Puasa: Antara Proaktif dan Reaktif

AHMADBINHANBAL.COM – Pada bulan Maret 1974, dunia Islam gempar dengan perintah Presiden pertama Tunisia, Habib Burquibah, yang memerintahkan rakyat dan pegawai bawahannya, untuk tidak melakukan ibadah puasa selama bulan Ramadan.

Demi menunjukkan keseriusannya, Habib Borguiba bersama anggota kabinetnya muncul pada siaran langsung televisi di tengah hari Ramadan, mereka bersantap ria dengan minum jus untuk membuktikan apa yang mereka katakan.

Larangan tersebut telah membuat mufti, aktivis Islam dan rakyat Tunisia yang taat dengan perintah Allah Subhanahu Wata’ala segera bangkit dan menentangnya. Salah satunya adalah Syeikh Muhammad al-Tahir ibn Ashur yang membuat marah Presiden Pertama Tunisia, Habib Bourguiba tersebut.

Presiden Tunisia Habib Burguibah memintanya agar mengeluarkan fatwa bahwa tidak berpuasa di bulan Ramadhan demi pembangunan negara adalah boleh. Namun, Ibnu Asyur tidak gentar menghadapi tekanan pemerintah. Ia keluar ke hadapan publik melalui muncul di kaca TV.

Pada saat orang menantikan apa yang akan dikatakan oleh beliau tentang perkara tersebut, Sheikh Tahir Ibn Ashur bangun dan membacakan ayat puasa :

“Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan ke atas kamu untuk berpuasa sepertimana diwajibkan ke atas orang-orang yang sebelum kamu supaya kamu bertaqwa”

Kemudian beliau berkata :

“Benarlah apa yang Allah katakan dan bohonglah apa yang Bourguiba katakan !!!”

“Benarlah apa yang Allah katakan dan bohonglah apa yang Bourguiba katakan !!!”

“Benarlah apa yang Allah katakan dan bohonglah apa yang Bourguiba katakan !!!”

Beliau mengulangnya sebanyak 3 kali dan berfatwa bahawa haram berbuka puasa di siang ramadhan dan mendakwa bahawa sesiapa yang melakukan demikian maka dia telah mengingkari prinsip asas islam. Beliau juga membatalkan dakwaan yang mengatakan puasa akan menyebabkan kejatuhan ekonomi.

Baca juga:   Bahaya Akademi Fantasi Indonesia (AFI)

Maka semua orang pada hari itu bahagia dan kerajaan Tunisia tidak mampu untuk berbuat apa-apa selain mundur dari tempat. Lalu Allah meninggikan syariat puasa di Tunisia atas keberanian Sheikh Tahir Ibn Ashur.

Kenapa Habib Borguiba melarang umat Islam berpuasa? Alasan pendiri negara Tunisia modern ini adalah bahwa puasa menyebabkan terhambatnya aktivitas kerja dan mengurangi hasil produksi.

Habib Borguiba dalam hal ini hanya melihat dari sudut pengaruh puasa atas ekonomi. Negara semakin mundur penghasilan menurun, ekonomi merosot, produktifitas menurun, pekerja lesu. Semuanya karena umat Islam berpuasa di bulan Ramadan.

Apakah puasa bertolak belakang dengan kepentingan produksi dan kemajuan ekonomi? Akan lebih obyektif jika dilakukan penelitian komprehensif untuk mengetahui sejauhmana pengaruh puasa terhadap produktivitas kerja secara positif atau negatif. Jika setelah diteliti menghasilkan kesimpulan bahwa puasa menyebabkan berkurangnya produktivitas, apakah hal ini disebabkan oleh puasa itu sendiri atau budaya yang salah dalam praktik ibadah puasa kita? Jika faktor kedua yang menjadi penyebabnya, maka puasa tidak salah sama sekali. 

Puasa bukan mengurangi produktivitas namun menambah produktivitas. Dengan puasa, waktu kerja bertambah, karena sebelumnya waktu yang ada digunakan untuk makan pagi dan makan siang, sehingga orang yang sedang bekerja dapat mengefisienkan waktu tersebut untuk meningkatkan produktivitas.

Selain itu, puasa dapat membantu merubah kebiasaan buruk. Menurut Charles Duhigg, penulis buku ‘The Power of Habits’ membutuhkan waktu 21 hari bagi otak untuk ‘menyukai’ kebiasaan baru atau merubah kebiasaan buruk. Puasa Ramadan yang memakan waktu 29 atau 30 hari merupakan sarana yang bagus untuk memulai pola hidup baru.

Andrea Wider, Ilmuwan Amerika ahli Gizi yang masuk Islam setelah meneliti manfaat puasa Ramadan. Wider menemukan fakta bahwa puasa menyebabkan pembaruan 10% sel-sel tubuh dalam sepuluh hari pertama Ramadan, sepuluh hari kedua memperbarui sekitar 66% sel-sel tubuh, dan sepuluh hari yang ketiga menghasilkan pembaruan semua sel tubuh. Dia juga membuktikan bahwa konsentrasi tertinggi ada pada siang hari di bulan Ramadan, dan kekebalan orang berpuasa meningkat sepuluh kali lipat kekebalan normal seseorang.

Baca juga:   Induk Dari Golongan Yang Sesat

Orang yang tidak makan dan minum karena tidak ada yang dimakan adalah orang yang puasanya reaktif. Orang yang reaktif akan cepat marah dan hilang kontrol. Tidak punya tombol ‘pause‘. Tidak punya kemampuan mengontrol diri untuk memilih perbuatan atau reaksi yang baik. Tidak bisa mengontrol diri, bahkan dirinya dibawah kontrol orang lain.

Orang yang beriman, berpuasa untuk tidak makan, tidak minum meskipun dia punya segalanya, karena mengikuti perintah Tuhan-nya, kemudian dia mampu mengontrol diri melawan hawa nafsunya. Bisa makan, tetapi tidak makan. Bisa minum, tetapi tetap bertahan untuk tidak minum. Inilah orang yang puasanya proaktif, bukan reaktif. 

Sebuah contoh disampaikan Ust. Arifin Jayadiningrat di salah satu kajiannya. Si A dan si B, dua-duanya tidak makan babi, si B ditanya kenapa tidak makan babi, dia menjawab secara ilmiah karena babi mengandung bibit penyakit Cacing pita (Taenia solium), dan virus AI (H1N1 dan H2N1) yang semula tidak ganas bermutasi menjadi H1N1/H5N1 yang ganas/mematikan dan menular ke manusia. Si A ditanya kenapa tidak makan babi, dia menjawab karena Allah Subhanahu Wata’ala mengharamkan. 

Sekilas yang paling benar adalah si B karena jelas alasannya, tetapi pada dasarnya Allah ingin seperti si A. Si B menggunakan pendekatan kausalitas (hubungan sebab akibat), kalau dia tidak merasakan jijik dengan babi, maka hukum haramnya tidak ada, dan kalau biotikenologi dan kimia sudah semakin maju dan bisa menghilangkan Cacing pita (Taenia solium), dan virus AI (H1N1 dan H2N1), maka hukum haram pun hilang dan babi hukumnya tidak haram. Allah ingin hamba-Nya taat karena Allah, bukan karena hukum kausalitas.

Maka bulan Ramadan menjadi pembeda antara muslim yang proaktif dengan muslim yang reaktif. [ ]

Baca juga:   Macet Total Di Padang Mahsyar

Referensi:

Timesmachine.nytimes, Bourguiba Toasts Modernism with Fruit Juice at Time of Fast https://timesmachine.nytimes.com/timesmachine/1962/03/06/90136378.html?action=click&contentCollection=Archives&module=ArticleEndCTA&region=ArchiveBody&pgtype=article&pageNumber=8, dikases 27 Maret 2022

Sumber: Buku Paradigma Puasa yang Hilang. Buku dapat dibeli di Deepublish Store

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

2 Comments

  1. Masya Allah Ustadz, Ahmad. Terima kasih insight nya. Ustadz Arifin Jayadiningrat apa kabar Ustadz? Kapan beliau mengisi kajian di sekitar Cinere lagi?

  2. Alhamdulillah.
    Beliau sudah mulai mengajar di beberapa tempat termasuk di masjid Baiturrahman, Cinere. Sebelumnya via online, sekarang sudah mulai offline.

    Terima kasih atas kunjungan di blog sederhana saya.
    Semoga ada sedikit manfaat yang didapat.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *