Perdebatan tentang metode unggulan dalam interpretasi al-Qur’an menghiasi sejarah tafsir. Metode tafsîr bi al-ma’tsûr dan tafsîr bi al-ra’yi adalah dua metode yang saling melengkapi dan dianggap paling ideal dalam mendekati makna al-Qur’an.
Kedua metode inilah yang paling sering digunakan oleh para mufassir dalam aktifitas penafsiran mereka.Kecendrungan untuk mengunggulkan salah satu metode dari kedua metode di atas, hanyalah terkait dengan ilmu yang dikuasai seorang mufassir.[1]
Oleh karenanya, ulama berusaha menyusun kriteria ilmu yang seharusnya dimiliki oleh orang-orang yang hendak memasuki gerbang penafsiran. Kriteria ilmu yang ditetapkan tersebut ada yang berkategori utama, seperti ilmu-ilmu al-Qur’ân, hadîts, atsar sahabat dan tabi’in (tafsir qur’an dengan qur’an, qur’an dengan hadits, qur’an dengan pendapat sahabat, qur’an dengan pendapat tatbi’in), ada pula yang berkategori pelengkap, seperti ilmu bahasa dengan berbagai cabangnya, ilmu qirâ’at, ilmu ushuluddin, Ilmu Fiqh, ilmu Ushûl fiqhi dan lainnya[2].
Terkait dengan tafsir al-qur’an dengan al-Qur’an, sarjana ulumul qur’an secara umum mengkategorisasikannya dalam kerangka Tafsir bi al-ma’tsur. Sebut saja misalnya al-Suyuthi. Ia menjelaskan bahwa yang dimaksud tafsir bi al-ma’tsur adalah tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau hadits, atau pendapat sahabat, atau tabi’in.
Dalam catatan al-Suyuti, terminologi tersebut dapat ditelusuri hingga zaman Ibnu Taimiyah. Dan memang dalam Muqaddimah Fii Ushul al-Tafsir, definisi demikian disampaikan oleh Ibnu Taimiyah, tetapi ia tidak mengistilahkannya dengan tafsir bi al-ma’tsur. Ia hanya menyebutnya ahsanu thuruq al-tafsir.[3]
Sejauh penelitian yang dilakukan oleh Darmawan, istilah tafsir bi al-ma’tsur baru ditemukan melalui tafsir yang yang ditulis oleh al-Suyuti sendiri dengan judul al-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur.[4] Namun yang dimaksud al-Suyuthi, sesuai dengan kandungan tafsirnya, bukanlah penafsiran al-qur’an dengan alqur’an, atau hadits, atau pendapat para sahabat dan tabi’in, tetapi penafsiran al-Qur’an dengan hadits dan pendapat para sahabat saja. Dan memang dalam mukaddimah tafsirnya, al-Suyuti mengatakan bahwa tafsirnya hanya memuat kompilasi penafsiran-penafsiran Nabi saw. dan para sahabat saja.[5]
Kemudian pada zaman moderen, al-Zarqani, dalam kitabnya yang berjudul Manahil al-Irfan, mengadopsi gagasan Ibnu Taimiyah secara utuh dan menamainya dengan al-tafsir bi al-ma’tsur. Ia mengategorisasikannya sebagai bagian (qism) dari tafsir dan bukan lagi dalam kerangka thariqah tafsir.[6]
Dalam kitabnya tersebut, ia menjelaskan bahwa tafsir terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu ; al-tafsir bi al-ma’tsur, al-tafsir bi al-ra’yi dan tafsir bi al-isyari. Kemudian beliau menjelaskan bahwa tafsir bi al-ma’tsur adalah apa yang terdapat di dalam al-qur’an, atau dalam sunnah atau pendapat sahabat yang berfungsi sebagai penjelasan terhadap kehendak Allah swt. dalam kitab-Nya.[7]
Seiring dengan perkembangan wacana keilmuan yang makin meluas pada zaman modern, muncul beberapa upaya untuk melihat kebasahan tafsir al-qur’an dengan al-qur’an jika ditempatkan ke dalam bingkai tafsir bi al-ma’tsur. Misalnya saja apa yang ditulis oleh Quraisy Shihab tentang problem yang dihadapi tafsir al-qur’an dengan al-qur’an yang terbingkai dalam koridor tafsir bi al-ma’tsur.
Ia menulis :
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul, sehubungan dengan tafsir ini, antara lain adalah : Siapa yang berwenang menetapkan bahwa ayat A ditafsirkan oleh ayat B ? Apakah hanya Rasulullah sendiri atau para sahabat, bahkan atau juga ulama-ulama sesudahnya, misalnya al-Thabari dan Ibnu katsir? Apa kriteria yang harus dikandung oleh masing-masing ayat unutk maksud tersebut? Dan banyak pertanyaan lain. Kesemunya masing memerlukan jawaban atau penjelasan yang kongkret, karena –kalau tidak- dapat saja terjadi penafsiran ulama yang menggunakan ayat al-Qur’an menempati posisi yang lebuh tinggi daripada penafsiran Rasulullah saw. ini menjadi masalah, sebab, bukankah ulama terdahulu menyatakan bahwa peringkat tertinggi dari penafsiran adalah penafsiran ayat dengan ayat, baru kemudian disusul oleh penafsiran Rasulullah saw. (hadits), dan terakhir adalah penafsiran para sahabat? Ini merupakan salah satu contoh permasalahan masa lampau yang perlu diselesaikan.[8]
Begitu pula yang dilakukan oleh Shalah abdul Fattah al-Khalidi. Dalam bukunya, Ta’rif al-Darisin bi Manahij al-Mufassirin, ia mengkritisi Mustafa Muslim yang mengutip pendapat Abu Syahbah ketika membahas tafsir al-qur’an dengan al-qur’an dalam kerangka tafsir bi al-ma’tsur.
Kutipan tersebut disinyalir oleh al-Khalidi sebagai persetujuan Musthafa Muslim terhadap sikap Abu Syahbah. Sikap yang sesungguhnya tidak disetujui oleh al-Khalidi, karena menurutnya tafsir bi al-matsur hanya mencakup tafsir al-Qur’an dengan sunnah, pendapat sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in.[9]
Adapun tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Khalidi tidaklah memasukkannya dalam tafsir bi al-matsur, karena dalam tafsir al-qur’an dengan al-qur’an, sang penafsir hanya menginterpretasi alqur’an dengan al-Qur’an itu sendiri. Sementara telah diketahui bersama bahwa al-qur’an bukanlah perkataan manusia, seperti sahabat dan tabi’in.
Yakni, al-Khalidi tidak melihat penafsir –ketika menafsirkan al-qur’an dengan al-qur’an- mengandalkan aktifitas penukilan riwayat dan penyeleksian keshahihan riwayat-riwayat yang dinukil, karena ayat al-qur’an sendiri sudah terjaga dan dianggap paten yang tidak membutuhkan takhrij dan tashih lagi.
Baginya, takhrij, tashih dan penyeleksian riwayat shahih yang disertai semangat untuk memperoleh riwayat yang valid menjadi sesuatu yang inheren dalam perkataan yang ma’tsur dalam penafsiran. Sementara, bagi al-Khalidi, al-qur’an tidak membutuhkan aktifitas demikian. Dengan itu, ia tidak melihat tafsir al-qur’an dengan al-qur’an masuk dalam kategori tafsir bi al-ma’tsur.[10]
Kemudian, dalam penelitiannya menyangkut riwayat dan dirayah dalam tafsir al-Syaukani, Maryono menegaskan bahwa penafsiran yang dilakukan oleh al-Syaukani dengan menggunakan ayat-ayat al-qur’an untuk menafsirkan ayat lainnya dapat dimasukkan dalam tafsir bi al-ra’yi.
Ia menulis :
Sepanjang dilakukan tanpa memasukkan riwayat, tafsir al-qur’an dengan al-qur’an termasuk al-dirayah, karena ia dilakukan berdasarkan persamaan linguistic pada tingkat lafazh.[11]
Jika kita melihat penegasan Maryono, terlihat bahwa telah ada upaya untuk melihat tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an dari segi dirayah.
Alasan yang dimajukan olehnya adalah menafsirkan ayat dengan ayat yang lain, jika didasari pada factor bahasa dan bukan pada riwayat maka pantas untuk dimasukkan dalam tafsir bi-al-ra’yi.
Pandangan ini menurut penulis memiliki nilai tersendiri, karena dari beberapa peneliti yang memberikan kritik terhadap penempatan tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an dalam kerangka tafsir bi al-ma’tsur, belum ada yang mengungkapkan dengan jelas pilihan mereka.
Yakni, apakah dengan kritik mereka tersebut berarti menghendaki tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an ditempatkan dalam kerangka tafsir bi al-rayi atau tidak?Jika kita melihat tulisan Quraish Shihab, tidak ada penegasan sama sekali tentang hal ini. Demikian pula al-Khalidi. Ia tidak menjelaskan sikapnya dengan gamblang pada kritik yang dimajukannya.
Hanya saja, jika kita melihat kecendrungannya ketika menulis tentang ahsanu thuruq al-tafsir, tampaknya ia cendrung melihat bahwa tafsir al-Qur’an dengan al-qur’an tidak lagi dilihat dari sudut sumber, tetapi dapat dilihat dari segi prosedur yang harus dilakukan oleh setiap penafsir ketika hendak menginterpretasi al-Qur’an, baik sang penafsir tersebut cendrung kepada riwayah maupun kepada dirayah.
Sikap ini memang menjadi sikap umum dikalangan sarjana tafsir dan ulum al-qur’an belakangan ini, mengingat al-qur’an tentu lebih tepat jika ditafsirkan dengan ayat lainnya. Karena apa yang masih global pada ayat tertentu akan ada penjelasannya secara luas pada ayat yang lain.
Demikian pula bentuk tafsir al-qur’an dengan al-qur’an lainnya, seperti ayat yang mujmal dengan ayat yang mubayyan, ayat yang mutlak dengan ayat yang muqayyad, ayat yang umum dengan ayat yang khusus, ayat yang tampak bertentangan, dan signifikansi qira’ah dalam menjelaskan makna. Kesemua itu, menurut hemat penulis, dapat mengiterpretasi al-qur’an sendiri, karena sang pembicara (Allah swt.) tentunya lebih berhak menjelaskan firma-Nya sendiri sebelum melibatkan fihak lainnya.
Jika kita melihat perubahan konsepsi tafsir bi al-matsur, sebagaimana yang dipaparkan Darmawan, selama berdialektika dengan tafsir bi al-ra’yi dalam perkembangannya hingga zaman Ibn Taimiyah, terlihat jelas bahwa pase istidlal akan menampung keberadaan tafsir al-qur’an dengan al-qur’an dalam bingkai tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi sekaligus.
Maksudnya bahwa, jika dilihat dari proses untuk melahirkan pemaknaan dari sang penafsir ketika memeriksa dalil-dalil yang hendak dijadikan pijatan ketika menuliskan penafsirannya, maka tak ada keraguan bahwa dengan demikian ia berada dalam bingkai tafsir bi al-ma’tsur.
Tetapi jika dipandang dari sudut hasil, berupa penafsiran yang tidak lagi menuliskan berbagai riwayat yang menjadi pijakannya, maka kesan utama yang lahir adalah bahwa ia sangat dekat dengan tafsir bi al-ra’yi.
Karenannya, pandangan Maryono, sedikit banyak telah memperkuat gugatan beberapa sarjana al-qur’an terhadap posisi tafsir al-qur’an dengan al-qur’an yang berada di bawah naungan tafsir bi al-ma’tsur. Bahkan pandangan ini dapat memberikan arah baru untuk melihat tafsir jenis ini dari segi bahasa murni.
Kecendrungan terakhir inilah yang sesungguhnya dilakukan oleh Bint Syathi dengan al-Tafsir al-Bayani-nya. Sebuah gagasan yang diadopsi dari suaminya sendiri, Amin al-Khuli. Bahkan kecendrungan ini dipertegas dengan lahirnya al-Fann al-Qashashi dari Ahmad bin Muhammad Khalafullah.
Belakangan, muncul hermeneutic sebagai tawaran metodologis baru dalam menginterpretasi al-qur’an. Cara yang ditempuh oleh Izzat Darwasa dan Fazlurrahman.
Sumber: Idrus Abidin, Seputar Problematika Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
[1] Lihat : Al-Dzahabi, Muhammad Husain, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo : Dar al-Hadîts, .2005), jilid 1, hal.133.
[2]Al-Itqân fî Ulûm al-Qur’ân, Jalaluddin al-Suyûti, (Bairut : Al-Maktabah al-‘Ashriah), jilid 4, th.1988, hal.185-188.
[3] Ibn Taimiyah, Taqi al-Din Ahnad Ibn Abd al-Halim, Muqaddimah Fii Ushul al-Tafsir, Editor Adnan Zarzor, (Kuwait : Dar al-Qur’an al-Karim, 1971), hal.93-105.
[4] Darmawan, Dadang, Sejarah Tafsir bi al-Ma’tsur, ( Tesis pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah : Ciputat, 2003), hal.16.
[5] Al-Suyuthi, Jalal al-Din “Abd Rahman Ibn Abi Bakr, Al-Durr al-Mantsur Fi Tafsir bi al-Ma’tsur, (Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1990), Vol.1, Cet.1, hal.17.
[6] Perbedaan antara qism dan thariqah tafsir sesungguhnya berdasarkan pada asumsi bahwa tafsir memiliki sumber dan melalui sebuah proses. Berdasarkan sumber penafsiran, tafsir bisa diklarifikasi menjadi ma’tsur dan ra’yi, atau dengan kata lain riwayah dan dirayah. Namun jika asumsi yang mendasarinya adalah proses dalam melahirkan penafsiran, maka thariqah merupakan nama yang tepat. Pembedaan penamaan ini tampaknya muncul akibat pergesaran yang terjadi pada cara melihat tafsir bi al-ma’tsur. Memposisikan tafsir bi al-ma’tsur sebagai sumber akan berimplikasi pada adanya dikotomi antara ma’tsur dan ra’yi. Dan memang, dalam sejarahnya, tafsir bi al-matsur lahir berdasarkan pada upaya menghindari ra’yi dalam kegiatan penafsiran. Namun demikian, setelah formulasi baru yang ditawarkan oleh Ibn Taimiyah dengan gagasannya, Ahsanu Thuruq al-Tafsir, wacana ini kembali memberikan cara baru dalam memadandang tafsir bi al-ma’tsur, yang tidak selalu berdasarkan sumber semata, tetapi juga berdasarkan proses lahirnya sebuah penafsiran. Cara ini kemudian mendekatkan antara tafsir bi al-ma’tsur, dengan konsep istidlal-nya, dengan tafsir bi al-ra’yi. Alasanya bahwa, dengan konsep istidlal, tafsir bi al-ma’tsur tidak lagi berorientasi penuh terhadap riwayat-riwayat dengan berusaha mengeliminasi ra’yi secara maksimal, tetapi tampak mulai mengakomodasi ra’yi selama didukung oleh dalil yang valid. Lihat : Darmawan, Dadang, Sejarah Tafsir bi al-Ma’tsur, hal.104.Gaya ini kemudian didukung dan mulai dicari keabsahannya pada zaman moderen ini. Misalnya saja, al-Qardhawi menyusun hirarki atau prosedur penafsiran yang ia anggap sebagai al-Manhaj al-Amtsal Fi al-Tafsir, berupa : A. Menggabungkan antara riwayat dan dirayah, B. Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, C. Tafsir al-qur’an dengan sunnah, D. Memberdayakan tafsir sahabat dan tabi’in, E. Menggunakan makna asli bahasa, F. Memperhatikan maksud kalimat (siyaq) dalam menentukan makna, G. Mempertimbangkan asbab an-nuzul, H. Menjadikan al-qur’an sebagai penunutun dalam menemukan makna dan tidak memaksa al-qur’an mengikuti kehendak penafsir. Lihat : Al-Qardhawi, Yusuf, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Qur’an al-Karim, (Bairut : Dar al-Syuruq, 1999), cet.1, hal.210-262).
[7] Al-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-Azhim, Manahil al-Irfan, ( Baerut : Dar al-Ma’rifah, 1999), Vol.1, hal.431.
[8] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fingsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung : Mizan, 1993), Cet.5, hal.151.
[9] Al-Khalidi, Shalah ‘Abd al-Fattah, Ta’rif al-Darisin bi Manahi al-Mufassirin, ( Damaskus : Dar al-Qalam, …), hal.148.
[10] Al-Khalidi, Shalah ‘Abd al-Fattah, Ta’rif al-Darisin bi Manahi al-Mufassirin, hal.148.
[11] Maryono, al-Riwayah dan al-Dirayah Dalam Tafsir, Tesis pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, th.2007, hal.156.
kl ada yg seperti ini kirim ke email ana dong mas Jumal ,,, anwaralalakhfiya@gmail.com
Ok, insya Allah mas Syamsul..
[…] Seputar Problematika Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an […]