Pendidikan di negara ini sudah menjadi barang mahal. Sekolah menjadi lembaga bisnis yang bukan remang-remang, tetapi terang benderang dengan keangkuhannya.
Dengan dalih guru yang profesional dan bermutu, fasilitas yang lengkap, terintegrasi dengan sekolah luar negeri, sistem yang canggih, kurikulum serba unggul, serta jaminan lulusan laku di pasar kerja atau siap cetak menjadi wirausahawan, menjadi-jadi sekolah layaknya pasar transaksi ilmu dan pengetahuan.
Kiranya, azas “loe berani bayar gue kasih” bagi sang pengusaha pendidikan sudah berlaku. Sementara bagi orang tua peserta didik tidak menjadi masalah dengan ucapan pongahnya, “loe jual gue beli”. Akhirnya, bagi orang dengan penghasilan rendah, hanya mendapat peringatan: “orang miskin dilarang sekolah”.
Konyolnya, bukan hanya sekolah swasta yang berbuat demikian. Sekolah negeri sudah berani lebih gila dalam jor-joran mentargetkan uang masuk dan dana operasional pendidikan. Mulai dari mengukur penghasilan orang tua peserta didik sampai menimbang kekayaannya, agar dapat dianggap mampu membayar dan berani memberi kontribusi bagi sekolah. Tawar menawar besarnya uang masuk bukan menjadi hal asing lagi bagi setiap sekolah negeri.
Besarnya uang masuk bukan lagi ditentukan dari keberhasilan calon peserta didik menempati peringkat dalam tes masuk. Berbagai jenis dan tipe tes masuk disiapkan dengan tahapan gelombang dan variasi sistem pembayaran uang muka yang disesuaikan dengan “produk” yang ditawarkan.
Program Studi atau Jurusan tertentu dipromosikan paling laku (dibuat adanya kuota, rasio peminat terhadap jumlah kursi yang ada) dan prospek bagi alumninya. Sebuah fenomena keberhasilan “berjualan” di sekolahan daripada di pasar.
Sekolah atau Universitas melakukan “BCA” (banyak cari alasan) dengan memberi informasi berlaku sistem subsidi silang dalam menyelenggaraan pendidikan. Universitas menyerap dana dari masyarakat dengan cara demikian, dan tidak lagi dari sumber lain (misalnya, dana dari negara bukan utama untuk PTN).
Sebagai perusahaan sosial, Sekolah atau Universitas seharusnya tetap pada visi dan misinya yang bersifat sosial. Dana pendidikan bukan semuanya diambil dari murid atau mahasiswa. Penyelenggara Sekolah dan Universitas harus kreatif membangun dan memanfaat unit-unit bisnis yang ikut memberi kontribusi. Unit-unit tersebut juga menjadi ruang praktikum dan ladang praktik bagi murid dan mahasiswanya.
Sungguh ironis kalau sekolah rakyat atau universitas anak bangsa, tetapi menyelenggarakan pendidikan dengan mengoperasionalkan organisasinya layaknya sebuah perusahaan bisnis yang memakai faham melebihi kapitalis di negara asalnya.
Ulasan di atas membuat kita sadar akan praktek komersiliasi di sekolah dan pendidikan tinggi di negeri ini. Umum diketahui bahwa sumber dana pendidikan dari pemerintah dan SPP, namun dengan alasan-alasan yang dibuat buat, sekolah negeri pun ingin mendapatkan keuntugan dari para murid.
Saat sekolah telah menjadi sebuah bisnis, bukan lagi sebagai lembaga pengajaran dan pendidikan, melainkan lembaga komersiliasi di mana hanya orang berduit saja yang bisa sekolah, sementara jutaan kaum miskin putus sekolah. Maka sekolah telah menciptakan sekat sosial dan menjauhkan murid dari rasa empati.
Tetaplah bersekolah, tapi jangan melenceng dari tujuan hakiki sekolah didirikan.
Wah…terima masih atensinya.
Program Peduli Mentawai ini akan terus berlanjut mas Frian, tahun lalu kita sudah mengajak kerjasama beberapa BUMN untuk pembangunan beberapa Dusun di Mentawai, mulai tahun ini kita ada program SPMB atau Santunan Pendidikan Mentawai Berprestasi yang ditujukan untuk anak asli Mentawai untuk sekolah didalam Mentawai atau di luar Mentawai.
Saya hanya meminta bantuan agar info beasiswa SPMB ini bisa dishare ke yang lain, karena pihak Aksi Peduli Bangsa membuka peluang donasi siswa dan ada formnya, jika berkenan bisa chat via SMS atau email di atas.
Terima kasih.
Sama sama.
Terima kasih kembali.
https://polldaddy.com/js/rating/rating.js
https://polldaddy.com/js/rating/rating.jsSempat ragu mau tanya tentang kelanjutan project ini. Aku pikir mas jumal berangkat kesana sekali. Ternyata ini kontinue ya, aku sangat tertarik program ini. Apa yg bisa aku lakukan untuk mentawai?
Thanks for info 🙂
Sama sama
Saya jawab sedikit dan mungkin nanti ada tambahan dari pembaca yang lain.
Sistem pendidikan pada masa Rasulullah dimana Rasul sebagai pemimpin, dalam pembiayaan pendidikan dikelola oleh Rasul sendiri seperti dengan membuat darus suffah di pelataran masjid untuk siapa saja yang ingin belajar dan tidak ada tempat tinggal.
Pada masa selanjutnya, biaya pemerintah termasuk pendidikan di kelola oleh Baitul Mal. Selain itu, banyak ulama yang dengan ikhlas menggunakan tempatnya untuk belajar dan menanggung semua beban hidup murid.
Pada masa khalifah, seorang guru mendapatkan penghargaan yang tinggi, sebagai contoh penulis buku dihargai dengan emas sesuai berat bukunya, subhanallah.
Pada masa sekarang sudah berbeda, kita lebih cenderung menganut materialisme dan semua hal dinilai dengan uang.
Prinsip bisnis seperti di atas sudah dipraktekka di beberapa pesantren besar seperti Darut Tauhid Bandung, Darul Quran, Kafila School dan lain sebagainya. Cara ini lebih efektif dalam mendidik anak dan mengkader mereka. Demikian jawaban kami.
Miris memang mengetahui klau lembaga pendidikan mnjadi lahan komersialisasi. Untunglah, skolah kmi msh menjaga integritas, lg an di pdlaman, ap jg yg mau dibisniskan, wong ekonomi keluarga murid2nya jg rata2 tdl mampu.
Oya, ap pendapat Anda bhw pendidikan yg brmutu itu mmang mhal, klau mau bermutu mka hrs ad hrga yg hrs dibayar?
Menurut saya itu tergantung persepsi pendiri atau Yayasan sekolah. Pendidikan bermutu bisa dihasilkan meskipun dengan baiaya yang tidak terlalu mahal namun berkualitas.
Seperti sekolah SD yang tadi siang saya kunjungi di daerah Parung, Bogor. Pendirinya seorang ahli kurikulum dari Amerika dan mendirikan sekolah berbasis research untuk anak anak yang kurang mampu, itu satu contoh dan masih banyak yang lainnya.
Artinya, bisa kok kita membuat pendidikan yang murah namun berkualitas. Sejauh mana komitmen, itu yang menentukan.