Kata Ihsan (berbuat baik) secara bahasa adalah lawan dari kata isa’ah (berbuat kejelekan) dari isim mashdar ‘ahsana’. Secara istilah adalah mengerjakan sesuatu dengan yang lebih baik dari biasanya. Dan secara syar’I sebagaimana disebutkan dalam hadits Jibril bahwa makna Ihsan adalah seseorang yang menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu membayangkan melihat-Nya, maka orang tersebut membayangkan bahwa sesungguhnya Allah melihat perbuatannya.
Dengan Ihsan seorang hamba akan selalu ingat bahwa Allah swt mengawasinya, tidak ada perbuatannya yang bisa tersembunyi dan kelak akan dibalas, jika berbuat baik akan dibalas kebaikan dan jika berbuat kejelekan akan dibalas dengan kejelekan pula. Orang yang punya akal kalau tahu Allah swt mengawasinya ia akan berbuat yang terbaik dan lebih dari yang biasanya, berharap pahala dan selamat dari siksaan bagi orang yang berbuat jelek, sebagaimana firman Allah swt “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaf: 37)
Keutamaan Ihsan
Dalam banyak ayat-Nya Allah swt banyak menyebutkan pahala bagi orang-orang yang berbuat ihsan (muhsinin) dan Allah swt mencintai orang-orang yang berbuat ihsan, dan cukuplah kecintaan ini sebagai keutamaan, seperti dalam beberapa ayat berikut:
- “dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195), “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128),
- “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahman: 60), “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Yunus: 26),
- “Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: “Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?” Mereka menjawab: “(Allah telah menurunkan) kebaikan”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa,( 31 ) (yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya, mengalir di bawahnya sungai-sungai, di dalam surga itu mereka mendapat segala apa yang mereka kehendaki. Demikianlah Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bertakwa.” (QS. An-Nahl: 30-31),
- “Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).” (QS. An-Najm: 31),
- “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100),
- “(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 128).
Cara Berihsan
Ihsan itu dianjurkan dalam beribadah dan bermuamalah. Ibadah apa saja yang diwajibkan oleh Allah swt, harus dikerjakan sesuai dengan keridhaan Allah swt yaitu ikhlas dan sesuai dengan ajaran nabi. Demikian dalam bermuamalah, setiap orang ingin diperlakukan baik oleh orang lain, maka dia juga harus berbuat baik pada orang lain dan berinteraksi dengan mencintai apa yang orang lain cintai darinya. Dan berikut ini beberapa tips berbuat ihsan yang kami sebutkan secara ringkas.
- Berbuat ihsan dengan badan. Yaitu dengan mengerahkan kemampuan badan untuk memberikan maslahat dan menolak madharat, mencegah kedhaliman, misalnya dengan menyingkirkan batu di tengah jalan. Sebagaimana hadits Nabi saw : “Setiap ruas sendi manusia mempunyai sedekah, setiap hari ketika matahari terbit engkau mendamaikan dua orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang membawa barang dari untanya atau mengangkat barang-barangnya adalah sedekah, perkataan yang baik itu sedekah setiap langkah kaki yang ditujukan untuk menegakkan shalat adalah sedekah dan menyingkirkan penghalang di tengah jalan adalah sedekah” (HR. Bukhari Muslim)
- Berbuat ihsan dengan harta. Orang yang diberi keluasan rizqi dan harta hendaknya bersyukur kepada Allah swt dengan menggunakannya sesuai yang telah disyariatkan seperti menolong orang yang membutuhkan, memuliakan tamu, membebaskan tawanan dan yang lain. Sebagaimana firman Allah swt “Dan berbuat baiklah kamu sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu…” (QS. Al-Qashash 77)
- Berbuat ihsan dengan kedudukan. Jika seorang mukmin belum memungkinkan untuk membantu kebutuhan saudaranya, bisa saja dia membantu saudaranya lewat kedudukan yang dia miliki hal ini sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah saw ketika menolong Mughits di depan istrinya dan beliau mengajak sahabatnya untuk menolongnya juga “tolonglah!!kalian akan diganjar”
- Berbuat ihsan dengan ilmu. Cara ini lebih hebat dan manfaat dari cara-cara sebelumnya karena berbuat ihsan dengan ilmu akan mendatangkan kebaikan di dunia dan akhirat. Maka siapa yang dimudahkan Allah swt untuk mendapatkan ilmu dipundaknya ada tanggung jawab besar untuk mengamalkan ilmunya, mengajarkan orang yang bodoh, memberi petunjuk orang yang kebingungan dan menjawab orang yang meminta fatwa dan yang lainnya.
- Berbuat ihsan dengan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Umat Nabi Muhammad saw tidak disebut umat yang terbaik kecuali karena amar ma’ruf dan nahi mungkar “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imran: 110) sebagaimana Allah swt telah melaknat Bani Israil lantaran keengganan mereka untuk beramar makruf dan nahi mungkar “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.( 79 ) Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al-Maidah: 78-79). Dan Amar makruf dan nahi mungkar tidak akan Nampak kecuali jika pelakunya mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang, jika tidak maka perintah dan larangannya itu akan sia-sia sebagaimana firman Allah swt “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Shaff: 3)
Derajat Ihsan
Menurut Ibnu Qayyim derajat Ihsan itu ada tiga, yaitu:
Pertama, Ihsan dalam tujuan, dengan mengarahkannya dari sisi ilmu, menguatkannya dari sisi hasrat, dan membersihkannya dari sisi keadaan. Dengan kata lain, ihsan dalam tujuan ini dilakukan dengan tiga cara:
- Mengarahkannya dari sisi ilmu, yaitu menjadikannya mengikuti ilmu dan keharusan-keharusannya serta terbebas dari hal-hal keduniaan, sehingga tidak ada tujuan kecuali yang diperbolehkan ilmu. Yang dimaksudkan mengikuti ilmu di sini ialah mengikuti perintah dan ketentuan syariat.
- Menguatkannya dari sisi hasrat, atau menyertai tujuan dengan hasrat yang bisa memberikan dorongan, sehingga tidak ada kelemahan atau keloyoan.
- Membersihkannya dari sisi keadaan. Artinya, keadaan pelakunya harus bersih dari noda dan kotoran, yang menunjukkan tujuannya yang kotor. Karena keadaan menunjukkan tujuan. Jika keadaannya bersih, berarti tujuannya juga bersih.
Kedua, Ihsan dalam berbagai keadaan, yaitu menutupinya dari segala sisi, dan membenahinya dalam kenyataan. Menutupi keadaan dari segala sisi artinya menutupinya agar tidak diketahui manusia menurut kesanggupan, tidak memperlihatkannya kecuali ada alasan atau kebutuhan atau kemaslahatan yang jelas. Memperlihatkan keadaan kepada orang tanpa ada alasan-alasan ini, bisa mengakibatkan dampak yang kurang baik. Misalnya riya’, ujub, sombong, terkesan berlebihan dan sombong dimata orang lain, apalagi jika mereka maling, perampok dan pecemburu bisa membahayakan diri dan hartanya.
Membenahi keadaan dalam kenyataan artinya berusaha membenahi dan meluruskan keadaan. Karena keadaan itu bisa dicampuri yang haq dan yang batil. Sementara tidak ada yang bisa membedakan antara yang haq dan batil ini kecuali orang yang memiliki ilmu dan ma’rifat.
Ketiga, Ihsan dalam waktu, yaitu engkau tdk menghilangkan waktu yg ada, tidak menghadirkan seseorang dalam hasrat dan menjadikan hijrahmu hanya kepada Allah semata. Tidak menghilangkan waktu yang ada artinya tidak menyia-nyiakannya. Tidak menghadirkan seseorang dalam hasrat (keinginan) artinya tidak menggantungkan hasrat kepada seseorang selain Allah, karena yang seperti ini termasuk syirik dalam pandangan orang yang berjalan kepada Allah.
Siapa pun yang berjalan kepada Allah secara lurus dan ikhlas, maka dia adalah orang yang berhijrah kepada-Nya. Dia tidak boleh terlewatkan dari hijrah ini, dia harus bergabung hingga dapat bersua Allah.
Allah mempunyai dua hak hijrah atas setiap hati, dan sekaligus ini merupakan kewajiban, yaitu:
- Hijrah kepada Allah dengan tauhid dan ikhlas, kepasrahan dan cinta, rasa takut, harapan dan ubudiyah.
- Hijrah kepada Rasul-Nya, dengan cara patuh, tunduk dan taat kepada beliau, pasrah kepada hukum beliau, menerima hukum yang zhahir maupun yang batin.
Siapa yang hatinya tidak memiliki dua macam hijrah ini, maka hendaklah dia menaburkan debu ke kepalanya, agar dia sadar, lalu meneliti kembali imannya sejak awal, kembali ke belakang untuk mencari cahaya, sebelum ada penghalang antara dirinya dan iman itu.
Sumber:
- Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus-Salikin (Pendakian Menuju Allah) Penjabaran Kongkrit ”Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in”, diterjemah oleh Kathur Suhardi, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar : 1999) cet. 2
- Al-Ihsan: Haqiqatuhu-Fadhluhu-Thuruquhu, oleh Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad