Studi Perkembangan Ilmu Hadis di Indonesia

Hadis merupakan sumber ajaran Islam, yang telah melalui proses yang cukup panjang dengan metode periwayatan yang berbeda-beda hingga tertulis dalam kitab-kitab Hadis, sudah cukup menjadi acuan pentingnya pemeriksaan sanad dan matan-nya.

Para ulama muhadditsîn telah menyusun berbagai kaedah yang berkenaan dengan pemeriksaan terhadap sanad dan matan Hadis, untuk mengetahui mana Hadits yang maqbûl (yang dapat diterima) dan mana Hadits yang mardûd (yang tidak dapat diterima).

Sejak masa Rasulullah SAW perhatian para sahabat terhadap sunnah sangat besar. Demikian juga perhatian generasi berikutnya seperti tabi’intabi’ at-tabi’in, dan generasi setelahnya. Mereka memelihara hadis dengan cara menghafal, mengingat, ber-mudzakarah, menulis, menghimpun, dan mengkodifikasikannya ke dalam kitab-kitab hadis yang tidak terhitung jumlahnya. Di samping itu, hadis diamalkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tak heran kalau dari generasi ke generasi kajian hadis terus mengalami perkembangan.

Pergeseran Tasawuf ke Syariah

Ketika Islam memperkenalkan dirinya di Indonesia pada abad ke-7 sampai abad ke-13 Masehi, secara tidak langsung Islam juga memperkenalkan dua komponen penting yang dibawanya, yaitu Al Quran dan hadis. Artinya, perkembangan hadis yang terjadi di Indonesia tidak luput dari penyebaran agama Islam yang bermula dari jalur perdagangan dari berbagai negara, seperti Arab, hingga jalur pendidikan. Selain itu perkembangan hadis juga termasuk efek dari penetrasi agama Islam dari Timur Tengah oleh para guru pengembara sufi yang pada abad ke-12 datang ke Indonesia dalam jumlah yang cukup banyak.

Pada abad ke-17, muncul tiga ulama tersohor di Indonesia yang datang dari Timur Tengah. Mereka adalah para ulama yang memiliki pengetahuan luas dalam berbagai ilmu seperti: tasawuf, kalam, fikih, hadis, sejarah, dan perbandingan agama, yaitu Nuruddin Ar-Raniri, Abdul Rauf As-Singkili, dan Al-Maqasari. Merekalah tokoh yang berperan besar dalam kajian hadis di Indonesia.

Kajian hadis pertama kali ditemukan di Indonesia pada abad ke-17, dibuktikan dengan ditulisnya kitab-kitab hadis oleh Nuruddin Ar-Raniri dan Abdul Rauf As-Singkili. Ar-Raniri mengumpulkan -dalam karyanya Hidayat al-Habib fi al-Targib wa al-Tarhib– sejumlah hadis yang diterjemahkannya dari Bahasa Arab ke Bahasa Melayu. Dalam karya ini, ia memadukan hadis-hadis dengan ayat-ayat Al Quran untuk mendukung argumen-argumen yang melekat pada hadis.

Selanjutnya, As-Singkili menulis dua karya tentang hadis, yaitu penafsiran terhadap Hadis Arba‘in karya An-Nawawi dan koleksi hadis-hadis qudsi yang diberi judul Al-Mawa‘izd al-Badi‘ah. As-Singkili juga menjadikan Syarh Kitab Muslim karya An-Nawawi sebagai salah satu rujukan penting dalam menyusun kitab fikih yang berjudul Mir’atut Thullab. Kitab-kitab tersebut dikarang tidak lain bertujuan memberitahu masyarakat mengenai pentingnya hadis dalam kehidupan sehari-hari.

Pada masa tersebut, kajian ‘ilmu musthalah al-hadis belum mendapatkan perhatian yang besar dari ulama Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan karya dua ulama di atas yang lebih diarahkan kepada pembinaan praktik keagamaan, terutama fikih dan akhlak, daripada kepada penelitian keautentikan nilai hadis-hadis yang digunakan.

Pertengahan abad ke-17, Nuruddin Ar-Raniri, Abdul Rauf As-Singkili, dan Al-Maqasari  melakukan pembaharuan dan pemurnian terhadap Islam. Jika pada abad sebelumnya, Islam di Indonesia didominasi oleh tasawuf, maka pembaharuan yang mereka lakukan mencoba mengenalkan Islam yang tidak semata-mata berorientasi pada tasawuf saja, melainkan juga pada syariat (hukum). Pembaharuan ini menjadi penyebab menyebarnya kajian hadis di Indonesia.

Pergeseran Islam tasawuf ke Islam syariat tidak hanya disebabkan oleh tiga ulama tersebut. Pada pertengahan abad ke-19, banyak anak-anak muda dari Jawa yang menetap beberapa tahun di Makkah dan Madinah untuk memperdalam pengetahuan mereka. Bahkan banyak di antara mereka menjadi ulama yang terkenal dan mengajar di Makkah atau Madinah.

Karena para ulama dari Jawa ini turut aktif dalam pergulatan intelektual dan spiritual Islam yang berpusat di Makkah, cara berpikir mereka pun lambat laun berubah dari tasawuf sentris ke syariah. Hal itulah yang akhirnya mempengaruhi perubahan watak Islam di Nusantara ketika mereka kembali dengan membawa cara berpikirnya.

Peran Syekh Mahfuz al-Tirmasi di Bidang Hadis

Ilmu Hadis di Indonesia dan peran Syeikh Mahfudz At-Tarmasi

Pada abad ke-19 muncul beberapa ulama baru, yaitu Kiai Ahmad Rifai dari Kali Salak, Nawawi Al-Bantani, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syeikh Mahfudz At-Tarmasi. Di antara para ulama tersebut, ulama yang mendalami ilmu hadis adalah Syeikh Mahfudz At-Tarmasi. Beliau merupakan satu-satunya ulama yang mendalami ilmu hadis sampai mendapatkan ijazah sanad yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya, yaitu KH. Hasyim Asy’ari.

Lewat KH. M. Hasyim Asy’ari inilah kajian hadis mendapat tempat berkembang yang subur. Setelah mendapatkan ijazah atau restu dari gurunya atas kelayakan dalam mengajarkan ilmu hadis, beliau melakukan pengajaran ilmu hadis di pesantren miliknya, Pondok Pesantren Tebuireng. Berkat pengajaran tersebut, kajian hadis semakin berkembang hari demi hari. Bukti ketekunan pengajaran hadis tersebut dapat kita lihat dalam salah satu karangan KH. Hasyim Asy’ari, Risālah Ahlu al-Sunnah wal al-Jamā’ah, yang sangat kental dengan hadis.

Biografi Syeikh Mahfudz At-Tarmasi

Nama lengkapnya adalah Muhammad Mahfudz bin ‘Abdillah bin ‘Abdul Manan bin Dipomenggolo al-Tarmasi alJawi. Beliau dilahirkan di Tremas, Pacitan, Jawa Timur, pada tanggal 12 Jumadil Awal 1285 H. yang bertepatan dengan tanggal 31 Agustus 1842 M.

Baca juga:   Metodologi Kritik Hadits Dalam Pandangan Syiah Imamiyah

Beliau wafat di Makkah pada awal bulan Rajab pada malam Senin tahun 1338 H dalam usia 53 tahun, dan dimakamkan di Maqbaroh al-Ma’la. Saat dilahirkan, ayah beliau sedang berada di Makkah yang sedang menunaikan haji sekaligus menuntut ilmu agama di sana, sebagaimana kebanyakan ulama Nusantara pada masa itu.

Nisbat al-Tarmasi pada nama beliau merupakan penisbatan pada tempat asal kelahiran beliau, yakni desa Tremas, Arjosari, Pacitan, Jawa Timur.

Karya Syeikh Mahfudz At-Tarmasi

Al-Tarmasi merupakan seorang penulis yang produktif, beliau mengarang sejumlah kitab tentang berbagai ilmu keislaman, seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab. Dalam menulis, keilmuan al-Tarmasi ibarat sungai yang airnya terus mengalir tanpa henti.

Kecepatannya dalam menulis dapat disebut istimewa, seperti kitab Manhaj Dawi al-Nadhar, beliau hanya menyelesaikan tulisan dalam kitab ini selama 4 bulan 14 hari. Beliau banyak menghabiskan waktunya di gua Hiro tempat Nabi Muhammad saw menerima wahyu Allah untuk mencari inspirasi dan menulis.

Karya-karya beliau antara lain:

  • Pertama, bidang Fiqh dan Ushul Fiqh, yaitu: al-Siqayah al-Mardiyah fi Asma al-Kutb al-Fiqhiyyah al-Syafi’iyyah, Nail alMa’mul bi Hasyiyah Ghayah al-Wusul fi Ilm al-Usul, al-Is’af alMatholi bi Syarh Badr al-Lami’ Nadham Jam’ al-Jawami, Hasyiah Takmilah al-Manhaj al-Qawim ila Faraid, Mauhibbah Zi al-Fadl ‘Ala Syarh Muqaddimah bi al-Fadl, Tahyi’at al-Fikr bi Syarh Alfiyah al-Syair.
  • Kedua, bidang Tafsir, yaitu Fath al-Khabir bi Syarh Miftah al-Tafsir.
  • Ketiga, bidang Hadis dan Ulumul Hadis, yaitu Manhaj Dzawi al-Nadhar Syarh Mandhumah al-Asar, alKhil’ah al-Fikriyyah bi Syarh al-Minhah al-Khairiyyah, al-Minhah al-Khairiyyah fi Arba’in Hadisan Min Ahadis Khair al-Bariyyah, Shulashiat al-Bukhari, Inayah al-Muftaqir fima Yata’allaq bi Sayyidina al-Khidr, Bughyah al-Adzkiya’ fi al-Bahs ‘an Karamah al-Auliya’.
  • Keempat, bidang Sanad, yaitu Kifayah al-Mustafid fima ‘Ala Min al-Sanid. Kelima, bidang Qira’at, yaitu , Insyirah al-Fuadi fi Qira’at al-Imam Hamzah, Ta’mim al-Manafi fi Qiraat al-Imam Nafi’, Tanwir al-Shadr fi Qira’at al-Imam Abi Amru, al-Badr al-Munir fi Qira’at al-Imam Ibn Katsir, al-Risalah al-Tarmasiyyah fi Asanid al-Qira’at al-Asyriyyah, dan Ghunyah al-Thalabah bi Syarh Badr al-Lami’ Nazm Jam’ al-Jawawi.

Sebagai seorang ahli hadis, karya-karya al-Tarmasi tidak lepas dari prinsip-prinsip ulumul hadis yang kuat, Saat menyusun kitab al-Minhah al-Khairiyah, beliau mengutamakan hadis-hadis dengan sanad yang tinggi (isnad ‘adli), dan tak lama kemuadian mensyarhnya. Dari sini terlihat kemampuan luar biasa beliau dalam bidang hadis.

Tidak hanya pada karya itu saja, beliau juga menunjukkan keahlian beliau dalam bidang hadis dengan mengarang kitab-kitab lainnya, seperti kitab ‘Inayah al-Muftaqir bima Yata’allaq bi Sayyidina al-Khadhir yang juga merupakan salah satu kitab karya Syekh Mahfudz dalam bidang hadis, dan merupakan saduran dari kitab al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah karya Ibn Hajar al-Asqalani yang menyingkap misteri Nabi Khidir as.

Fase Kontemporer

Setelah permasalahan seputar kajian ilmu hadits ini menyebar, dan akhirnya sampai ke Nusantara, para ulama di Nusantara khususnya di Indonesia, mulanya hanya membaca dan mengajarkan kitab-kitab Hadits seperti Bulûg al-Marâm karya Ibn Hajar al-‘Asqalâniy, Matn al-Arba‘în karya al-Nawâwiy, dan Matn al-Bayqûniyah karya al-Suyûthiy, serta buku lokal yang bernama Mawa’iz Al-Badi’ah karya As-Sinkili, ini adalah kitab hadits yang pertama di Indonesia. Serta kitab-kitab fiqh klasik khususnya dalam mazhab al-Syafi‘iy, tanpa mengadakan pengkajian dan pemeriksaan terhadap kesahihan sanad dan matan-nya. Mereka beranggapan bahwa hasil ijtihad para ulama terdahulu sudah final, hingga ulama-ulama sekarang tidak perlu mengkaji dan memeriksa sahih tidaknya suatu Hadis.

Anggapan tersebut terus bergulir hingga salah seorang sahabat dan murid Muhammad Rasyid Ridha yaitu Muhammad Thaher ibn Muhammad Jalâl al-Dîn al-Azhariy kembali ke Indonesia, yang kemudian menerbitkan majalah “al-Imâm”, yang menjadi titik awal dari sebuah pemikiran yang berpengaruh pada pengkajian terhadap Hadis di Nusantara. Dapat dilihat ketika Muhammad Thaher menjawab sebuah pertanyaan berkaitan dengan Hadis mi‘râj yang menyebutkan bahwa langit keempat terdiri dari tembaga, langit ketiga terdiri dari besi, langit kedua dari batu, serta langit pertama terdiri dari emas. Ia mengemukakan:

“Ketahuilah kiranya, sesungguhnya tiada sah satu Hadis pun pada menentukan jenis tujuh petala langit dan tiada pula menentukan beberapa tebalnya. Dan kebanyakan rampaian-rampaian itu, yang dibaca oleh tukang-tukang cerita di dalam cerita mi‘râj itu adalah bohong yang nyata. Walhasil, tiadalah wajib mengi‘tiqadkan sesuatu melainkan dengan dalil akal yang putus, yang tiada didatangi oleh syubhat, atau dengan dalil sam‘iy (yang didengar) nyata daripada Nabi Salallahu ‘alaihi wa sallam. sendiri”.

Pernyataan “tiada sah satu Hadis pun”, memberi kesan adanya pengkajian dan pemeriksaan terhadap kesahihan Hadis-hadis tentang masalah itu, yang boleh jadi merupakan sebuah “kesepakatan” Muhammad Thaher atas penelitian ulama sebelumnya, dan atau merupakan hasil dari sebuah pemeriksaan yang dilakukannya sendiri dengan menerapkan kaedah-kaedah kesahihan Hadis.

Baca juga:   Telaah Kritik Hadis Orientalis: Pemikiran Ignaz Goldziher, Joseph Schacht dan G.H.A Juynboll

Ilmu Hadis di Indonesia dan peran A. Hasan

Majalah “al-Imâm” terbit pertama kali pada tahun 1906 M. hingga awal tahun 1909 M, kemudian dilanjutkan oleh murid Muhammad Taher yaitu Abdul Karim Amrullah dengan menerbitkan majalah “al-Munîr” di Padang pada tahun 1911 M. hingga 1915 M.

Dalam majalah ini, menurut Hamka, terdapat pula banyak kajian kritis terhadap Hadis yang dilakukan oleh Ayahnya.

Dari Pulau Jawa, muncul pula pengkajian terhadap Hadis yang dipelopori oleh Ahmad al-Syurkatiy, dengan bukunya yang terkenal, al-Kafa’ah yang terkait dengan Hadis-hadis persamaan derajat antara sayyid dan non-sayyid yang antara satu sama lain boleh menikah.

Pada tahun 1929 M. muncul pula majalah “Pembela Islam” di Bandung yang dipimpin oleh A. Hassan, yang sempat membangkitkan suasana pemeriksaan dan pengkajian terhadap Hadis di Nusantara pada masanya, bahkan pengaruhnya hingga saat ini masih dapat dirasakan.

Syafiq A. Mughni menyatakan bahwa dalam fase pergolakan antara pro dan kontra-mazhab itu, A. Hassan tampil memainkan peran yang sebaik-baiknya. Kebebasan untuk memahami ajaran agama tanpa terikat oleh suatu mazhab seperti yang ditekankan oleh A. Hassan diharapkan mengurangi satu di antara sekian banyak kendala bagi kemajuan ummat akibat belenggu taklid-mazhab yang telah menjadi tradisi sejak berabad-abad yang lampau.

Ajakan A. Hassan untuk merujukkan pandangan langsung terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah mengantarkan usaha untuk meminati ilmu-ilmu alat yang terkait dengan kedua sumber ajaran Islam tersebut, khususnya Ilmu Hadis dan Ushûl Fiqh, yang pada masa itu masih bersifat “elitis”, dengan kata lain, A. Hassan telah memberikan dorongan bagi kebebasan dan pendalaman studi Islam.

Biografi A. Hasan

Nama sebenarnya adalah Hassan dan nama ayahnya Ahmad yang juga bernama Sinna Vappu Maricar. Akan tetapi, karena di Singapura penyebutan nama lazim mengikuti cara Inggris, lebih dahulu disebut nama ayah daripada nama anaknya sehingga kelaziman itu berlaku pula pada diri Hassan. Karena itu ia dikenal dengan A. Hassan.

Ahmad Hassan lahir di Singapura tahun 1887 dari campuran India dan Indonesia. Ayahnya, Ahmad adalah seorang penulis dan ahli di bidang Islam dan sastra Tamil. Ayahnya menulis beberapa buku dalam bahasa Tamil dan terjemahan dari bahasa Arab. Ibunya bernama Muznah berasal dari Palekat Madras, tetapi lahir di Surabaya dari keluarga yang taat beragama.

Masa kecil dan remaja A. Hassan dihabis-kan di Singapura. A Hassan tidak pernah menamatkan sekolahnya. Sekolah Melayunya hanya sampai kelas empat. Demikian juga Sekolah Dasar Inggrisnya hanya sampai kelas yang sama. Bahasa Tamil dipelajarinya langsung dari ayahnya.

Pada tahun 1921 ia pindah ke Surabaya. Sejak usia 12 tahun ia sudah mulai bekerja mencari nafkah tetapi mengambil less untuk mengusai bahasa Arab. Ini menunjukkan semangat menuntut ilmu dalam dirinya, terutama untuk menguasai ajaran Islam sangat tinggi.

Hasil semangat keilmuannya ini kemudian akan terlihat jelas pada kontribusinya yang cukup signifikan dalam gerakan pembaharuan Islam di Indonesia pada awal abad XX. Ia menulis sejumlah buku, menerbitkan majalah, menyusun tafsir, melahirkan sejumlah tokoh ulama, seperti M. Natsir, KH. M. Isa Anshary, dan KH. E. Abdurrahman.

Hadis Menurut A. Hasan

Di dalam istinbat hukum ia langsung merujuk ke dalam Alquran dan Hadis, tidak kepada pendapat ulama fikih. Dengan kata lain, ia tidak terikat kepada mazhab, tetapi kepada Al-Quran dan Hadis. Dalam bukunya Soal Jawab, jilid 1, ia menjelaskan pemikiran hadisnya.

Menurutnya, ilmu hadis adalah ilmu untuk memeriksa benar atau tidaknya suatu ucapan atau perbuatan yang dikatakan dari Nabi saw. Kalau dengan dasar-dasar tertentu sudah dapat diterima bahwa ucapan atau perbuatan itu dari Rasul saw. maka dikatakan hadis sahih dan kalu tidak maka dikatakan hadis daif. Hadis sahih dipakai sebagai pokok untuk menentukan hukum.

Hadis-hadis yang masuk bagian sahih adalah hadis mutawatir, hadis shahih li zatih, hadis shahih li gairih, hadis hasan li zatih, dan hadis hasan li gairih. Kelima macam hadis tersebut dapat dipakai sebagai penetap hukum, kecuali hadis hasan li gairih yang hanya dapat dipakai untuk hukum-hukum yang ringan, seperti sunat, makruh, dan mubah.

Menurutnya, hadis daif tidak dapat dipakai sekalipun untuk fadha`ill a‘mal (keutamaan amal). Sebagi contoh ia kemukakan hadis yang artinya, “Manusia yang paling besar dosanya ialah orang yang wuquf di bukit Arafah, lalu ia menyangka bahwa Allah tidak mengampuninya.

Menurut dia, hadis ini lemah dengan menunjuk penilaian al-Iraqi pada kitab, Ihya` Ulum ad-Din, karya Imam al-Gazali. Dalam hadis ini terdapat pernyataan, “lalu ia menyangka bahwa Allah tidak mengampuninya.” Kalau hadis daif ini dipakai sebagai fadha`il a‘mal, berarti kita mesti percaya bahwa Allah mengampuni orang yang ber-wuquf di Arafah, padahal hadis tersebut lemah belum tentu datangnya dari Rasul. Kalau hadis daif diterima berarti kita percaya kepada sesuatu yang belum tentu benarnya. Ia mengatakan hadis-hadis seperti itu, kuat sangkaannya buatan orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi.

Baca juga:   Sunah dan Orientalisme dalam Sorotan

Karya A. Hasan

A. Hassan sesungguhnya tidak meninggalkan karya tulis yang secara khusus membahas ilmu Hadits serta cabang-cabangnya, hanya saja dalam beberapa karya tulisnya terdapat beberapa pembahasan yang berkaitan dengan ilmu Hadis, umpamanya, buku Ringkasan Islam, yang ditulis oleh A. Hassan pada tahun 1939 M. yang kemudian diterbitkan pertama kali pada tahun 1972 M., di dalamnya, pada fashal kedua secara khusus menerangkan pengertian Hadis serta pembagiannya, sejarah perkembangan Hadis, bagaimana mengetahui sah tidaknya sesuatu Hadis, cara pengumpulan Hadis serta delapan kitab dan nama penyusunnya.

Buku yang lain adalah Muqaddimah Ilmu Hadits dan Ushûl Fiqh, yang ditulis secara ringkas untuk mereka yang belum biasa dengan urusan-urusan Hadis, Ushûl Fiqh dan istilah-istilah yang terpakai dalam kitab Tarjamah Bulûgul Marâm. Selanjutnya, buku Kumpulan Risalah A. Hassan, Soal Jawab, Tarjamah Bulugul Maram, dan Pengajaran Shalat yang di dalamnya banyak berisi tentang cara A. Hassan memahami Hadis yang terkait dengan tehnik interpretasi dan pendekatan yang digunakannya.

Sementara yang kita ketahui, belum ada satu pun karya tulis yang secara spesifik mengupas cara A. Hassan memeriksa dan memahami Hadis. Namun, sebelum melanjutkan tulisan ini, penulis akan menyebutkan beberapa karya tulis terkait dengan A. Hassan, riwayat hidup, pemikiran serta pengaruhnya, baik di Malaysia, Singapura, dan Indonesia, antara lain:

  • (1) Riwayat Hidup A. Hassan karya Tamar Jaya.
  • (2) Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal karya Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, MA.
  • (3) A. Hassan: Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid karya H. Endang Saifuddin Ansari, MA.
  • (4) Persatuan Islam: Islamic Reform In Twentieth Century Indonesia karya Dr. Howard M. Federspiel dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Drs. Yudian W. Asmin, MA., dan Drs. H. Afandi Mochtar, MA. dengan judul Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX
  • (5) Gerakan Islah di Perlis: Sejarah dan Pemikiran karya Abdul Rahman Haji Abdullah,
  • (6) A. Hassan: Tokoh Perdebatan Agama karya KH. A. Lathief Mukhtar, MA.
  • (7) A. Hassan, Persis, dan Pemikiran Fikihnya karya KH. A. Lathief Mukhtar, MA.
  • (8) A. Hassan Dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia karya Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, MA.
  • (9) Yang Da’i Yang Politikus: Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis karya Dr. Dadan Wildan.

Oleh karena peran A. Hassan yang cukup penting dalam studi Hadis di Indonesia, maka penulis merasa perlu untuk membagi hasil penelusuran terhadap cara A. Hassan memeriksa dan memahami Hadis kepada para pembaca sebagai bahan pemikiran, di samping harapan agar diberi masukan-masukan serta informasi-informasi terkait dengan pembahasan ini.

Setelah Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan Indonesia, yaitu pada tahun 1945 kajian hadis di Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang pesat dan mulai dikaji di perguruan tinggi. Islamic College di Padang pertama kali dibuka dan dipimpin oleh Mahmud Yunus telah menggunakan kurikulum Universitas Al-Azhar Kairo. Kemudian ditutup sementara karena Jakarta diduduki oleh Sekutu dan dibuka kembali di Yogyakarta dan telah diubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) pada tahun 1948. Dan setelah itu mulai banyak berdiri perguruan tinggi Islam lainnya di Indonesia.

Adapun pada masa sekarang ini, masih banyak ulama’ yang cukup perhatian mengenai kajian ini, diantaranya adalah Prof. Dr. Daud rosyid dengan judul bukunya Juhud ulama’ hadits di Indonesia, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa yaqub, MA dengan judul bukunya Hadits-hadits yang bermasalah, dan masih banyak lagi yang lain.

Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta’ala. memberikan kemudahan kepada kita(dengan segala keterbatasan yang penulis miliki) untuk meneruskan kajian ini, dan agar para pembaca semuanya mengambil manfaat daripadanya.

Referensi

  1. Ramli Abdul Wahid, “Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia: Studi Tokoh dan Ormas Islam”, Conference Paper, Makassar: Postgraduate Program State Islamic Universities, 2005 M.
  2. Ramli Abdul Wahid, Ulama Hadis di Indonesia Kontemporer, Ihya al-Arabiyah: Jurnal Pendidikan bahasa dan Sastra Arab, 140-153
  3. Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Cet. IV; Jakarta: Umminda, 1982 M.), h. 96-98.
  4. Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943): Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999 M.)
  5. Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar dengan judul Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, (Cet. I; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996 M.)
  6. Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 M.)
  7. A. Hassan, Tarjamah Bulûgul Marâm, (Cet. XXVI: Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2002 M.)

Bacaan Tambahan:


Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *