Waktu Adalah Kehidupan

Tak terasa. Hari berganti hari, pekan berganti pekan, bulan berganti bulan, ternyata sudah tiba lagi di penghujung tahun. Sepertinya, tahun 1433 H baru kemarin kita jumpai. Tapi rasanya tiba-tiba sekarang kita bertemu dengan tahun 1434 H. Begitulah waktu. Ia berjalan sesuai dengan karakteristiknya. Berlalu sesuai dengan tabiatnya yakni cepat terlewat tanpa terasa dan tidak pernah dapat kembali.

Imam Hasan al-Bashri pernah berkata, “Tidaklah sebuah hari itu berlalu kecuali setiap terbit matahari ada seruan: Hai anak cucu Adam, Aku adalah ciptaan yang baru, aku menjadi saksi atas perbuatanmu, maka berbekallah dariku, karena sesungguhnya aku, jika telah berlalu, tidak akan kembali sampai datang hari kiamat nanti.”

Imam Asy-Syahid Hasan Al Banna juga mengungkapkan, “Waktu adalah kehidupan. Kehidupan manusia adalah waktu yang dilaluinya dari mulai ia lahir sampai ia meninggal dunia”. Karena itu, menurut Yusuf Qaradhawi, menyia-nyiakan waktu, walau hanya seperseribu detik sekalipun, sama sama halnya dengan menyia-nyiakan kehidupan. Bagi seorang muslim sedetik saja ia tidak dapat memanfaatkan waktunya maka ia akan kehilangan sebagian dari kehidupannya.

Ungkapan bijak itu masih senada dengan hikmah yang dilontarkan Imam Hasan al-Bashri ketika ia mengatakan, “Hai anak cucu adam, sesungguhnya engkau adalah kumpulan dari hari-harimu. Maka setiap kali hari itu berlalu maka berlalu juga sebagianmu.”

Allah SWT dalam Al-Qur’an banyak bersumpah dengan waktu atau masa. Seperti, Demi masa dalam surat Al-‘Ashr, Demi waktu fajar, Demi waktu Dhuha, Demi waktu malam dan lain-lain. Sebuah sumpah yang dinisbatkan dengan sesuatu menunjukkan bahwa sesuatu itu sangat penting. Tentunya sumpah-sumpah Allah dalam Al-Quran di atas menunjukkan betapa pentingnya masalah waktu.

Dengan cara itu, Allah secara implisit memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk memperhatikan dan menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli tafsir (mufasirin), bahwa tujuan Allah swt. bersumpah dengan makhluknya, adalah agar mendapatkan perhatian tentang masalah tersebut dan ditadabburi manfaat apa yang akan dihasilkan darinya.

Baca juga:   Mengenal Sejarah, Isi dan Peletak Dasar Kitab Talmud

Rasulullah SAW pun menguatkan dengan bersabda:
“Tidak akan lewat tapak kaki seorang hamba pada hari kiamat, kecuali setelah ditanya empat perkara yakni tentang jatah umurnya yang ia habiskan di dunia, masa mudanya yang telah ia lewatkan, hartanya dari mana didapatkan dan bagaimana dikeluarkan, tentang ilmunya sejauhmana ia amalkan.”
(HR. Al-Bazzar dan At-Thabrani).

Dalam riwayat lain Nabi SAW bersabda:
“Seorang yang memiliki akal sehat akan membagi waktunya menjadi empat bagian yakni waktu ketika ia bermunajat kepada Rabbnya, waktu ia berintrospeksi, waktu mentafakkuri ciptaan Allah Swt, dan waktu ia makan dan minum.”

Seorang muslim sejati, ketika ia memulai harinya, akan membukanya dengan shalat dan ketika ia mengakhirinya akan ia tutup dengan shalat pula. Ia membukanya dengan shalat subuh dan menutupnya dengan shalat Isya. Tidak ada sedikitpun waktunya terbuang untuk hal-hal yang tidak bermanfaat karena ia sadar waktu yang dilaluinya kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.

Karenanya amat Islam hendaknya janganlah ikut-ikutan seperti ummat-ummat yang lainnya, dimana jika merayakan hari ulang tahunnya, mereka melakukannya dengan hura-hura dan penuh hal-hal yang berlebihan yang sangat boros, apalagi ditambah dengan berbagai kemaksiatan.

Dengan bertambahnya tahun, secara angka usia seorang manusia memang bertambah. Tapi secara jatah umur, sebetulnya kesempatan hidupnya makin berkurang. Oleh karena itu berkurang pula kesempatan yang dia miliki untuk mempersiapkan diri menghadap Allah kelak. Apakah akan dia gunakan untuk beribadah kepada Allah atau justru bermaksiat kepada-Nya. (lihat! Q. S. Al-Insyiqaq: 6).

Pergantian tahun bagi seorang muslim merupakan momentum untuk bermuhasabah dan merencanakan masa depan selanjutnya layaknya seorang akuntan dalam sebuah perusahaan yang menghitung untung rugi perusahaannya selama satu tahun.

Baca juga:   Syiah Dan Sejarah

Namun demikian bagi seorang muslim bermuhasabah tidak harus menunggu selama satu tahun karena sesuai dengan substansi akidahnya ia akan berusaha untuk bermuhasabah setiap hari dan setiap saat. Umar bin Khattab berkata, “Hisablah diri-diri kalian sebelum kalian dihisab.”

Bila telah datang waktu malam Umar RA selalu bertanya, “Apa yang telah aku kerjakan pada hari ini.” Dan ia menjadikan kebiasaan itu sebagai muhasabah hariannya. Tidak hanya memuhasabahi amalannya akan tetapi juga merencanakan masa depannya.

Masa depan ini pun, bagi seorang muslim yang paling hakiki adalah kehidupan di akhirat. Masa depan duniawi yang juga harus menjadi cita-citanya hanyalah perantara yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan akhirat.

Dalam menyikapi waktu, Yusuf Qaradhawi menasehatkan tiga hal. Pertama, memandang masa lalu sebagai bahan introspeksi sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah, karena itu berjalanlah di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (Q. S. Ali Imran: 137)

Kedua, merencanakan masa depan. Di antara karakteristik masa depan adalah ghaib dan terjadi dengan tiba-tiba walaupun orang-orang mengira kejadiannya akan terjadi beberapa tahun lagi. Firman Allah SWR, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yag telah diperbuatnya untuk hari esok.” (QS. Al Hasyr:18).

Ketiga, lebih memaksimalkan diri pada masa sekarang atau yang sedang terjadi, Rasulullah SAW bersabda: “Seandainya akan tiba hari kiamat dan di tangan kalian terdapat bibit korma, maka bila kamu sanggup sebelum datangnya kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.”

Artinya dalam beramal sholeh setiap muslim harus maksimal dalam menuntaskan pekerjaannya. Ia juga harus senantiasa optimis karena setiap amalnya itu akan mendapatkan balasan kebaikan dari Allah. Sekalipun menurut hitungan manusiawi hasil pekerjaannya akan hancur lantaran sebentar lagi akan datang kiamat, minimal ia sudah mendapatkan kebaikan lantaran telah memanfaatkan waktu untuk berbuat baik.

Baca juga:   Islam Akan Memasuki Setiap Rumah

Demikianlah sedikit pembahasan perihal waktu yang bisa saya sajikan, meskipun sedikit semoga dapat mengingatkan kita tentang pentingnya waktu, dan marilah kita bersama-sama untuk merenungkan kehidupan ini, merenungkan usia kita masing-masing. Sudah siapkah bekal yang telah kita persiapkan untuk menghadapi kehidupan esok yang lebih cerah. Semoga Allah senantiasa memberikan pertolongan kepada kita, untuk selalu ingat dan bersyukur kepadanya, amin.

Sumber: diadaptasi dari kitab Waqafaat ma’a hifdhil waqt oleh Sami bin Muhammad bin Jarullah, Maktabah Syamilah

[soundcloud url=”http://api.soundcloud.com/tracks/69105574″ params=”show_comments=false&auto_play=true&color=ff7700″ width=”100%” height=”81″ iframe=”false” /]

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *