Antara Dunia dan Akhirat

DUNIA DAN AKHIRAT – Allah SWT membagi kehidupan menjadi dua bagian, yakni kehidupan dunia dan akhirat. Apa yang dilakukan manusia di dunia akan berdampak dalam kehidupan akhirat, enak dan tidaknya kehidupan seseorang di akhirat sangat bergantung pada bagaimana ia menjalani kehidupan di dunia ini.

Manakala manusia beriman dan beramal saleh dalam kehidupan di dunia, ia pun akan mendapatkan kenikmatan dalam kehidupan di akhirat. Karena itu, ketika seseorang berorientasi memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan di akhirat, maka ia akan menjalani kehidupan di dunia ini dengan sebaik-baiknya sebagaimana yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Ketika manusia berorientasi kepada kehidupan akhirat, bukan berarti ia tidak boleh menikmati kehidupan di dunia ini, hal ini karena segala hal-hal yang bersifat duniawi sangat disukai oleh manusia, karenanya Islam tidak pernah mengharamkan manusia untuk menikmati kehidupan duniawinya selama tidak melanggar ketentuan Allah SWT, apalagi sampai melupakan Allah SWT sebagai pencipta dan pengatur dalam hidup ini.

Manusia memang memandang indah segala hal yang bersifat duniawi dan itu wajar-wajar saja selama ia tidak mengabaikan tempat kembalinya. Allah SWT berfirman yang artinya, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (syurga).” (QS Ali ‘Imran: 14)

Muhammad Ali ash-Shabuny di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa para ahli tafsir berbeda pendapat tentang siapa yang menjadikan syahwat itu sebagai sesuatu yang indah.

Pendapat pertama mengatakan bahwa yang menjadikan indah adalah setan dengan cara membisikkan kepada manusia dan menjadikannya tampak indah di hadapan mereka, lalu mereka condong kepada syahwat itu dan lalai dalam menaati Allah SWT, pendapat ini didasari pada firman Allah “Dan setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka (yang salah) lalu menghalangi mereka dari (jalan) Allah, sehingga mereka tidak mendapat petunjuk.” (QS An-Naml: 24)

Baca juga:   Perusahaan Sekolah Dan Perusahaan Universitas

Pendapat kedua mengatakan bahwa Allah-lah yang menjadikan indah terhadap syahwat sebagai ujian dan cobaan untuk menentukan siapa di antara mereka yang baik perbuatannya, hal ini didasari pada firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS Al-Kahfi: 7)

Dua pendapat yang nampak bertolak belakang itu sebenarnya bukan sesuatu yang bertolak belakang. Allah SWT dan setan sama-sama memiliki “kepentingan” dalam kaitan dengan syahwat manusia terhadap hal-hal yang sifatnya duniawi. Allah SWT ingin menguji manusia agar mereka dapat meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT, sedangkan setan justru ingin menjerumuskan manusia ke jalan yang sesat.

Oleh karena itu, ketika menafsirkan kalimat, “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,” Sayyid Quthb dalam Fi Dzilalil Qur’an mengatakan,

“Ungkapan kalimat ini tidak memiliki konotasi untuk menganggapnya kotor dan tidak disukai. Tetapi, ia hanya semata-mata menunjukkan tabiat dan dorongan-dorongannya, menempatkannya pada tempat tanpa melewati batas serta tidak mengalahkan apa yang lebih mulia dan lebih tinggi dalam kehidupan serta mengajaknya untuk memandang ke ufuk lain setelah menunjukkan vitalnya apa-apa yang diingini itu, dengan tanpa tenggelam dan semata-mata bergelimang di dalamnya. Di sinilah keistimewaan Islam dengan memelihara fitrah manusia dan menerima kenyataannya serta berusaha mendidik, merawat, dan meninggikannya, bukan membekukan dan mematikannya.”

Sebagian kalangan sufi menganggap bahwa syahwat merupakan sesuatu yang tercela, karenanya harus dijauhi sehingga mereka cenderung meninggalkan dunia. Padahal, bagi seorang muslim bukan tidak boleh memiliki dan menikmati kehidupan dunia ini, yang penting adalah jangan sampai kehidupan dunia membuat manusia menjadi lupa dan lalai, karena hal itu hanya akan membawa pada kerugian, tidak hanya di dunia ini tapi juga di akhirat nanti.

Baca juga:   Hukuman Pelaku Homoseksual dan Lesbian menurut Hukum Pidana Islam dan KUHP

Allah SWT berfirman“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS Al-Munafiquun: 9)

Kita memang harus mengakui bahwa syahwat itu bisa positif tapi bisa juga negatif. Kekhawatiran kita kepada hal-hal yang negatif mestinya tidak sampai kita mengharamkannya, di sinilah letak pentingnya kesalehan manusia, karena bila segala kenikmatan duniawi itu ada di tangan orang yang saleh, maka kenikmatan itu akan memberikan kenikmatan yang lebih besar lagi, ni’mal maalu ash shalih, rajulun shaleh.

Akan tetapi, apabila suatu kenikmatan berada di tangan orang yang fasik, hal itu akan sangat membahayakan, tidak hanya membahayakan dirinya, tapi juga membahayakan orang lain.

Kehidupan akhirat memang lebih baik, tapi bukan berarti kehidupan dunia ini jelek dan harus dicampakkan, karenanya di dalam surat Ali Imran ayat 15, Allah SWT mengemukakan bahwa ada yang lebih baik dari kesenangan-kesenangan duniawi, ayat tersebut artinya,

“Katakanlah: ‘Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?’ Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS Ali ‘Imran: 15)

Disamping itu, Allah SWT juga menegaskan tentang tidak haramnya menikmati hal-hal yang bersifat duniawi sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya,

“Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?’ Katakanlah: ‘semuanya itu disediakan bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja ) di akhirat. Demikianlah, Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS Al-A’raf: 32)

Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bagaimana sikap yang harus kita tunjukkan kepada dunia. Paling tidak, ada sikap positif yang harus kita miliki dalam memandang kehidupan dunia.

Baca juga:   Ustadz Anung Al Hamat: "Jangan tergesa-gesa sikapi deklarasi khilafah oleh ISIS"

Pertama, mencapai segala kenikmatan dunia dengan cara-cara yang baik dan halal, bukan dengan menghalalkan segala cara dalam memperolehnya. Bahkan seandainya untuk mendapatkan kenikmatan itu harus dikejar sampai ke ujung dunia, maka hal itu tidak menjadi masalah, karena Allah SWT memang memerintahkan kepada manusia untuk mencari karunia-Nya, di muka bumi yang amat luas, hal ini terdapat dalam firman-Nya, “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al-Jumu’ah: 10)

Kedua, gunakan apa-apa yang sudah kita peroleh dengan cara yang baik dan untuk kebaikan, bukan malah untuk hal-hal yang bisa mendatangkan kerusakan, baik kerusakan diri sendiri, orang lain maupun kerusakan lingkungan hidup tempat kita menjalani kehidupan ini, Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan carilah apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qashash: 77)

Ketiga, jangan sampai lupa kepada Allah SWT dalam menikmati hal-hal yang bersifat duniawi, tetapi hendaknya tetap bersyukur dan beribadah kepada Allah SWT, bila itu yang dilakukan, maka kenikmatan duniawi itu akan terasa sedemikian banyak rasa dan manfaatnya meskipun jumlahnya sedikit. Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim: 7)

Dengan demikian, apa pun yang kita raih dan kita nikmati dalam kehidupan di dunia ini, semua adalah dalam kerangka membekali diri kita untuk kembali kepada Allah SWT dengan amal saleh yang sebanyak-banyak dan ketakwaan yang setinggi-tingginya. []

Jumal Ahmad | ahmadbinhanbal.com

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *