Puasa adalah Mengenal Jiwa

PARADIGMA PUASA YANG HILANG – Perpaduan antara badan dan ruh itulah jiwa. Pembahasan tentang jiwa oleh agama, filusuf, dan pakar psikologi tidak berujung. Karena antara pemikiran dan eksperimen. Psikologi sekuler contohnya, menganggap setiap perbuatan adalah netral dan perlu dikaji secara objektif. Label baik dan buruk adalah berdasarkan budaya dan perundangan setempat.

Paling aman dan selamat adalah penjelasan Allah Subhanahu Wata’ala bahwa manusia memiliki sejumlah potensi. Potensi itu bertumpu pada dua bagian besar yaitu potensi berbuat baik (jiwa takwa) dan potensi berbuat buruk (jiwa fujur). Hal ini dijelaskan melalui Al-Qur’an surat Asy-Syams ayat 7-10.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّىٰهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىٰهَا (8)

Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Surat Asy-Syams ayat 7-10)

Jika kita simak ayat-ayat sebelumnya dalam surat Asy-Syams, sebelumnya Allah Subhanahu Wata’ala telah bersumpah kepada matahari dan cahayanya di pagi hari, demi bulan yang memantulkan cahaya matahari Ketika telah mengiringinya. Demi siang Ketika telah menampakkannya, yakni menampakkan matahari dengan jelas, mulai dari pagi, siang dan petang. Demi malam ketika menutupinya, yakni menutupi matahari dengan kegelapannya.

Dan demi langit serta pembinaannya, yakni penciptaan dan peninggiannya yang demikian hebat, demi bumi serta penghamparannya yang demikian mengagumkan. Lalu pada puncaknya, Allah Subhanahu Wata’ala bersumpah kepada jiwa manusia serta penyempurnaan ciptaannya sehingga mampu menampung yang baik dan yang buruk. Supaya kedua potensi tersebut tidak salah penyaluran, maka Allah dan Rasul-Nya memberikan tuntunan dan arahan jalan kebaikan dan keburukan.

Hamka memahami kata ‘Ilham’ dalam ayat ini dengan petunjuk yang diberikan kepada manusia untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Berupa potensi yang diberikan kepada manusia untuk menentukan pilihan.

Baca juga:   Hadirilah! Pelatihan Shalat Khusyu bersama Ustadz Arifin Jayadiningrat

Maka dalam diri manusia ada kekuatan yang menggerakkan raga yaitu jiwa.

  1. Jiwa Fujur: Kekuatan keinginan yang mengajak kepada kemaksiatan.
  2. Jiwa Takwa: Kekuatan keinginan yang mengajak kepada ketaatan.

Adanya Puasa adalah agar potensi jiwa Takwa semakin naik menjadi kompetensi Taqwa sebagaimana dalam ayat Al-Quran tentang perintah berpuasa.

Yang manakah kita? jiwa Takwa atau jiwa Fujur

Manusia harus mengetahui siapa yang men-drive dirinya, jiwa fujur atau jiwa takwa? Jika seseorang makan makanan sampai kekenyangan dan berlebihan, ini indikasi jiwa fujur men-drive dirinya karena Al-Qur’an menjelaskan agar kita makan dan jangan israf (berlebih lebihan).

Mengetahui siapa yang men-drive diri namanya Meta Level Reflection atau bahasa mudahnya adalah kemampuan berkaca diri sendiri. Ketika berkaca dan ada peci yang tidak pas atau ada coretan di pipi, langsung kita rapikan, langsung kita hapus kotorannya.

Coba aplikasikan itu ke jiwa, fisik coba taruh dalam jiwa kita. Jika ada coretan di pipi atau marah, bersihkan kotoran atau bersihkan rasa marah dalam jiwa. Orang yang bisa membaca jiwa, dia memiliki Meta Level Reflection yang tajam.

Penajaman Meta Level Reflection yang paling bagus adalah dengan Puasa. Di dalam Al-Qur’an ada kisah tentang puasa yang bukan hanya menahan lapar dan haus tetapi juga puasa berbicara seperti kisah Maryam. Aktualisasi untuk hari ini, jika dihina atau disakiti tidak harus direspon.

Keinginan yang lemah harus di upgrade dengan metode Meta Level Reflection yaitu kemampuan diri untuk membaca siapakah yang men-drive dirinya, jiwa takwa atau jiwa fujur. Yang menyetir jiwa kita apakah nafsu positif atau nafsu negatif. Orang yang memiliki kemampuan itu sudah punya Meta Level Reflection yang tajam, dia mampu membaca kecenderungan dirinya.

Baca juga:   Puasa: Antara Proaktif dan Reaktif

Setelah dia mampu membaca kecenderungan dirinya dengan Meta Level Reflection selanjutnya dia harus bertanya dan meminta nasehat, merasa salah dan merasa kurang adalah modal Growth Mindset atau pikiran yang terbuka.

Orang yang merasa hebat selalu merasa tidak membutuhkan nasehat orang lain. Membuka diri dan menerima nasehat itulah yang dinamakan Growth Mindset.

Ketika melewati suatu jalan dan tidak tahu arahnya mau kemana kemudian kita tanya seseorang, itu merupakan satu tanda bahwa kita mempunyai sikap Growth Mindset (pikiran yang berkembang).

Dalam hadits disebutkan bahwa

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

“Agama esensinya adalah Nasehat” (HR. Muslim)

Seseorang itu dinilai agamanya bagus jika dia mau menerima nasehat/growth mindset.

Agar selalu tumbuh sikap Growth Mindset maka selalu diingat bahwa orang yang berpikir terbaik karena merasa belum baik, jika orang sudah merasa yang terbaik, top, dia tidak akan berfikir yang terbaik.

Puasa mengenal siapa kita, dikuasai fujur atau takwa. Puasa adalah menahan kekuatan fujur agar kekuatan takwa mendominasi diri. Itulah target puasa agar menjadi orang-orang yang bertakwa

Hidup adalah menjalani bahkan memperjuangkan keinginan Allah Subhanahu Wata’ala (aturan Allah), bukan menjalani dan memperjuangkan keinginan diri sendiri. Bukan menjalani dan memperjuangkan keinginan diri sendiri. Itulah makna Takwa.

Disaat menjalani semua keinginan Allah Subhanahu Wata’ala, akan mengandung semua kepentingan dan kemaslahatan diri dan keluarga.

Ingat Allah Subhanahu Wata’ala lebih sayang lebih cinta, Maha Sayang, Maha Mencintai dibanding diri kita, maka semua keinginan-Nya pasti mengandung kepentingan diri kita. [ ]

Sumber: Buku Paradigma Puasa yang Hilang. Buku dapat dibeli di Deepublish Store

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *