Pada kesempatan ini, kami ingin mencoba mengemukakan tentang perkembangan hadits di Indonesia, namun karena keterbatasan maraji’ atau referensi pada pembahasan ini kami mencoba mencari dalam internet.
Hadits merupakan sumber ajaran Islam, yang telah melalui proses yang cukup panjang dengan metode periwayatan yang berbeda-beda hingga tertulis dalam kitab-kitab Hadis, sudah cukup menjadi acuan pentingnya pemeriksaan sanad dan matan-nya. Para ulama muhadditsîn telah menyusun berbagai kaedah yang berkenaan dengan pemeriksaan terhadap sanad dan matan Hadis, untuk mengetahui mana Hadits yang maqbûl (yang dapat diterima) dan mana Hadits yang mardûd (yang tidak dapat diterima).
Awal mula keberadaan hadits di Indonesia
Setelah permasalahan seputar kajian ilmu hadits ini menyebar, dan akhirnya sampai ke Nusantara, para ulama di Nusantara khususnya di Indonesia, mulanya hanya membaca dan mengajarkan kitab-kitab Hadits seperti Bulûg al-Marâm karya Ibn Hajar al-‘Asqalâniy, Matn al-Arba‘în karya al-Nawâwiy, dan Matn al-Bayqûniyah karya al-Suyûthiy, serta buku lokal yang bernama Mawa’iz Al-Badi’ah karya As-Sinkili, ini adalah kitab hadits yang pertama di Indonesia. Serta kitab-kitab fiqh klasik khususnya dalam mazhab al-Syafi‘iy, tanpa mengadakan pengkajian dan pemeriksaan terhadap kesahihan sanad dan matan-nya. Mereka beranggapan bahwa hasil ijtihad para ulama terdahulu sudah final, hingga ulama-ulama sekarang tidak perlu mengkaji dan memeriksa sahih tidaknya suatu Hadis.[1]
Perkembangan ilmu hadits di indonesia
Anggapan tersebut terus bergulir hingga salah seorang sahabat dan murid Muhammad Rasyid Ridha yaitu Muhammad Thaher ibn Muhammad Jalâl al-Dîn al-Azhariy kembali ke Indonesia, yang kemudian menerbitkan majalah “al-Imâm”, yang menjadi titik awal dari sebuah pemikiran yang berpengaruh pada pengkajian terhadap Hadis di Nusantara. Dapat dilihat ketika Muhammad Thaher menjawab sebuah pertanyaan berkaitan dengan Hadis mi‘râj yang menyebutkan bahwa langit keempat terdiri dari tembaga, langit ketiga terdiri dari besi, langit kedua dari batu, serta langit pertama terdiri dari emas. Ia mengemukakan:
“Ketahuilah kiranya, sesungguhnya tiada sah satu Hadis pun pada menentukan jenis tujuh petala langit dan tiada pula menentukan beberapa tebalnya. Dan kebanyakan rampaian-rampaian itu, yang dibaca oleh tukang-tukang cerita di dalam cerita mi‘râj itu adalah bohong yang nyata. Walhasil, tiadalah wajib mengi‘tiqadkan sesuatu melainkan dengan dalil akal yang putus, yang tiada didatangi oleh syubhat, atau dengan dalil sam‘iy (yang didengar) nyata daripada Nabi Salallahu ‘alaihi wa sallam. sendiri”.[2]
Pernyataan “tiada sah satu Hadis pun”, memberi kesan adanya pengkajian dan pemeriksaan terhadap kesahihan Hadis-hadis tentang masalah itu, yang boleh jadi merupakan sebuah “kesepakatan” Muhammad Thaher atas penelitian ulama sebelumnya, dan atau merupakan hasil dari sebuah pemeriksaan yang dilakukannya sendiri dengan menerapkan kaedah-kaedah kesahihan Hadis.
Buku-buku yang mempelajari ilmu hadits di Indonesia, serta peran A. Hasan di dalamnya
Majalah “al-Imâm” terbit pertama kali pada tahun 1906 M. hingga awal tahun 1909 M., lalu kemudian dilanjutkan oleh murid Muhammad Taher yaitu Abdul Karim Amrullah dengan menerbitkan majalah “al-Munîr” di Padang pada tahun 1911 M. hingga 1915 M.. Dalam majalah ini, menurut Hamka, terdapat pula banyak kajian kritis terhadap Hadis yang dilakukan oleh Ayahnya.[3]
Dari Pulau Jawa, muncul pula pengkajian terhadap Hadis yang dipelopori oleh Ahmad al-Syurkatiy, dengan bukunya yang terkenal, al-Kafa’ah yang terkait dengan Hadis-hadis persamaan derajat antara sayyid dan non-sayyid yang antara satu sama lain boleh menikah.[4]
Pada tahun 1929 M. muncul pula majalah “Pembela Islam” di Bandung yang dipimpin oleh A. Hassan,[5] yang sempat membangkitkan suasana pemeriksaan dan pengkajian terhadap Hadis di Nusantara pada masanya, bahkan pengaruhnya hingga saat ini masih dapat dirasakan.
Syafiq A. Mughni menyatakan bahwa dalam fase pergolakan antara pro dan kontra-mazhab itu, A. Hassan tampil memainkan peran yang sebaik-baiknya. Kebebasan untuk memahami ajaran agama tanpa terikat oleh suatu mazhab seperti yang ditekankan oleh A. Hassan diharapkan mengurangi satu di antara sekian banyak kendala bagi kemajuan ummat akibat belenggu taklid-mazhab yang telah menjadi tradisi sejak berabad-abad yang lampau. Ajakan A. Hassan untuk merujukkan pandangan langsung terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah mengantarkan usaha untuk meminati ilmu-ilmu alat yang terkait dengan kedua sumber ajaran Islam tersebut, khususnya Ilmu Hadis dan Ushûl Fiqh, yang pada masa itu masih bersifat “elitis”, dengan kata lain, A. Hassan telah memberikan dorongan bagi kebebasan dan pendalaman studi Islam.[6]
A. Hassan sesungguhnya tidak meninggalkan karya tulis yang secara khusus membahas ilmu Hadits serta cabang-cabangnya, hanya saja dalam beberapa karya tulisnya terdapat beberapa pembahasan yang berkaitan dengan ilmu Hadis, umpamanya, buku Ringkasan Islam, yang ditulis oleh A. Hassan pada tahun 1939 M. yang kemudian diterbitkan pertama kali pada tahun 1972 M., di dalamnya, pada fashal kedua secara khusus menerangkan pengertian Hadis serta pembagiannya, sejarah perkembangan Hadis, bagaimana mengetahui sah tidaknya sesuatu Hadis, cara pengumpulan Hadis serta delapan kitab dan nama penyusunnya.[7]
Buku yang lain adalah Muqaddimah Ilmu Hadits dan Ushûl Fiqh, yang ditulis secara ringkas untuk mereka yang belum biasa dengan urusan-urusan Hadis, Ushûl Fiqh dan istilah-istilah yang terpakai dalam kitab Tarjamah Bulûgul Marâm.[8] Selanjutnya, buku Kumpulan Risalah A. Hassan, Soal Jawab, Tarjamah Bulugul Maram, dan Pengajaran Shalat yang di dalamnya banyak berisi tentang cara A. Hassan memahami Hadis yang terkait dengan tehnik interpretasi dan pendekatan yang digunakannya.
Sementara yang kita ketahui, belum ada satu pun karya tulis yang secara spesifik mengupas cara A. Hassan memeriksa dan memahami Hadis. Namun, sebelum melanjutkan tulisan ini, penulis akan menyebutkan beberapa karya tulis terkait dengan A. Hassan, riwayat hidup, pemikiran serta pengaruhnya, baik di Malaysia, Singapura, dan Indonesia, antara lain; (1) Riwayat Hidup A. Hassan karya Tamar Jaya, (2) Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal karya Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, MA., (3) A. Hassan: Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid karya H. Endang Saifuddin Ansari, MA., (4) Persatuan Islam: Islamic Reform In Twentieth Century Indonesia karya Dr. Howard M. Federspiel dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Drs. Yudian W. Asmin, MA., dan Drs. H. Afandi Mochtar, MA. dengan judul Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, (5) Gerakan Islah di Perlis: Sejarah dan Pemikiran karya Abdul Rahman Haji Abdullah, (6) A. Hassan: Tokoh Perdebatan Agama karya KH. A. Lathief Mukhtar, MA., (7) A. Hassan, Persis, dan Pemikiran Fikihnya karya KH. A. Lathief Mukhtar, MA., (8) A. Hassan Dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia karya Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, MA., (9) Yang Da’i Yang Politikus: Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis karya Dr. Dadan Wildan.
Oleh karena peran A. Hassan yang cukup penting dalam studi Hadis di Indonesia, maka penulis merasa perlu untuk membagi hasil penelusuran terhadap cara A. Hassan memeriksa dan memahami Hadis kepada para pembaca sebagai bahan pemikiran, di samping harapan agar diberi masukan-masukan serta informasi-informasi terkait dengan pembahasan ini.
Adapun pada masa sekarang ini, masih banyak ulama’ yang cukup perhatian mengenai kajian ini, diantaranya adalah Prof. Dr. Daud rosyid dengan judul bukunya Juhud ulama’ hadits di Indonesia, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa yaqub, MA dengan judul bukunya Hadits-hadits yang bermasalah, dan masih banyak lagi yang lain.
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta’ala. memberikan kemudahan kepada kita(dengan segala keterbatasan yang penulis miliki) untuk meneruskan kajian ini, dan agar para pembaca semuanya mengambil manfaat daripadanya.
Referensi
- Ramli Abdul Wahid, “Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia: Studi Tokoh dan Ormas Islam”, Conference Paper, (Makassar: Postgraduate Program State Islamic Universities, 2005 M.), h. 1
- Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Cet. IV; Jakarta: Umminda, 1982 M.), h. 96-98.
- Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943): Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999 M.)
- Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar dengan judul Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, (Cet. I; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996 M.)
- Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 M.)
- A. Hassan, Tarjamah Bulûgul Marâm, (Cet. XXVI: Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2002 M.)
[1] . Ramli Abdul Wahid, “Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia: Studi Tokoh dan Ormas Islam”, Conference Paper, (Makassar: Postgraduate Program State Islamic Universities, 2005 M.), h. 1
[2] . Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Cet. IV; Jakarta: Umminda, 1982 M.), h. 96-98
[3] . Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Cet. IV; Jakarta: Umminda, 1982 M.), h. 102-105.
[4] . Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943): Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999 M.), h.
[5] . Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar dengan judul Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, (Cet. I; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996 M.), h. 25
[6] . Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 M.), h. 139
[7] . A. Hassan, Ringkasan Islam, op. cit., h. 17
[8] . A. Hassan, Tarjamah Bulûgul Marâm, (Cet. XXVI: Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2002 M.), h. 1