Menurut Dadang Darmawan bahwa Istilah tafsir bil ma’tsur baru ditemukan melalui tafsir yang ditulis oleh As-Suyuthi berjudul Ad-Duur Al-Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, dimana beliau menyebutkan bahwa terminologi tersebut dapat ditelusuri hingga zaman Ibnu Taimiyyah. Dan memang dalam Muqaddimah fi Ushulit Tafsir definisi demikian disampaikan oleh Ibnu Taimiyyah, tetapi ia tidak mengistilahkannya dengan tafsir bil ma’tsur, ia hanya menyebutnya ahsanu thuruq tafsir.
Thuruq tafsir merupakan langkah yang harus dilalui seorang mufasir dalam menafsirkan Al-Quran secara ideal. Urutan thuruq tafsir yang ideal menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah sebagai berikut:
Pertama, Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran. Al-Quran merupakan sebuah kesatuan yang integral, dimana bagian-bagiannya membenarkan dan menafsirkan bagian yang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt QS. An-Nisa’: 82.
Kedua, Menafsirkan Al-Quran dengan sunnah yang shahih. Sunnah Nabi saw harus difahami sebagai penjelas Al-Quran dan yang menerangkan makna-makna yang dikandungnya, sehingga menafsirkan Al-Quran pun dapat dilakukan dengannya. Imam Syafi’I pernah berkata: “Semua hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah saw merupakan hasil dari pemahaman beliau terhadap Al-Quran”.
Ketiga dan keempat, Memanfaatkan tafsir sahabat dan tabi’in. Pendapat ini didukung oleh kesimpulan bahwa para sahabat adalah “produk” tarbiyah Rasulullah saw, maka jika kita mendengar suatu tafsir yang shahih dari sahabat, kita memberi perhatian padanya, karena mereka menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan latar belakangnya. Disamping itu penguasaan mereka terhadap bahasa Arab, pemahaman mereka yang benar, fitrah yang lurus dan keyakinan mereka yang kuat, terutama jika mereka berijma’ atas suatu penafsiran.
Kemudian pada zaman modern, Syaikh Muhammad Abdul Adhim Az-Zarqani dalam kitabnya yang berjudul Manahilul Irfan, mengadopsi gagasan Ibnu Taimiyyah secara utuh dan menamainya dengan Tafsir bil Ma’tsur. Ia lalu mengkategorikan sebagai bagian (qism) dari tafsir dan bukan lagi dalam kerangka thariqah tafsir. Dalam kitabnya tersebut, ia menjelaskan bahwa tafsir terbagi ke dalam tiga bagian yaitu Tafsir bil Ma’tsur, Tafsir bir Ra’yi dan Tafsir bil Isyari. Kemudian beliau menjelaskan bahwa tafsir bil ma’tsur adalah apa yang terdapat di dalam Al-Quran, atau dalam sunnah atau pendapat sahabat yang berfungsi sebagai penjelasan terhadap kehendak Allah swt dalam kitab-Nya. Pendapat Syaikh Az-Zarqani juga diikuti oleh Dr. Muhammad Husain Az-Zahabi, penulis kitab Tafsir wal Mufassirun.
Perbedaan antara Qism dan Thariqah tafsir sesungguhnya berdasarkan pada asumsi bahwa tafsir memiliki sumber dan melalui sebuah proses. Berdasarkan sumber penafsiran, tafsir diklarifikasi menjadi ma’tsur dan ra’yi atau dengan kata lain riwayah dan dirayah. Namun jika asumsi yang mendasarinya adalah proses dalam melahirkan penafsiran, maka thariqah merupakan nama yang tepat. Pembedaan penamaan ini tampaknya muncul akibat pergeseran yang terjadi pada cara melihat tafsir bil ma’tsur.
Memposisikan tafsir bil ma’tsur sebagai sumber akan berimplikasi pada adanya dikotomi antara tafsir ma’tsur dan ra’yi. Dan memang, dalam sejarahnya, tafsir bil ma’tsur lahir berdasarkan pada upaya menghindari ra’yi dalam kegiatan penafsiran. Namun demikian setelah formulasi baru yang ditawarkan oleh Ibnu Taimiyyah dengan gagasannya Ahsanu Thuruq Tafsir, wacana ini kembali memberikan cara baru dalam memandang tafsir bil ma’tsur, yang tidak selalu berdasarkan sumber semata, tetapi juga berdasarkan proses lahirnya sebuah penafsiran.
Cara ini kemudian mendekatkan antara tafsir bil ma’tsur dengan konsep istidlalnya dengan tafsir bir ra’yi. Alasannya bahwa, dengan konsep istidlal, tafsir bil ma’tsur tidak lagi berorientasi penuh terhadap riwayat-riwayat debgan berusaha mengeliminasi ra’yi selama didukung oleh dalil yang valid.
Kemudian Syaikh Yusuf Qardhawi menawarkan thuruq tafsir yang ideal dan sesuai dengan perkembangan zaman, beliau menyusun hirarki atau prosedur penafsiran yang ia anggap sebagai al-Manhaj al-Amtsal fit Tafsir. Urutan thuruq tafsir yang ideal menurut beliau adalah:
- Menggabungkan antara riwayah dengan dirayah
- Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran
- Menafsirkan Al-Quran dengan hadits yang shahih
- Menafsirkan Al-Quran dengan tafsiran sahabat dan tabi’in
- Mengambil kemutlakan Bahasa Arab
- Memperhatikan konteks redaksional ayat
- Memperhatikan asbabun nuzul
- Meletakkan Al-Quran sebagai referensi utama
Sumber:
Dadang Darmawan, Sejarah Tafsir bil Ma’tsur , Tesis di UIN Syarif Hidayatullah
Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’ammal ma’al Quran al-Adhim, Mussasah Ar-Risalah Beirut
Baca Juga artikel lain tentang Ilmu Tafsir: