Puasa adalah peperangan mengalahkan hawa nafsu (nafsu fujur) yang selalu mengajak diri kepada keburukan. Peperangan tanpa ‘gencatan senjata’ ini terjadi dalam setiap diri manusia, menjadi semakin hebat ketika masuk bulan puasa. Allah Subhanahu Wata’ala memberikan banyak ‘senjata’ tambahan untuk mengalahkannya, bahkan ‘mentor’ nafsu yaitu syetan dibelenggu dan tidak bisa membantu nafsu mengalahkan akal dan menguasai hati.
Ketika makan dan minum yang menjadi sumber kekuatan nafsu dibatasi, dan diserbu berbagai macan ibadah, mestinya hati menjadi bersih dan fikiran menjadi jernih. Inilah karakter yang akan membentuk manusia baik. Rasulullah Shallallahu Alaihiwasallam bersabda bahwa dalam diri manusia terdapat sekerat daging, jika baik daging itu, baiklah manusia tersebut. Namun, jika buruk daging itu, buruklah manusia tersebut. Sekerat daging itu adalah hati.
Hati ibarat raja diri dalam tubuh manusia. Tangan, kaki dan mata adalah tentaranga, yang selalu mengikut kata raja. Selamatnya raja, selamat diri manusia, bahagianya raja, bahagia diri manusia, deritanya raja, derita diri manusia juga.
Usaha perbaikan diri, keluarga, masyarakat dan negarah mesti dimulai dengan membersihkan hati manusia. Langkah itu bisa dioptimalkan dalam bulan puasa. Rasulullah Shallallahu Alaihiwasallam berhasil mengubah masyarakat Arab jahiliyah adalah karena Rasulullah berhasil mengubah hati manusia. Dalam bukunya ‘Islam: Revolusi dan Ideologi’ Hamka menegaskan bahwa Nabi Muhammad telah berhasil melakukan revolusi jiwa yang hebat dalam sejarah manusia.
Rasulullah Shallallahu Alaihiwasallam berhasil mengubah masyarakat Arab jahiliyah karena beliau melakukan revolusi hati. Walaupun Arab Jahiliyah kala itu berhadapan dengan berbagai masalah politik (peperangan antar suku), ekonomi (monopoli oleh orang Yahudi), dan sosial (perbudakan, perzinaan, membunuh anak perempuan), tetapi Rasulullah Shallallahu Alaihiwasallam tidak memperbaiki ekses-ekses negatif itu pada akibatnya, tetapi pada puncaknya yaitu hati. Rasul meyakini bahwa kerusakan lahiriah berasal dari batiniah (hati) yang sakit.
Mengambil masa tiga belas tahu, Rasulullah Shallallahu Alaihiwasallam menangani masalah hati manusia dengan wahyu ayat-ayat Makiyyah. Ayat-ayat Al-Qur’an yang pendek dan sarat dengan persoalan iman. Bahasannya berkisar keimanan kepada yang gaib. Keesaan, keagungan dan kebesaran Allah Subhanahu Wata’ala, gambaran kenikmatan di surga dan kesengsaraan di neraka.
Iman di dalam hati adalah kunci perubahan karakter. Secara otomatis akan mengubah manusia secara bertahap, sedikit demi sedikit. Istilah-istilah perubaha seperti reformasi, revolusi, transformasi mesti dilandasi oleh hati. Jika hati ditangani dengan iman, akan memberikan satu kekuatan yang luar biasa dalam diri manusia yang biasa. Tauhid menjadi sumber kekuatan untuk melakukan perubahan, karena ia melerai halangan dan godaan dalam usaha menuju perubahan.
Hati harus senantiasa diawasi, baik pada peringkat awal perubahan sampai sepanjang usaha memperbaiki diri menjadi individu yang baik. Rasulullah Shallallahu Alaihiwasallam bersabda bahwa setiap amal bergantung pada niatnya (HR. Muslim).
Letak segala penilaian perbuatan manusia diawali dengan niat yang ada di hati setiap manusia. Jika niat baik, amal pun akan baik, jika niat buruk, amal baik pun bisa berubah menjadi buruk.
Kualitas amal bergantung pada kualitas hati pelaku. Setiap melakukan perbuata, hati akan menentukan itu amal baik atau amal buruk. Sadaqah misalnya, amal yang baik tetapi jika diniatkan untuk show off, berubah menjadi riya’ dan hukumnya dosa.
Amalan Salat, zahirnya merupakan amal mulia, namun jika hati orang yang melakukan salat karena ingin ‘membesarkan diri’ bukan membesarkan Allah, salat tadi bulan lagi amal mulia.
Hati-hati dengan hati. Amal sebesar gunung tidak akan bernilai walau sekecil debu, jika tidak dengan hati yang bersih dan hati yang tulus (ikhlas). Hati adalah titik pusat pandangan Allah, dan perbuatan yang dilakukan oleh hati yang diakui (dihargai/dinilai) oleh-Nya. Karenanya, Allah hanya melihat hati seseorang, bila bersih niatnya, maka Allah akan menerima amalnya: dan bila kotor hatinya (niatnya tidak benar), maka otomatis amalnya akan ditolak Allah, sebagaimana disabdakan oleh baginda Nabi, “Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada tubuh dan bentuk kamu, tetapi Dia melihat kepada hati-hati kamu.” (HR. Muslim)
Rasululullah pernah menceritakan tentang kondisi seseorang yang dimasukkan ke dalam neraka disebabkan menyakiti tetangganya dengan lisannya meskipun ia orang yang rajin beribadah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa ada seseorang yang melapor kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya wanita itu rajin salat, rajin sedekah, rajin puasa. Namun dia suka menyakiti tetangga dengan lisannya.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkomentar, “Dia di neraka.” Para sahabat bertanya lagi, “Ada wanita yang dikenal jarang berpuasa sunah, jarang salat sunah, dan dia hanya bersedekah dengan potongan keju. Namun dia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Dia ahli surga.” (HR. Ahmad)
Mengapa masuk neraka? lidahnya suka mencela, hatinya kotor meskipun amal ibadahnya banyak.
Dalam konteks lain, Rasulullah Shallallahu Alaihiwasallam memberitakan seorang lelaki masuk surga walau amalnya ‘biasa-biasa saja’ dibandingkan Sahabat yang lain, namanya dikenal dengan Uwais Al-Qarni. Abdullah bin Umar merasa ingin tahu apakah gerangan amalan dari Sahabat yang dijamin surga ini. Setelah diselidiki, Uwais tidak pernah hasad dan dengki kepada orang lain. Bukti bahwa kebersihan hati menjadi tanda seseorang masuk surga.Allah Subhanahu Wata’ala berfirman tentang petingnya hati yang bersih.
Allah Subhanahu Wata’ala menyebutkan dengan hati yang akan selamat di akhirat dengan sebutan Qalbun Salim.
“Pada hari yang harta dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan kalbu yang bersih.” (asy-Syu’ara: 88—89)
Qalbun Salim artinya hati yang lurus, bersih, suci, dan ikhlas dalam segala gerak, pikiran, perasaan, perbuatan dan lain sebagainya hanya kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Ayat ini menggambarkan keadaan hati Nabi Ibrahim As. hati Nabi Ibrahim sudah demikian bersih, lurus dan suci sehingga dalam hatinya hanya ada Allah, bukan yang lain. Akan ada devaluasi di akhirat terhadap nilai harta dan anak yang menjadi variabel kesuksesan di dunia. Keduanya tidak akan berguna jika tidak memiliki Qalbun Salim, sebagai variabel kesuksesan di akhirat.
Agar hati selalu ingat tujuan hidup yaitu membesarkan Allah Subhanahu Wata’ala saja.
- Niatkan semua amal dan gerak kita untuk membesarkan Allah Subhanahu Wata’ala, bukan makhluk-Nya.
- Mulai setiap gerakan dengan nama Allah Subhanahu Wata’ala.
- Pamrih hanya kepada AllahSubhanahu Wata’ala, pujian hanya milik-Nya bukan makhluk-Nya.
- Selalu berzikir dalam keadaan duduk, berdiri dan berbaring.
Setiap gerakan salat dimulai dengan ‘Allahu Akbar’ Allah yang Maha Besar, artinya mulailah gerakan apapun dalam kehidupan kita dengan niat membesarkan Allah.
Saat bangkit dari ruku’ mengucapkan ‘Sami’allah liman hamidahu’ Allah mendengar siapa yang memuji-Nya, maka hati-hati, apakah gerak dan amal kita memuji diri sendiri dan lupa tujuan hidup untuk ‘memuji Allah’.
Saat penutup Salat, kita mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri. Tanda untuk menebarkan kasing sayang kepada sesama, gambaran kesalehan sosial.
Ramadan yang sudah tiba ini, menjadi saat yang terbaik untuk membersikan hati. Merevolusi hati tentang tujuan hidup adalah membesarkan Allah, memuji Allah dan beribadah dengan ikhlas kepada-Nya.
Semoga kita dimampukan mendapatkan Qalbun Salim (hati yang bersih, jernih) di Ramadan ini. Amiin.
Jumal Ahmad | ahmadbinhanbal.com