Ini sedikit catatan memoar saya waktu sekitar empat tahun yang lalu saya dapat kesempatan mengajar di sebuah pesantren di daerah perbatasan kota Semarang dan Salatiga.
Ini tugas pengabdian mengajar selama setahun dari pesantren tempat saya belajar di daerah Cirebon. Sebagai salah satu syarat mengambil ijazah pesantren dan ijazah SMA. Namanya pesantren Darur Robbani yang terletak di desa Gentan, Susukan, Kota Semarang.
Pengalaman pertama saya mengajar setelah kurang lebih tiga tahun belajar agama dan ilmu eksakta. Santri di Darur Robani jadi santri pertama saya dan karena itu saya sangat sayang mereka.
Saya ingat, materi yang saya ajar waktu itu diantaranya bahasa arab, muthola’ah, tarikh islam, tajwid, matematika dan pelajaran IPA untuk SMP. Di luar jam pelajaran saya membuat santri pecinta alam (sapala) yang masih dalam lingkup pesantren. Banyak kenangan indah selama disana.
Setelah beberapa tahun gak kesana, saya mencoba mengingat kenangan-kenangan bersama mereka dan tak terasa air mata ini menetes ketika saya tahu bahwa saya sudah didahului beberapa santri terbaik saya, mereka lebih dulu menghadap Allah swt. Mereka syahid di jalan Allah –nahsabuhu kadzalik wala nuzakki ahadan– sebagaimana sabda Nabi saw bahwa orang yang menuntut ilmu dia berada di jalan Allah swt sampai dia kembali.
Mereka adalah Mundzir dan Irhabuddin yang baru kelas 2 Aliyah waktu saya mengajar dan Ulin Nadhif yang waktu itu kelas 3 Aliyah. Mereka semua cerdas-cerdas dan taat waktu saya mengajar mereka.
Berikut ini sepenggal memoar untuk mereka yang bisa saya ingat.
Mundzir, santri paling ganteng, lincah dan manut dengan saya, katanya dia cucu dari ustadz Abu Bakar Ba’asyir, orang yang paling ditakuti Amerika karena keberaninnya menyerukan kalimat tauhid dan mengingkari sesembahan selain Allah.
Waktu itu saya masih tahun pertama belajar di Al-Islam Bekasi, saya ditelphon ustadz di Daru Robani yang mengkhabarkan kematian santri saya ini. Saya sangat sedih, saya berharap kelak dia jadi penerus dakwah ustadz Abu, namun Allah swt lebih dahulu memanggilnya.
Beliau menceritakan kalau waktu itu Mundzir baru pulang liburan semester dan harus ke pesantren karena dapat jatah jaga, dia dan ibunya berangkat bareng dari kota Malang, sampai di Sruwen mereka berpisah, ibu Mundzir langsung ke Solo dan Mundzirnya ke pesantren, waktu turun dari bis dia bertemu dengan teman sekelasnya Basyir, mereka pulang berdua sampai dekat pesantren mereka mampir warung bakso dulu sambil cipika cipiki nyeritain pengalaman liburan kemarin, mereka jalan ke pesantren berdua dan Mundzir pakai baju dan celana serba hitam ala pakaian orang Afghanistan.
Tiba-tiba dari arah belakang datang bus dari arah belakang menyambar tubuh Mundzir dan terseret sampai kurang lebih 3 km dan menyebabkan kakinya patah dan kepalanya bocor. Langsung si Basyir berteriak meminta tolong temannya di pesantren.
Irhabuddin, santri asal pekalongan yang punya suara bacaan Al-Quran merdu seperti bacaannya Syaikh Musyari Al-Afashi, berbadan besar terlihat sehat, tapi siapa tahu didalam tubuhnya yang besar dan kelihatan sehat itu menyimpan penyakit dalam yang bisa merenggut nyawanya.
Ulin Nadhif, Tahun kemarin mestinya dia lulus sarjana di STID Muhammad Natsir namun dia sakit ketika mengerjakan skripsi yang membuatnya harus dibawa ke rumah sakit. Dia mengalami sakit bronsitis akut, sakit inilah yang mengantarkan dia lebih dulu kepada Allah swt.
Kita hanya bisa mengatakan sesuatu yang diridhai Allah swt Inna Lillahi Wainna Ilaihi Rajiun. Ya Allah semoga engkau memberi rahmat kepada tiga santri yang saya cintai dan banggakan ini, Ya Allah berikan akhir yang baik kepada mereka.
Lalu apa pelajaran yang bisa diambil dari kejadian yang menimpa 3 santri saya ini?
Ada pelajaran yang sangat besar yang layak direnungkan oleh orang-orang yang berakal bahwa KEMATIAN tidak mengenal kecil besar, tua atau muda. Dan apa yang sudah kita siapkan jika kematian mendatangi kita?????
Allah swt berfirman “Tiap-tiap jiwa akan merasakan mati” (QS. Ali Imron: 185) di ayat ini Allah memberi kabar secara umum bahwa setiap yang bernyawa akan merasakan kematian. Maka sudahkah kita siap menghadapi kematian? persiapan apa yang sudah kita upayakan untuk bekal setelah mati? jangan menunda-nunda karena ajal tak kenal usia tak pandang tua atau muda, laki-laki atau perempuan.
Wallahu A’lam Bisshawab
Jumal Ahmad | Twitter @JumalAhmad