRA di Mentawai

Mardayanti, 20, warga Desa Bosua lainnya, juga memiliki “pengalaman indah” selama menuntut ilmu di Desa Muntei.

Saat tinggal di pondok, ia kerap diganggu orang usil. “Saya juga sering kehabisan makanan. Kalau sudah begitu, saya mendatangi penghuni pondok lain yang masih memiliki bekal. Kami di situ saling berbagi,” ucapnya.

Meski begitu, tak sedikit anak-anak Siberut Selatan yang dulunya tinggal di gubuk-gubuk selama bersekolah, mampu menamatkan kuliah di sejumlah perguruan tinggi. Sebut saja Tesa Aryanti, 23. Warga Desa Berulou ini ingat betul perjuangannya selama bersekolah SMP dan SMA.

Ketua Aksi Peduli Bangsa, Arifin Jayadiningrat mengatakan, saat ini tidak ada lagi pelajar perempuan yang tinggal di gubuk. Mereka telah dipindahkan semua ke asrama. Program Sibergi BUMN Membangun Mentawai sudah membangun satu asrama untuk anak sekolah yang berasal dari desa lain di Muntei,” ujarnya.

Pria yang akrap disapa Arifin itu menceritakan, ketika anak-anak desa tetangga masih tinggal di pondok-pondok, mereka sulit diawasi dan tidak terjamin keamanannya.

Anak perempuan tinggal di pondok kan miris juga ya. Makanya kami berusaha agar dibangun sebuah asrama untuk anak-anak tersebut lewat dana CSR BUMN,” ujarnya.

Asrama tersebut rampung sekitar setahun lalu untuk lantai satu. Dan langsung bisa dipakai fasilitasnya untuk anak-anak.

Berikut video peresmian gedung asrama putri di Muntei

Info peremian asrama putri Mentawai

http://fokussumbar.co.id/2020/08/26/gedung-asrama-putri-mentawai-bantuan-semen-padang-segera-diresmikan/

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *