Tinta sejarah abad ketiga dan pertengahan abad keempat adalah masa keemasan bagi perkembanga ilmu pengetahuan Islam. Pada abad ini kekuasaan Dinasti Abbasiyah di Irak terus mengibarkan benderanya di berbagai wilayah Islam.
Aktivitas kompetitif ilmiah di negara tersebut menjadi semakin luas, dengan pemimpinnya khalifah al-Ma’mun yang selalu memberikan dukungan –semacam beasiswa untuk saat ini- kepada para pelajar dan mahasiswa untuk belajar di negara Yunani dan sekitarnya. Dari sinilah ilmu logika atau mantik diperoleh sehingga lahirlah sejumlah tokoh Mu’tazilah seperti Ibrahim al-Nazham yang dikenal dengan tokoh utama Mu’tazilah Nazhamiyah dan Bisyr bin Ghiyats al-Marisi.
Pada abad ini juga, lahir sejumlah tokoh tradisional yang menjadi pakar dalam bidang hukum Islam dari kalangan ahlussunnah wa al-jama’ah seperti Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal sebagai tokoh oposisi dari kekhalifahan al-Ma’mun yang pemerintahannya mendukung prinsip ajaran Mu’tazilah.
Pada dimensi yang lain karya-karya ushul fikih dari kalangan mutakallimin seperti al- al-Mu’tamad karya Husain al-Bashri al-Mu’tazili (436 H), al-Burhan karya Imam Haramain (478 H), Mustashfa karya Abu Hamid al-Ghazali (505 H). Ketiganya adalah kitab induk ushul fikih mazhab mutakallimin menempatkan teori mantik di dalam karyanya tersebut, bahkan al-Ghazali mengatakan dalam pengantarnya “Siapa saja yang tidak memahami ilmu mantik keilmuannya belum dianggap kredibel”.
Sudah menjadi hal yang umum bagi para pelajar di tingkat awal untuk mengalami kesulitan dalam memahami secara jelas maksud sebenarnya dari manhaj atau metode al-mutakallimin dalam disiplin ilmu ushul al-fiqh.
Apakah metode ini hanya sebatas menghasilkan hukum dan derivasi masalah berdasarkan prinsip-prinsip serta kaidah yang telah ditetapkan, seperti yang diajarkan dalam kitab-kitab ushul al-fiqh kontemporer?
Apakah hanya itu yang membedakan ushul al-fiqh metode mutakallimin dengan metode fuqaha?
Jawabannya jelas tidak sesederhana itu. Lantas, apa yang membuat metode mutakallimin tampak sebagai pendekatan yang berbeda dan unik dalam ushul al-fiqh dibandingkan dengan metode fuqaha?
Jawabannya dapat ditemukan dalam namanya sendiri, yaitu metode mutakallimin. Perhatikanlah para tokoh ilmu kalam yang berperan dalam menyusun ushul al-fiqh melalui metode ini, seperti:
- Imam Al-Juwaini (w. 478 H) – Menulis Al-Waraqat dan Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh.
- Imam Al-Ghazali (w. 505 H) – Karyanya Al-Mustashfa menjadi salah satu referensi utama dalam Ushul Fiqh.
- Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H) – Menulis Al-Mahshul fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh.
- Al-Amidi (w. 631 H) – Mengarang Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.
Tulisan-tulisan mereka dalam disiplin ini didasarkan pada sudut pandang seorang mutakallim dalam memahami konsep istidlal (penalaran hukum).
Sebagaimana diketahui, metode istidlal berbasis nash adalah bagian utama dari ilmu ushul al-fiqh. Namun, bagaimana para ahli kalam memahami hal ini? Secara ringkas, kita bisa melihat perbedaan metode keduanya di bawah ini.
- Metode Mutakallimin: Pendekatan rasional dan teoritis dalam merumuskan kaidah ushul tanpa terikat pada praktik fiqh mazhab tertentu. Metode ini banyak dipengaruhi oleh ilmu kalam dan filsafat.
- Metode Fuqaha: Pendekatan yang lebih praktis dan berbasis pada aplikasi fiqh dalam mazhab tertentu. Metode ini banyak digunakan oleh ulama mazhab dan berorientasi pada kebutuhan hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Ulama Mutakallimin berpandangan bahwa istidlal adalah sebuah proses pemikiran rasional yang menyusun premis-premis dari wahyu atau dalil untuk mencapai suatu kesimpulan hukum. Oleh karena itu, mereka memulai kajian mereka dengan pembahasan ilmu logika (mantiq) terlebih dahulu, karena metode berpikir rasional harus dikuasai dengan baik agar tidak terjadi kesalahan dalam istidlal.
Setelah itu, para ahli kalam juga menilai bahwa sebelum membahas hukum, perlu dipahami terlebih dahulu konsep dilalah al-alfazh serta pembagian kalam menjadi amar dan nahi. Hal ini merupakan bagian dari kajian mengenai sifat Kalam Allah SWT, khususnya dalam aspek khitab-Nya kepada mukallaf dari sudut perintah dan larangan.
Pembahasan ini dilakukan dari perspektif bahasa Arab, terutama dalam tiga aspek utama:
- Wad’i – bagaimana suatu lafaz ditetapkan untuk makna tertentu.
- Isti’mal – bagaimana suatu lafaz digunakan dalam konteks makna tertentu.
- Haml – bagaimana menentukan makna yang tepat bagi suatu lafaz.
Ketiga aspek ini sangat penting karena penalaran hukum yang benar bergantung pada pemurnian makna dan penggunaan lafaz Arab yang tepat sesuai dengan konteks dan maksud penutur (dalam ushul al-fiqh, penuturnya adalah Allah dan Rasul-Nya).
Hal ini sejalan dengan prinsip al-hukm ‘ala asy-syai’ far’un ‘an tashawwurih (hukum atas sesuatu bergantung pada pemahamannya). Karena kompleksitasnya, Imam al-Iji bahkan memisahkan kajian ini ke dalam disiplin ilmu tersendiri yang disebut ilmu wad’.
Inilah gambaran umum tentang metode mutakallimin dalam ilmu ushul al-fiqh. Tulisan ini hanyalah ringkasan yang dapat dikembangkan lebih lanjut dalam bentuk artikel atau buku, insyaAllah. Namun, intisarinya adalah bahwa metode mutakallimin disusun dengan tiga elemen utama sebagai pendahuluan dan pelengkap:
- Memahami istidlal sebagai suatu bentuk pemikiran, sehingga diperlukan ilmu mantiq sebagai pendahuluan.
- Memahami sumber hukum sebagai Kalamullah dan khitab kepada mukallaf, sehingga diperlukan beberapa pembahasan ilmu kalam sebagai pelengkap.
- Memahami sumber hukum dalam bahasa Arab, sehingga diperlukan pemahaman yang tepat mengenai wad’, isti’mal, dan haml agar dapat memenuhi syarat sebagai mujtahid dalam fiqh.
Dari pembahasan ini, jelas bahwa para ilmuwan yang mendalami ilmu kalam adalah kelompok yang paling layak untuk membahas metode ini, bukan hanya ilmuwan fiqh dan syariah semata.
Namun, ironisnya, para pelajar akidah di zaman ini semakin melupakan dan mengabaikan identitas mereka. Mereka telah meninggalkan ilmu-ilmu yang menjadi pilar utama dalam bidang mereka. Harapan besar agar para pelajar ushuluddin kembali mengenali identitas tokoh-tokoh dalam bidangnya yang juga menguasai ilmu ushul al-fiqh dengan metode mutakallimin.
Sumber:
Tulisan media sosial Ustadz Saif Ash-Shidqi
Jumal Ahmad, Al-Juwaini dan Al-Ghazali: Kontribusi Guru dan Murid Mengembangkan Mazhab Syaf’i dan Teologi Asyari, Islamic Character Developement, 2024
Bacaan Terkait