Sejarah Harakat dan Tanda Titik Huruf di Al-Quran

AHMADBINHANBAL.COM – Sebagian besar dari kita, mungkin menduga bahwa isi mushaf Al-Quran pada masa Rasulullah saw. adalah sama dengan saat ini. Padahal menurut penelitian sejarah diyakini bahwa harakat, titik muncul belakangan.

Tidak bisa dibayangkan, bagaimana sulitnya membaca Al-Quran jika sampai saat ini masih ditulis dalam bahasa Arab yang belum ada tanda bacanya, sebagaimana di zaman Rasulullah saw. dan khalifah rasyidin.

Beruntunglah, kekhawatiran ini cepat teratasi hingga umat Islam di seluruh dunia bisa mengenali dan lebih mudah dalam membaca Al-Quran. Semua itu karena adanya peran dari sahabat Rasul, tabi’in dan tabiut tabi’in.

Syaikh Abdurrahman Al-Muallimi mengatakan bahwa tidak adanya syakal atau harakat dalam nash Al-Quran dan Sunah terdapat maksud syariat, Allah Swt. hendak memberikan ujian dan latihan bagi jiwa dan diri manusia dan memudahkan pintu jihad bagi para ulama agar Allah Swt. meninggikan derajat mereka.

Ali Romdhoni dalam kajian Tesisnya tentang Al-Quran dan Literasi Arab: : Kajian tentang Pengaruh Al-Quran terhadap Perkembangan Literasi Arab, menegaskan bahwa literasi Arab menemukan momentum perkembangannya bersamaan dengan turunnya wahyu pertama Al-Quran, Qs. Al-Alaq: 1-5 yaitu perintah untuk belajar dan menulis. Sejarah mencatat, Nabi Muhammad saw. memerintahkan sahabat yang pandai baca tulis untuk mencatat berbagai macam urusan umat Islam, termasuk turunnya wahyu.

Maka menurut Ali Romdhoni, mengutip keterangan Ismail R. Alfaruqi menyatakan, posisi Alquran tidak terbatas sebagai kitab suci yang memerintahkan masyarakat untuk berbudaya baca tulis. Lebih dari itu, proses keberadaan Alquran mulai dari fase penerimaan wahyu oleh Nabi Muhammad melalui perantara Jibril a.s., turunnya ayat demi ayat, penghafalan dan penulisan yang dilakukan beberapa Sahabat atas perintah Nabi sendiri, pengumpulan benda-benda yang bertuliskan Alquran, kodifikasi yang dilakukan mulai dari kekhalifahan Abu Bakar yang ditindaklanjuti khalifah sesudahnya, sampai lahirnya mushaf standar yang dipelopori Khalifah Usman bin Affan, dan akhirnya muncul Alqurna berbentuk tulisan, dan berjilid (mushaf) dengan segala kekayaan bentuk fisik, cetakan, ornamen, iluminasi seperti yang kita jumpai hari ini, merupakan inspirasi dan motivasi luar biasa bagi lahirnya literasi Arab.

Artikel ini akan membahas lengkap sejarah harakat dan titik dan melengkapi tulisan kami sebelumnya tentang 6 Website ini untuk Memberi Harakat Otomatis Tulisan Bahasa Arab Gundul.

Mengenai sejarah Tafsir dalam Islam dan hal terkait yang tidak disamapaikan di artikel ini, sila rujuk di Mengenal Sejarah Tafsir Islam.

Semoga menjadi pengetahuan untuk kita bersama.

Harakat Artinya apa?

Harakat secara bahasa berarti bergerak (motions). Secara mudahnya, harakat adalah baris tanda bunyi suatu huruf. Harakat merupakan pengukuran waktu untuk pengucapan huruf, dan gerakan untuk mengatur pengucapan beberapa ketentuan seperti Madd dan Ghunnah, huruf-huruf itu di baca fathah, kasrah, dhammah dan sukun.

Asy-Syaikh Al-Akbar Muḥyiddin Ibn Al-‘Arabi dalam buku Futuhat Makkiyyah, membagi harakat menjadi dua yaitu:

  1. Yang tetap (mutamakkin)
  2. Tidak tetap (mutalawwin)

Yang Tidak tetap (mutalawwin) adalah setiap huruf yang bisa diberi harakat dengan semua jenis harakat atau sebagian saja. Yang bisa diberi semua harakat seperti huruf dal dalam زَيْدٌ, sedangkan yang hanya sebagian seperti isim yang tidak berubah akhirnya (ghairu munsharif) dan tidak menerima perubahan akhir kata.

Huruf Yang tetap (mutamakkin) adalah huruf yang diberi harakat dan ia tetap pada satu harakat itu dan tidak berubah, seperti isim mabni هَؤُلَاءِ.

Siapa yang Memberi Harakat Al-Quran?

Allah Swt. berfirman:

 إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Surat Al-Hijr Ayat 9)

Salah satu manifestasi pemeliharaan Allah Swt. atas Kitab-Nya adalah Allah Swt. telah mempersiapkan para penghafal dan penulis mutqin dari setiap masa ke masa.

Ketika Rasulullah saw. menerima wahyu sebuah ayat, ia akan memerintahkan salah satu Sahabat penulis (katib) untuk menuliskannya di tempat ini dan itu di Surah ini-dan-itu. Pada waktu itu belum ada titik-titik atau harakat huruf.

Pada masa khalifah rasyidin, Islam menyebar ke hampir seperempat dunia dan banyak pengikut non-Arab (Ajam) dan lainnya, dan membuat semakin menyebar kesalahan dalam membaca Al-Quran dan hadis Nabi. Para klaifah dan ulama mulai berpikir untuk meletakkan dasar/ patokan untuk menjaga bahasa Arab dari lahn dan kesalahan.

Khalifah pertama yang memiliki perhatian terhadap kesalahan bahasa Arab adalah Umar bin Khatab r.a. Ia memanggil Abul Aswad Ad-Duali untuk menuliskan kaidah-kaidah Nahwu. Hal ini sebagaimana riwayat dari Abul Qasim Al-Anbari.

Dikutip dari Al-Jami’li Ahkamil Qur’an, Ibnu Abi Mulaikah berkata:

“Pada zaman Umar bin al-Khattab r.a, seorang A’rabiy (Arab Badui) datang dan berkata kepada para sahabat, ‘Siapakah yang mau membacakan kapadaku dari apa yang telah diturunkan kepada Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam?’ Lalu seseorang membacakan kepada A’rabiy tersebut surah Bara’ah (At-Taubah), dia membaca.


أَنَّ اللَّهَ بَرِىءٌ مِّنَ المُشْرِ كِينَ وَرَسُولُهُ

dengan mengkasrahkan huruf lam pada lafazh وَرَسُوْلِهِ yakni sambungan dari lafazh الْمُشْرِكِيْنَ

Maka A’rabiy berkata: ‘Apakah Allah telah berlepas diri dari Rasul-Nya? Seandainya Allah berlepas diri dari Rasul-Nya, maka aku pun berlepas diri darinya’.

Sampailah perkataan A’rabiy ini kepada Umar, sehingga dia dipanggil. Dan Umar r.a berkata: ‘Hai A’rabiy apakah kamu berlepas diri dari Rasulullah saw.?’

Dia menjawab: ‘Wahai Amirul Mukminin, aku mendatangi Madinah tanpa memiliki ilmu tentang Alquran, kemudian aku bertanya: ‘Siapakah yang mau membacakannya kepadaku?’ Kemudian orang ini membacakan kepadaku surah Bara’ah’. Dia pun menyampaikan orang tersebut membaca lafazh وَرَسُوْلِهِ dengan mengkasrahkan huruf lam.

Baca juga:   Mengenal Mufasir Masa Sahabat dan Tabi’in

Lalu Umar menjelaskan: ‘Sebenarnya bukan demikian, hai A’rabiy’. Kemudian dia bertanya: ‘Lantas bagaimana yang benar, wahai Amirul Mukminin?’

Umar r.a membaca (أَنَّ اللَّهَ بَرِىءٌ مِّنَ المُشْرِ كِينَ وَرَسُولُهُ) dengan mendhammahkan huruf lam pada lafazh وَرَسُولُهُ.

Maka A’rabiy tadi berkata: ‘Demi Allah, aku berlepas diri dari apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya berlepas diri darinya’.

Setelah itu Umar bin al-Khattab memerintahkan kepada manusia agar tidak membacakan (mengajarkan qira’ah) kecuali bagi orang yang memiliki ilmu tentang bahasa Arab, dan memerintahkan Abul Aswad untuk membuat kaidah Nahwu.

Abul Aswad terus memikirkan hal ini dan memberikan catatan dan mendengar kesalahan dalam pengucapan bahasa Arab. Sampailah dia ketika masa pemerintahan Khalifah Ali bin ABi Thalib ra, sepupu dan hidup lekat dengan keseharian Rasulullah saw. Keresahan yang sama dengan Umar bin Khatab juga dirasakan Ali bin Abi Thalib.

Al-Qafti dalam Inbah al-Ruwwat (Vol. I, h. 39) mengutip kesaksian al-Duali ketika bertamu ke Imam Ali. Ketika masuk ke kediaman Sayyidina Ali, al-Duali melihat beliau sedang merenung. Lalu al-Duali memberanikan diri untuk bertanya: “wahai pemimpin orang yang beriman, apa yang anda pikirkan?” Imam Ali menjawab: “Saya dengar bahwa di daerahmu ada pembacaan al-Qur’an yang seperti demikian, karenanya saya bermaksud menuliskan kitab yang berisi dasar-dasar ilmu bahasa Arab.”

Lalu Al-Duali menjawab: ”Jika engkau Amirul Mukminin melakukan hal ini maka itu akan sungguh-sungguh menghidupkan kita dan juga mengekalkan bahasa itu –bahasa al-Qur’an—dengan kita.” Dialog itu terhenti sampai beberapa hari kemudian al-Duali berkunjung kembali ke kediaman Ali dan sudah menemukan lembaran karangan tersebut.

Ali bin Abi Thalib memberikan prinsip-prinsip tata bahasa, dan berkata kepadanya:

بسم الله الرحمن الرحيم ، الكلام إسم وفعل وحرف ، فالاسم ما أنبأ عن المسمى ، والفعل ما أنبأ عن حركة المسمى ، والحرف ما أنبأ عن معنى ليس بإسم ولا فعل ، ثم قال تتبعه وزِدْ فيه ما وقع لك ، واعلم يا أبا الأسود أن الأشياء ثلاثة ظاهر ومضمر وشيء ليس بظاهر ولا مضمر، وأنا نفاضل العلماء في معرفة ما ليس بظاهر ولا مضمر، قال أبو الأسود فجمعت منه أشياء وعرضتها عليه ، فكان من ذلك حروف النصب ، فذكرت منها : إن و أن وليت ولعل وكأن ، ولم أذكر لكن ، فقال لي لم تركتها فقلت لم أحسبها منها ، فقال : بل هي منها فزد فيها

“Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, kalam itu terdiri dari ismun (nama-nama benda), fi’lun (jenis aktivitas), dan harfun (huruf, di luar ismun dan fi’lun). Adapun ismun –sebut isim– itu adalah yang muncul dari sesuatu benda yang dinamai (al-musamma), fi’lun –sebut fi’il— itu adalah sesuatu yang yang muncul dari pergerakan benda-benda yang dinamai tersebut, dan sementara harfun –sebut huruf–adalah sesuatu yang muncul dari makna yang tidak bisa masuk ke dalam kategori isim dan fi’il.

Lalu Imam Ali berkata kepadaku –al-Duali—ikutlah aturan itu, tambahkan di dalamnya sesuatu yang terjadi padamu dan ingatlah Abu al-Aswad bahwa al-asma’ (nama-nama) itu terdiri dari tiga hal: yang lahir, yang tersamar, dan sesuatu yang berada di antara kategori lahir dan tersamar. Dan saya persilakan ahli ilmu untuk mengetahui mana kategori lahir dan mana kategori samar.

Aku mengumpulkannya dan menunjukkan lagi kepada Ali bin Abi Thalib, maka di antaranya huruf nashab, seperti إن و أن وليت ولعل وكأن dan tidak kusebutkan لكن, lalu Ali mengatakan, kenapa tidak engkau masukkan, aku menjawab tidak menilainya, dan Ali berkata, dia termasuk dan tambahkan kesana.”

Kisah ini dijadikan bukti tema pertama dalam Nahwu adalah apa yang disampaikan Ali bin Abi Thalib tentang isim, fi’il dan huruf.

Pendapat lain adalah tema Al-Ta’ajub yang berasal dari kisah Abul Aswad Ad-Duali bersama putrinya dan menjadi salah satu kisah cikal bakal Nahwu.

Diriwayatkan bahwa anak Abul Aswad suatu hari mengangkat wajahnya ke arah langit. Ia menghayati keindahan langit beserta bintangnya. Lalu ia berceletuk,

مَا أَحْسَنُ السَمَاءِ

“Maa ahsanu as samaa-I” [Apa yang paling indah di langit?]

Karena dikira si anak bertanya, sang ayah menjawab, “Bintangnya, nak”

Si anak mengklarifikasi, “Yang aku mau adalah ungkapan kekaguman (bukan bertanya-pen)”

Sang ayah menjawab, “Oh, kalau begitu bilangnya seperti ini,

مَا أَحْسَنَ السَمَاءَ

“Maa ahsana as samaa-a” [Betapa indahnya langit itu]

Abul Aswad Ad-Duali, nama lengkapnya ialah Dzalam bin Amru bin Sufyan bin Jandal bin Yu’mar bin Duali, biasa dipanggil dengan nama kuniyahnya, Abul Aswad, sementara Duali karena disandarkan kepada kabilah Dual dari Bani Kinanah.

Abul Aswad Ad-Duali tinggal di Basrah, ketika awal pindah kesana, dia banyak mendengar kesalahan (lahn) bahasa Arab, setiap dia mendapatkan kesalahan dia tuliskan kaedahnya. Kondisi Basrah saat itu memang terdapat banyak kesalahan bahasa karena banyaknya orang asing non Arab yang masuk Islam.

Abul Aswad sendiri tidak menulis semua kaedah Nahwu, tetapi diteruskan oleh murid-muridnya dan ulama Nahwu setelahnya, yang menyempurnakan, memberikan penjelasan, dan menetapkan pokok dan kaedah Nahwu.

Perbedaan Teks Alquran dahulu dan sekarang. Sumber: Ilmfeed.com

Di atas adalah penemuan manuskrip Alquran di Universitas Birmingham yang dianggap sebagai salah satu yang tertua di dunia. Berdasarkan pengujian radiokarbon naskah, manuskrip ini ditulis dalam naskah Hijazi antara 568 dan 645 AD (24AH) dan ada kemungkinan itu ditulis oleh seorang sahabat Nabi Muhammad saw.

Baca juga:   Bentuk-Bentuk Tafsir Al-Quran

Meskipun Al-Qur’an ditransmisikan secara lisan, Nabi saw menginstruksikan beberapa sahabat untuk menuliskannya di daun perkamen. Khalifah Islam ketiga, Utsman ra. adalah orang pertama yang menyusun seluruh Al-Qur’an menjadi satu korpus kanonik.

Manuskrip dari Birmingham, ketika dibandingkan dengan Al-Qur’an hari ini, ditemukan keidentikan. Tidak ada kata atau huruf yang tidak pada tempatnya

Siapa yang Memberi Tanda Titik di Al-Quran?

Pemberian tanda titik dilakukan belakangan setelah pemberian harakat Alquran yang dilakukan oleh Abul Aswad Ad-Duali. Tanda titik dimaksudkan untuk membedakan huruf huruf yang memiliki bentuk penulisan yang sama, namun pengucapan yang berbeda, seperti huruf: ba (ب), ta (ت), tsa (ث), ja (ج), ha (ح), dan kha (خ).

Pada penulisan mushaf ‘Utsmani pertama, huruf-huruf ini ditulis tanpa menggunakan titik pembeda. Salah satu hikmahnya adalah untuk mengakomodir ragam qira’at yang ada. Tapi seiring dengan meningkatnya kuantitas interaksi muslimin Arab dengan bangsa non-Arab, kesalahan pembacaan jenis huruf-huruf tersebut pun merebak. Ini mendorong penggunaan tanda ini.

Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai siapakah yang pertama kali menggagas penggunaan tanda titik ini untuk mushaf Alquran. Namun pendapat yang paling kuat mengarah pada dua nama berikut:

  • Nashr bin ‘Ashim (707 M)
  • Yahya bin Ya’mar (708 M)

Diawali ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintahkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy, gubernur Irak waktu itu (75-95 H), untuk memberikan solusi terhadap ‘wabah’ al-‘ujmah di tengah masyarakat. Al-Hajjaj pun memilih Nahsr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar untuk misi ini, sebab keduanya adalah yang paling ahli dalam bahasa dan qira’at.

Mereka mengembangkan apa yang sudah dibuat gurunya yaitu Abul Aswad Ad Duali, jika tanda yang dirumuskan Abul Aswad berfungsi sebagai tanda huruf hidup (harakat), maka yang dilakukan kedua muridnya ini adalah memberi tanda berupa rumus vocal pada huruf yang sama bentuknya agar mudah dibedakan satu sama lain.

Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i’jam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-i’jam. Penerapannya adalah sebagai berikut:

  • Untuk membedakan antara dal (د) dan dzal (ذ), ra’ (ر)  dan zay (ز), shad (ص) dan dhad (ض), tha’ (ط) dan zha’ (ظ), serta ‘ain (ع) dan ghain (غ), maka huruf-huruf pertama dari setiap pasangan itu diabaikan tanpa titik (al-ihmal), sedangkan huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik di atasnya (al-i’jam).
  • Untuk pasangan sin (س) dan syin (ش), huruf pertama diabaikan tanpa titik satupun. Sedangkan huruf kedua (syin) diberikan tiga titik. Ini disebabkan karena huruf ini memiliki tiga ‘gigi’, dan pemberian satu titik saja diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun. Pertimbangan yang sama juga menyebabkan pemberian titik berbeda pada huruf-huruf ba’ (ب), ta (ت), tsa (ث), nun (ن), dan ya’ (ي).
  • Untuk rangkaian huruf jim (ج), ha’ (ح), dan kha’ (خ), huruf pertama dan ketiga diberi titik, sedangkan yang kedua diabaikan. Sedangkan pasangan fa’ (ف) dan qaf (ق), seharusnya jika mengikuti aturan sebelumnya, maka yang pertama diabaikan dan yang kedua diberikan satu titik di atasnya.

Hanya saja kaum muslimin di wilayah Timur Islam lebih cenderung memberi satu titik atas untuk fa’ dan dua titik atas untuk qaf. Berbeda dengan kaum muslimin yang berada di wilayah Barat Islam (Maghrib), mereka memberikan satu titik di bawah untuk fa’, dan satu titik atas untuk qaf.

Nuqath al-I’jam atau tanda titik ini pada mulanya berbentuk lingkaran, lalu berkembang menjadi bentuk kubus, lalu lingkaran yang berlobang bagian tengahnya. Tanda titik ini ditulis dengan warna yang sama dengan huruf, agar tidak sama dan dapat dibedakan dengan tanda harakat (nuqath al-i’rab) yang umumnya berwarna merah.

Dan tradisi ini terus berlangsung hingga akhir kekuasaan Khilafah Umawiyah dan berdirinya Khilafah ‘Abbasiyah pada tahun 132 H. Pada masa ini, banyak terjadi kreasi dalam penggunaan warna untuk tanda-tanda baca dalam mushaf.

Di Madinah, mereka menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, dan tinta merah untuk harakat. Di Andalusia, mereka menggunakan empat warna: hitam untuk huruf, merah untuk harakat, kuning untuk hamzah, dan hijau untuk hamzah al-washl.

Bahkan ada sebagian mushaf pribadi yang menggunakan warna berbeda untuk membedakan jenis i’rab sebuah kata. Tetapi semuanya hampir sepakat untuk menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, meski berbeda untuk yang lainnya.

Akhirnya, naskah-naskah mushaf pun berwarna-warni. Tapi dari sini muncul lagi sebuah masalah. Seperti telah dijelaskan, baik nuqath al-i’rab maupun nuqath al-i’jam, keduanya ditulis dalam bentuk yang sama, yaitu melingkar. Hal ini rupanya menjadi sumber kebingungan baru dalam membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya.

Di sinilah sejarah mencatat peran Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w.170 H). Sistem yang dia gunakan masih berpegang pada sistem penitikan oleh Hajaj bin Yusuf Ats Tsaqafi, namun Khalil Al Farahidy menempatkan kembali titik pembeda seperti Abul Aswad Ad-Duali untuk huruf yang bersamaan bentuknya seperti ba’ dengan satu titik di bawah, ta’ dengan dua titik di atas dan tsa’ dengan tiga titik di atasnya, bukan lagi syakal dan harakat, sehingga titik ini berfungsi sebagai nuqthah atau i’jam seperti yang kita gunakan sekarang.

Baca juga:   Al-Quran Sebagai Penawar Epilepsi

Ia juga menetapkan bentuk fathah dengan huruf alif kecil yang terlentang diletakkan di atas huruf, kasrah dengan bentuk huruf ya’ kecil di bawahnya dan dhammah dengan bentuk huruf waw kecil diatasnya. Sedangkan tanwin dibentuk dengan menggandakan penulisan masing-masing tanda tersebut, di samping ada beberapa tanda lain.

Terkait dengan hal ini, ada suatu fakta sejarah yang unik, yaitu bahwa tanda titik (nuqath al-i’jam) ternyata telah dikenal dalam tradisi bahasa Arab kuno pra Islam atau setidaknya pada masa awal Islam sebelum mushaf ‘Utsmani ditulis.

Ada beberapa penemuan kuno yang menunjukkan hal tersebut, antara lain:

  • Pertama, batu nisan Raqusy (di Mada’in Shaleh), sebuah inskripsi Arab sebelum Islam yang tertua, diduga ditulis pada tahun 267 M. Batu nisan ini mencatat adanya tanda titik di atas huruf dal, ra’ dan syin.
  • Kedua, dokumentasi dalam dua bahasa di atas kertas papyrus, tahun 22 H (sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional Austria). Dokumentasi ini menunjukkan penggunaan titik untuk huruf nun, kha, dzal, syin, dan zay.
  • Ditambah dengan beberapa temuan lainnya, setidaknya hingga tahun 58 H. Terdapat 10 karakter huruf yang diberi tanda titik, yaitu: nun, kha, dzal, syin, zay, ya, ba, tsa, fa, dan ta.

Sehingga tepatlah jika disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh Nashr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar adalah sebuah upaya menghidupkan kembali tradisi itu dengan beberapa inovasi baru yang disesuaikan dengan kebutuhan.

Perbedaan Quran Madinah dan Quran Indonesia

Mengutip keterangan dari Lajnah Pentashih Alquran Kementrian Agama RI, dalam websitenya lajnah.kemenag.go.id, Mustopa, peneliti Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Kementerian Agama dalam menetapkan mushaf standar Indonesia, bukan tanpa dasar dan alasan.

Di antara alasan penetapan tersebut adalah dalam rangka memudahkan masyarakat Indonesia yang memang bukan orang Arab untuk mengucapkan lafadz dan ayat Al-Qur’an yang notabene menggunakan Bahasa Arab. Faktor ‘azam inilah yang menjadi salah satu bahan masukan para ulama dalam merumuskan mushaf standar Indonesia. Bagi orang Arab, melafalkan ayat Al-Qur’an tentu akan lebih mudah karena menggunakan bahasa dan tulisan mereka sehari-hari, sementara masyarakat Indonesia tidak demikian.

Alasan untuk memudahkan masyarakat Indonesia dalam membaca Al-Qur’an seperti dijelaskan sebelumnya bukan sekadar diperkirakan atau diduga semata-mata, tapi dikukuhkan berdasarkan riset yang dilakukan peneliti LPMQ tahun 2013. Dalam penelitian tersebut terungkap, bahwa kecenderungan masyarakat dalam menggunakan mushaf standar Indonesia diantaranya adalah karena faktor kemudahan dalam membacanya. Kemudahan yang dimaksud dalam hal ini adalah kemudahan membaca sesuai dengan kaidah tajwid, seperti ketika terjadi bacaan idgam, ikhfa, iqlab, bacaan panjang, dan beberapa kaidah bacaan tajwid lainnya.

Di Mushaf Madinah, ketika terjadi beberapa hukum bacaan tajwid pada ayat Al-Qur’an tidak ada tanda yang membantu bagaimana membaca dan membunyikannya. Sebagai contoh, pada lafdzul jalalah (lafadz Allah), Mushaf Madinah tidak mencantumkan fathah berdiri (fathah qaimah) pada lam yang memang harus dibaca panjang (dua harokat), sementara di mushaf standar Indoensia, lam pada lafadz Allah dibuat fathah berdiri agar dibaca panjang dua harakat. Tanda tersebut diberikan agar masyarakat Indonesia jangan sampai salah dalam memunyikan lafadz Allah. Orang Arab barangkali tidak perlu karena mereka sudah terbiasa membunyikan lafdz tersebut dengan lam yang dibaca panjang. Demikian halnya dengan hukum bacaan idgam, ikhfa, dan beberapa bacaan tajwid lainnya.

Mukernas Ulama Al-Qur’an dalam kaitan ini menetapkan sejumlah tanda baca pada Mushaf Standar Indonesia yang tidak ada pada mushaf Saudi. Berikut adalah beberapa perbandingan perbedaan penulisan lafadz antara Mushaf Madinah dengan mushaf standar Indonesia.

perbedaan mushaf indonesia dan mushaf saudi

Pada buku Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia yang ditulis oleh Zainal Arifin,dkk, dijelaskan 8 tanda, lambang yang secara prinsip dimaksudkan untuk membantu proses membaca teks Al-Qur’an agar tepat bacaan (qiraah)-nya sesuai hukum tajwid. Kedelapan tanda itu adalah,

  1. Idgam, baik bi gunnahbi la gunnahmimiymutamasilainmutajanisain, maupun mutaqoribain, semuanya diberi tanda tasydid;
  2. Iqlab, dengan tanda mim kecil;
  3. Mad wajib;
  4. Mad jaiz;
  5. Saktah;
  6. malah;
  7. Isymam; dan
  8. Tashil.

Referensi:

Ali Romdhoni, “Al-Quran dan Literasi Arab: : Kajian tentang Pengaruh Al-Quran terhadap Perkembangan Literasi Arab“, Tesis Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, (Tautan unduh Tesis: https://drive.google.com/file/d/0B9kHGfwtivR-dGFHUWkxdV9SVWc/view?resourcekey=0-bh7XbUskVUUWZxEavZrEKQ, diakses pada 15 September 2023)

Patimah Batubara, “Proses Pemberian Titik (Nuqthah) pada Huruf-Huruf Al-Quran oleh Abu Al-Aswad Ad-Duali”, Skripsi Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018, (https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39079/1/PATIMAH%20BATUBARA-FAH.pdf, diakses 16 September 2023)

Jumal Ahmad, “Sayyidina Ali ra, Peletak Dasar Ilmu Nahwu“, ahmadbinhanbal.com (blog), Maret, 28 2017, (https://ahmadbinhanbal.com/sayyidina-ali-ra-peletak-dasar-ilmu-nahwu/, diakses 20 September 2023)

Penerbit Jabal, “Sejarah Pemberian Titik dan Harakat pada Huruf Al-Quran“, percetakanalquran.com (blog), https://percetakanalquran.com/sejarah-pemberian-titik-dan-harakat-pada-huruf-al-quran/, diakses 19 September 2023.

Mustopa, “PERBANDINGAN MUSHAF STANDAR INDONESIA DENGAN MUSHAF MADINAH“, lajnah.kemenag.go.id (blog), Oktober, 16 2018. (https://lajnah.kemenag.go.id/artikel/perbandingan-mushaf-standar-indonesia-dengan-mushaf-madinah.html, diakses 20 September 2023)

Islam Web, القرآن الكريم…أول من وضع نقطه وأول من شكله, islamweb.net (blog), 8 Juli 2002/ 8 Rabiul Awal 1423, https://www.islamweb.net/ar/fatwa/18675/%D8%A7%D9%84%D9%82%D8%B1%D8%A2%D9%86-%D8%A7%D9%84%D9%83%D8%B1%D9%8A%D9%85%D8%A3%D9%88%D9%84-%D9%85%D9%86-%D9%88%D8%B6%D8%B9-%D9%86%D9%82%D8%B7%D9%87-%D9%88%D8%A3%D9%88%D9%84-%D9%85%D9%86-%D8%B4%D9%83%D9%84%D9%87, diakses 19 September 2023.

How to cite this Article:

Jumal Ahmad “Sejarah Harakat dan Tanda Titik Huruf di Al-Quran”, ahmadbinhanbal.com (blog), September 20, 2023 (+ URL dan tanggal akses)

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *