Ini transkrip dialog Traversing Tradition dengan Dr. Recep Sentürk dari Ibnu Khaldun University, Turki yang membahas isu-isu penting seputar sosiologi dan pendidikan dalam kaitannya dengan Ibnu Khaldun, penulis kitab Al-Muqaddimah.
Transkrip dalam bahasa Inggris dibuat oleh Heera Hashmi yang dia ringkas dan edit agar lebih nyaman bagi pembaca. Dialog ini sudah diupload di Youtube, sila kunjungi tautan ini.
Saya mencoba sedikit menerjemahkan trankrip Heera Hashmi dari Website Traversing Tradition agar paparan Dr. Recep Senturk bisa tersebar luas di kalangan Indonesia dan Malaysia. Makalah dalam bahasa Inggrisnya bisa dikunjungi di tautan ini: https://traversingtradition.com/2021/10/14/sociology-and-modern-education-with-dr-recep-senturk-of-usul-academy/
Transkrip saya fokuskan kepada paparan Dr. Senturk tentang Sosiologi dan Pendidikan, dialog tentang program Ushul Academy saya tangguhkan dan silakan kunjungi tautan di atas atau webnya untuk informasinya.
Sekilas Dr. Recep Sentürk
Dr. Recep Sentürk adalah Presiden Ushul Academy dan saat ini menjabat sebagai profesor sosiologi di Ibn Haldun University (IHU) dan sekaligus pendirinya di Istanbul (2017-2021).
Setelah lulus dari The School of Islamic Studies di Universitas Marmara, ia menyelesaikan gelar MA dalam bidang Sosiologi di Universitas Istanbul. Melanjutkan gelar PhD dalam Sosiologi di Universitas Columbia, New York.
Selanjutnya beliau menjabat sebagai peneliti di Pusat Studi Islam (İSAM) di Istanbul, dan direktur Institut Aliansi Peradaban (Alliance of Civilizations Institute). Juga menjabat sebagai ketua Internatiional Ibn Haldun University. Beliau telah menerbitkan secara luas karyanya dalam bahasa Inggris, Arab, dan Turki pada berbagai topik, termasuk teori dan metode sosial, peradaban, modernisasi, sosiologi agama, jaringan transmisi hadits, Malcolm X, Islam dan hak asasi manusia, pemikiran Turki modern, dan kehidupan dan ide-ide Ibnu Khaldun. Karya beliau telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Jepang, dan Spanyol.
Pertanyaan 1
Ibnu Haldun secara luas dianggap sebagai Bapak Sosiologi. Bisakah Anda memberikan gambaran singkat tentang sejarah subjek sosiologi dalam kaitannya dengan agama? Dalam hal apa sosiologi Ibnu Khaldun berbeda dari sosiologi modern?
Saya sangat tertarik dengan Ibnu Khaldun [w. 1406] karena beberapa alasan. Alasan paling penting adalah jika pada hari ini Anda ingin memperoleh kemandirian intelektual dan akademik di bidang ilmu-ilmu sosial dari pemahaman hegemonik dominan ilmu sosial, yaitu eurosentris, positivistik, materialistik, modern, atau postmodern – jika Anda ingin memperoleh kemandirian dari jenis ilmu sosial ini – kita perlu mengandalkan sumber daya kita.
Ibnu Khaldun memainkan peran yang sangat penting dalam hal ini. Ibnu Khaldun sering dipandang sebagai pendiri ilmu sosial modern – pendahulu, cikal bakal. Namun, saya tidak setuju dengan ini. Dia bukan pelopor: dia adalah alternatif ilmu sosial modern.
Ketika Anda mengatakan pendahulu atau pelopor itu berarti Ibnu Khaldun memainkan peran di masa lalu tetapi sekarang tidak lagi relevan. Dianggap ketinggalan jaman karena orang-orang setelahnya datang dengan ide dan teori yang lebih canggih dan lebih baik. Tapi saya katakan dia bukan pendahulu, dia alternatif.
Kami mendirikan International Ibn Khaldun Society bersama dua orang teman saya, Farid Alatas dari Singapura dan Bruce Lawrence dari Duke University. Tujuan International Ibn Khaldun society adalah untuk menunjukkan Ibn Khaldun sebagai alternatif dari ilmu-ilmu sosial modern yang eurosentris. Kami memutuskan cara terbaik untuk melakukan ini dengan menerapkan Khaldunisme.
Penerapan Khaldunisme yang kami maksud bukan hanya memuji Ibn Khaldun dan membicarakan kehebatannya, mengapa kita mesti menerapkan ide-idenya pada isu-isu terkini. Kami banyak menyelenggarakan simposium internasional Ibn Khaldun di Istanbul, mengundang para sarjana dari seluruh dunia, Muslim dan non-Muslim, yang percaya bahwa Ibn Khaldun menghadirkan alternatif ilmu-ilmu sosial saat ini.
Mereka menerapkan teori, konsep, dan metode Ibn Khaldun untuk masalah yang kita hadapi, baik ekonomi, politik, pendidikan, atau agama, dan menunjukkan secara komparatif bahwa teorinya membantu lebih memahami dan memecahkan masalah yang kita hadapi saat ini. Inilah yang kami sebut Penerapan Khaldunisme.
Ibn Khaldun berbeda dari ilmu-ilmu sosial masa kini yang bersifat eurosentris. Eurosentrisme maksudnya menguniversalkan pengalaman Eropa, menyajikannya seolah-olah itu wajar. Seolah-olah semua masyarakat harus mengalami pengalaman yang sama, seolah-olah semua masyarakat harus melalui proses yang sama seperti yang dialami Eropa, seolah-olah alami, objektif, dan universal, tidak memperhitungkan bahwa [itu] regional. Itu terjadi di Eropa.
Masyarakat lain pasti memiliki pengalaman yang berbeda. Menghadirkan pemahaman positivistik, materialistis tentang kehidupan sosial dan realitas seolah-olah itu wajar dan semua orang harus menerimanya dengan alasan ilmiah – inilah yang saya maksud ketika saya mengatakan ilmu sosial “eurosentris”.
Ada upaya untuk melampaui eurosentrisme di dunia, bahkan di Barat. Tetapi sangat sulit bagi mereka untuk melampaui pemahaman eurosentris ini karena apa yang kita miliki di luar eurosentrisme? Mereka tidak punya apa-apa. Tapi kita memiliki ulama besar dalam peradaban kita. Kita dapat memanfaatkan sumber-sumber tersebut dan menghasilkan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alternatif, dalam hal ini Ibnu Khaldun sangat membantu.
Saat ini, ada gerakan yang disebut dekolonisasi kurikulum.
Jika Anda mendekolonisasi kurikulum, apa alternatif Anda?
Kurikulum alternatif seperti apa yang akan Anda gunakan untuk menggantikan kurikulum yang ada?
Muslim diberikan berkah dengan warisan yang kaya intelektual, kita dapat menarik dan menyajikan alternatif baru.
Ada banyak Ibnu Khaldun dalam sejarah intelektual kita. Kami memilih dia sebagai simbol, tapi ada Imam Ghazali, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Ibnu Sina, Farabi, Rumi – ratusan dari mereka.
Beberapa orang yang mempelajari Ibn Khaldun mengatakan bahwa dia adalah bintang yang kesepian di langitnya, tidak memiliki pendahulu dan dia tidak memiliki pengikut. Ini omong kosong, jika Anda membaca otobiografi Ibn Khaldun, At-Taʻrīf bi-ibn Khaldun, dia memperkenalkan guru-gurunya. Jelas terlihat bahwa dia memiliki banyak guru. Dia juga ‘ashari di kalam [salah satu aliran teologi dialektika], berarti dia adalah bagian dari aliran pemikiran itu sehingga dia memiliki pendahulu, khususnya Fakhr al-Dīn al-Rāz.
Ibn Khaldun adalah Maliki, berarti dia adalah bagian dari rantai ahli hukum ini. Dia juga sufi, berarti dia bagian dari mata rantai itu karena dia punya kitab tasawuf. Maka Ibnu Khaldun memiliki jaringan yang baik dengan para ulama di masanya dan dari zaman sebelumnya. Dia adalah pewaris mereka.
Pada generasi selanjutnya ada banyak pengikut Ibnu Khaldun. Di lingkungan Ottoman ia dikenal dan dihormati, dan karyanya Muqaddimah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki. Syekh al-Islam Pirizade [wafat. 1749] menerjemahkannya pada abad ke-18.
Bagaimana Anda bisa mengatakan dia tidak punya pengikut?
Kemudian, sarjana besar lainnya, penulis Macelle (hukum Islam yang dikodifikasi [selama kekaisaran Ottoman]) kembali melengkapi terjemahan Pirizade. Muqaddimah adalah salah satu buku pertama yang diterbitkan di percetakan Utsmaniyah setelah dibuka. Utsmaniyah mengenalnya dengan sangat baik, dan orang-orang menyebutnya Khaldunisme Utsmaniyah.
Pemikir politik dan sejarawan Ottoman yang mengikuti ide-ide Ibn Khaldun dan paradigmanya adalah rahasia di balik kelangsungan hidup negara Ottoman selama tujuh abad. Mereka menggabungkan visi dan kebijaksanaan Ibn Khaldun dalam membangun negara dan membuatnya terus bertahan.
Ada cerita panjang tentang ini dan jika Anda memiliki sesi lain, saya dapat membahas detail tentang Khaldunisme Utsmaniyah dan bagaimana Utsmaniyah menggunakan Ibn Khaldun dalam pemahaman mereka tentang politik. Misalnya, “lingkaran politik” yang digambarkan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah sangat umum di kalangan intelektual Utsmaniyah. Mereka menyebutnya daire-i adliye (lingkaran keadilan). Ada banyak karya seniman dan cendekiawan Utsmaniyah tentang ini.
Selama masa kemerdekaan, para intelektual dan akademisi Turki menyadari pengtingnya warisan Ibn Khaldun. Salah satu pemikir terkemuka Cemil Meri menulis, “Sosiologi adalah teologi sekuler Barat. Kita harus kembali ke diri kita sendiri dan kembali ke diri kita sendiri berarti kembali ke Ibnu Khaldun.”
Ada klaim yang tidak masuk akal – beberapa orang mengatakan bahwa Ibn Khaldun ditemukan oleh orang Barat terlebih dahulu, kemudian Muslim menunjukkan rasa hormat kepada Ibn Khaldun karena orang Barat menghormatinya.
Penelitian sejarah menunjukkan hal yang sebaliknya: Muslim selalu sadar akan karya dan warisan Ibn Khaldun.
Pertanyaan 2
Bisakah Anda memperjelas pernyataan bahwa “sosiologi adalah teologi sekuler Barat”? Bisakah Anda memberikan beberapa contoh nyata tentang bagaimana pendekatan teologis terhadap sosiologi atau pendekatan Islam khususnya berbeda dengan pendekatan eurosentris itu?
Pendiri sosiologi, Auguste Comte [wafat. 1857], ingin menjadikan sosiologi sebagai agama. Dia menyebutnya sebagai agama kemanusiaan (religion of humanity) dan ingin mengganti agama tradisional dengan sains sehingga sains menjadi agama kemanusiaan. Dia mengatakan laboratorium akan menjadi kuil dan para ilmuwan menjadi pendetanya. Pemikiran ini tercermin di kalangan sosiologis.
Sosiolog awal-awal, mencoba menjelaskan agama untuk meruntuhkannya. Buku pertama tentang agama oleh Émile Durkheim [wafat. 1917] berjudul “The Elementary Forms of Religious Life” mencoba menunjukkan bahwa agama adalah konstruksi sosial dan bukan dari Tuhan. Masyarakat memproduksi agama untuk melayani beberapa fungsi sosial, dan fungsi-fungsi ini penting sehingga meskipun agama tidak memiliki kebenaran di dalamnya, kita harus menjaganya karena berguna bagi masyarakat.
Comte memiliki pemikiran yang berbeda: mengganti agama dengan ideologi lain untuk menjalankan fungsi yang sama untuk menyatukan masyarakat dan memberi makna bagi kehidupan masyarakat.
Ini semua adalah masalah teologis. Pertanyaan besar yang tidak seharusnya ditangani oleh akademisi dan peneliti. Pertanyaan ini harus diserahkan kepada para teolog atau ahli filsafat. Itu sebabnya setelah tahun 1960-an, citra yang dihasilkan oleh sosiolog awal dari abad ke-19 ini ditinggalkan oleh sosiolog seperti Peter Berger, Robert Bellah, dan banyak lainnya di bidang sosial agama.
Mereka meninggalkan evolusi linier yang selama ini dominan dalam bidang sosiologi agama karena evolusi linier adalah sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris.
Ini adalah fiksi. Marx memiliki fiksi evolusi, orang-orang bergerak dalam sejarah dari satu tahap ke tahap lainnya, Durkheim memiliki fiksi lain dan Auguste Comte memiliki yang lain. Ada banyak versi evolusi sosial.
Setelah Perang Dunia II, para sosiolog meninggalkan evolusi linier dan perusakan agama, dengan mengatakan bahwa mereka hanya tertarik pada manifestasi sosial agama tetapi tidak mencoba mengganti agama dengan alternatif lain.
Pertanyaan yang coba dijawab oleh ilmu-ilmu sosial saat ini adalah pertanyaan yang sama yang dijawab oleh agama: apa itu masyarakat yang adil, apa itu masyarakat yang baik, dll.
Dalam peradaban Islam, kita memiliki disiplin yang disebut fiqh [yurisprudensi]. Pokok bahasannya adalah ‘amal [tindakan] dari disiplin itu. ‘Amal berarti perbuatan manusia. Jadi tindakan manusia dipelajari oleh dua disiplin ilmu: ilmu sosial barat dan fiqh. Keduanya mempelajari tindakan manusia.
Anda punya pilihan: apakah Anda mempelajari manusia, tindakan manusia, dan masyarakat manusia dengan menggunakan fiqh atau ‘ilm al-Umran [ilmu masyarakat atau peradaban] dari Ibn Khaldun, atau paradigma Barat dan ilmu sosial Barat.
Paradigma Islam bersifat multipleks. Artinya memiliki banyak lapisan sehingga dengan menggunakannya kita dapat menggabungkan wawasan dari berbagai penelitian. Jika sesuatu terbukti melalui penelitian, kami tidak memiliki masalah, kami dapat menerimanya. Tetapi ketika sampai pada interpretasinya, kami tidak menerima interpretasi materialis dari data tersebut. Kami memiliki interpretasi kami sendiri.
Ketika melihat manusia, kita menerima bahwa manusia memiliki tubuh, pikiran, dan jiwa. Ketika kita melihat keberadaan (eksistensi), kita menerima bahwa ada dunia yang terlihat, dunia material dan dunia yang tidak terlihat, dan kemudian dunia ilahi. . Pemahaman kita tentang keberadaan alam semesta dan manusia berbeda, begitu juga dengan tindakan manusia.
Ketika melihat tindakan manusia, kita melihat bahwa ada sisi yang terlihat dan tidak terlihat. Ada niat yang ada di dalam hati dan tidak terlihat tetapi pada saat yang sama tindakan yang dapat diamati, jadi dua tingkat. Kaum positivis hanya fokus pada aspek yang dapat diamati, dan sosiolog idealis fokus pada aspek tindakan manusia yang tidak dapat diamati, tetapi pendekatan kami berlapis-lapis yang saya sebut multipleks, sesuatu yang memiliki banyak tingkatan.
Kami bukan reduksionis. Pendekatan kita terhadap manusia, tindakan, dan masyarakat sangat canggih, holistik, komprehensif dan pemahaman kita tentang alam semesta tercermin dalam pemahaman kita tentang masyarakat dan tindakan manusia.
Pertanyaan 3
Gerakan dekolonisasi kurikulum sedang marak di mana-mana. Bagaimana Anda memahaminya?
Kita perlu mendekolonisasi hati kita, mendekolonisasi pikiran kita, mendekolonisasi kurikulum kita.
Sebenarnya, lebih dari dijajah, pikiran kita diretas. Kita merasakan apa yang mereka inginkan untuk kita pikirkan dan rasakan, tetapi bagaimana kita bisa mendekolonisasi pikiran, hati, dan kurikulum kita tanpa menggali, menggali, menghidupkan kembali tradisi intelektual kita dan mendasarkan diri kita pada tradisi itu?
Kita tidak bisa bersikap konservatif. Kita tidak bisa hidup dalam sejarah. Kita harus membawa tradisi itu ke hari ini dan membuatnya berbicara dengan pertanyaan-pertanyaan saat ini.
Kurikulum kami dirancang untuk dapat melakukan ini. Itu sebabnya kami memiliki dua jalur, disiplin Islam tradisional dan isu-isu kontemporer/ilmu sosial modern. Jika Anda menggabungkan keduanya, Anda menjadi seseorang dengan dua sayap untuk terbang.
Jika Anda adalah seseorang yang mempelajari pendidikan tradisional tanpa mengetahui apa yang terjadi di dunia modern, Anda tidak akan menjadi sarjana Islam yang baik. Atau sebaliknya, jika Anda hanya mempelajari disiplin ilmu modern dan tidak memiliki dasar dalam ilmu-ilmu Islam, Anda tidak akan menjadi seorang pemikir Muslim.
Anda harus menggabungkan keduanya. Saya percaya Ushul Academy adalah gerakan dekolonisasi kurikulum, dekolonisasi hati, dan dekolonisasi pikiran. Itulah tujuan utama kami.
Pertanyaan 4
Salah satu peserta mengatakan bahwa banyak dari apa yang Anda gambarkan paralel dengan wacana Islamisasi pengetahuan yang telah ditulis oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan mendiang Ismail al-Faruqi. Apakah Anda akan mengatakan bahwa visi Ushul Academy sejalan dengan Islamisasi ilmu ini?
Tidak, kami berbeda. Kami percaya pada tajdid [kebangkitan], bukan Islamisasi. Tajdid berarti kita tumbuh dari akar kita tanpa meminjam, melukis dengan warna hijau, dan meletakkan bismillah di suatu tempat untuk mengislamkannya. Berbeda dengan meminjam sesuatu dan mencoba mengislamkannya.
Kami memiliki rumah sendiri untuk diperbaiki, kami ingin memulihkan dan merenovasinya, dan senang tinggal di dalamnya – kami tidak ingin pindah ke rumah orang lain dan kemudian mencoba menjadikannya milik kami sendiri. Kita memiliki disiplin kita sendiri, pemikir kita sendiri, pengetahuan kita sendiri, dan kita perlu menghidupkannya kembali.
Islamisasi secara implisit mengasumsikan kita tidak memiliki apa-apa dan orang lain memiliki sesuatu – tetapi apa yang mereka miliki salah.
Kami perlu mengambil [dari apa yang mereka miliki] tetapi kami tidak bisa menerima apa adanya: kami perlu membuat beberapa perubahan. Metodologi kami berbeda. Kami memiliki tradisi kami sendiri. Kita harus berinteraksi dengan pengetahuan dan disiplin ilmu saat ini, terbuka untuk belajar, bersikap kritis, seperti nenek moyang kita dulu.
Kami belajar banyak dari Yunani, tetapi kami sangat kritis terhadap filsafat Yunani. Kami tidak mengatakan filsafat Yunani adalah sampah, buang saja. Bahkan Imam Ghazali yang mengkritik metafisika orang Yunani mengatakan ilmu pengobatan mereka baik, geografi mereka baik, tetapi dia mengatakan mereka tidak bisa memiliki akses ke pengetahuan metafisik kecuali melalui wahyu ilahi, itu sebabnya apa yang mereka klaim dalam domain itu salah.
Kami menerjemahkan karya-karya Yunani kecuali mitologi – dewa melawan dewa, berkelahi satu sama lain, dan saling menipu – kami tidak menerjemahkannya. Orang Yunani sangat terkenal dalam pembuatan patung, tetapi kami tidak mengambilnya karena itu salah dari sudut pandang kami dan tidak ada gunanya. Kami terbuka tapi kritis.
Hari ini kita akan mengikuti strategi yang sama. Kami membuka vis-a-vis pengetahuan budaya dan peradaban lain, khususnya keragaman pengetahuan, tetapi akan kritis. Adil dan kritis.
Jika mereka memiliki sesuatu yang terbukti secara empiris atau rasional, kami akan menerimanya. Tetapi ketika sampai pada interpretasinya kita memiliki intuisi kita sendiri. Ketika mereka tidak setuju interpretasi data, mengapa kita harus mengikuti interpretasi mereka?
Kita harus memiliki intuisi sendiri dari perspektif epistemologis dan metodologis ontologis kita. Itu sebabnya saya menyebut tradisi Islam kita, sains, peradaban, terbuka. Kami memiliki rumah kami tetapi pintu kami terbuka.
Selesai.
Tambahan
Sila kunjungi tulisan kami yang lain berkenaan tentang periodisasi sejarah menurut Dr. Recep Senturk di tautan ini.
Jumal Ahmad | ahmadbinhanbal.com