Sunah dan Orientalisme dalam Sorotan

Setelah Barat merasa gagal untuk menguasai  umat Islam melalui jalan imperialisme, mereka menempuh jalan lain, di antaranya adalah dengan melancarkan serangan dari dalam melalui perang pemikiran atau Ghazwul Fikr. Untuk itu mereka mengadakan kajian-kajian tentang Islam untuk mengetahui titik-titik lemahnya kemudian disebarluaskan di kalangan mereka dan ke tengah-tengah umat islam agar keimanan mereka goyah.

Salah satu upaya mereka dalam mengguncang aqidah umat Islam adalah dengan mengkritik dan menyerang sunnah atau hadits yang menjadi sumber islam kedua. Dalam hal ini Dr. Daud Rasyid, MA telah menulis satu buku berjudul Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan yang telah diterbitkan oleh Akbar Media Eka Sarana, Jakarta.

Berikut ini hasil ketikan ulang saya pada salah satu bab buku tersebut yang membahas tentang sunnah dan orientalisme.

Selamat membaca….

Kajian orientalisme terhadap Islam tidak hanya terbatas pada satu atau dua bidang saja. Bahkan, hampir seluruh aspek Islam tidak luput dari pembahasan mereka. Ada ahli-ahli tertentu dari orientalis yang khusus menekuni sistem ideologi Islam. Ada pula yang spesialisasinya sekitar Al-Quran. Mereka mengkritik dan menyerang Al-Quran.[1]

Setelah upaya-upaya mereka meragukan Al-Quran mengalami kegagalan, karena tidak menunjukkan pengaruh yang positif di kalangan kaum muslimin, maka orientalis Barat mencoba mengarahkan sasaran mereka kepada sumber Islam kedua, yaitu As-Sunnah.[2] Orientalis pertama yang menyebarkan keraguan terhadap hadits, ialah Goldziher, seorang orientalis Yahudi Honggaria yang di kalangan Islamolog Barat, dianggap sebagai orang yang paling banyak mengetahui tentang hadits. Sehingga Johan Fueck, penulis materi “hadits” dalam Ensiklopedia Islam, menyanjungnya secara berlebihan dengan mengatakan,

“Ilmu pengetahuan berutang banyak kepada Goldziher karena tulisan-tulisannya tentang hadits. Pengaruhnya di jajaran studi Islam merupakan pengaruh terbesar dibanding kolega-koleganya. Dia telah berjasa menentukan arah dan mengembangkan penelitian dalam kajian itu”.

Kekaguman kaum orientalis terhadap Goldziher kelihatannya terletak pada keberaniannya mengkritik dan meragukan hadits serta melontarkan tuduhan-tuduhan yang tidak pernah terdengar di jajaran ahli-ahli hadits (al-muhaditsun) selama berabad-abad kecuali dari kelompok-kelompok ekstrimis yang sudah lama dikenal sebagai anti hadits. Apakah dengan begini Goldziher  datang membawa seperangkat teknologi super canggih yang belum pernah ditemukan para ilmuwan Islam sebelumnya, khusus yang berkaitan dengan metodologi kritik hadits? Ataukah hanya sebuah asumsi seorang peneliti yang apriori dan cenderung fanatis dengan doktrin agamanya, sehingga sebelum terjun ke medan penelitian dia sudah memiliki prakonsepsi? Inilah yang akan dicoba dianalisis seobyektif mungkin dalam tulisan ini.

Kemudian pembahasan ini sepintas lalu lebih terfokus pada analisa atas pikiran Goldziher, karena figur ini dianggap cukup representatif untuk mewakili pandangan-pandangan orientalis Barat, khususnya dalam studi hadits, dan pengaruhnya terhadap generasi orientalis yang lahir sesudahnya.

A. Pandangan Goldziher tentang Hadits

Untuk mengetahui pandangan Goldziher tentang hadits dapat dibaca dengan gamblang dari bukunya Dirasat Islamiyyah dan Aqidah wa asy-Syari’ah fil Islam. Di antaranya menyebutkan hal-hal berikut;

Bagian terbesar  dari riwayat hadits tidak benar seperti yang dikatakan, sebagai catatan tentang fase awal Islam. Akan tetapi, hadits yang terkumpul sekarang adalah hasil jerih payah umat Islam pada masa keemasannya yang merupakan catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad pertama dan kedua hijrah[3]. Maksudnya, menurut Goldziher, pada zaman awal di mana ketegangan memuncak terjadi antara Umawiyyun dengan keompok ulama taqwa. Untuk memerangi kebejatan dan kebobrokan yang merajalela, para ulama taqwa itu membuat hadits-hadits yang memuja-muja Ahlul Bait. Ini secara langsung bertujuan untuk memukul Umawiyyun.

Dalam waktu yang sama, pemerintahan Umawiyyah tidak mau tinggal diam bahkan melakukan hal serupa dengan tema yang berlainan untuk mendukung pendirian mereka. Untuk tujuan ini penguasa berhasil merangkul sekelompok ulama untuk memenuhi keinginan mereka. Bahkan, menurut Islamolog asal Yahudi ini, praktek memalsukan hadits (wadh’ul hadits) ini tidak hanya terbatas dalam lingkup politik saja. Bahkan, juga memasuki “kawasan” religiustuk, seperti melakukan perubahan-perubahan dalam ibadat sehingga tidak sesuai dengan praktek penduduk Madinah. Sebagai contoh, kata Goldziher, pelaksanaan khutbah Jumat yang biasa dikenal di kalangan ahlul Madinah adalah dua kali khutbah dan khatib menyampaikannya dalam posisi berdiri. Demikain juga khutbah hari raya biasanya setelah melakukan shalat. Semua ini diubah oleh Umawiyyun.

Mereka beralasan bahwa Rasul pun dahulu dan para khalifah berkhutbah dalam keadaan duduk. Padahal Jabir bin Samrah telah protes “Barangsiapa yang memberitakan kepada kalian bahwa Rasul berkhutbah duduk, maka sesungguhnya dia telah berdusta”. Goldziher sampai pada kesimpulan bahwa tak satu pun masalah yang diperselisihkan, baik dalam hal politik maupun menyangkut ideologi, yang tidak mempunyai sandaran hadits dengan ismad “mata rantai” yang kuat. Keadaan ini terus berlanjut pada abad kedua hijrah juga[4].

Tuduhan Goldziher terhadap perawi hadits terkenal, Imam Zuhri sebagai orang yang dimanfaatkan oleh Umawiyyun untuk memalsukan hadits sesuai dengan keinginan mereka. Sebagai misal ialah beberapa dokumen berita yang tersimpan pada Al-Khatib Al-Baghdadi. Berita-berita itu diriwayatkan dari beberapa jalur (thariq) yang berbeda, dari Abdurrazaq (211 H) dari Ma’mar bin Rashid (154 H) –salah seorang yang mendengar hadits dari Zuhri- menyebutkan bahwa al-Walid bin Ibrahim pernah datang kepada Zuhri membawa lembaran hadits yang dipalsukannya. Dia meminta kepada Zuhri agar memberikan lisensi (ijazah) kepadanya untuk meriwayatkan hadits yang ada dalam lembaran yang dibawanya itu. Lalu Zuhri membenarkannya tanpa ragu, sambil mengatakan, “Siapa yang dapat memberitakan isi lembaran itu kepadamu, selain dariku”.

Demikianlah menurut orientalis, rezim Muawiyah dapat memperalat Imam Zuhri untuk memenuhi tuntutan penguasa dengan “baju” agama. Terkadang ketakwaannya muncul sehingga membuat Zuhri ragu dalam memenuhi permintaan rezim. Tapi dia selamanya tidak mampu menghindar dari lingkaran pemerintah. Dalam suatu riwayat, Ma’mar dari Imam Zuhri menyebutkan ungkapannya, “Kapi dipaksa oleh para raja (umara) agar menulis hadits”.

Berita itu, menurut Goldziher, mengesankan kesediaannya memenuhi permintaan pemerintah dengan menggunakan namanya yang telah diakui di kalangan umat Islam. Zuhri bukanlah termasuk figur-figur yang sukar dirangkul oleh rezim. Bahkan, ia berpandangan harus bekerjasama dengan pemerintah. Dia tidak berupaua menghindari kepergiannya ke istana raja. Bahkan, Zuhri seringkali bergerak diekor raja. Misalnya, dia dijumpai di belakang rombongan Hajjaj ketika pergi haji. Zuhri juga diangkat oleh Hisham sebagai guru bagi putra mahkotanya. Di periode Yazid kedua dia juga menerima jabatan sebagai “hakim’.

Selama dalam jabatan ini, dia memejamkan dua matanya dari melihat kebobrokan yang ada. Dia bukanlah tergolong roang-orang yang berani menghadapi khalifah-khalifah bejat dan dhalim (maksudnya khalifah Muawiyyin). Padahal kalangan hadits menganggap orang yang menerima jabatan “peradilan” sebagai “tidak tsiqah dipercaya”[5]. Demikian penilaian Goldziher terhadap Imam Zuhri dan hadits secara umum.

B. Metodologi Muhadditsin (Ahli Hadits)

Sebelum menelaah secara substansial pandangan-pandangan Goldziher dan kaum orientalis secara umum, adalah lebih baik jika kita kemukakan sekilas metodologi kritik muhadditsin dalam memelihara keaslian hadits-hadits Nabi saw. Juga dalam meletakkan suatu kerangka metodologi kritik ilmiah guna membersihkan hadits dari berbagai kemungkinan penyusupan dan pemalsuan.

Perhatian umat Islam cukup besar terhadap hadits Nabi saw. Sejak masa sahabat, mereka berusaha mengumpulkannya semaksimal mungkin dan menyampaikannya kepada orang lain sebagaimana aslinya. Kesungguhan mereka ini besar kemungkinan didasari oleh kecintaan mereka kepada pribadi Rasulullah saw dan kecintaan kepada agama Allah swt. Dahulu kaum salaf berani mengorbakan apa saja yang ada padanya untuk mendapatkan hadits. Hingga salah seorang di antara mereka membeli kendaraan hanya untuk mencari sebuah hadits di negeri yang jauh. Diriwayatkan bahwa Jabir bin Abdillah (78 H) membeli seekor unta dan langsung menungganginya bergerak menuju Syam. Perjalanan itu memakan waktu satu bulan dan ketika tiba di Syam dia menemui Abdullah bin Unais serta menanyakan satu hadits tentang qishash.

Berpergian (rihlah) ke luar wilayahnya mencari sebuah hadits, sekalipun memakan waktu berhari-hari bahkan berbulan-bulan di perjalanan, adalah suatu tradisi ilmiah yang biasa dilakukan oleh para ahli hadits. Padahal, mereka hidup di zaman yang belum mengenal kendaraan bermotor, kecuali hanya kendaraan hewan seperti unta dan kuda. Seorang tabi’in Said bin Musayib (105 H) menceritakan pengalamannya, “Aku berhari-hari dan bermalam-malam di dalam perjalanan untuk mencari sebuah hadits”.

Bahkan, ada di antara mereka yang mengunjungi beberapa negeri dan keluar-masuk kota hanya karena mencari sebuah hadits. Diriwayatkan dari Makhul (112 H), katanya, “Dahulu aku di Mesir adalah budak dari seorang wanita dari Bani Huzail, kemudian dia memerdekakanku. Selama di Mesir, seluruh sumber-sumber ilmu kudatangi hingga aku tidak keluar meninggalkan negeri itu sebelum kukunjungi seluruh sumber ilmu yang kuketahui. Kemudian aku berangkat ke Hijaz (Arab Saudi sekarang) dan aku tidak meninggalkan negeri itu sebelum keterobos sarang-radang ilmu disana. Kemudian aku mengunjungi Irak dan aku tidak bertolak menginggalkan negeri itu sebelum mengunjungi semua tempat ilmu di situ. Kemudia aku bertolak ke Syam dan kujelajahi negeri itu.

Semua pengembaraan ini kulakukan hanya untuk mencari hadits tentang nafal ghanimah (harta rampasan perang). Namun tidak kutemukan seorang pun yang dapat memberi tahu aku tentang hadits itu. Hingga aku menemui seorang syaikh bernama Ziyad bin Jariyah at-Tamimi. Lalu kukatakan padanya, “pernahkan anda mendengar suatu hadits tentang nafal?’ Dia menjawab, “ya” Aku mendengar dari Habib bin Maslamah al-Fihri mengatakan; “Aku menyaksikan Nabi saw menbagi-bagi nafal seperempat bagi orang baru (pemula) dan membagi sepertiga bagi orang-orang yang sudah pernah”.

Ketekunan para ahli hadits dalam mencari dan melacak berita dari sumber aslinya, menuntut keseriusan dan pengorbanan yang luar biasa. Hal ini tidak ditemukan bandingannya dalam sejarah keilmuan bangsa manapun di dunia ini, termasuk Barat. Ini terjadi sejak zaman “fajar” Islam ketika fasilitas kehidupan yang tersedia sangat sederhana sekali. Semangat cinta ilmu seperti ini tidak dapat dibantah siapa pun. Dan orang seperti Goldziher, yang biasanya meolak berita-berita tentang keuletan ulama Islam, juga harus mengakui bahwa “para wisatawan ilmiah (maksudnya ahli hadits) yang menyebutkan bahwa mereka telah mengelilingi Timur dan Barat hingga empat kali, bukanlah suatu yang mustahil dan tidak pula berlebihan”[6].

Dalam menerima informasi yang berkaitan dengan hadits, mereka sangat teliti dan selektif. Para ahli hadits sangat khawatir jika merekapada larangan Nabi saw agar tidak menisbahkan sesuatu ucapan kepada Nabi saw padahal itu tidak berasal dari beliau. Peringatan keras itu tercermin dalam hadits Nabi saw; “Barangsiapa yang berbuat dusta atas saya dengan sengaja, maka dia hendaknya menyediakan tempatnya di dalam neraka jahannam”.

Ancaman itulah yang menanamkan kehati-hatian pada sahabat Nabi seperti Zubair bi Awam ketika ditanya oleh Abdullah bin Zubair, “Aku tidak mendengar anda menyampaikan sesuatu dari hadits Nabi saw seperti orang lain”. Zubair menjawab, “Sebenarnya aku tidak meninggalkan hadits-hadits itu. Tapi aku pernah mendegar beliau (Nabi saw) mengatakan; “Barangsiapa yang berbuat dusta atas saya dengan sengaja, maka dia hendaknya menyediakan tempatnya di dalam neraka jahannam”.

Saking takut keliru dalam hadits Nabi saw, sebagian sahabat menunggu waktu yang cukup lama, baru menyampaikannya. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar pernah menunggu sampai satu tahun lamanya sebelum menyampaikan sebuah hadits dari Nabi saw”[7].

Baca juga:   Takhrij Hadis tentang Hadis Jangan Katakan Fulan Syahid

Berangkat dari kehati-hatian dan selektifitas yang tinggi, para mihadditsin meletakkan kerangka metodologis dalam menyeleksi hadits-hadits yang mereka terima, sehingga hadits Nabi saw benar-benar terjamin keaslian dan validitasnya.

Ada beberapa langkah yang mereka tempuh dalam melakukan kritik itu, di antaranya sebagai berikut:

1. Melacak Isnad (Mata Rantai) Hadits

Dahulu setelah Nabi saw wafat, para sahabat tidak pernah meragukan hadits yag mereka dengar dari sahabat lainnya. Para tabi’in juga tidak ragu menerima hadits yang diriwayatka oleh seorang sahabat dari Nabi saw. Keadaan itu mulai berubah  sejak terjadi “fitnah” dan munculnya seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba’. Ia melakukan profokasi dengan ajakannya mempertuhankan Ali bin Abi Thalib. Ibnu Saba’ juga memalsukan hadits Nabi saw dari waktu ke waktu.

Pada saat itu mulailah para sahabat dan tabi’in berhati-hati dalam mentransformasikan hadits. Berbeda dengan sebelumnya, mereka tidak lagi menerima hadits apa pun kecuali setelah mereka ketahui jalur dan mereka percayai narasumbernya. Itulah yang diceritakan Ibnu Sirin –ketika mengisahkan masa lalu- dan dikutip Imam Muslim dalam muqaddimah kitab shahih-nya, “Dahulu mereka tidak mempertanyakan tentang isnad. Tapi setelah terjadinya fitnah, mereka menuntut, ‘Sebutkan sumber hadits kamu ini?’ Mereka lihat Ahli Sunnah, lalu mereka terima haditsnya. Mereka tandai ahlu bid’ah (orang yang membuat hal-hal aneh atau “pembaru” ajaran agama) agar tidak diterima hadits yang berasal dari mereka”.

Peningkatan selektifitas (at-tatsabut) ini sudah dimulai sejak masa sahabat-sahabat muda (sighar shahabat), yaitu mereka yang tahun wafatnya belakangan, setelah terjadinya fitnah. Hal ini dapat dibuktikan dari sikap selektif yang ditunjukkan oleh Abdullah bin Abbas ketika didatangi Basyir Al-Adawi sambil menyampaikan hadits-hadits yang berasal dari Nabi saw. Lalu Ibnu Abbas tidak mendengarkan dan tidak pula memerhatikannya sehingga Basyir mengatakan, “Hai Ibnu Abbas!! Kenapa kulihat anda tidak mau mendengarkan aku meyampaikan hadits Nabi saw?” jawab Ibnu Abbas, “Dahulu setiap orang mengatakan bahwa Rasulullah saw telah bersabda. Mata dan telinga kami tertuju kepadanya dengan penuh perhatian. Tapi setelah orang ditimpa “malapetaka” (fitnah) kami tidak lagi mengambil dari sembarang orang kecuali orang yang kami kenal”.

Kehati-hatian yang sama juga ditemukan di kalangan tabi’in setelah periode sahabat. Misalnya, dapat dilihat dari penegasan Ibnul Mubarak tentang peranan isnad. Katanya “isnad” mata rantai adalah bagian dari agama. Tanpa mengetahui isnad maka sembarang orang akan berkata apa saja yang dimauinya”.

Jadi dengan melacak mata rantai suatu hadits, dapat diketahui sumber hadits yang sesungguhnya. Apakah hadits  tersebut benar bersumber dari Rasulullah saw atau dipalsukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab?.

2. Autentikasi (Tautsiq) Hadits

Praktek autentikasi sebagai salah satu metode untuk memeriksa kebenaran suatu hadits, telah terjadi sejak masa sahabat dan tabi’in. Orang-orang yang mendapatkan suatu hadits dapat me-recheck nya (mengkaji ulang) kepada sahabat, tabi’in ataupun para imam, khususnya setelah masa terjadinya fitnah. Autentikasi itu tidak hanya terbatas pada isnad suatu hadits. Bahkan juga mencakup pemeriksaan terhadap matan hadits.

Praktek autentikasi dari segi isnad dapat dikemukakan sebagai misal, kasus seorang nenek tua yang datang menghadap Abu Bakar menanyakan berapa bagiannya dalam hal warisan. Abu Bakar menjawab: “Saya tidak menemukan bagian nenek dalam Al-Quran maupun Sunnah Rasul saw”. Lalu berkata Mughirah bin Syu’bah, “Saya pernah menghadiri Rasulullah saw memberi bagian nenek sebesar seperenam”. Kemudian Abu Bakar berkata: “Adakah orang lain selain anda?” lalu Muhammad bin Maslamah Al-Anshari berdiri dan membenarkan Mughirah. Atas dasar itu Abu Bakar menerima dan melaksanakannya[8]. Abu Bakar dalam kasus itu meminta saksi lain di samping Mughirah, bukan karena tidak percaya kepada sahabat yang mulia itu. Tapi untuk lebih menambah keyakinannya atas peristiwa itu dan sebagai upaya autentikasi terhadap hadits Nabi saw.

Dari segi matan, juga banyak ditemukan kasus autentikasi untuk me-recheck kebenaran isi suatu hadits. Khususnya, bila substansi hadits tersebut dirasakan kurang sejalan dengan prinsip-prinsip syara’ yang ada dalam Al-Quran dan hadits Nabi saw lainnya.

Sebuah kasus yang terjadi pada masa sahabat yang menggambarkan kepada kita bagaimana tingkat ketelitian mereka dalam memeriksa isi (matan) sebuah hadits, juga membuktikan bagaimana suasana dialogis, kebebasan berpendapat dan mengkritik tumbuh dengan segar dibawah naungan pemerintahan Islam. Ketika Umar terkena musibah, Suhaib datang membesuknya sambil menangis. Dia meratap, “Oh saudaraku! Oh sahabatku!” lalu Umar berkata, “Kenapa engkau menangisiku, Suhaib? Padahal Rasulullah saw berkata, “Sesungguhnya mayat disiksa karena sebagian ratapan keluarganya”.

Kata Ibnu Abbas, “Ketika Umar telah wafat, hal itu diceritakan kepada Aisyah dan ia berkomentar, ‘Mudah-mudahan Allah mengasihi Umar. Rasulullah saw tidak menyebutkan demikian. Tapi sabda beliau, “Sesungguhnya Allah akan menambah siksaan orang kafir karena ratapan keluarganya’. Cukup kamu pegang ayat Al-Quran yang menyatakan, ‘Tidak dibebankan dosa seseorang kepada orang lain'”.

Demikian terlihat Aisyah me-munaqashah perkataan Umar dengan dalil naqliyah dari Al-Quran dan Hadits. Kasus ini merupakan salah satu bentuk kritik matan yang tidak pernah diabaikan sahabat. Tapi dikalangan muhadditsin, hadits Umar di atas tetap dinilai shahih. Bukhari memberi interpretasi bahwa hadits itu ditunjukkan bagi ratapan yang telah jadi kebiasaan si mayat sebelum matinya, mendengar ratapan keluarganya, tapi tidak melarangnya bahkan menyetujuinya. Atau, bahkan mewasiatkan kepada keluarganya agar meratapinya kalau dia mati. Tetapi, perlu diperhatikan bahwa adanya kritik di antara sesama ahli dan ulama tidak memberi arti bahwa kritik itulah yang diterima atau pengeritik yang benar. Justru kritik itu bisa diterima bisa ditolak.

3. Metode Kritik Perawi

Metode kritik perawi hadits dan menerangkan status mereka, sebagai orang yang jujur atau pendusta, merupakan sarana ampuh untuk membersihkan hadits-hadits Nabi saw dari berbagai pemalsuan orang-orang yang berkedok sebagai perawi. Dengan metode ini, para ulama dapat membedakan antara hadits shahih dan dhaif. Karya ahli hadits di bidang ini tiada taranya bila dibandingkan dengan metode kritik yang ada pada umat lainnya.

Para kritikus hadits dengan sungguh-sungguh mengumpulkan biografi para perawi hadits. Kemudian menelaah secara kritis kehidupan mereka, tanpa mengenal rasa sungkan, segan dan khawatir akan resiko apa pun. Mereka secara jujur memberi penilaian yang objektif bagi setiap perawi. Tak satupun cacat setiap perawi yang mereka sembunyikan. Pendek kata, dalam masalah “jarh” dan “ta’dil” para kritikus tidak mengenal sifat warra’ atau keberatan.

Pernah ditanyaka kepada Yahya bin Sa’id al-Qattan, seorang kritikus terkenal, “Apakah anda tidak khawatir, jika orang-orang yang anda buang hadits yang mereka riwayatkan itu, kelak menjadi musuh anda di hari kiamat?” Dengan tegas Yahya menjawab; “Aku lebih takut nanti kalau Rasulullah saw yang menjadi musuhku da berkata padaku, ‘Mengapa tidak engkau bersihkan hadits-haditsku dari segala jenis dusta dan bohong”[9].

Dengan mengunakan metode-metode di atas, tak berlebihan jika dikatakan bahwa tak satu pun pemalsuan dan kecerobohan yang disusupkan ke dalam hadits Nabi saw, yang tidak terdeteksi oleh para kritikus hadits.

Kitab-kitab yang dikarang oleh muhadditsin, khususnya yang menghimpun biografi setiap perawi, memenuhi perpustakaan-perpustakaan dunia saat ini. Kitab-kitab ini yang lazim dikenal dengan Kutub ar-Rijal, menghimpun sejarah hidup 500.000 (setengah juta) orang perawi hadits. Fakta inilah yang dilihat oleh orientalis sehingga membuat mereka tidak berdaya menyembunyikan kebenaran sejarah.

Dengan jujur, Sprenger, orientalis Jerman yang banyak mengkaji hadits, mengakui dalam mukaddimah yang ditulisnya untuk sebuah kitab klasik Al-Ishabah fi at-Tamyiz as-Shahabah karya Ibnu Hajar. Dia mengatakan: “Tidak dijumpai satu umat pun yang pernah hidup di muka bumi ini hingga sekarang, memiliki daftar nama-nama (rijal) yang dapat kita ikuti atau baca kehidupan dari sejumlah lima ratus ribu orang, selain dari umat Islam”[10].

C. Telaah Kritis atas Pandangan Goldziher

Telah kita paparkan metodologi muhadditsin dalam membentengi hadits Nabi saw sehingga tak satu pun celah yang memungkinkan ditembus oleh orang-orang yang tidak berniat baik terhadap Sunnah Nabi, yang tidak dikunci rapat oleh ahli-ahli hadits.

Berikut ini kita telaah sejauh mana kebenaran tuduhan Goldziher terhadap hadits seperti yang telah kita sebutkan di atas. Tujuannya agar kita tahu, apakah Goldziher membawa metodologi baru yang lebih canggih dari metode ahli hadits, atau tuduhan itu hanya merupakan luapan emosi yang tidak terkendali dan tidak mempunyai pijakan ilmiah dan apriori saja.

1. Goldziher menuduh bahwa bagian terbesar dari hadits, adalah catatan sejarah tentang hasil kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, politik dan sosial pada dua abad pertama hijrah

Tuduhan ini secara historis dan kenyataan, tidak beralasan. Sebab, Rasulullah saw wafat setelah bangunan din ini benar-benar sempurna, dengan selesainya Kitabullah dan Sunnah Nabi saw. Hal ini secara eksplisit ditegaskan Al-Quran pada ayat yang terakhir turun.

Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu dinmu, Kucukupkan atasmu nikmat-Ku, dan Aku ridha Islam menjadi agama bagimu”. (Qs Al-Maidah:3)

Maksudnya Islam telah turun dengan sempurna. Demikian pula ditegaskan Rasulullah saw di dalam haditsnya,

“Telah kutinggalkan padamu dua perkara. Jika kamu berpegang teguh padanya, niscaya kamu tidak akan sesat selamanya: Kitabullah dan Sunnahku”.

Untuk mengetahui sejauh mana telah matangnya Islam sejak periode pertama, cukup dilihat kesiapan Umar bin Khathab menangani urusan dua imperium terbesar dunia waktu itu (Persia dan Romawi) yang berhasil dikuasai Islam. Umar mampu menjalankan roda pemerintahan yang sangat besar itu dan memerintah kedua bangsanya dengan sistem dan pola yang jauh lebih sempurna dan lebih adil daripada Kisra dan Kaisar yang memerintah dua kerajaan besar itu sebelumnya. Padahal, keduanya telah mencapai puncak peradaban dan kebudayaan dunia.

Baca juga:   Abu Hurairah: Gudang Perbendaharaan Hadis Pada Masa Wahyu

Sekiranya Islam masih dalam fase “bayi”, mustahil rasanya Umar dapat memikul tugas seberat itu dan mengendalikan dua kerajaan seluas itu. Peneliti yang jujur akan mengetahui bahwa kaum muslimin di berbagai bekahan bumi yang mereka diami, melakukan ibadah dengan corak yang sama, menjalankan hukum yang esensinya sama, serta membentuk tonggak-tonggak keluarga dan rumah tangga mereka dengan rukun yang sama pula. Demikianlah mereka hidup dengan sistem ibadah, muamalah, akidah, dan adat yang seluruhnya sama, mulai dari pangkal utara hingga ke ujung selatan.

Pengamat sejarah yang jujur akan tahu bahwa fenomena seperti ini mustahil terjadi jika mereka belum mempunyai sebuah sistem yang matang dan sempurna, yang mengatur berbagai segi kehidupan mereka, sebelum mereka mengembara ke luar jazirah Arab. Seandainya bagian terbesar dari hadits Nabi saw adalah hasil kemajuan Islam selama dua abad pertama, seperti yang diklaim orientalis itu, tentu saja cara dan langgam ibadah seorang yang tinggal di Afrika Utara tidak sama dengan ibadah muslim yang hidup di Cina bagian selatan. Sebab, lingkungan dari kedua teritorial itu sangat jauh berbeda. Bagaimana mungkin keduanya bisa bersamaan dalam ibadah, hukum, dan adab padahal kedua tempat itu saling berjauhan letaknya?

Adapun lahir dan bervariasinya mazhab-mazhab dalam Islam setelah abad pertama hijrah, hal itu disebabkan perbedaan dalam pemahaman kaum muslimin terhadap Al-Quran dan Sunnah. Perbedaan itu sendiri hanya pada ijtihad dalam hal furu’ (cabang), bukan perbedaan dalam ushul ‘pokok’. Perbedaan ini ditolerir Islam selama itu muncul dari ijtihad yang benar, bukan dari selera dan hawa nafsu. Bila ijtihad itu ternyata tidak tepat, maka mujtahidnya mendapat dua pahala. Di sini tampak jelas fleksibilitas yang sesuai dengan kondisi zaman dan tempat[11].

2. Goldziher menuduh bahwa penyebab pemalsuan hadits adalah adanya permusuhan antara ulama dan Umawiyyun

Hal ini jelas tidak benar. Pasalnya, Umar bin Khatab adalah seseorang yang antusias memberi pengarahan kepada ulama dan penuntut ilmu agar mengikuti sunnah dan atsar[12]. Ketika orang datang untuk membaiatnya menjadi khalifah, dia membaca Al-Quran di bawah cahaya lampu yang redup.

Sikap yang sama juga ditemukan pada Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik. Di zamannya dibangun banyak masjid yang terkenal sekarang ini, hingga periodenya dikenal dengan zaman “pembangunan”. Hal yang sama terdapat pada khalifa-khalifah Umawi lainnya, kecuali Yazid bin Muawiyah. Yang terakhir ini, konon tampaknya, sedikut menyimpang dari khuluq syariat pada perilakunya. Sehingga, orang-orang bayaran Abasi dan novelis Syiah memfitnahnya secara berlebihan dengan berbagai isu yang tak terbukti ketika diteliti. Al-Walid juga tidak lepas dari sasaran fitnah mereka. Ia dituduh melemparkan mushaf dan merobek-robeknya. Berita seperti itu, bagi orang-orang yang jujur, tentu merupakan fitnah dan dusta.

Lebih dari itu, sejarah mencatat keterampilan Umawiyyun dalam melakukan futuh ‘penaklukan’. Bahkan, wilayah teritorial Islam selama masa Abasi, boleh dibilang tidak bertambah dari Umawi. Kesuksesan orang-orang Umawiyyun ini adalah disebabkan putra-putra khalifah mereka merupakan pentolan-pentolan militer dalam melakukan operasi penaklukan dalam rangka menegakkan “kalimah Allah”. Lalu bagaimana mungkin mereka dituduh sebagai orang-orang yang tidak faham Islam dan tidak disenangi ulama?

Jadi teori Goldziher dan orientalis lainnya tentang faktor penyebab pemalsuan hadits, sama sekali tidak terbukti kebenarannya. Betul, ada permusuhan. Tapi, permusuhan gencar itu adalah antara Umawiyyun dengan tokoh-tokoh Khawarij dan Alawiyyun. Sedangkan, mereka ini bukan termasuk ulama yang aktif mengumpulkan, menyusun, meriwayatkan dan memeriksa hadits-hadits Nabi. Sebagaimana kesungguhan Said bin Musayib, Abu Bakar bin Abdurrahman bin Harits, Hasyim Al-Makhzumi, Utbah, Salim maula Abdillah bin Umar, Nafi maula Ibnu Umar, Sulaiman bin Yasar, Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Imam Zuhri, Atho’, Asy-Sya’bi, Alqamah, Al-Hasan Al-Bashri dan imam-imam hadits selain mereka.

Tokoh-tokoh ulama ini, dalam sejarah, tidak pernah berbenturan dengan Umawiyyun dalam pertikaian apa pun. Tidak pula terdengar bahwa mereka bermusuhan dengan Umawiyyun. Kecuali hanya Said bin Musayyab yang pernah “beroposisi” terhadap Abdul Malik. Sebabnya, seperti dimaklumi, karena khalifah Abdul Malik menginginkan agar orang membaiat putranya, Al-Walid, lalu membaiat Sulaiman. Kebijakan ini ditolak oleh Imam Sa’id. Sebab, menurutnya, Rasulullah saw melarang adanya dua baiat dalam waktu yang sama. Inilah sebab perselisihan mereka. Tapi sebelum peristiwa ini, tidak pernah kedengaran sikap “oposisi” Imam Sa’id terhadap khalifa-khalifah Bani Umayyah

Pendek kata, kalau yang dimaksudkan Goldziher dengan “ulama” yang memusuhi Umawiyyun itu, adalah tokoh-tokoh Khawarij dan Alawiyyun, ini dapat diterima. Tapi mereka ini tidak ada hubungannya dengan ulama yang kenal “siang dan malam” dalam menyebarluaskan Sunnah, menghafal dan membersihkannya. Tapi, jika yang dimaksudkannya dengan ulama semisal Atho’, Nafi’, Said, Al-Hasan, Az-Zuhri, Makhul dan Qatadah, ini jelas merupakan sikap yang tidak lazim dikenal di kalangan ilmuwan yang jujur[13]. Anehnya pemalsu-pemalsu hadits yang di kalangan ulama kita dikenal sebagai ‘zindik’ (kafir) dan ‘fasik’, malahan oleh Goldziher disebut sebagai “ulama yang takwa”. Sikap apakah ini???

3. Goldziher mengatakan, “Maka untuk memerangi kebejatan dan kebobrokan yang merajalela, para ulama yang takwa itu membuat-buat hadits yang memuja-muja Ahlul Bait”.

Ungkapan seperti ini hanya muncul dari orang-orang yang belum sampai pada ketinggian kepribadian ulama kita. Jangankan berdusta terhadap Rasulullah saw, dalam kehidupan sehari-hari saja pun mereka sangat keras dalam membasmi dusta. Belum lagi kita ungkap betapa rasa takut jatuh pada perbuatan dusta, telah mengakar dalam diri mereka. Saking tegasnya mereka terhadap dusta ini, sampai-sampai sebagian mereka berpendapat bahwa orang yang berdusta adalah kafir, harus dibunuh, dan tidak diterima taubatnya.

Bagaimana mungkin masuk akal bila dikatakan bahwa ulama sekaliber Sa’id bin Musayyab membolehkan bagi dirinya berdusta padahal dialah yang menderita kena pukul dan siksa karena menolak membaiat dua khalifah dalam waktu yang sama. Sebab, tindakan itu baginya merupakan pelanggaran terhadap sunnah Nabi saw. Kekeliruan besar yang dialami Goldziher dan orang-orang yang sefaham dengannya, ialah karena mereka menerapkan kehidupan insan Barat pada kehidupan ulama-ulama Islam. Kekeliruan metodologis seperti ini tidak kecil dampaknya.

Bagi ilmuwan Barat, seperti Goldziher, nilai-nilai moral dan kepribadian yang tinggi tidak menjadi perhatian. Tapi bagi ulama Islam, faktor-faktor itu justru sangat menentukan dalam kehidupannya sebagai seorang ilmuwan. Selain itu, bagi orientalis, berkata sembarangan, menyalahpahami teks, hingga kepada pemutarbalikan fakta sejarah, masih dianggap sebagai kebebasan pribadi dan biasa, seperti yang terlihat pada pembahasan ini. Sementara dalam tradisi keilmuan Islam, tindakan-tindakan semacam itu dianggap cukup sensitif hingga dapat meruntuhkan kepribadian dan keilmuan seseorang.

Asumsi Goldziher bahwa ulama yang takwa memalsukan hadits yang memuji Ahlul Bait yang dalam hal ini sebagai “rival” Umawiyyun, disebabkan kurang memahami permasalahan. Pasalnya, tidak dipungkiri keutamaan para sahabat Nabi saw. Bahkan, Allah swt memuji sebagian sahabat dalam Al-Quran. Nabi saw memuji Ali bin Abi Thalib, sebagaimana juga beliau memuji Abu Bakar, Umar, Utsman, Thalhah, Aisyah, Zubair dan pembesar-pembesar sahabat lainnya.

Hal ini semuanya benar dan shahih. Hanya saja Syiah melebih-lebihkannya. Mereka mulai memalsukan hadits yang menyangjung-nyanjung Ahlul Bait secara berlebihan dan mendeskreditkan Umawiyyun dan pendukung mereka. Oleh seab itu, mereka dilawan oleh ulama-ulama sunnah. Hadits-hadits yang mereka palsukan, dibongkar habis-habisan oleh para ulama hadits.

Jadi, yang memalsukan hadits tentang Ahlul Bait itu, bukanlah ulama-ulama yang takwa dari Ahli Madinah, bahkan mereka inilah yang mati-matian memerangi gerakan pemalasuan itu, seperti yang dilukiskan oleh ibnu Sirin terdahulu.

Prof. Dr Musthada As-Siba’i, pakar hadits dari Suriah memberi komentar atas tuduhan Goldziher ini dengan mengatakan, “Kalau Goldziher ingin tahu siapa sesungguhnya ahlul bida’ dalam pandangan ahlul hadits, silahkan merujuk kepada referensi-referensi bahasa Arab yang dinukil dan diputarbalikkan itu. Agar diketahuinya bahwa mereka itu adalah Syiah, Khawarij dan yang mengikuti faham mereka itu. Bagaimana mungkin ulama kita melawan kelompok pemalsu hadits tentang Ahlul Bait itu, lalu mereka melakukan hal serupa pula untuk maksud yang sama[14].

Lebih lanjut, pakar hadits yang pernah berdialog langsung dengan sejumlah orientalis ketika mengelilingi pusat studi Islam di Eropa itu mengatakan, “Yang anehnya, pada saat yang mana seorang tokoh ulama Syiah –seperti Ibnu Abil Hadid- mengakui Syiahlah yang pertama kali mendustakan hadits dan melebih-lebihkan keutamaan Ahlul Bait, muncul Goldziher menuduh bahwa ulama-ulama yang takwa dari Madinah –menurut anggapannya- yang memulai tindakan keji itu. Bukankah pemalsuan fakta sejarah semacam ini adalah profesionalitas yang hanya dilakukan oleh  orang yang bejat dan berdosa??”

4. Imam Zuhri dipenjara?

Selanjutnya sasaran tuduhan Golziher diarahkannya kepada imam terbesar dalam sunnah di zamannya, bahkan orang yang pertama menyusun Sunnah dari pentolan hadits pada zaman Sahabat, Abu Hurairah. Ini bisa difahami, jika Golziher merasa berhasil meruntuhkan Abu Hurairah –sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits- kemudian mematahkan Imam Zuhri, Imam sunnah pada periode berikutnya, periode Tabi’in, dan membesarkan isu “pemalsuan hadits”. Jika makar ini berhasil, maka sudah kloplah persyaratan untuk membuang sunnah. Karena tonggak-tonggaknya telah berubah. Tapi, Goldziher berserta murid-murid orientalis lainnya lupa bahwa konspirasinya itu tidak akan luput dari perhatian ulama hadits yang senantiasa siap membela Sunnah Nabi mereka, kapan dan di manapun.

Imam Zuhri yang nama lengkapnya Abu Bakar, Muhammad bin Harits bin Zahroh Al-Quraisyi Az-Zuhri, sejak muda sudah ditinggal ayahnya. Zuhri hidup sebagai anak yatim, tiada harta dan tiada pembimbing. Sejak awal kesungguhannya dia curahkan untuk menghafalkan Al-Quran. Sehingga dalam waktu delapan puluh malam, kitab suci tamat dihafalnya. Kemudian dia pun mulai belajar fiqih dan hadits. Dia berkeliling belajar kepada Sahabat. Ada sepuluh orang sahabat Nabi saw yang pernah mejadi gurunya, di antaranya Anas, Ibnu Umar, Jabir, Sahal bin Sa’ad dan lainnya. Kemudian dari kalangan pembesar Tabi’in ialah Sayid bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah dan lainnya.

Zuhri dikenal sebagai orang yang amat pemurah. Tak seorang pun yang datang meminta kepadanya, pulang dengan tangan kosong. Jika tidak punya, diusahakannya meminjam dan berhutang kepada sahabatnya. Ia juga suka memberi makan orang dengan sop daging dan madu. Di antara sifat keilmuannya yang menonjol, ialah perhatiannya ayng luar biasa dalam menuntut ilmu. Zuhri sangat antusias menemui ulama dan mencatat apa  yang didengarnya. Seringkali dia tidak tidur malam karena menghafal dan mematangkan apa yang dia dengar. Untuk itu berkata Abduzzanadi, “Kami dulu menulis apa yang halal dan apa yang haram, Zuhri mencatat segala yang didengarnya. Ketika dia dibutuhkan, tahulah aku bahwa dia orang yang paling alim”.

Baca juga:   Membantu Istri

Dari segi ingatan dan hafalan, Zuhri tergolong yang paling kuat dan menakjubkan. Katanya “Tak ada ayng kulupakan dari ilmu yang kuhafal. Tak satu hadits pun yang kuulangi. Dan tiada yang kuragukan kecuali satu hadits. Lalu kutanyakan kepada sahabatku, ternyata sama seperti yang kuingat”.

Saking kuatnya ingatan Zuhri, pernah Hisyam bin Abdul Malik ingin mengujinya. Ia meminta Zuhri untuk mendiktekan hadits kepada putranya dan ditulis seorang juru tulis. Jumlahnya sebanyak empat ratus hadits. Kira-kira sebulan setekah itu. Hisyam mengatakan, “Kitab itu telah hilang, tolong diktekan sekali lagi”. Maka, dipanggilnya juru tulis. Setelah dibandingkan dengan kitab yang pertama, tak satu huruf pun yang berbeda.

D. Penilaian Kritikus Hadits terhadap Imam Zuhri

Seperti diketahui bahwa kritikus hadits tidak mengenal “wara” dalam menilai seseorang. Dari catat paling besar, hingga kesilapan yang paling kecil, habis dibongkar oleh kritikus hadits.

Ibnu Sa’ad mengatakan, “Zuhri adalah seorang yang tsiqah (terpercaya), banyak ilmu, hadits dan riwayatnya. Dia juga seorang faqih”

Imam Nasa’i mengatakan, “Isnad yang paling bagus dari Rasulullah saw ada empat jalur yaitu 1) Zuhri dari Ali bin Hasan dari ayahnya dari kakeknya, 2) Zuhri dari Ubaidullah dari Ibnu Abbas dan dua isnad lainnya”.

Imam Az-Zahabi, kritikus terkenal, mengatakan, “Dia (Zuhri) adalah simbol para penghafal hadits. Dia adalah Imam, Hafidz dan Hujjah. Di antara muridnya ialah Imam Malik, Abu Hanifah, Atho’ bin Abi Rabah, Umar bin Abdul Aziz dan sebagainya. Hadits-haditsnya banyak dimuat dalam “shahihain”, kitab-kitab sunan, dan musnad. Hampir tak satu bab pun dari kitab-kitab itu yang tidak memuat hadits Zuhri”.

E. Hubungan Zuhri dengan Umawiyyun

Goldziher menuduh Zuhri diperalat Umawiyyun karena dekatnya hubungan Zuhri dengan khalifah itu. Alasan seperti ini tidak cukup kuat untuk berkesimpulan demikian. Betapa banyak dahulu ulama berhubungan dengan raja-raja dan khalifah, namun itu tak pernah menyentuh sikap amanah mereka. Bahkan, hubungan itu merupakan sarana untuk menyampaikan kebenaran kepada khalifah tanpa perantara. Inilah yang dilakukan Zuhri terhadap Hisyam bin Abdul Malik, khalifah bani Umayyah pada masanya. Zuhri tidak merasa takut dan khawatir menyampaikan yang benar dan mengoreksi yang salah dari khalifah.

Hal ini dapat dilihat pada kisah Zuhri yang diriwayatkan Ibnu Asakir dengan sanadnya dari Imam Syafi’i bahwa khalifah Hisyam bin Abdul Malik bertanya kepada Sulaiman bin Yasar tentang tafsir ayat 11 surat an-nuur, “Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar  dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar” Tanya Ibnu Hisyam, “Siapakah orang yang dimaksud ayat itu?” Sulaiman menjawab: “Dia adalah Abdullah bin Ubay bin Salul”  kata Hisyam, “Anda bohong, Dia adalah Ali bin Abi Thalib”. Tampaknya Hisyam –kata Dr. As-Siba’i- tidak serius dengan ucapannya itu, dia hanya ingin menguji keberanian mereka dalam mempertahankan kebenaran[15]. Lalu Sulaiman berkata, “Amirul Mukminin lebih tahu apa yang diucapkannya”.

Kemudian Ibnu Syihab (maksudnya Az-Zuhri) tiba, dan Hisyam mengulangi pertanyaannya. Zuhri menjawab, “Dia adalah Abdullah bin Ubay bin Salul”. Hisyam menjawab, “Anda bohong, dia adalah Ali bin Abi Thalib”. Dengan marahnya Zuhri mengataka, “Anda katakan saya berbohong? Celakalah anda! Demi Allah sekiranya ada suara yang memanggil dari langit menyerukan bahwa Allah telah membplehkan dusta, niscaya aku tidak akan berdusta”. Kemudian lanjutanya, “Si fulan dan si fulan menceritakan kepadaku bahwa orang yang mengambil begian terbesar dalam penyebaran berita bohong adalah Abdullah bin Ubay bin Salul”[16].

Kesalahan Goldziher dalam memandang hubungan Zuhri dan Umawiyyun, ialah kekeliruannya menerapkan kondisi zaman sekarang –khususnya kehidupan barat- kepada umat Islam, khususnya yang hidup di bawah naungan pemerintahan Islam. Mungkin di zaman sekarang “dekatnya” hubungan ulama/ilmuan dengan “istana” dapat mengubah pendapat dan prinsip ulama/ilmuan tersebut. Dan kontrol antarsesama ilmuan sangan lemah. Pasalnya, ilmu jarh wa ta’dil tidak ada lagi, periwayatan hadits telah selesai, dari pemeliharaan sunnah telah rampung.

Nah, kalau ini terjadi dalam umat Islam yang masih kentl dengan nilai-nilai moral, apalagi dalam skala Barat dimana kajian ilmiah dan ilmuan Barat dapat tunduk pada “pesanan” dan keinginan donaturnya. Inilah yang terjadi pada lembaga-lembaga kajian Islam (islamic studies) di Barat yang tunduk pada keinginan pemerintah yang membiayainya. Keadaan ini sulit dijumpai, kalau tidak dikatakan mustahil, pada ilmuan Islam pada masa dulu.

Setelah kita analisis pandangan-pandangan Goldziher dan orang-orang yang terpengaruh oleh metode pendekatan orientalis, maka tampak jelas bahwa tuduhan-tuduhan mereka tidak beralasan. Kita agaknya sudah dapat menilai motif dan bobot dari tuduhan dan klaim yang dilontarkan oleh Goldziher. Juga mampu menilai metodologi yang mereka kembangkan dalam mengkaji Islam.

Di akhir tulisan ini, penulis merasa penting mengutip analisis Prof. Musthafa As-Siba’i tentang metodologi orientalis. Analisis itu dirasa penting, karena tokoh yang satu ini pernah mengelilingi Eropa (Perancis, Jerman, Inggris, Belanda, Swizerland, Skotlandia) dan mengunjungi pusat-pusat orientalisme di universitas Barat dan berdialog langsung dengan mereka. Ciri-ciri khas analisis mereka kata As-Siba’i[17], adalah sebagai berikut:

  1. Berprasangka buruk dan salah mengerti tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan Islam, baik tujuan dan motifnya.
  2. Berprsangka buruk terhadap tokoh-tokoh umat Islam, ulama dan pembesar mereka.
  3. Mengambarkan masyarakat Islam sepanjang sejarah, khususnya periode pertama itu, sebagai masyarakat yang terpecah-pecah dan individualisme memusnahkan pemimpin-pemimpinnya.
  4. Menggambarkan peradaban Islam secara tidak realistis dengan mengecilkannya serta meremehkan bekas peninggalannya.
  5. Tidak memahami watak masyarakat muslim yang sesungguhnya. Mereka hanya mengambil kesimpulan dari seputar tingkah laku bangsa-bangsa muslim dan tradisi negeri masing-masing.
  6. Memperlakukan informasi (teks) ilmiah menurut kemauan mereka sendiri, mau mereka terima atau mereka tolak.
  7. Sering meutarbalikkan nushush (teks) dengan sengaja. Jika tidak mereka temukan celah-celah untuk diselewengkan, mereka menyalahpahami maksud ungkapan-ungkapan yang ada.
  8. Menggunakan referensi semaunya untuk dijadikan sumber nukilan. Mislanya, menjadikan buku-buku sastra sebagai rujukan untuk mengetahui sejarah hadits. Juga menggunakan literatur sejarah untuk menentukan sejarah fiqih. Sebagai contoh, mereka menelan bulat-bulat segala yang dinukil oleh Ad-Damiri dalambukunya Al-Hayawan. Anehnyam, mereka mendustakan riwayat Malik dalam kitabnya Al-Muwatho’ (padahal validitas Al-Muwatho’ telah teruji di kalangan ahli-ahli hadits yang amat selektif). Semua ini mereka lakukan karena mengikuti hawa nafsunya dan untuk menyelewengkan kebenaran.

Sumber:

Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam sorotan“, oleh DR. Daud Rasyid, MA, cet.I, penerbit: Akbar Media Ekasarana 2002 hal.143-164.

Semoga artikel ini bisa menambah wawasan pembaca tentang usaha musuh-musuh islam yang ingin merusak Islam melalui pemikiran yang kadang-kadang tidak terasa karena saking halusnya atau biasa dikenal dengan Ghazwul Fikr (perang pemikiran) dan semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi amal jariyah bagi penulisnya di akhirat kelak, amiin.


[1]   Sebagai contoh ialah George Sale, orientalis yang menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Inggris dan diterbitklan  pada tahun 1736 M. Sale, dalam mukaddimah terjemahannya mengatakan, “Adapun Muhammad saw yang pada hakikatnya sebagai penyusun dan penemu utama Al-Quran, adalah masalah yang tidak perlu dipersoalkan lagi. Kendatipun demikian, dapat diyakini bahwa bantuan pihak lain yang diterimanya dalam mendukung programnya itu adalah tidak kecil. Hal ini jelas dari tantangan-tantangan yang datang dari sekitarnya”. Mukaddimah G. Sale ini, menurut Prof. DR. H. M. Zaqzuq, mendapat sambutan hangat dan cukup berpengaruh di kalangan orientalis Barat, hingga dijiplak  begitu saja oleh orientalis lainnya yang menerjemahkan Al-Quran ke bahasa Eropa lainnya seperti Perancis pada tahun 1841 M. Pandangan Sale itu diyakini begitu saja oleh orientalis dalam jangka waktu yang cukup panjang sebagai materi ilmiah yang dipercaya. Lihat Al-Istishraq wa ‘Ikhlafiyyat al-Fikriyyah li as-Sira al-Hadhari oleh DR. H. M. Zaqzuq “Al-Ummah”, Qatar, cet kedua, 1983, hal 83.

[2]  Yang dimaksud dengan “As-Sunnah” di sini adalah identik dengan “Al-Hadits”, yaitu suatu informasi yang dinisbahkan kepada Nabi saw, baik berbentuk ucapan, perbuatan, sifat atau pengakuan.  Antara “As-Sunnah” dengan “Al-Hadits” pada hakikatnya adalah sama. Hanya saja bila ingin dibedakan maka konotasi “Sunnah” itu biasanya pada perbuatan Nabi saw. Misalnya dikatakan, berwangi-wangi dan memakai siwak adalah Sunnah Nabi saw. Tidak dikatakan Hadits Nabi. Sedangkan “hadits” lebih umum daripada “Sunnah”. Lihat Ulumul Hadits wa Musthalahuhu oleh Dr. Subhi Shalih, Darul Ilmi lil Malayin, Beirut, cet 10 1978, hal 6

[3]  Lihat Al-Istishraq wa ‘Ikhlafiyyat al-Fikriyyah li as-Sira al-Hadhari oleh DR. H. M. Zaqzuq “Al-Ummah”, Qatar, cet kedua, 1983, hal 101

[4] Lihat As-Sunnah wa makanatuha fit  tasyri’ al-islam, Prof. Dr. Musthafa as-Siba’i, Al-Maktab Al-Islami, Damsyiq, Syiria, Cet.kedua, 1978, hal. 190-191.

[5]  Lihat As-Sunnah wa makanatuha fit  tasyri’ al-islam, Prof. Dr. Musthafa as-Siba’i, Al-Maktab Al-Islami, Damsyiq, Syiria, Cet.kedua, 1978, hal. 192

[6]  Lihat Ulumul Hadits wa Musthalahuhu oleh Dr. Subhi Shalih, Darul Ilmi lil Malayin, Beirut, cet 10 1978, hal.56 dan Atudes sur la Tradition Islamique, Goldziher, tr.en Francis par Leon Bersher, Paris, 1952, p.220

[7] Lihat Al-fikru al-manhaji indal muhadditsin, Dr. Hammam Abdurrahim Sa’id, kitab Ummah, Qatar, 1987, hal.47

[8] Lihat Al-Kifayah fi Qawanin ar-Riwayah, Al-Khatib Al-Baghdadi, Darul Kutub Al-Haditsah, Kairo, cet pertama, hal.66-67

[9]  Lihat As-Sunnah wa makanatuha fit  tasyri’ al-islam, Prof. Dr. Musthafa as-Siba’i, Al-Maktab Al-Islami, Damsyiq, Syiria, Cet.kedua, 1978, hal. 92

[10] Lihat Hujjiyatus Sunnah, Abdul Muta’al Muhammad Al-Jabari, Maktabah Wahbah, Kairo, cet.pertama 1986, hal.124

[11]  Lihat Al-Istishraq wa ‘Ikhlafiyyat al-Fikriyyah li as-Sira al-Hadhari oleh DR. H. M. Zaqzuq “Al-Ummah”, Qatar, cet kedua, 1983, hal 198

[12]  Lihat As-Sunnah wa makanatuha fit  tasyri’ al-islam, Prof. Dr. Musthafa as-Siba’i, Al-Maktab Al-Islami, Damsyiq, Syiria, Cet.kedua, 1978, hal. 92

[13]  Lihat As-Sunnah wa makanatuha fit  tasyri’ al-islam, Prof. Dr. Musthafa as-Siba’i, Al-Maktab Al-Islami, Damsyiq, Syiria, Cet.kedua, 1978, hal. 199

[14]  Lihat As-Sunnah wa makanatuha fit  tasyri’ al-islam, Prof. Dr. Musthafa as-Siba’i, Al-Maktab Al-Islami, Damsyiq, Syiria, Cet.kedua, 1978, hal.202

[15]  Lihat As-Sunnah wa makanatuha fit  tasyri’ al-islam, Prof. Dr. Musthafa as-Siba’i, Al-Maktab Al-Islami, Damsyiq, Syiria, Cet.kedua, 1978, hal.215

[16]  Lihat As-Sunnah wa makanatuha fit  tasyri’ al-islam, Prof. Dr. Musthafa as-Siba’i, Al-Maktab Al-Islami, Damsyiq, Syiria, Cet.kedua, 1978, tentang kisah tersebut

[17]  Lihat As-Sunnah wa makanatuha fit  tasyri’ al-islam, Prof. Dr. Musthafa as-Siba’i, Al-Maktab Al-Islami, Damsyiq, Syiria, Cet.kedua, 1978, hal.188

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *