Seperti manusia yang lain, saya menjalani hidup sesuai fitrah manusia dengan memanfaatkan pemikiran dan perasaan yang diberikan oleh Allah swt.
Sejak duduk di Sekolah Dasar, impian saya adalah bisa bersekolah sampai tinggi. Hal ini terjadi mungkin karena di tempat tinggal saya jarang yang bisa menuntut ilmu sampai tingkat Sekolah Atas apalagi sampai kuliah. Oleh karena itu, saya berusaha dengan sungguh-sungguh pada setiap level pendidikan yang saya lalui. Ilmu yang saya pelajari pun tidak hanya berfokus pada pengetahuan tentang pelajaran sekolah saja tapi juga materi-materi kepesantrenan.
Pendidikan sudah menjadi hiburan tersendiri di tengah kehidupan keluarga yang kadang cukup kekurangan. Di sekolah saya bisa punya banyak teman yang dapat diajak bercerita dan bercanda dan ada guru atau ustadz yang membentangkan harapan untuk hidup yang lebih baik pada masa yang akan datang.
Namun ada cerita lain yang ikut bergerak seiring perjalanan pendidikan yang saya lewati. Hal ini lebih banyak berputar pada dunia perasaan. Pada usia remaja hal ini sangat rentan terjadi. Dan menurut pandangan manusia pada umumnya wajar saja bila hal ini terjadi.
Orang bilang “cinta itu buta” karena ketika seseorang terkena sindrom ini semuanya kelihatan begitu indah, sebah hati sedang berbunga-bunga. Bahkan “tahi kucing jadi serasa cokelat”. Tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi saya. Karena pada saat itu saya selalu mengedepankan logika dalam menyikapi segala hal. Termasuk untuk hal-hal yang berbau “love”. Maklum, pada masa itu saya sedang berkonsentrasi dengan dunia pendidikan yang selalu memacu otak untuk berfikir.
Saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama saya selalu marah ketika ada teman yang menjodoh-jodohkan saya pada teman perempuan. Sekalipun hal itu hanya bercanda, saya menganggapnya seperti ejekan. Saya menganggap cinta pada usia seperti itu sebagai “cinta monyet” yang tidak punya tujuan, hanya seperti ilusi pada saat kehausan dan kelaparan di padang pasir yang terik. Dengan kata lain, semua itu hanya tindakan sia-sia dan tidak berarti apa-apa.
Di tingkat Sekolah Menengah Atas saya masuk SMA plus boarding school dengan materi tambahan kepesantrenan. Ustadz sering mengadakan kajian yang membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan anak muda. Konsep pacaran yang selama ini diamini anak muda zaman sekarang memang tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. Islam sangat memuliakan perempuan, perempuan diibaratkan berlian yang harus dijaga dan dilindungi dengan sebaik-baiknya. Semakin baik cara merawat berlian maka akan semakin baik nilai dan kualitasnya.
Setelah mengenyam bangku kuliah dengan nuansa kepesantrenan yang lebih kental saya mulai mendapatkan titik terang tentang konsep hubungan lelaki dan perempuan dalam Islam. Mungkin saya terlalu idealis dengan berharap hanya ada satu untuk selamanya atau karena bagi saya pacaran hanya seperti mencoba sepatu, begitu tidak cocok tidak jadi dibeli.
Dengan mengingat dan mengenang kembali salah satu kehidupan yang saya jalani, saya menyadari satu hal bahwa Allah swt telah menyayangi dan melindungi saya dengan jalan yang tidak saya sadari. Dengan memberikan pemikiran-pemikiran yang demikian, Allah swt telah menghindarkan saya dari duri-duri modernisasi. Memang, terkadang manusia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memahami kebaikan yang dialami dalam hidupnya.
Posted by Jumal Ahmad bin Hanbal