Pada hakekatnya, kemerdekaan yang kita peroleh lewat perjuangan nasional 66 tahun yang lalu merupakan sebuah nikmat yang harus kita syukuri, dengan jelas kita merasakan bedanya kehidupan di masa kemerdekaan dengan masa penjajahan, sekarang kita telah menjadi tuan di tanah sendiri.
Lewat artikel ini saya mengajak pembaca untuk merefleksikan kemerdekaan ini dengan melihat ke belakang sejarah penerapan syariat Islam di negeri kita untuk mengetahui bagaimana kegigihan umat Islam terdahulu dalam berjuang menerapkan syariat Islam di negeri tercinta ini.
Semenjak lengsernya rezim Orde Baru dengan turunnya Soeharto, aliran politik Islam yang dulunya dibasmi, mulai mucnul untuk menuntut haknya yaitu penerapan syariat Islam. Dimulai dari beberapa elemen umat Islam yang menuntut pencantuman “tujuh kata” Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 45.
Mereka adalah Front Pembela Islam (FPI), kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Gerakan Psemuda Islam (GPI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Muslim Antar Kampus (HAMMAS), Himpunan Mahasiswa Muslim Indonesia (HMI), Komite Indonesia Untuk Solidaritas Islam (KISDI), dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Pergerakan Islam Untuk Tanah Air (PINTAR), Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS), Ikatan Keluarga Muslim Internasional (IKMAL), STII, KOWASNAMI, dan Garis.
Tuntutan masyarakat untuk menerapkan syariat Islam juga muncul di beberapa daerah di Jawa Barat, seperti Tasikmalaya, Garut, dan Cianjur. Di Sulawesi Selatan, seperti di Bulukumba. Juga di Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Menurut para penulis Muslim kontemporer, fenomena yang demikian itu sebagai respon Muslim terhadap sekularisme Barat dan dominasi atas dunia Islam, di samping respons terhadap krisis kepemimpinan di kalangan umat Islam sendiri.
Berkaitan dengan ini, gelombang kebangkitan dewasa ini mencerminkan tradisi yang berkelanjutan dalam sejarah Islam. Tidak hanya untuk menentang Barat, melainkan lebih merupakan perlawanan terhadap segala sesuatu yang dianggap sebagai penyebab frustasi dan penindasan, baik internal maupun eksternal.
Dalam konteks Indonesia, multi krisis yang melahirkan frustasi dan rasa ketertindasan menampakkan wujudnya dalam bentuk sejumlah besar penyalahgunaan kekuasaan oleh para elit yang menyebabkan maraknya korupsi, kejahatan politik, lemahnya penegakan hukum dan ketidakberdayaan ekonomi, yang nyaris membawa negeri ini kepada kehancuran.
Di tingkat masyarakat, krisis tersebut berbentuk munculnya konflik dan isu disintegrasi di berbagai daerah, meningkatnya kriminalitas, memudarnya solidaritas social, dan merajalelanya tindak kemaksiatan dan kekerasan. Hal yang demikian berdampak pada merosotnya legitimasi system politik dan hukum yang ada yang berbasis sekuler. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat pada pemerintahan sekuler tersebut sangat menurun.
Maka muncullah keinginan untuk kembali pada nilai-nilai dan sistem yang berbasis Islam. Mereka mempercayai bahwa kembali kepada sistem Islam merupakan alternatif terbaik dalam menghadapi multikrisis di negeri ini.
Pengertian Syariah
Secara umum syariah adalah sinonim dari kata ad-Din yaitu keseluruhan ajaran Allah Swt yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, meliputi bidang-bidang aqidah, ibadah, akhlaq, muamalah, dan hukum-hukum.
Dan secara definisi disebutkan oleh Dr.Daud Rasyid, MA. Sebagai: “Sebuah system hukum sebagaimana system hukum lainnya, yang mencakup perdata, pidana, dagang, keluarga, peradilan dan seterusnya.[1]
Dalil wajibnya penerapan Syariat
Dari al-Quran
Allah Swt berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
(Qs.al-Baqarah:208)
Ibnu Katsir berkata:
“Allah Swt memerintahkan kepada seluruh kaum Muslimin untuk mengaplikasikan/mengamalkan seluruh cabang keimanan dan seluruh syariat Islam”.[2]
Kemaslahatan Yang Hendak Diwujudkan Oleh Syariat Islam
Kemaslahatan menurut Imam Asy-Syatibi rahimahullah dapat dilihat dari dua sudut pandang, sebagai berikut:
Pertama: Maqashid Asy-Syar’i (Tujuan Allah Swt).
Maqashid asy-Syari’at dalam arti maqashid asy-Syar’i, mengandung empat aspek, yaitu:
- Tujuan awal dari syariat yakni kemaslahatan manusia didunia dan akhirat.
- Syariat sebagai sesuatu yang harus dipahami.
- Syariat sebagai hukum taklif yang harus dilakukan.
- Tujuan syariat adalah membawa manusai kebawah naungan hukum.
Kedua: Maqashid Al-Mukallaf (Tujuan Mukallaf)
Kemaslahatan sebagai substansi al-Maqashid asy-Syari’ah, dapat terealisasikan apabila lima unsur pokok dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok tersebut adalah (1) agama, (2) jiwa, (3) keturunan, (4) akal, (5) harta.
Dalam upaya mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok ini, Syekh asy-Syatibi membagi kepada tiga tingkat maqashid atau tujuan syariah, yaitu:
- Maqashid Adh-Dharuriyat, dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia diatas.
- Maqashid Al-Hajjiyat, dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap kelima unsur pokok menjadi lebih baik.
- Maqashid At-Tahsiniyat, dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan kelima unsur pokok.[3]
Ruang Lingkup Syariat Islam
Syariat Islam terbagi menjadi dua klasifikasi[4]:
- I’tiqodiyah, yaitu hal-hal yang tidak berhubungan dengan tatacara amal. Seperti itiqod (kepercaya’an) terhadap rububiyah Allah Swt dan kewajiban beribadah kepadanya, juga beri’tiqod terhadap rukun-rukun iman yang lain. Hal ini disebut ashliyah (pokok agama). Yang disering disebut dengan aqidah.
- Amaliah, yaitu segala apa yang berhubungan dengan tatacara amal. Seperti shalat, zakat, puasa, dan seluruh hukum amaliyah (seperti akhlak, muamalah, kenegaraan. Dan jihad). bagian ini disebut far’iyah (cabang agama), karena ia dibangun diatas I’tiqodiyah. Benar dan rusaknya amaliyah tergantung dari benar dan rusaknya I’tiqodiyah.[4]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Islam mengatur segala persoalan hidupan manusia dari masalah yang terkecil seperti dari permasalahan urusan wc sampai masalah kenegara’an sekalipun.
Penerapan Syariat Islam di Indonesia dalam Persepektif Sejarah
Dr. Rifyal Ka’bah dalam bukunya Hukum Islam di Indonesia, menyebutkan bahwa penelitan mengenai hukum di Indonesia belum banyak menyingkapkan bentuk-bentuk penerapan hukum Islam (syariat Islam) dalam kerajaan–kerajaan Islam yang pernah berdiri di Nusantara sebelum kedatangan penjajah Belanda.
Tetapi dari gelar-gelar yang diberikan kepada beberapa raja Islam, seperti adipati ing alogo sayyidin panotomo, dapat dipastikan bahwa peranan hukum Islam cukup besar dalam kerajaan-kerajaan ini.
Sebuah penelitian tentang mistik Islam menyebutkan bahwa beberapa raja dan sulthan di nusantara berusaha memasyarakatkan ajaran Islam. Hokum Islam dalam masa ini merupakan sebuah fase penting dalam sejarah hukum Islam di Indonesia.
Dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam menggantikan kerajaan-kerajaan islam menggantikan kerajaan-kerajaan hindu/Budha berarti untuk pertama kalinya hukum Islam telah ada di Indonesia sebagai hukum positif.
Kenyataan ini kemudian diakui oleh Belanda setelah melihat berbagai pemberontakan terhadap kekuasaan pemerintah jajahan diberbagai wilayah Nusantara. Misalnya adalah perlawanan rakyat terhadap belanda dalam perang diponogoro, yang ternyata merupakan perlawanan untuk menegakan hukum Islam. Seorang letnan Kolonel Belanda pada masa perang Diponogoro (1825-1830) mengisahkan dalam sebuah buku memoir bahwa tujuan perlawanan orang jawa terhadap Belanda sebenarnya adalah agar hukum Islam berlaku untuk orang Jawa.
Diceritakan dalam buku itu bahwa belanda mengirim delegasi kepedalaman Salatiga dibawah pimpinan William Stavers untuk berunding dengan pangeran Diponogoro dan para pembantunya. Delegasi yang membawa surat dari Gubernur General Hendrik Markus de Kock ini tidak diterima oleh pangeran Diponogoro, tetapi oleh Kiai Modjo, Ali Basa dan lain-lain.
Wakil Belanda dalam pertemuan itu meminta peperangan segera dihentikan agar tidak terjadi pertumpahan darah lebih lanjut. Kiai Modjo menjawab bahwa perang tidak dapat dihentikan sebelum tuntutan mereka terpenuhi. Pihak Diponogoro dalam perundingan ini juga menggunakan ungkapan dalam baha arab yang berbunyi :
(لا موت إلا بلأجل)
“Tidak ajal berpantang mati.
Kiai modjo juga menggunakan ungkapan raja Sulaiman yang ditujukan kepada ratu Balqis seperti dinukilkan dalam al_Qur’an agar memenuhi tuntutan mereka. :
“Janganlah kalian bersikap arogan terhadapku dan datanglah kepadaku dengan menyerahkan diri”
(Qs. An-Naml: 31)
Ketika ditanyakan apa yang dimaksud dengan ungkapan itu;
Kiai Modjo menjawab: “Komt gij allen tot mijnen Vorst en Gaat Langs het Pad der Regtvaardigheid. “Supaya kalian semua datang menemui pangeranku dan berjalanlah melalui jalan keadilan”.
Ia idak memaksudkan supaya orang-orang Eropa menjadi muslim, tetapi bila mereka ingin memeluk Islam, maka ummat Islam tidak memaksa.
Ia mengatakan bahwa ia hanya menginginkan agar hukum Islam seluruhnya berlaku untuk orang Jawa. Sedangkan persengketaan antara orang Jawa dan orang Eropa diputuskan berdasarkan hukum Islam dan persengketaan antara orang Eropa dan orang Eropa, dengan persetujuan sulthan, diputuskan berdasarkan hukum Eropa.
Sejak Zaman VOC, Belanda sebenarnya telah mengakui hukum Islam di Indonesia. Dengan adanya Regering Reglemen, mulai tahun 1855 Belanda mempertegas pengakuannya terhadap hukum Islam di Indonesia. Pengakuan ini setelah itu diperkuat oleh Lodwijk Willem Christian Van Den Berg yang mengemukakan teori Receptio In Complexu.
Teori ini pada intinya menyatakan bahwa untuk orang Islam berlaku hukum Islam, sekalipun terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya. Ini berarti bahwa hukum Islam berlaku secara keseluruhan untuk ummat Islam.
Sungguhpun demikian, teori ini sekurang-kurangnya dapat bertahan sampai abad kesembilan belas Masehi. Kemudian atas rekomendasi Snouck Hurgronje pada tahun 1893 dalam bukunya De Atjehers untuk menunjukan hukum yang mengendalikan kehidupan masyarakat Aceh, yaitu Adat yang mempunyai konsekuensi hukum. Istilah ini kemudian dipungut oleh Van Vallenhoven dan sarjana-sarjana Belanda yang lain untuk menunjukan hubungan hukum dalam masyarakat Indonesia.
Jelas sekali bahwa hukum adat ini merupakan rekayasa Belanda. Di berbagai Negara di dunia Islam, seperti India, Malaysia, dan Filipina, memang terdapat ada istiadat local, tetapi tidak ditemukan hukum adat seperti yang diperkenalkan Belanda di Indonesia.
Prof. Dr. al-Yasa Abu Bakar, M.A. dalam artikelnya menceritakan: Beberapa penulis Belanda telah mencatat bahwa ketika penjajah Belanda tiba di Indonesia, diberbagai wilayah kesultanan Islam, telah berlaku hukum pidana Islam (yang sebagiannya masih bercampur dengan hukum adat) yang oleh mereka dijadikan bahan cemohan karena dianggap bengis, kejam dan tidak manusiawi.
Penjajah Belanda sendiri pada masa awal kedatangannya. Ketika membuat kodifikasi hukum untuk kebutuhan penduduk bumiputera, secara sadar atau tidak telah menyebutkan berbagai jenis kejahatan dan hukuman berdasar fiqih Islam, seperti Pepakem Tjirebon (1758 M) dan Kompendium Freijer (1760 M).
Tetapi buku hukum yang berisi hukum fiqih Islam ini dihentikan Belanda pemberlakuannya karena dua alasan: Pertama, ada gugatan dari sebagian masyarakat bahwa isi kitab ini tidak betul-betul dilaksanakan ditengah masyarakat. dan yang kedua: hukuman yang tercantum didalamnya terlalu kejam dan bengis. Setelah menghentikan pemberlakuan hukum fiqih ini Belanda memaksakan hukum pidana mereka sendiri yang pada masa itu tentu sangat asing bagi rakyat .
Dr. Daud Rasyid, Ma. dalam bukunya mengkisahkan: Dalam konteks sejarah Nusantara, hal yang sama juga ditemukan pada masa keraja’an-keraja’an Islam dahulu. Yang menjadi hukum positif dikeraja’an-keraja’an itu ialah hukum syariat. Literatur yang dipakai dalam memutuskan hukuman di Pengadilan adalah literature fiqih dengan madzhab syafi’i.
Paling tidak, Ibnu Bathuthah, seorang pengembara muslim abad keempat belas, mencatat fakta histories ini dalam karya monumentalnya “Rihlah Ibnu Bathuthah”. Ia menyebutkan kunjungannya disebuah keraja’an Islam dipesisir. Sumatera, menerapkan hukum fiqih madzhab Syafi’I, rakyatnya senang berjihad dan perang tetapi mempunyai sifat tawadhu yang tinggi.
Hal itu berlangsung cukup lama (ratusan tahun) hingga berkuasanya pemerintah kolonial belanda yang menghapuskan pemberlakuan syari’ah dan menggantinya dengan hukum Belanda. Hukum syariah hanya dibatasi untuk bidang-bidang keluarga seperti nikah, thalaq, ruju, dan yang sejenisnya.
Jadi perlu ditegaskan disini, bahwa penerapan syariah di negeri ini mempunyai akar sejarah yang sangat kuat, bahkan mendahului sejarah hukum Eropa itu sendiri. Jadi tuntutan itu bukan sesuatu yang mengada-ada atau tuntutan baru yang tidak ada landasannya. Akan tetapi akar sejarahnya sangat kokoh seumur dengan bangsa ini.
Bahkan didapatkan dari keterangan seorang pengembara Eropa, Marcopolo yang pada tahun 1292 M, ia singgah di Perlak (Aceh Timur), dimana ia jumpai kerajaan dan rakyatnya telah melaksanakan syariat (Hukum) Islam[8].
Begitupula sebagaimana yang dikuatkan oleh Dr. Rifyal Ka’bah seorang hakim agung pada Mahkamah Agung RI[9]: Bahwa Menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya bukanlah barang baru bagi Indonesia. Sejak masuknya Islam kenegeri ini pada akhir abad pertama hijrah atau awal abad kedua, syariat telah menjadi jalan hidup bangsa Indonesia yang beragama Islam.
Syariat Islam sebagai system hukum yang menghendaki kekuasa’an negara kemudian dilaksanakan di kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri diberbagai pelosok Nusantara. Akhirnya lahir pandangan hidup suku-suku bangsa dengan makna yang sama dan ungkapan mungkin berbeda bahwa “Adat bersendi Syara’, dan syara bersendi kitabullah. Adat adalah kebiasaan yang berlaku, syara adalah syariat, dan kitabullah adalah quranul karim yang dijelaskan sunnah Rasulullah Saw. ungkapan ini mirip dengan ini, menurut Taufiq Abdullah dalam the Oxford Enclopedia Of The Muslim World ditemukan hampir pada semua suku bangsa yang ada di Nusantara.
Dengan demikian, syariat Islam memang mempunyai dasar yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pakar politik hukum Indonesia, Daniel Lev (seorang Amerika keturunan Yahudi) mengatakan bahwa jauh sebelum kedatangan penjajah belanda, Indonesia telah disatukan oleh hukum Islam.
Piagam Jakarta (22 Juni 1945) sebuah Wacana & Cita-cita penerapan Syariat Islam di Indonesia
Piagam dalam bahasa Indonesia antara lain berarti surat resmi yang berisikan pernyata’an dan peneguhan atau ikrar mengenai suatu hal.
Piagam Jakarta adalah sebuah surat resmi yang disepakati oleh wakil-wakil bangsa Indonesia yang duduk dalam badan penyelidik usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Karena ditandatangani di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 M, maka ikrar tersebut terkenal dengan nama piagam Jakarta.
Latar belakang pembentukannya adalah pada saat–saat menjelang bertekuk lututnya balatentara Dai Nippon dari sekutu. Sebelum bom dijatuhkan ke Hiroshima (6-8-1945 M) dan Nagasaki (9-8-1945 M), di Jakarta para pemimpin bangsa telah bersiap-siap untuk menyongsong kemerdekaan. untuk itu dibentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan 62 orang, diketuai oleh Dr. Radjiman Wediodiningrat.
Dalam satu pidato pembukaannya pada 29 Mei 1945, Dr. Radjiman dalam pidato singkatnya bertanya kepada para anggota: Negara yang akan kita bentuk ini apa dasarnya? Sejak saat itu terdapat dua kubu yang berbeda tajam. Yakni kubu Islam yang menghendaki dibentuknya Negara Islam dan Kubu Nasionalis yang menghendaki Negara bebas dari pengaruh agama.
Sidang berlangsung pada 1 Juni 1945 berhasil mencapai kompromi antara dua kubu yang saling berlawanan itu. Setelah pidato Bung Karno selama satu jam, Dr. Radjiman membentuk panitia kecil yang terdiri dari semua aliran. Panitia kecil ini kemudian menunjuk Sembilan orang yang akan merumuskan pidato Bung Karno itu sebagai kompromi antara dua kubu yang bertentangan, rumusan kompromi ini mereka namakan piagam Jakarta.
Piagam Jakarta ini ditandatangani oleh Sembilan orang. Mereka mencerminkan aliran-aliran Islam, Nasionalis, dan Kristen, yaitu : Soekarno, Hatta, Muhammad Yamin, Subardjo, Maramis, Abdul Kahar Muzakkir, Wahid Hasjim, Abiskuno Tjokrosujoso dan Haji Agus Salim. Diantara mereka ini terkenal empat orang sebagai Nasionalis, empat orang pula sebagai politis Islam dan seorang kristen (Maramis).
Yang menyebabkan kubu Islam mengundurkan tuntutannya atas Negara Islam adalah kalimat-kalimat dalam alinea empat pada pembukaan UUD 45 yang berbunyi: “…….Dengan Kewajiban mejalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Sejumlah ahli hukum dan intelektual waktu itu memberikan penghargaan yang tinggi terhadap piagam Jakarta ini. Prof. Dr. Soepomo menyatakan, piagam Jakarta merupakan perjanjian luhur. Dr. Sukiman menyebutnya: Gentleman Agreement” dan Mr . Muhammad Yamin menamakan Jakarta Charter. Sedangkan Prof. Dr. Drs. Notonagoro SH menjulukinya; “Suatu perjanjian moril yang sangat luhur.
Sayangnya, piagam Jakarta tidak berumur panjang. Hanya 56 hari saja. Karena, sehari setelah proklamasi kemerdekaan RI (18 Agustus 45), piagam ini dicoret oleh mereka yang kurang menghayati isi dan makna perjanjian itu.
Yang perlu menjadi catatan penting, bahwa ternyata 18 Agustus itu bukan saat pertama sabotase terhadap piagam Jakarta. Dibalik peristiwa proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 pun tersimpan indikasi serupa, yang jarang disadari oleh banyak sejarawan, sejauh penelusuran Sahid, diantara pengamat sejarah politik Islam Indonesia, baru hanya Abdul Qadir Djaelani yang menyinggung indikasi ini dalam bukunya peta sejarah perjuangan politik Islam di Indonesia.
Seperti diketahui, proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang dibacakan Soekarno itu hanya berupa naskah singkat yang terkenal itu, padahal, seperti diakui oleh Muhammad Hatta dalam memoirnya, sesuai rencana yang disepakati dalam rapat PPKI, seharusnya pernyataan yang dibacakan pada saat proklamasi itu adalah naskah Piagam Jakarta.
Tetapi pada malam 16 Agustus 1945, dirumah Laksamana Maeda jalan Imam Bonjol No 1 (dahulu Myako Dori), Soekarno, Hatta, bersama-sama dengan Soebardjo, Soekarni dan Sayuti Malik membuat aksi dadakan, membuat teks ringkas proklamasi kemerdekaan yang akan dibacakan keesokan paginya. Apa alasan pembuatan naskah ringkas itu?
Sederhana sekali dan terasa naïf. Dalam memoir Hatta (halaman 454) tertulis, tidak seorang diantara kami yang membawa dalam sakunya teks proklamasi, yang dibuat pada 22 Juni 1945, yang sekarang disebut Piagam Jakarta.
Menurut AQ Djaelani, dalam peristiwa tersebut Piagam Jakarta sengaja disingkirkan oleh kalangan Nasionalis sekuler agar tidak jadi dibacakan sebagai naskah proklamasi kemerdekaan. Alasannya sangat strategis. Sebab jika piagam Jakarta dijadikan teks proklamasi, sesuai keputusan Pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, maka secara histories-Yuridis Negara Indonesia merdeka terikat dengan Piagam Jakarta. Jadi , dalam tempo 24 Jam saja, telah terjadi dua kali penghianatan terhadap Piagam Jakarta.
Piagam Jakarta adalah jalan tengah yang dipilih oleh para pendiri bangsa (Founding Fathers) terhadap dua aliran besar yang berakar dalam sejarah Indonesia, apakah Indonesia akan berdasarkan Islam atau Nasionalis (kebangsaan).
Seperti dituturkan oleh Mr. Moh. Room, kelompok nasionalis disini bukan berarti bahwa mereka anti Islam dan tidak beragama Islam, dan kelompok Islamis tidak berarti tidak berjiwa kebangsaan. Kedua kelompok adalah sama-sama bersemangat nasionalis dan umumnya beragama Islam, tetapi kelompok nasionalis lebih tertarik untuk menjadikan kebangsaan sebagai dasar Negara daripada Islam.
Banyak faktor yang membuat kelompok nasionalis berpendirian demikian, salah satunya adalah pengetahuan mereka yang minim tentang Islam politik dan informasi bias yang mereka terima melalui literature berbahasa Belanda dan Eropa yang tidak diimbangi dengan literature Islam yang benar.
Piagam Jakarta adalah pembukaan Undang-undang dasar 1945 tanpa tujuh kata yang menerangkan sila ketuhanan. Tadinya sila tersebut berbunyi “Dengan berdasar kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, kemudian berubah menjadi “Dengan berdasarkan kepada ketuhanan yang maha esa.
Penghilangan tujuh kata itu menurut proklamator Moh. Hatta setelah beliau mendapat informasi pada tanggal 17 agustus 1945 sore dari seorang opsir Kaigun Jepang yang tidak beliau ingat namanya. Namun belakangan Deliar Noer mengatakan yang mendatangi Hatta adalah mahasiswa yang menyerupai opsir Jepang (Sabili, No.6,1997).
Ia (Opsir Kaigun Jepang) menyatakan bahwa orang Katolik dan Kristen dari bagian timur tidak akan bergabung dengan republik Indonesia bila tujuh kata itu tidak dicoret dari konstitusi. Piagam yang ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 itu akhirnya dirubah pada tanggal 18 agustus 1945 dengan alasan yang tidak jelas sumbernya ini.
Dalam kasus ini memang terjadi beberapa kejanggalan.
Pertama, dalam sidang BPUPKI pihak Kristen diwakili oleh Mr. A.. Maramis (tokoh Manado, Sulawesi Utara) dan Mr. Johanes Laturhary (Tokoh Saparua, Ambon). Artinya dalam pembuatan Piagam Jakarta pihak Kristen diajak bahkan merumuskan Piagam Jakarta. Bahkan A.. Maramis adalah salah seorang yang mendatangani penegasan Piagam Jakarta. Artinya pihaknya Kristen tidak mempermasalahkan Piagam Jakarta.
Kedua, sampai saat ini, ada ketidakjelasan opsir Kaigun Jepang yang Hatta lupa namanya atau mahasiswa yang menyerupai tentara Jepang yang datang pada Hatta yang menyatakan keberatan.
Ketiga, kalaupun itu adalah opsir jepang, apa urusannya/wewenangnya turut campur dalam hal yang telah disepakati. Boleh jadi keberatan terhadap piagam Jakarta adalah keberatan Hatta sendiri dengan merekayasa seolah-olah ada masyarakat Indonesia bagian Timur yang keberatan.
Hal ini cukup beralasan, kalaupun pihak non-Islam keberatan tentu aspirasinya akan disampaikan melalui A. A. Maramis. Last but Not Least, yang ironis adalah penghapusan Piagam Jakarta hanya ditandatangani seorang wakil Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, sedangkan Haji Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso dan A. Kahar Moezakir tidak diundang untuk mengikuti panita persiapan.
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa pencabutan Piagam Jakarta dari Preambul UUD 1945 merupakan tindakan “Inkonstisusional. Piagam Jakarta bagi Soekarno merupakan Gentlemen’s Agreement untuk membangun sebuah bangsa. Namun sayang Soekarno jugalah yang mengamini penghapusannya.
Karena alasan-alasan yang tidak jelas itu pula, maka wakil-wakil ummat Islam dalam konstituante hasil pemilu demokratis tahun 1955 berusaha memasukan kembali piagam Jakarta kedalam konstitusi permanen Indonesia. Setelah bersidang lebih kurang dua tahun di Bandung, wakil-wakil rakyat Indonesia hampir saja sampai kepada kata sepakat untuk konstitusi baru Indonesia.
Sayang sekali, presiden Sukarno sebagai seorang Nasionalis bertindak gegabah dengan membubarkan konstituante dan membentuk DPRGR hasil penunjukan serta mengeluarkan Dekrit presiden 5 Juli 1959 yang intinya kembali kepada UUD 1945. yang menarik adalah pernyataan Soekarno dalam paragraf lima dari dekrit itu. Soekarno menyatakan, ….kami berkeyakinan bahwa piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai undang-undang dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Ada dua kata kunci dalam dekrit itu. Yakni Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan sebagai rangkaian kesatuan dengan konstitusi itu sendiri, dengan kata lain, perkataan ketuhanan dalam pembukaan UUD 1945 dapat dipahami dengan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Atas dasar pernyataan eksplisit ini, maka kita sebenarnya ummat Islam bisa membuat perundang-undangan atau peraturannya yang sesuai dan tidak bertentangan dengan hukum syariat Islam yang berlaku bagi pemeluk Islam.
Indonesia kemudian memasuki pemerintahan dictator atas nama Demokrasi terpimpin sampai masa jatuhnya Orde lama pada tahun 1965. dengan berdirinya Orde baru yang ingin memurnikan pelaksana’an UUD 1945 timbul kembali harapan dari kalangan tokoh-tokoh Islam untuk mencantumkan piagam Jakarta dalam UUD 1945. sayang sekali, pimpinan militer dibawah Jendral Suharto tidak menyetujui hal itu masuk dalam draft panitia Ad Hoc MPRS yang mulai bersidang pada tahun 1966.
Di zaman Reformasi ini, partai-partai Islam yang diwakili oleh PBB dan PPP kembali mengusulkan disidang tahunan MPR tahun 2000 agar tujuh kata itu masuk kedalam pasal 29 ayat (1) sehingga pasal tersebut berbunyi: “Negara berdasar kepada ketuhanan yang maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Syariat Islam secara umum berarti agama Islam itu sendiri. Syariat yang harus ditegakan dalam kehidupan bernegara adalah syariat yang mempunyai implikasi hukum. Dalam hal ini, hukum Islam mempunyai dua ciri: Diyani (keagama’an) dan Qadha’I (Yuridis). Hukum Islam seluruhnya bersifat diyani, tetapi hanya hukum yang bersifat qadhai saja yang menghendaki kekuasa’an Negara untuk penegakannya.
Dengan kata lain, hukum Islam yang bersifat qadha’i menjadi tanggung jawab Negara untuk penegakannya. Hukum qadha’i ditegakan melalui lembaga peradilan berdasarkan kompilasi yang disarikan dari ajaran Islam dan pertimbangan hukum dari hakim yang adil. Inilah yang merupakan tuntutan piagam Jakarta yang diperjuangkan oleh ummat isalam sampai hari ini di Indonesia.
Dalam menyikapi penolakan terhadap Piagam Jakarta, umat Islam terbagi menjadi dua golongan, senang dan tidak senang, di antara yang senang dengan tertolaknya Piagam Jakarta adalah KH. Saiful Islam Mubarak, ia menulis refleksi peristiwa ini dalam bukunya Piagam Jakarta atau Piagam Madinah.
Menurutnya tidak diterimanya Piagam Jakarta sebagai dasar NKRI adalah sebuah rahmat Allah swt bukan merupakan kegagalan perjuangan umat Islam. Islam adalah agama komprehensif dan universal yang mengatur semua aspek kehidupan umat Islam. Sementara Piagam Jakarta hanya mengatur kehidupan Umat Islam yang tidak ada kaitannya dengan umat Islam yang berbeda agama, dan ada tiga akibat yang ia sebutkan jika Piagam Jakarta itu diterima:
- Pintu kemaksiatan semakin terbuka
- Prosentase umat Islam akan semakin menurun
- Gerakan pemurtadan mendapat lapangan baru
Karena itu ia berpendapat bahwa perjuangan untuk tegaknya penerapan syariat Islam adalah kewajiban semua umat Islam yang terdiri dari ulama, pemimpin dan masyarakat. Masing-masing memiliki peran yang sangat penting untuk dipadukan.
Dan masing-masing dituntut untuk melaksanakan syariat dimulai dari dirinya. Bila ketiganya berupaya maksimal untuk melaksanakan perannya, maka akan tegaklah syariat Islam di Indonesia tercinta ini.
[1] Dr. Daud Rasyid, MA, Islam & Reformasi, (Jakarta; Usamah Press, 2001, Cet I), hal. 134.
[2] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anul Adzim, (Damaskus: Dar al-Fayha, 1418H/1998M Cet: 1), 2/335.
[3] Asy-Syatibi, al-Muwafakat Fie Ushul asy-Syariat, (al-Qohiroh: Dar al-Hadis, 1427 H/ 2006 M) , 2/261-266.
[4] Syekh Shalih Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Kitab Tauhid, (Yogyakarta: Universitas IslamIndonesia, September 2001, Cet: III), hal. 3-4