Pada hakekatnya, kemerdekaan yang kita peroleh lewat perjuangan nasional 66 tahun yang lalu merupakan sebuah nikmat yang harus kita syukuri, dengan jelas kita merasakan bedanya kehidupan di masa kemerdekaan dengan masa penjajahan, sekarang kita telah menjadi tuan di tanah sendiri. Lewat artikel ini saya mengajak pembaca untuk merefleksikan kemerdekaan ini dengan melihat ke belakang sejarah penerapan syariat Islam di negeri kita untuk mengetahui bagaimana kegigihan umat Islam terdahulu dalam berjuang menerapkan syariat Islam di negeri tercinta ini.
Semenjak lengsernya rezim Orde Baru dengan turunnya Soeharto, aliran politik Islam yang dulunya dibasmi, mulai mucnul untuk menuntut haknya yaitu penerapan syariat Islam. Dimulai dari beberapa elemen umat Islam yang menuntut pencantuman “tujuh kata” Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 45, mereka adalah Front Pembela Islam (FPI), kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Gerakan Psemuda Islam (GPI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Muslim Antar Kampus (HAMMAS), Himpunan Mahasiswa Muslim Indonesia (HMI), Komite Indonesia Untuk Solidaritas Islam (KISDI), dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Pergerakan Islam Untuk Tanah Air (PINTAR), Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS), Ikatan Keluarga Muslim Internasional (IKMAL), STII, KOWASNAMI, dan Garis.
Tuntutan masyarakat untuk menerapkan syariat Islam juga muncul di beberapa daerah di Jawa Barat, seperti Tasikmalaya, Garut, dan Cianjur. Di Sulawesi Selatan, seperti di Bulukumba. Juga di Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Menurut para penulis Muslim kontemporer, fenomena yang demikian itu sebagai respon Muslim terhadap sekularisme Barat dan dominasi atas dunia Islam, di samping respons terhadap krisis kepemimpinan di kalangan umat Islam sendiri. Berkaitan dengan ini, gelombang kebangkitan dewasa ini mencerminkan tradisi yang berkelanjutan dalam sejarah Islam. Tidak hanya untuk menentang Barat, melainkan lebih merupakan perlawanan terhadap segala sesuatu yang dianggap sebagai penyebab frustasi dan penindasan, baik internal maupun eksternal.
Dalam konteksIndonesia, multi krisis yang melahirkan frustasi dan rasa ketertindasan menampakkan wujudnya dalam bentuk sejumlah besar penyalahgunaan kekuasaan oleh para elit yang menyebabkan maraknya korupsi, kejahatan politik, lemahnya penegakan hukum dan ketidakberdayaan ekonomi, yang nyaris membawa negeri ini kepada kehancuran. Di tingkat masyarakat, krisis tersebut berbentuk munculnya konflik dan isu disintegrasi di berbagai daerah, meningkatnya kriminalitas, memudarnya solidaritas social, dan merajalelanya tindak kemaksiatan dan kekerasan. Hal yang demikian berdampak pada merosotnya legitimasi system politik dan hukum yang ada yang berbasis sekuler. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat pada pemerintahan sekuler tersebut sangat menurun. Maka muncullah keinginan untuk kembali pada nilai-nilai dan sistem yang berbasis Islam. Mereka mempercayai bahwa kembali kepada sistem Islam merupakan alternatif terbaik dalam menghadapi multikrisis di negeri ini.
Pengertian Syariah secara umum adalah sinonim dari kata ad-Din yaitu keseluruhan ajaran Allah Swt yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, meliputi bidang-bidang aqidah, ibadah, akhlaq, muamalah, dan hukum-hukum. Dan secara definisi disebutkan oleh Dr.Daud Rasyid, MA. Sebagai: “Sebuah system hukum sebagaimana system hukum lainnya, yang mencakup perdata, pidana, dagang, keluarga, peradilan dan seterusnya[1].
Dalil wajibnya penerapan Syariat
Dari al-Quran
Allah Swt berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (Qs.al-Baqarah:208)
Ibnu Katsir berkata:
“Allah Swt memerintahkan kepada seluruh kaum Muslimin untuk mengaplikasikan/mengamalkan seluruh cabang keimanan dan seluruh syariat Islam”[2].
Kemaslahatan Yang Hendak Diwujudkan Oleh Syariat Islam
Kemaslahatan menurut Imam Asy-Syatibi rahimahullah dapat dilihat dari dua sudut pandang, sebagai berikut[3]:
Pertama: Maqashid Asy-Syar’i (Tujuan Allah Swt). Maqashid asy-Syari’at dalam arti maqashid asy-Syar’i, mengandung empat aspek, yaitu:
- Tujuan awal dari syariat yakni kemaslahatan manusia didunia dan akhirat.
- Syariat sebagai sesuatu yang harus dipahami.
- Syariat sebagai hukum taklif yang harus dilakukan.
- Tujuan syariat adalah membawa manusai kebawah naungan hukum.
Kedua: Maqashid Al-Mukallaf (Tujuan Mukallaf)
Kemaslahatan sebagai substansi al-Maqashid asy-Syari’ah, dapat terealisasikan apabilalimaunsur pokok dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok tersebut adalah (1) agama, (2) jiwa, (3) keturunan, (4) akal, (5) harta.
Dalam upaya mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok ini, Syekh asy-Syatibi membagi kepada tiga tingkat maqashid atau tujuan syariah, yaitu:
- Maqashid Adh-Dharuriyat, dimaksudkan untuk memeliharalima unsur pokok dalam kehidupan manusia diatas.
- Maqashid Al-Hajjiyat, dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap kelima unsur pokok menjadi lebih baik.
- Maqashid At-Tahsiniyat, dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan kelima unsur pokok.
Ruang Lingkup Syariat Islam
Syariat Islam terbagi menjadi dua klasifikasi[4]:
- I’tiqodiyah, yaitu hal-hal yang tidak berhubungan dengan tatacara amal. Seperti itiqod (kepercaya’an) terhadap rububiyah Allah Swt dan kewajiban beribadah kepadanya, juga beri’tiqod terhadap rukun-rukun iman yang lain. Hal ini disebut ashliyah (pokok agama). Yang disering disebut dengan aqidah.
- Amaliah, yaitu segala apa yang berhubungan dengan tatacara amal. Seperti shalat, zakat, puasa, dan seluruh hukum amaliyah (seperti akhlak, muamalah, kenegaraan. Dan jihad). bagian ini disebut far’iyah (cabang agama), karena ia dibangun diatas I’tiqodiyah. Benar dan rusaknya amaliyah tergantung dari benar dan rusaknya I’tiqodiyah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Islam mengatur segala persoalan hidupan manusia dari masalah yang terkecil seperti dari permasalahan urusan wc sampai masalah kenegara’an sekalipun.
Penerapan Syariat Islam di Indonesia dalam Persepektif Sejarah
Dr. Rifyal Ka’bah dalam bukunya Hukum Islam di Indonesia [5], menyebutkan bahwa Penelitan mengenai hukum di Indonesia belum banyak menyingkapkan bentuk-bentuk penerapan hukum Islam (syariat Islam) dalam kerajaan–kerajaan Islam yang pernah berdiri di Nusantara sebelum kedatangan penjajah Belanda, tetapi dari gelar-gelar yang diberikan kepada beberapa raja Islam, seperti adipati ing alogo sayyidin panotomo, dapat dipastikan bahwa peranan hukum Islam cukup besar dalam kerajaan-kerajaan ini.
Sebuah penelitian tentang mistik Islam menyebutkan bahwa beberapa raja dan sulthan dinusantara berusaha memasyarakatkan ajaran Islam. Hokum Islam dalam masa ini merupakan sebuah fase penting dalam sejarah hukum Islam di Indonesia. Dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam menggantikan kerajaan-kerajaan islam menggantikan kerajaan-kerajaan hindu/Budha berarti untuk pertama kalinya hukum Islam telah ada diIndonesiasebagai hukum positif.
Kenyataan ini kemudian diakui oleh Belanda setelah melihat berbagai pemberontakan terhadap kekuasaan pemerintah jajahan diberbagai wilayah Nusantara. Misalnya adalah perlawanan rakyat terhadap belanda dalam perang diponogoro, yang ternyata merupakan perlawanan untuk menegakan hukum Islam. Seorang letnan Kolonel Belanda pada masa perang Diponogoro (1825-1830) mengisahkan dalam sebuah buku memoir bahwa tujuan perlawanan orang jawa terhadap Belanda sebenarnya adalah agar hukum Islam berlaku untuk orang Jawa.
Diceritakan dalam buku itu bahwa belanda mengirim delegasi kepedalaman Salatiga dibawah pimpinan William Stavers untuk berunding dengan pangeran Diponogoro dan para pembantunya. Delegasi yang membawasuratdari Gubernur General Hendrik Markus de Kock ini tidak diterima oleh pangeran Diponogoro, tetapi oleh Kiai Modjo, Ali Basa dan lain-lain. Wakil Belanda dalam pertemuan itu meminta peperangan segera dihentikan agar tidak terjadi pertumpahan darah lebih lanjut. Kiai Modjo menjawab bahwa perang tidak dapat dihentikan sebelum tuntutan mereka terpenuhi. Pihak Diponogoro dalam perundingan ini juga menggunakan ungkapan dalam baha arab yang berbunyi :
(لا موت إلا بلأجل)
“Tidak ajal berpantang mati.
Kiai Modjo juga menggunakan ungkapan raja Sulaiman yang ditujukan kepada ratu Balqis seperti dinukilkan dalam al_Qur’an agar memenuhi tuntutan mereka. :
“Janganlah kalian bersikap arogan terhadapku dan datanglah kepadaku dengan menyerahkan diri (Qs. An-Naml: 31)
Ketika ditanyakan apa yang dimaksud dengan ungkapan diatas;
Kiai Modjo menjawab: “Komt gij allen tot mijnen Vorst en Gaat Langs het Pad der Regtvaardigheid. “Supaya kalian semua datang menemui pangeranku dan berjalanlah melalui jalan keadilan”.
Ia idak memaksudkan supaya orang-orang Eropa menjadi muslim, tetapi bila mereka ingin memeluk Islam, maka ummat Islam tidak memaksa. Ia mengatakan bahwa ia hanya menginginkan agar hukum Islam seluruhnya berlaku untuk orang Jawa. Sedangkan persengketaan antara orang Jawa dan orang Eropa diputuskan berdasarkan hukum Islam dan persengketaan antara orang Eropa dan orang Eropa, dengan persetujuan sulthan, diputuskan berdasarkan hukum Eropa.
Sejak Zaman VOC, Belanda sebenarnya telah mengakui hukum Islam di Indonesia. Dengan adanya Regering Reglemen, mulai tahun 1855 Belanda mempertegas pengakuannya terhadap hukum Islam di Indonesia. Pengakuan ini setelah itu diperkuat oleh Lodwijk Willem Christian Van Den Berg yang mengemukakan teori Receptio In Complexu. Teori ini pada intinya menyatakan bahwa untuk orang Islam berlaku hukum Islam, sekalipun terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya. Ini berarti bahwa hukum Islam berlaku secara keseluruhan untuk ummat Islam. Sungguhpun demikian, teori ini sekurang-kurangnya dapat bertahan sampai abad kesembilan belas Masehi.
Kemudian atas rekomendasi Snouck Hurgronje pada tahun 1893 dalam bukunya De Atjehers untuk menunjukan hukum yang mengendalikan kehidupan masyarakat Aceh, yaitu Adat yang mempunyai konsekuensi hukum. Istilah ini kemudian dipungut oleh Van Vallenhoven dan sarjana-sarjana Belanda yang lain untuk menunjukan hubungan hukum dalam masyarakatIndonesia. Jelas sekali bahwa hukum adat ini merupakan rekayasa Belanda. Di berbagai Negara di dunia Islam, seperti India, Malaysia, dan Filipina, memang terdapat ada istiadat local, tetapi tidak ditemukan hukum adat seperti yang diperkenalkan Belanda di Indonesia.
Prof. Dr. al-Yasa Abu Bakar, M.A. dalam artikelnya menceritakan[6]: Beberapa penulis Belanda telah mencatat bahwa ketika penjajah Belanda tiba di Indonesia, diberbagai wilayah kesultanan Islam, telah berlaku hukum pidana Islam (yang sebagiannya masih bercampur dengan hukum adat) yang oleh mereka dijadikan bahan cemohan karena dianggap bengis, kejam dan tidak manusiawi. Penjajah Belanda sendiri pada masa awal kedatangannya. Ketika membuat kodifikasi hukum untuk kebutuhan penduduk bumiputera, secara sadar atau tidak telah menyebutkan berbagai jenis kejahatan dan hukuman berdasar fiqih Islam, seperti Pepakem Tjirebon (1758 M) dan Kompendium Freijer (1760 M). Tetapi buku hukum yang berisi hukum fiqih Islam ini dihentikan Belanda pemberlakuannya karena dua alasan: Pertama, ada gugatan dari sebagian masyarakat bahwa isi kitab ini tidak betul-betul dilaksanakan ditengah masyarakat. Dan yang kedua: hukuman yang tercantum didalamnya terlalu kejam dan bengis. Setelah menghentikan pemberlakuan hukum fiqih ini Belanda memaksakan hukum pidana mereka sendiri yang pada masa itu tentu sangat asing bagi rakyat .
Dr. Daud Rasyid, Ma. dalam bukunya mengisahkan [7]: Dalam konteks sejarah Nusantara, hal yang sama juga ditemukan pada masa keraja’an-keraja’an Islam dahulu. Yang menjadi hukum positif dikeraja’an-keraja’an itu ialah hukum syariat. Literatur yang dipakai dalam memutuskan hukuman di Pengadilan adalah literature fiqih dengan madzhab syafi’i.
Paling tidak, Ibnu Bathuthah, seorang pengembara muslim abad keempat belas, mencatat fakta histories ini dalam karya monumentalnya “Rihlah Ibnu Bathuthah”. Ia menyebutkan kunjungannya disebuah keraja’an Islam dipesisir. Sumatera, menerapkan hukum fiqih madzhab Syafi’I, rakyatnya senang berjihad dan perang tetapi mempunyai sifat tawadhu yang tinggi.
Hal itu berlangsung cukup lama (ratusan tahun) hingga berkuasanya pemerintah kolonial belanda yang menghapuskan pemberlakuan syari’ah dan menggantinya dengan hukum Belanda. Hukum syariah hanya dibatasi untuk bidang-bidang keluarga seperti nikah, thalaq, ruju, dan yang sejenisnya.
Jadi perlu ditegaskan disini, bahwa penerapan syariah dinegeri ini mempunyai akar sejarah yang sangat kuat, bahkan mendahului sejarah hukum Eropa itu sendiri. Jadi tuntutan itu bukan sesuatu yang mengada-ada atau tuntutan baru yang tidak ada landasannya. Akan tetapi akar sejarahnya sangat kokoh seumur dengan bangsa ini.
Bahkan didapatkan dari keterangan seorang pengembara Eropa, Marcopolo yang pada tahun 1292 M, ia singgah di Perlak (Aceh Timur), dimana ia jumpai kerajaan dan rakyatnya telah melaksanakan syariat (Hukum) Islam[8].
Begitupula sebagaimana yang dikuatkan oleh Dr. Rifyal Ka’bah seorang hakim agung pada Mahkamah AgungRI[9]: Bahwa Menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya bukanlah barang baru bagi Indonesia. Sejak masuknya Islam kenegeri ini pada akhir abad pertama hijrah atau awal abad kedua, syariat telah menjadi jalan hidup bangsa Indonesia yang beragama Islam. Syariat Islam sebagai system hukum yang menghendaki kekuasa’an negara kemudian dilaksanakan di kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri diberbagai pelosok Nusantara. Akhirnya lahir pandangan hidup suku-suku bangsa dengan makna yang sama dan ungkapan mungkin berbeda bahwa “Adat bersendi Syara’, dan syara bersendi kitabullah. Adat adalah kebiasaan yang berlaku, syara adalah syariat, dan kitabullah adalah quranul karim yang dijelaskan sunnah Rasulullah Saw. ungkapan ini mirip dengan ini, menurut Taufiq Abdullah dalam the Oxford Enclopedia Of The Muslim World ditemukan hampir pada semua suku bangsa yang ada di Nusantara.
Dengan demikian, syariat Islam memang mempunyai dasar yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diIndonesia. Pakar politik hukumIndonesia, Daniel Lev (seorang Amerika keturunan Yahudi) mengatakan bahwa jauh sebelum kedatangan penjajah belanda,Indonesiatelah disatukan oleh hukum Islam.
Piagam Jakarta (22 Juni 1945) sebuah Wacana & Cita-cita penerapan Syariat Islam di Indonesia[10].
Piagam dalam bahasa Indonesia antara lain berartisuratresmi yang berisikan pernyata’an dan peneguhan atau ikrar mengenai suatu hal. Piagam Jakarta adalah sebuahsuratresmi yang disepakati oleh wakil-wakil bangsaIndonesiayang duduk dalam badan penyelidik usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Karena ditandatangani diJakartapada tanggal 22 Juni 1945 M, maka ikrar tersebut terkenal dengan nama piagamJakarta.
Bersambung……..
[1]. Dr. Daud Rasyid, MA, Islam & Reformasi, (Jakarta; Usamah Press, 2001, Cet I), hal. 134.
[2] . Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anul Adzim, (Damaskus: Dar al-Fayha, 1418H/1998M Cet: 1), 2/335.
[3]. Asy-Syatibi, al-Muwafakat Fie Ushul asy-Syariat, (al-Qohiroh: Dar al-Hadis, 1427 H/ 2006 M) , 2/261-266.
[4] . Syekh Shalih Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Kitab Tauhid, (Yogyakarta: Universitas IslamIndonesia, September 2001, Cet: III), hal. 3-4.
[5] . Dr. Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi, Januari1999, Cet I), Hal. 71-74.
[6]. _______, Peluang dan Tantangan penerapan syariat Islam di Indonesia antara peluang dan tantangan, (Jakarta: Global Media, Maret 2004 M, Cet:1)Hal, 119-120.
[7] . Dr. Daud Rasyid, MA, Islam & Reformasi, (Jakarta; Usamah Press, September 2001, Cet I, hal. 145.
[8] .Abdul Qadir Djaelani, Sejarah Perjuangan Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pengkajian Islam Madinah al-Munawaroh, 1999M), hal. 17.
[9] . Ka’bah, Rifyal, Politik & Hukum dalam al-Qur’an, hal.109.
[10] . Ibid, hal. 106-109.