Pendahuluan
Saya pernah mengajar tahfidz suatu kelas, kata teman guru tahfidz saya, kemampuan siswanya minim. Cukup sulit sepertinya. Saya berusaha mengubah paradigma saya.
Saya coba meyakinkan diri bahwa seminim apapun kemampuan mereka, mereka telah memiliki modal awal yang memadai. Mereka telah memiliki niat belajar bersama saya.
Bermodal paradigma ini, saya mencoba untuk mengajarkan tahsin dan tahfidz. Saya temani dan kontrol perkembangan mereka. Dan hasilnya, ketika anak-anak seusia mereka di luar sana masih atau baru menghafal Juz Amma, santri-santri saya ini sudah merapal Juz Amma, juz 29, dan juz 28.
Saya ingin mengatakan berdasarkan beberapa buku pendidikan, Accelerated Learning yang sempat saya baca bahwa ada banyak hal yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki sistem pendidikan kita. Perlu adanya paradigma pembelajaran baru atau yang diperbarui di awal abad 21 ini.
Setidaknya ada tiga paradigma yang perlu kita tilik bersama:
- Lemampuan otak yang tak hingga
- Informasi cepat
- Dan kurikulum seutuhnya.
Paradigma 1: Kemampuan Otak Yang Tak Hingga
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa otak manusia terdiri dari bermilyar-milyar sel aktif. Disebutkan, minimal terdiri 100 milyar sel otak aktif sejak lahir. Masing-masing sel dapat membuat jaringan sampai 20.000 sambungan tiap detik. Yang menakjubkan adalah saat awal kehidupan kita, otak kita berkembang melalui proses belajar alamiah dengan kecepatan 3 milyar sambungan perdetik.
Sambungan-sambungan ini adalah kunci kekuatan otak. Sehingga Gordon Dryden menyatakan: “You’re the owner of the world’s most powerful computer.” (Anda adalah pemilik komputer paling hebat di dunia-Otak anda).
Dapat kita bandingkan dengan 3 hari pertama tahun 1997, jutaan pengguna komputer membuat jaringan internet 200 juta sambungan. Sedangkan otak kita mampu membuat jaringan 15 kali lebih besar dalam satu detik dibanding jaringan internet dalam 3 hari. Bahkan Tony Buzan menyatakan: “Your brain is made of trillion brain cells”.
Dengan kemampuan luar biasa ini otak manusia mampu menghafal seluruh atom yang ada di alam semesta. Kemampuan memori otak kita adalah 10800 (angka 10 dengan 0 sebanyak 800 di belakangnya) sedangkan jumlah atom di alam semesta adalah sekitar 10100 (angka 10 dengan 0 sebanyak 100 di belakangnya).
Lebih menakjubkan lagi adalah otak kita terdiri dari beragam hal: bagian, fungsi, kemampuan dan lain-lain. Empat bagian otak; neuron, dendrit, sel glial dan sistem insulating. Bermacam-macam pusat kecerdasan; otak kiri dan otak kanan. Otak kita juga mempunyai empat panjang gelombang otak.
Bila kita hendak mengambil contoh untuk membandingkan otak orang cerdas dengan orang biasa, dapat kita ambil contoh otak Albert Einstein. Otak Einstein berkembang 10% lebih baik dari otak orang biasa. Perkembangan ini terjadi pada bagian otak matematis dan verbal –yang merupakan parameter IQ. Sementara otak matematis dan verbal adalah bagian kecil dari keseluruhan otak manusia –sekitar 20%. Jadi otak Einstein berkembang lebih baik dari orang biasa kira-kira sekitar 2%.
Dari perhitungan sederhana di atas, kita boleh optimis bahwa pendidikan yang baik dapat melahirkan orang-orang besar sekaliber Einstein, Al-Khawarizmi atau Ibnu Khaldun. Pendidikan ‘hanya bertanggung jawab mengembangkan otak manusia 2% saja’.
Lalu timbul pertanyaan: mengapa banyak orang-orang bodoh?? Atau lebih tepatnya mengapa banyak orang yang otaknya tidak berkembang?? Dalam buku Quantum Learning dijelaskan bahwa manusia memiliki tipe-tipe tertentu dalam menyerap dan mengolah informasi.
Manusia digolongkan menjadi tiga tipe dalam menyerap informasi yaitu:
- Auditif
- Visual
- Kinestetik.
Sementara dalam mengolah informasi ada empat tipe yaitu:
- Sekuensial
- Kongkret
- Sekuensial abstrak
- Acak kongkret dan
- Acak abstrak.
Kita mungkin berharap bahwa ada tipe terbaik dibanding tipe yang lain. Sehingga ada orang yang lebih cerdas. Ternyata tidak ada. Semua tipe adalh baik. Orang akan cerdas apabila ia menerima dan mengolah informasi sesuai dengan tipenya.
Orang akan tampak ‘bodoh’ bila sistem pendidikan tidak mengakomodasi tipenya. Dengan demikian, tugas pendidikan adalah mengidentifikasi tipe-tipe anak didik kemudian menyusun rencana pendidikan yang sesuai karena tidak tepat memperlakukan semua anak didik dengan cara yang sama.
Selanjutnya, anggapan bahwa kecerdasan manusia diukur dari IQ belaka sudah tidak lagi memadai. Temuan terakhir malah menyebutkan bahwa kesuksesakn manusia dan juga kebahagiaannya, ternyata lebih terkait dengan beberapa jenis kecerdasan selain IQ.
Terutama temuan monumental Daniel Goldman tentang Emotional Intellegence, konsep yang diajukan oleh Howard Gardner mengenai Multiple Inttellegence, maupun wacana yang diajukan pemikir sekaligus psikolog Danah Zohar dan suaminya Ian Marshall tentang Intelegensia Spiritual.
Setidaknya 75% kesuksesan manusia lebih ditentukan oleh kecerdasan emosilnalnya. Dan hanya 4% yang ditentukan oleh IQ-nya. Daniel Goldman dalam bukunya Working with Emotional Intellegence memerinci aspek-aspek kecerdasan emosional manusia menjadi kecerdasan pribadi dan kecerdasan sosial.
Kecerdasan pribadi terdiri atas tiga faktor yakni kesadaran diri, pengaturan diri dan motivasi. Kecakapan sosial terdiri atas dua faktor, yakni empati dan ketrampilan sosial.
Lebih jauh dengan intelegensia spiritual, seseorang akan memiliki visi yang maju ke depan karena apa yang dia lakukan bukan hanya untuk kehidupan sekarang di dunia saja tetapi juga sampai ke akhirat nanti.
Islam pun mengajarkan umatnya agar bertaqwa di manapun kita berada dalam artian selalu merasa di awasi oleh Allah swt yang Maha Mengetahui semua gerak-gerik manusia . Rasulullah saw bersabda: “Bertaqwalah engkau di manapun engkau berada. Setiap kali engkau berbuat keburukan, iringi dengan kebajikan, niscaya kebajikan itu akan menghapus dosa keburukan itu. Lalu, bergaullah dengan umat manusia dengan akhlaq yang baik..”(HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)
Seorang guru yang meyakini bahwa siswa memiliki otak yang tak hingga, senantiasa mencari cara bagaimana agar siswa mampu mengaktualisasikan potensi itu. Guru pantang menyerah bila siswa beluam menguasai materi tertentu. Bukan otak siswa yang tidak mampu. Tetapi gaya guru dan siswa yang belum selaras.
Paradigma 2: Informasi Cepat
Manusia mampu berbicara mulai 35 ribu sampai 50 ribu tahun yang lalu. Sedangkan kemampuan menulis dimulai 6000 tahun yang lalu. Percetakan diperkenalkan di Cina pada tahun 1040 dan di Eropa tahun 1451.
Pada tahun 1876 ditemukan pesawat telphone, 18 tahun kemudian ditemukan film bergerak (motion picture). Bila kita perhatikan, kemampuan manusia berkomunikasi semakin berkembang dan perkembangan ini semakin cepat sejak abad 11 dan lebih-lebih abad 20 masehi.
Pada tahun 1926 ditemukan televisi, 1948 teknonolgi transistor. Teknologi fiber optik mampu mengirimkan 3000 pesan sekali kirim pada tahun 1988. Pada tahun 1996 mampu 1,5 juta pesan, dan tahun 2000 diperkirakan mampu mengirimkan 10 juta pesan. Pada 1999 tidak kurang 250 juta komputer telah digunakan. Dan tidak kurang 150 juta orang telah terhubung langsung ke internet.
Masing-masinh orang dapat berhubungan langsung kepada 150 juta orang yang lain. Mereka mengakses internet melalui perusahaan, sekolah atau warnet. Antara tahun 2005-2010 diramalkan sekitar 2 milyar orang terhubung melaluiu internet. Indonesia termasuk pengguna facebook dan twitter terbesar di dunia saat ini.
Sungguh hari ini kita sedang bergerak menuju dunia perdagangan virtual tanpa batas melalui internet. Pada awal 1999, Dell telah menjual komputer melalui internet mencapai 1 juta dolar perhari. Sedangkan pada tahun 1998 Amazon telah menjual buku semilai 610 juta dolar. Amazon tidak memiliki toko buku secara fisik.
Sekarang dunia pendidikan pun sedang bergerak menuju dunia pendidikan tanpa batas melalui internet. Seluruh siswa di dunia saat ini dapat berkunjung ke Cambridge University satu saat, dan detik berikutnya berkunjung ke UI melalui jaringan Internet. Para siswa dapat berdiskusi langsung dengan para pakar dari IIUM di Malaysia bersama para pakar dari Universitas Ibnu Khaldun di Bogor.
Teknologi informasi berkembang pesat menjadi salah satu sarana pembelajaran yang murah dan cepat. Teknologi internet semakin mudah dioperasikan oleh setiap orang hatta oleh orang awam. Sehingga tidak ada alasan untuk ketinggalan informasi dan tidak dapat mengejar ketertinggalan belajar.
Dengan demikian, tidaklah bijak jika sistem pendidikan tidak memanfaatkan kemajuan teknologi informasi yang semakin berkembang seperti hari ini. Karena hanya manusia pembelajar yang mampu bertahan dan berkembang di zaman mutakhir ini. Manusia pembelajar adalah manusia yang mampu belajar efektif sepanjang hidupnya.
Paradigma 3: Kurikulum Seutuhnya
Bateson menyatakan ada empat level pembelajaran. Level pertama adalah pembelajaran tentang objek. Bagaimana sesuatu beradaptasi. Termasuk dalam level ini adalah matematika, fisika, biologi, dan lain-lain.
Level kedua adalah pembelajaran bagaimana cara belajar. Termasuk dalam level ini adalah belajar membaca efektif, menghafal cepat, berfikir kreatif, dan lain sebagainya.
Level ketiga adalah belajar mengubah atau membangun suatu paradigma. Level keempat adalah belajar tentang pandangan dunia terhadap alam semesta ini.
Sangat disayangkan sekali, pendidikan di Indonesia terlampau menekankan level pertama. Sehingga anak didik tidak begitu faham bagaimana cara belajar yang efektif. Hal ini mengakibatkan belajar justru berubah menjadi beban. Tidak lagi dipandang sebagai suatu kebutuhan oleh anak didik. Sistem pendidikan, minimalnya secara terencana harus melakukan pembelajaran pada level pertama dan kedua.
Saat ini sedang dikembangkan kecerdasan berdimensi jamak atau multiple intellegence. Model kecerdasan ini pertama kali diperkenalkan oleh Howard Gardner, seorang profesor pendidikan dari Harvard University.
Multiple Intellegence meliputi kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis-logis, kecerdasan spatial, kecerasan musik, kecerdasan gerak, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerasan rasa dan kecerdasan intuisi.
Multiple Intellegence mencakup IQ (Intellegence Quotient), EQ (Emetional Quotient), dan AQ (Adversity Quotient). Dengan menggunakan model ini membuka peluang bagi setiap manusia untuk cerdas, kreatif dan jenius.
Tiga paradigma pembelajaran di atas merupakan paradigma dasar yang harus kita pertimbangkan bila ingin melakukan perbaikan dalam sistem pendidikan kita.
Sumber: Quantum Quotient, Ir. Agus Nggermanto, Bandung