Sebelumnya kami pernah menulis beberapa biografi Ahli Nahwu terkenal yaitu Sibawaih dan Quthrub. Kali ini kami akan mengetengahkan profil Imam Ali sebagai peletak dasar prinsip-prinsip ilmu nahwu.
Bagaimana proses Sayyidina Ali dalam merumuskan prinsip-prinsip ilmu ini? Sebagaimana diketahui dalam sejarah kita, Imam Ali adalah sepupu dan hidup lekat dengan keseharian Rasulullah. Karena itu, dasar-dasar kenahwuan yang beliau punya diperoleh langsung dari madrasah al-Qur’an dan Sunnah nabawiyah sebab beliau adalah pihak yang mengetahui dengan apa, dimana, dan bagaimana wahyu ini diturunkan kepada Rasulullah secara persis. Ali juga mengetahui betul bagaimana Rasulullah melafalkan kitab suci ini.
Al-Qafti dalam Inbah al-Ruwwat (Vol. I, h. 39) mengutip kesaksian al-Duali ketika bertamu ke Imam Ali. Ketika masuk ke kediaman Sayyidina Ali, al-Duali melihat beliau sedang merenung. Lalu al-Duali memberanikan diri untuk bertanya: “wahai pemimpin orang yang beriman, apa yang anda pikirkan?” Imam Ali menjawab: “Saya dengar bahwa di daerahmu ada pembacaan al-Qur’an yang seperti demikian, karenanya saya bermaksud menuliskan kitab yang berisi dasar-dasar ilmu bahasa Arab.”
Lalu Al-Duali menjawab: ”Jika engkau Amirul Mukminin melakukan hal ini maka itu akan sungguh-sungguh menghidupkan kita dan juga mengekalkan bahasa itu –bahasa al-Qur’an—dengan kita.” Dialog itu terhenti sampai beberapa hari kemudian al-Duali berkunjung kembali ke kediaman Ali dan sudah menemukan lembaran karangan tersebut.
Lembaran itu secara bebas bisa diterjemahkan sebagai berikut: “Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, kalam (untung gampangya saja, saya terjemahkan diskursus, meskipun bahasa Arab modern sering menggunakan al–khitab atau al-qadhaya) itu terdiri dari ismun (nama-nama benda), fi’lun (jenis aktivitas), dan harfun (huruf, di luar ismun dan fi’lun). Adapun ismun –sebut isim– itu adalah yang muncul dari sesuatu benda yang dinamai (al-musamma), fi’lun –sebut fi’il— itu adalah sesuatu yang yang muncul dari pergerakan benda-benda yang dinamai tersebut, dan sementara harfun –sebut huruf–adalah sesuatu yang muncul dari makna yang tidak bisa masuk ke dalam kategori isim dan fi’il.
Lalu Imam Ali berkata kepadaku –al-Duali—ikutlah aturan itu, tambahkan di dalamnya sesuatu yang terjadi padamu dan ingatlah Abu al-Aswad bahwa al-asma’ (nama-nama) itu terdiri dari tiga hal: yang lahir, yang tersamar, dan sesuatu yang berada di antara kategori lahir dan tersamar.”
Masih banyak versi riwayat tentang interaksi antara Imam Ali dan al-Duali yang bisa kita temukan di kitab-kitab besar lainnya seperti dalam al-Aghani karya al-Isbahani, al-Maraatib al-Lughawiyyin karya Abu Tayyib al-Lughawi, dan al-Fahrasat karya Abu Nadiim.
Dan inilah semuanya yang menjadi ungkapan pertama tentang ilmu Nahwu yang sekarang kerumitan teorinya kita bisa temukan di dalam karangan-karangan yang panjang.
Sumber:
Ngaji Nahwu Oleh Kyai Syafiq Hasyim