PARADIGMA PUASA YANG HILANG – Masuk bulan Ramadan, kita sering mendengar hadis tentang keutamaan bulan Ramadan, keutamaan Qiyamul lail, Lailatulqadar dan berbuat baik di dalamnya.
Tetapi ada 3 hadis yang paling umum di kalangan umat Islam, dihafalkan yang muda dan yang tua, berbicara tentang Puasa, Qiyamul lail dan Lailatulqadar. Kesamaan dari ketiga hadis itu adalah pengulangan dari kata ‘Iimanan‘ dan ‘Ihtisaban‘. Ketiga hadis tersebut, semuanya ada dalam dua kitab Sahih Bukhari dan Muslim.
Hadist Nabi Muhammad ﷺ dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ [وفي رواية]: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa saja yang berpuasa Ramadan dengan penuh keimanan dan ihtisab (mengharap pahala dari Allah) maka dosanya yang lalu pasti diampuni” [dalam riwayat yang lain] “Siapa saja yang melakukan salat malam di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan ihtisab (berharap pahala dari Allah), maka dosa-dosanya yang lalu pasti diampuni”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis lain dari Abu Hurairah menyebutkan
مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan lailatulqadar karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari)
Keimanan
Keimanan adalah keyakinan bahwa puasa adalah perintah dari Allah Subhanahu Wata’ala yang wajib dikerjakan dengan mengharap ridha-Nya semata.
Keimanan yang penting adalah keimanan kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan keimanan kepada hari akhir. Al-Qur’an dan Hadis banyak menyebut secara beriringan iman kepada Allah dan iman kepada hari akhir.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala.
لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.” (Surat Al-Baqarah ayat 177)
Dan sabda Nabi Muhammad Shallallahu Alaihiwasallam dalam salah satu hadisnya.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47)
Puasa adalah sarana untuk menggapai predikat Tkwa. Al-Qur’an menyebutkan ciri orang yang bertakwa sebagai berikut:
الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ وَهُمْ مِنَ السَّاعَةِ مُشْفِقُونَ
“(yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat.” (Surat Al-Anbiya’ ayat 49)
Ada dua poin penting dari ciri orang yang bertakwa yaitu:
- Ingat Allah
Yakin akan keberadaan Allah Subhanahu Wata’ala saja tidak cukup, tetapi harus sampai merasakan bersama dengan Allah, merasakan diawasi oleh Allah, itulah keimanan.
- Takut akan hari akhir
Melihat dunia adalah sementara. Memiliki kacamata visioner, melihat jauh ke depan yaitu akhirat, kehidupan yang sebenarnya.
Dua poin ini, kebersamaan dengan Allah dan mengingat bahwa kematian unpredictable (tidak dapat diprediksi). Seseorang yang sedang berpuasa, merasakan bahwa ibadahnya sebagai bekal kematian.
Manusia yang meyakini Hari Akhir senantiasa menyadari bahwa setiap perbuatannya di bawah pengawasan Allah yang Maha Mengetahui. Ia tahu bahwa suatu hari akan datang saat dimana seluruh amal perbuatannya diperhitungkan dengan adil.
Keyakinan akan proses pengadilan yang adil ini tidak akan mampu dilakukan oleh ratusan ribu polisi maupun agen rahasia, karena mereka ini melakukan pekerjaan dari luar, namun pengawasan Allah Subhanahu Wata’ala adalah kontrol internal dimana tidak ada sesuatu yang tersembunyi dari pengawasan-Nya.
Ihtisab
Berasal dari kata Ihtisab yang artinya berhitung. Penuh dengan perhitungan artinya sikap keberhati-hatian. Ini bermula dari sikap keimanan. Keimanan menimbulkan sikap perhitungan dengan makna keberhati-hatian.
Imanan:
- Penuh rasa dalam pantauan Allah Subhanahu Wata’ala, merasakan diawasi Allah Subhanahu Wata’ala. Perilaku akan terjaga jika selalu merasa diawasi. Seperti KPK yang memiliki alat canggih untuk menyadap Handphone para koruptor meskipun dalam keadaan mati.
- Penuh rasa kesadaran (consiusness) bahwa ia sedang menyusun buku amal yang akan dibuka di hari pembalasan.
Dengan dua rasa tersebut, tumbuh rasa ihtisab, penuh perhitungan:
- Takut dari perilaku perbuatan dosa yang mengundang murka Allah Subhanahu Wata’ala
- Semangat mengejar amalan yang menyebabkan pahala dan mengundang cinta Allah, baik kesalehan individual dan kesalehan sosial.
- Meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat dan sia-sia.
Puasa yang penuh perhitungan (Ihtisab) mengindahkan tiga poin di atas, karena menyadari dengan mencintai Allah Subhanahu Wata’ala dan merasa bersama Allah Subhanahu Wata’ala secara tulus, akan mengeluarkan sikap takut dosa. Maka dia berpuasa dari memandang, mendengar dan berbicara yang mengundang murka Allah.
Ihtisaban juga berarti mengejar ibadah-ibadah sunnah. Memperbanyak salat sunnah, membaca Al-Qur’an, menolong sesama termasuk memberikan makan kepada orang yang sedang berpuasa dan lain sebagainya.
Demikian pula, meninggalkan amalan sia-sia seperti menonton televisi atau serial anime atau drama korea yang tidak mengandung pahala, tetapi waktu hilang sia-sia. [ ]
Daftar Isi Buku Paradigma Puasa yang Hilang