A. Pendahuluan
Teknologi selalu berhubungan dengan kreasi cipta manusia yang dihasilkan dari buah teori dan pemikiran yang keduanya diolah dari akal. Kecerdasan manusia merupakan suatu hal yang sangat dibanggakan, karena dari benda inilah (dalam tanda kutip) besi bisa terbang, atau mengapung diatas lautan luas, robotic, dan sebagainya yang dahulu dianggap sebagai suatu fantasi belaka.
Sebelum suatu hasil produk dapat dinikmati, manusia harus merangkai suatu logika algoritma yang mendasari proyek karyanya. Dalam dunia Informatika kemampuan algoritma dan logika yang baik merupakan tuntutan urgen. Orang yang algoritmanya baik insya Allah dengan mudah ia dapat menulis program sofware yang baik pula, sebab penulisan program bukan dengan kekuatan otot, tapi menggunakan kekuatan otak.
Perkembangan teknologi saat ini sungguh sangat pesat, dalam informatika terdapat berbagai macam bahasa programing language semakin canggih dan muncul bahasa-bahasa baru. Sebut saja misalnya java, perl, python, dll ataupun hardware yang semakin mikro. Hampir seluruh teknologi modern saat ini memperpadukan teknik informatika dengan bidang ilmu eksak maupun sosial lainnnya.
B. Bahaya Teknologi bagi Pemikiran
Teknik memecahkan problem dengan mengandalkan akal yang dibangun secara terus menerus dalam membuat suatu program menggiring pada suatu pemikiran, apapun bisa diciptakan bila masih bisa diteorikan. Manusia akan mengandalkan dan percaya 100% pada kemampuan akal dalam menyelesaikan berbagai problem yang menghadang. Semakin sulit dan fantasi program tersebut semakin tertantang untuk memecahkannya. Bahkan dalam era kompetisi hari ini dan era perubahan dunia yang semakin panas, sipil dan militer berlomba menciptakan karya untuk tujuannya masing-masing. Seluruh keputusan disandarkan pada akalnya, dan ia berubah menjadi suatu benda yang sangat potensial dan sangat dihargai serta dipercaya dalam segala hal.
Akal adalah anugrah yang luar biasa, dan dengan benda ini manusia diangkat menjadi khalifah di bumi setelah sebelumnya gunung menolak, akal yang memulyakan manusia daripada hewan namun dengan akal ini pula manusia terpuruk lebih hina daripada hewan. Karakter ilmu informatika yang bersumber dari negara-negara Barat yang notabene sekuler, ‘ma lillah lillah wa ma liqaisir liqaisir’, urusan yang berhubungan dengan Allah adalah urusan Allah sedang urusan yang berhubungan dengan urusan manusia ialah milik manusia, sangat membahayakan pemikiran kaum muslimin yang pada hari ini telah tertimpa penyakit ‘fitnah syahwat’ (fitnah kebebasan mengumbar hawa nafsu) dan ‘fitnah syubhat’ (fitnah kerancuan pemikiran dalam memahami agama). Dampak yang sangat jelas yang sering terlihat adalah rasa sombong, riya`, sum`ah bahkan sering terjadi menghina Allah dan rasul baik secara sadar maupun tidak sadar.
Teknologi dengan segala literatur referensi Barat memaksa kita untuk memaksimalkan kemampuan akal tanpa melibatkan sang Pencipta akal sedikitpun. Betapa banyaknya programer muslimin lupa ketika ia mengetikkan:
#!/usr/share/python
a=10
b=5
hasil = a * b
print “hasil ”, hasil
sebuah program untuk perkalian kemudian ia eksekusi
./python kali.py
hasil 50
Dan program sesuai dengan yang ia kehendaki namun lupa…..Lupa Allahlah yang mengizinkan program tersebut berjalan dengan baik, bila Allah berkehendak tidak mengizinkan maka program tersebut tak mungkin akan berhasil walaupun alqoritma dan sintak tak ada kesalahan
“KepunyaaNyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan dan Dia Maha Kuasa atas segala-galanya” (Al Hadid 2).
Inilah akal manusia, manusia dapat beribadah dengan baik bila akalnya baik namun manusia hancur juga karena akalnya. Allah menjuluki kaum Nasrani dengan ‘dholal’ sesat sebab mereka mengadakan peribadahan dengan kebodohannya dan Allah menjuluki kaum Yahudi dengan ‘maghdub’ dimurkai sebab mereka mengetahui kebenaran tetapi menentang dan melawan Allah dengan anugrah modal kemampuan akal mereka yang rata-rata cerdas. Akibat over action penggunaan akal, penilaian positif dan negatif dinilai dengan pertimbangan akal, bahkan agamapun ditimbang dengan akal. Syariah seperti shalat, haji, zakat, jihad, muamalat, tata negara sebagai bagian dari fiqh ibadah diberlakukan sesuai kehendak akal. Kaedah-kaedah aqidah semacam iman, islam, tauhid, syirik juga diputuskan dengan akal. Lalu muncullah berbagai macam koreksi, pandangan, pemikiran, kritisan, pembaharuan, transformasi menurut hawa nafsu, ujungnya manusia menggugat Penciptanya.
Suatu saat terjadi dialog antara seorang ilmuwan muslim Mahmud Abu Rayah dengan para ulama Al Azhar. Mahmud Abu Rayah bertanya,” Apa pendapat kalian tentang Thomas Alfa Edison, si penemu lampu pijar ?” Mereka menjawab,” Akan masuk neraka.” Maka Mahmud Abu Rayah menggugat,” Apakah setelah ia menerangi dunia seluruhnya, sampai masjid dan rumah kalian, ia tetap masuk neraka?” Para ulama menjawab,” Ya, sekalipun ia berjasa seperti itu, karena ia tak mengucapkan syahadatain.” Mahmud Abu Rayah menggugat lagi,” Kalau orang-orang dan tokoh-tokoh ternama dunia yang telah mencurahkan hidupnya untuk kesejahteraan umat manusia menurut kalian secara syar’I tak mungkin masuk surga, maka secara akal bukankah mungkin mereka masuk surga dengan rahmat Allah dengan besarnya jasa mereka itu?”
Mirip dengan kisah ini adalah Fahmi Huwaidi yang menulis dalam majalah Al Araby edisi Rabiul Awal 1401 H dengan judul Al muslimun wa al akhorun. Ia menggugat seorang khathib Jum’at yang menyatakan umat Islam sebaik-baik umat yang dikelurkan untuk umat manusia (dinyatakan Allah dalam QS. Ali Imran :110) dan khathib itu membaca doa yang mendoakan agar orang-orang kafir dicerai beraikan oleh Allah dan dilaknat. Fahmi Huwaidi menceritakan,” Saya duduk di shaf pertama dalam masjid dengan karpet halus made in Jerman Barat, dibawah AC made in Amerika, diterangi lampu-lampu made in Hongaria, sementara suara khathib menggaung melalui pengeras suara made in Belanda. Ketika syaikh itu turun dari mimbar, saya segera mendekatinya untuk memegang tangannya yang dibalut kain dari Inggris dan sorban dari sutra Jepang Tangannya dilingkari jam Zodiak made in Swis, sementara di samping mimbar ada sepatu mengkilap hitam made in Italia.”
Menurut akal Mahmud Abu Rayah dan Fahmi Huwaidi, kemajuan industri dan teknologi mereka sudah cukup untuk memberi syafa’at bagi orang-orang kafir di hari kiamat nanti. Ia berpikir pencipta istana megah Kisra, filsafat orang-orang Yunani Kuno, Einsten dengan nuklirya, Dolby dengan stereonya, Jacob Vehicle dengan sistem remnya, Linus Torvald dengan Linuxnya, dst cukup untuk menjamin tiket ke surga, tak peduli mereka berbuat syirik dan kufur. Suatu pemikiran yang menurut mereka adil, moderat dan masuk akal namun secara aqidah sangat rusak dan menyesatkan. Inilah pemikiran para ilmuwan Dr. Muhammad Imarah, Fahmi Huwaidi, DR. Mahmud Abu Rayah, DR. Abdul Aziz Kamil dan Said Asymawi berdasar ayat “Sesungguhnya orang-orang mukmin orang-orang Yahudi, nasrani dan orang-orang shabiin, yang benar-benar beriman pada Allah dan hari akherat serta mengerjakan perbuatan yang baik, mereka akan memperoleh pahala dari Tuhannya, dan mereka tidak akan merasa ketakutan dan berduka cita” (QS Al-Baqarah:62).
Banyak lagi intelektual muslim yang over dalam berintelek dan membabat uluhiyah Allah. Contoh-contoh perkataan para penyembah akal yang telah terkontaminasi Barat yang lain diantaranya:
1. NurCholis Madjid:
- “Amerika pembangunannya pesat, tanpa teriak-teriak Taqwa!”. (Anatomi Budak- budak Kuffar VIII dan Paramadina.Com sub.Tokoh. Up date:2/2/’02)
- “Jilbab itu hanyalah simbolisme saja tidak ada urusannya dengan masalah menjalankan syari’ah”
2. Ahmad Wahib:
- “Islam itu adalah statis, agama itu tidak mampu meresapi masalah-masalah dunia, agama Islam yang kita fahami adalah agam Sekularistik, agama untuk orang awwam yang kurang berfikir, agama sudah mati, Islam merupakan nafas pribadi, akan tercipta berjuta-juta agama dan madzhab”
- “Nabi muhammad pelaku sekularisasi atas hadist, Karl Mark dan Fredrirck Engels lebih hebat dari utusan Tuhan tersebut (nabi Muhammad saw), dan saya merindukan nabi yang lain yang dapat berbicara dalam level Internasional”
- “Al-Qur’an banyak ayat-ayatnya yang tidak dipakai lagi, al Qur’an merupakan Sekulerisasai ajaran Islam di zaman Nabi, kembali ke al Qur’an akan menimbulkan anti kebudayaan, al Qur’an bukan sumber ajaran tuhan!”
- “Tuhan beberapa ajaran-Nya jelek, dan beberapa ajaran manusia jauh lebih baik, Tuhan kalau yang dimasjid dan di langgar tidak lebih mulia dari hantu yang menakutkan dengan neraka ditangan kanan-Nya dan pecut ditangan Kiri-Nya”. (Pergolakan Pemikiran Islam, Abdul Wahib)
3. Ulil Abshor Abdalla :
- “Menurut saya beragama searah 360 derajat/kaffah itu tidak sehat dilihat dari pelbagai segi,..Ambillah contoh, kalau kita mau hidup beragama (ber-Islam) secara kaffah maka konsekwensinya adalah :boleh jadi seluruh industri-industri hiburan modern sekarang harus dihentikan. Kita tidak bisa lagi menikmati film-film Holywood. Padahal, industri hiburan menempati kedudukan yang sangat penting dalam zaman modern.”
- “…. Islam liberal bisa menerima bentuk negara Sekuler yang lebih unggul dari negara ala kaum fundamentalis… sebab negara Sekuler bisa menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan”
4. A.Rumadi,IAIN Jakarta :” Soal agama ‘kaffah’ menurut saya, argumentasi konvensional sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Pemahaman Islam sebagai agama yang ‘serba meliputi’, menyeluruh dan seterusnya merupakan akal-akalan ‘misionaris’ Islam untuk menyedot pendukung. ke-kafah-an seolah identik dengan jaminan keselamatan seorang hanya dengan memeluk agama itu cukup dengan mengucapkan ‘syahadat’”.
5. Lutfi Asysyaukani. :”….jadi ‘kaffah’ itu saya kira tak ada hubungannya dengan ‘berislam secara total’ seperti selama ini dipahami, tapi hanyalah pesan untuk menghindari sinkretisme.”
6. Thoha Husain “… Ambillah Barat, yang manis dan yang pahit, yang baik dan yang buruk “.(Anatomi Budak-Budak Kufar 47)
7. Munawir Sadzali :
- ” …..Hanya dengan mengirim sarjana-sarjana IAIN ke Barat untuk mendalami Islam, maka Islam di Indonesia akan maju.” ( Anatomi Budak-Budak Kufar 47)
- ” ….Hukum waris harus diganti karena sudah tidak relevan lagi dengan kemajuan zaman.” (Islam liberal,sekuleris berkedok Muslim. Website.hidayatullah.com edisi Februari. Update :9/2/’02)
8. Mustafa Kamal: “Sesungguhnya gagasan yang ingin diyakinkan oleh agam-agama yang ada sekarang (Islam) bahwa Allah yang Maha Esa dan bahwa Allah yang menciptakan jagad alam ini. Namun dalam perkembangannya, dunia ilmu pengetahuan sedikit demi sedikit mulai menyimpulkan bahwa gagasan tersebut salah. Di dunia ini tidak ada yang bernama Allah dan pemikiran tidak adanya Allah ini telah berkembang luas dikalangan pemikir (Wajah Dunia Islam, 317)
Mereka semua ini merupakan manusia-manusia keblinger dalam mempergunakan otak, walaupun semua pemilik perkataan ini bukanlah ilmuwan informatika namun mereka adalah contoh orang-orang yang telah termakan konsep pemikiran kufar yang selalu menalar segala sesuatunya dengan akal. Dan bila kita mau menilik para pakar, dosen ataupun pelajar iinformatika ataupun ilmu teknologi lainnya, sungguh sangat mudah kita dapatkan perkataan-perkataan tak jauh seperti ini yang dalam aqidah Islam dikatagorikan telah menghina Allah, rasul dan agama.
C. Medan yang bukan garapan akal
Islam adalah agama yang yang paling sempurna menghargai akal, Islam adalah agama wahyu dan akal. Wahyu mempunyai kedudukan tersendiri, begitu juga akal. Islam menghargai akal dan menempatkannya pada tempat yang layak, sesuai fitrah manusia dan fungsi akal itu sendiri. Bila kita membuka Al Qur’an dan As Sunah, kita akan menemukan betapa tingginya penghargaan Islam terhadap akal:
- Allah tidak berbicara kecuali dengan orang-orang yang berakal yang mahu memahami syariat dan dien Allah, ”Dan sebagai peringatan bagi orang-orang yang berakal.” (12:111,29:35,2:269).
- Beban agama hanya diberikan pada mukalaf, yaitu dewasa dan berakal.
- Allah mencela orang-orang yang tidak memanfaaatkan akalnya,sebagaimana penyesalan penduduk neraka,”Dan mereka berkata, ‘Seandainya kami dulu mendengar atau berakal (memikirkan) tentulah kami tidak menjadi penduduk neraka Sa’ir (yang menyala-nyala).” (QS. Al Mulk :10).
- Allah memuji pekerjaan-pekerjaan akal, yaitu tadabur, tafakur dan lain sebagainya. Allah berfirman,” Apakah mereka tidak mentadaburi Al Qur’an.” [QS. AN Nisa’ :82]. Juga firman-Nya,”Supaya kalian berfikir.” Juga firman-Nya,” Maka apakah kalian tidak berakal (berfikir)?”.
- Al Qur’an memuat banyak ayat yang berbicara kepada manusia sesuai akal penalaran dan logika. Allah berfirman,” Kalaulah Al Qur’an itu berasal dari selain Allah tentulah mereka akan mendapati banyak perselisihan dalam Al Qur’an.” (QS. AN Nisa’ :82). ” Kalau di langit dan bumi itu ada banyak tuhan tentulah keduanya telah rusak.” .” Apakah mereka diciptakan dari barang yang tidak ada ataukah mereka menciptakan diri mereka sendiri?”
- Allah mencela taklid buta (asal ikut pendapat orang tanpa dasar yang jelas) yang merupakan penghalang bekerjanya akal. Allah berfirman, “Dan jika dikatakan kepada mereka ikutilah apa yang diturunkan Allah mereka mengatakan,”Kami akan mengikuti apa yang kami dapatkan dari orang-orang tua kami . (apakah mereka akan mengikuti bapak-bapak mereka) sekalipun mereka tidak berakal sedikitpun dan tidak mendapat petunjuk ?” (QS. Al Baqarah :170)
- Allah memuji hamba-Nya yang menggunakan akalnya untuk mencari dan mengikuti kebenaran. “Maka berilah kabar gembira hamba-hamba-Ku. Yaitu orang-orang yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling baik. Mereka itulah orang-orang yang diberi hidayah Allah dan mereka itulah orang-orang yang berakal.”
- Allah menunjukkan hal-hal yang menjadi bidang garap pekerjaan akal. Seperti disebutkan dalam ayat, ”Apakah mereka tidak melihat langit yang berada di atas mereka, bagaimana Kami membangunnya dan menghiasinya tanpa ada …” [QS. Qaaf:].
- Allah menunjukkan hal-hal yang berada diluar jangkauan akal manusia dan akal tidak boleh ikut bermain di dalamnya. Firman Allah, ”Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah,” Ruh itu termasuk urusan Allah saja dan kalian tidak diberi ilmu kecuali sedikit.”
- Anjuran untuk menggunakan qiyas yang benar. Seperti firman Allah, ”Maka ambilah pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai bashirah.”[1]
Konsep Islam telah begitu teliti dalam mengatur seluruh kehidupan manusia sampaipun pengaturan akan batasan-batasan akal dalam mengeksplorasikan ide-idenya dan riset. Para ulama telah menjelaskan rambu-rambu yang akal tidak boleh mencampurinya sebagai berikut:
- Mughayabat (hal-hal yang ghaib). Urusan keghaiban merupakan urusan Allah, kewajiban manusia hanyalah mengimaninya saja.
- Qath’iyah. Hukum-hukum yang telah ditentukan oleh nash secara tegas di dalam Al Qur’an dan As Sunah. Tugas akal hanyalah memerintahkan hati untuk menyerah, tunduk iman kemudian mengamalkannya. Karena itu akal seorang muslim tak akan membantah kenapa sholat Maghrib tiga raka’at, sholat Isya’ empat raka’at sementara sholat shubuh hanya dua raka’at. Ia tak akan membantah kenapa bagian warisan bagi anak laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan, kenapa perempuan diharamkan menjadi kepala negara, kenapa jilbab diwajibkan bagi wanita baligh, kenapa perempuan harus bersama mahramnya ketika bepergian, kenapa Islam mensyariatkan jihad padahal jihad membawa konsekuensi hilangnya nyawa dan rusaknya harta benda serta teknologi, kenapa ada syariat rajam atau potong tangan dan kenapa-kenapa lainnya.
- Arkan (rukun-rukun). Rukun iman yang enam, rukun Islam yang lima tak bisa dimodifikasi dengan akal. Semuanya baku ditetapkan Allah, harus diimani dan dilaksanakan dengan penuh kerelaan ataupun terpaksa. Hari ini banyak sekali para cendekiawan merusak dan menghancurkan rukun-rukun yang paten ini. Dr. Husain Ahmad Amin diikuti Dr. Harun Nasution menulis dalam buku-bukunya atas sikapnya yang menolak iman kepada takdir dengan alasan: iman pada taqdir merupakan aqidah orang badui (suku terpencil/terasing/primitif). Ia menulis,” Kehidupan orang-orang badui bersandar hampir secara totalitas kepada air dan rumput Mereka mendapati hujan itu keselamatan sedang kekeringan itu kehancuran.. keduanya sama sekali bukan dari usahanya, ia tak punya kemampuan untuk itu (mendatangkan hujan dan rumput)…Inilah aqidah badui…yang berpindah ke dalam Islam setelah ide tentang Allah menempati ide tentang daharu (perjalanan waktu adalah pengatur segala yang ada di alam semesta)[2].
- Mutasyabihat. Ayat-ayat yang hanya Allah saja yang mengetahui maknanya, seperti rahasia alam ghaib, surga dan neraka, waktu terjadinya kiamat dan lain sbagaianya. Termasuk ayat mutasyabihat adalah ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali setelah diselidiki secara mendalam.[3] Dalam ayat-ayat seperti ini, akal sama sekali tidak boleh berijtihad. Akal harus menerima wahyu dengan sepenuh hati, tanpa membantah sedikitpun. Akal harus menyatakan,”Kami mengimaninya, semuanya itu dari sisi Rabb Kami.” (QS. Ali Imran :7).
- Dzat Allah Ta’ala. Islam telah mengajarkan sikap yang benar dalam menetapkan setiap nash yang menyatakan ‘asma wa sifat’ nama dan sifat Allah, tanpa melakukan ‘ta’wil’ mencari makna selain makna yang dhahir dari nash tersebut, ‘tasybih’ penyerupaan, maupun ‘ta’thil’ meniadakan dan tidak mengakui, demikianlah keterangan Imam Malik. Hal ini bukan untuk membatasi akal, namun sebagai sikap mengakui kelemahan akal.
- Hakimiyah. Hak membuat UU di tangan Allah merupakan salah satu pokok aqidah yang tidak bisa ditawar lagi. Akal manusia tak bisa membantahnya, karena Allah yang menciptakan alam semesta, Allah pula yang mampu menentukan aturan yang cocok sejak awal penciptaan sampai hari kiamat nanti. Dengan demikian, ‘tathbiqus syariah’ penerapan syariat islam merupakan pengakuan akan keterbatasan akal manusia, sekaligus pengakuan rububiyah dan uluhiyah Allah.
D. Problem Solving
Agar akal tidak menyeleweng terpengaruh karakter konsep penyebaran teknologi Barat yang memisahkan Uluhiyatullah, perlu dibangun suatu benteng yang kokoh dan kontinyu untuk memfilter agar pemahaman agama ilmuwan atau calon ilmuwan muslimin selamat. Kaum muslimin harus mengerti fungsi akal sebagaimana di terangkan oleh Ibnu Taimiyah:
“Akal adalah syarat untuk mengetahui ilmu-ilmu dan sempurna serta baiknya pekerjaan. Dengannya ilmu suatu amalan yang dikerjakan menjadi sempurna, namun ia tidak berdiri sendiri, ia hanyalah instink dalam jiwa dan kekuatan (potensi) dalam jiwa. Kedudukannya bagaikan kekuatan memandang dalam mata. Jika ia bertemu dengan cahaya iman dan Al qur’an maka ia bagaikan cahaya mata jika bertemu dengan cahaya matahari dan api. Namun kala akal sendirian, ia tak akan bisa melihat apa yang ia tak sanggup meraihnya. Jika tak ada secara keseluruhan (iman, Al Qur’an dan akal), seluruh perkataan dan perbuatan menjadi ‘umuran hayawaniyah’ nafsu kebinatangan semata, kadang ada rasa cinta, perasaan dan rindu seperti dalam diri binatang. Tanpa adanya akal, manusia (sangat lemah), sedang perkataan yang bertentangan dengan akal adalah batil..”[4]
Dr. Abdullah Abdul Muhsin At Turki dan Syu’aib Al-Arnauth juga mewanti-wanti, ” Akal adalah salah satu wasilah yang terbatas dari sekian wasilah untuk mencapai pengetahuan. Akal tak bisa mengetahui selain hal-hal yang terindrai secara yakin, dan bisa mengetahui hal-hal ghaib secara tashawur (pemahaman) saja, bukan secara yakin. Ahlu sunah beriman dengan cara mengitsbatkan apa yang dikhabarkan oleh nash tentang hal-hal ghaib dan membenarkannya, tanpa membahas lagi kaifiyahnya (bagaimananya) karena hal itu bukan kemampauan akal.”[5]
Ibnu Khaldun juga berkata,” Hanya saja anda jangan berambisi menimbang dengan akal masalah tauhid, akhirat, hakekat nubuwah, hakekat sifat-sifat Ilahiyah dan setiap hal yang diluar kemampuannya, karena berarti ambisi yang mustahil. Permisalannya bagaikan seorang melihat timbangan emas, lalu berambisi menimbang gunung-gunung dengan timbangan itu. Bukannya timbangannya yang tak benar, namun akalnya yang tak mampu…”[6]
Benteng selanjutnya adalah memahami karakter akal seorang muslim seperti yang diungkap oleh Dr. Abdus Salam Al Basyuni :
Pertama. Akal muslim
Maknanya akal yang benar-benar tunduk kepada ketentuan Allah Ta’ala. Ia mengerti betul medan mana saja yang harus digeluti dan medan mana yang ia tidak boleh turut campur di dalamnya. Akal muslim berarti akal yang beragama bukan akal seorang atheis. Dalam medan yang dilarang bergerak, ia berhenti dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada nash secara sempurna karena ia menyadari memang ada medan yang di luar kemampuan dan jangkauannya. Setelah meneliti, akal menyadari bahwa syar’I tak mungkin memerintahkan hal yang membawa kemudharatan bagi manusia. Akal menyadari antara hati dan akal beredar di orbit yang sama, tak mungkin keduanya bertabrakan atau saling menghancurkan. Akal dan hati laksana bulan dan planet. Akal mengikuti hati yang dibimbing wahyu, sebagaimana bulan beredar mengelilingi planet.
Dalam medan yang diperbolehkan, akal bekerja mengerahkan segenap kemampuannya untuk berdaya upaya bagi kesejahteraan manusia, dengan satu syarat tidak keluar atau menentang wahyu. Dalam medan yang dibolehkan bergerak inilah, akal benar-benar bermanfaaat melahirkan berbagai kemajuan fisik yang membawa kesejahteraan hidup manusia. Akal menjadi awal dari perbagai penemuan dan kemajuan di bidang industri, iptek, kesehatan dan bidang kehidupan lainanya.
Ustadz Muhammad Qutb menjelaskan hubungan akal dengan wahyu dengan jelas. Kata beliau, ” Jadi wahyu dan akal bukanlah dua hal yang seimbang (serupa, setara dan sama). Tapi yang pertama (wahyu) lebih besar dan lebih sempurna dari yang kedua. Yang pertama datang untuk menjadi pokok bagi yang kedua dan mizan (neraca timbangan) untuk menguji konsep dan pemahaman yang kedua (akal) dan membenarkan kekurangan dan penyelewengan yang kedua. Antara keduaaya —tak diragukan lagi — memang ada kesesuaian namun atas dasar ini (sama-sama bekerja demi kemaslahatan manusia namun wahyu mengendalikan dan mengawasi akal—pent), bukan atas dasar menganggap keduanya sebagai dua hal sebanding.”
Dari sini akal seorang muslim adalah akal ghoibi, dalam artian ia mengimani hal-hal yang ghoib dan mu’jizat-mu’jizat yang telah ditetapkan Alalh sekalipun tak bisa dicerna akal sehat. Hal-hal yang ghaib dan mu’jizat para nabi memang seratus persen dari Allah, karena itu para nabi sendiri mendatangkan mu’jizat itu bukan atas kemauan mereka sendiri, namun sekali lagi atas kehedak Allah ” Katakanlah Maha Suci Rabbku. Bukankah aku tak lain hanyalah seorang manusia biasa dan seorang rasul.” (QS. Al Isra’ :93)
Kedua. Akal Ushuli Salafy
Artinya akal yang benar-benar mengakui dasar-dasar dan pokok-pokok sumber ajaran Islam :
- Mengakui dan menagimani Al Qur’an Al Karim, berikut ‘muhkam’ hukum yang jelas dan ‘mutasyabihnya’ tersamar, ‘qath’i dilalah’ dalil yang baku dan ‘dhoni’ dialahnya’ dugaan.
- Menghormati dan berkhidmat kepada sunah nabawiyah, menerima yang sunah yang shahih yang diterima oleh umat setelah diperiksa oleh para pakar hadits melalui kaidah-kaidah ‘musthalah hadits’ . Akal seorang muslim selalu menerima setiap hadits yang shahih, tanpa membuat dikotomi hadits ahad, hadits mutawatir, hadits masalah hukum, hadits masalah aqidah dst seperti dilakukan oleh kaum Mu’tazilah.
- Mengakui ijma’ (kesepakatan) dan mencari hal-hal yang telah menjadi ijma’ para ulama. Manakala suatu masalah telah menjadi ijma’, akal tak boleh mencari-cari celah untuk menemukan pendapat yang lain.
- Mengakui qiyas shahih sebagai dasar keempat bagi ijtihad. Qiyas yang shahih akan membimbing akal menuju kesesuaian ajaran Islam dengan berbagai perkembangan zaman, pun ijtihad ini yang menentukan adalah para ulama yang memiliki kemampuan untuk berijtihad bukan ijtihad made in sendiri.
Karena itu akal seorang muslim menolak berbagai pemikiran yang merusak keempat dasar Islam ini. Akal menolak :
- Orang-orang yang meragukan Al Qur’an baik seluruhnya, sebagiannya atau meski satu huruf sekalipun. Karena itu kita menolak anggapan dan tuduhan bohong yang mengatakan ada mushaf lain selain Al Qur’an yang lebh lengkap seperti pendapat Rafidzah, atau yang mengatakan Al Qur’an adalah kisah fiktif biasa layaknya novel picisan seperti yang dikatakan Thoha Husain dalam buku Al Syi’ru al Jahili’ atau yang meragukan adanya Nabi Ibrahim seperti dikatakan oleh Muhammad Ahmad Khalfullah dalam disertasinya, Al Qashash al Fanni fi al Qur’anil Karim. Sebagaimana kita juga menolak orang-orang yang memasukkan teori-teori impor dari orang kafir untuk memahamai Al Qur’an seperti teori materialistik, sosialisme dst.
- Menolak orang-orang yang mengingkari as sunah, yang menyerang dan menghujat manhaj (metode) penulisan hadits, para perawi-nya, mukharijnya, kaedah mustholah hadits dst.
- Menolak orang-orang yang hanya menerima sunah bila sesuai dengan kepentingan pribadi maupun kelompok, namun menolaknya manakala tidak memberi keuntungan kepadanya, sebagaimana disebutkan Allah dalam QS. An Nur : 47-50 “Mereka berkata: ‘Kami beriman pada Allah dan rasul’. Tetapi setelah itu sebagian mereka ada yang berpaling. Sebenarnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasulNya, supaya ia dapat mengadili perkara di antara mereka, ada segolongan diantara mereka yang menolak untuk datang. Tetapi kalau putusan hukum akan menguntungkan mereka, mereka datang dengan patuh memenuhi panggilan rasul itu”.
- Menolak orang-orang yang tidak menerima dan mengingkari qiyas, karena qiyas seperti disebut oleh imam Al Asnawi adalah ‘qoidatu al ijtihad wa al mushil ila al ahkam allati laa hasro laha’ kaedah ijtihad dan hal yang menghasilkan keputusan-keputusan hukum yang jauh tak terbatas.
- Selain empat dasar ini, akal seorang muslim juga menerapkan kaedah-kaedah yang telah disepakati untuk melakukan ijtihad seperti ushul fiqh, ilmu tentang waqi’ (kondisi), ilmu tentang bahasa arab [Nahwu, Sharaf, Balaghah dll], ilmu tentang asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), nasikh dan mansukh (ayat-ayat yang menghapus dan terhapus) dll.
Ketiga. Akal Mubdi’ Mutathowir
Artinya akal yang senantiasa bekerja, menolak kejumudan (stagnan) dan statis, menolak sikap taklid (ikut-ikutan tanpa mengerti landasannya). “Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama, dan kami akan mengikuti saja jejak mereka” (QS. Zukhruf :22-24). Islam memberi kekebasan akal untuk bekerja —selama bukan dalam masalah mutasyabihat, qath’iyah dam hal-hal ghoib—dengan menggariskan beberapa rambu-rambu utama, sebagaimana disebut oleh Dr.Mahmud Hamdi Zaqzuq dalam bukunya Daurul Islam fi Tathowuri al Fikr al Falsafi:
- Menolak taqlid buta, tapi harus mempunyai tujuan dan manhaj yang jelas.
- Memberantas pemikiran khurafat, perdukunan dan sihir yang dibangun di atas dasar dugaan belaka dan kebohongan.
- Menekankan bahwa masing-masing individu mempunyai tanggung jawab di hadapan Allah, sehingga manusia tak boleh asal ikut-ikutan dengan orang. Di lain pihak, Islam menjadikan hifdhu akal (memelihara akal) termasuk salah satu maqashidu syari’ah (tujuan diberlakukannya syariah), dengan jalan mengharamkan segala hal yang merusak, mengancam, dan mengekang akal sekalipun pelakunya manusia itu sendiri.
- Dengan aqidah tauhid, Islam membebaskan manusia dari ketakutan kepada kekuasaan atas nama agama menuju keberanian menyuarakan kebenaran sekalipun berisiko. Karena itu Rasulullah menyatakan, termasuk jihad yang paling agung adalah menyuarakan kalimat kebenaran di hadapan penguasa yang dzalim.
- Dr. Abdu Salam Basyuni menambahkan satu hal lagi, yaitu Islam tidak menyamakan antara seorang mujtahid dengan seorang muqalid (pak panut, pak turut), antara seorang ‘akil (berakal) dengan seorang ghafil (lalai). Islam meninggikan orang-orang yang beriman dan beramal beberapa derajat di atas orang mukmin biasa. Islam menghargai ilmu dan menyatakan keutamaannya, seperti seluruh makhluk di alam sampai ikan di lautan ikut memintakan ampun bagi pengajar kebaikan dan keutamaan-keutamaan lain.
Keempat. Akal Bahatsah
Artinya Akal yang mencari dalil dan hujah. Karena itu Islam menantang orang yang selalu asal berbicara tapi tak pernah mendatangkan hujah syari seperti diungkap oleh Allah: “Dan mereka berkata: ‘Tidak akan masuk ke sorga kecuali orang Yahudi atau Nasrani’. Itu hanya angan-angan kosong mereka belaka. ‘kemukakanlah alasanmu jika kamu memang benar’” (2:111), dan “Bahkan mereka masih mengambil tuhan-tuhan selain Dia. Katakanlah kepadanya: ‘Coba kemukakan dalil-dalil atas kebenaran ihak kalian!. Sedang dalil-dalil dari pihakku inilah Al-Quran, yaitu kitab yang diturunkan kepada orang-orang yang bersamaku dan kitab-kitab yang dituurnkan sebelumku. Tetapi mayoritas mereka tidak mengenal kebenaran karena itu mereka berpaling.” (21:24) dan (27:64).
Inilah manhaj ilmi yang benar, bukan layaknya para paranormal dan “orang pintar” yang membangun persepsi dan mengeluaran penyataan-pernyataan atas dasar dugaan dan bisikan setan, bukan pula atas dasar penindasan dengan menamakan diri wakil Tuhan seperti para pendeta gereja, bukan pula atas dasar teror istilah sebagaimana ditempuh para rasionalist dan orientalis barat hari ini. Akal juga mengakui, dalil yang dipakai harus dalil yang shahih.
Kelima. Akal Hiyadi (netral)
Artinya menerima kebenaran darimanapun datangnya, karena kebenaran adalah hikmah yang hilang, di manapun kaum muslimin mendapatkannya mereka lebih berhak memilikinya. Selain itu, sifat ini juga berarti mengakui kesalahan. Bila pendapatnya salah, ia akan menarik pendapat itu tanpa ada sikap arogansi sedikitpun. Begitu juga bila tidak mengetahui tentang suatu masalah, ia akan jujur mengatakan “saya tidak tahu”, sebagaimana selalu dicontohkan para ulama salaf.
Keenam. Akal Syumuli
Artinya memandang seluruh aspek kehidupan dari kaca mata Islam Akal seorang muslim bukanlah akal yang menerima sebagian wahyu yang sesuai dengan hawa nafsunya namun menolak sebagian wahyu yang bertentangan dengan hawa nafsunya. Akal seorang selalu menerima wahyu secara totalitas, baik sesuai dengan hawa nafsu maupun tidak. Akal seorang muslim juga selalu menyeimbangkan antara ilmu dan amal, amalanya selalu membenarkan ilmunya.
Ketujuh. Akal Marinun
Artinya akal yang bergerak dengan baik antara tsawabit (hal-hal yang baku/ qath’i) dan mutaghayirat (hal-hal yang dhani/nisbi/tidak baku). Ada ajaran Islam yang qath’I yang tidak menerima perubahan yaitu pokok-pokok aqidah, ibadah dan akhlak (juga disebut dengan istilah tauqifiyah), namun ada juga ajaran Islam yang bisa berubah sesuai perubahan tempat dan waktu tanpa merubah esensinya, yang disebut dengan istilah masalah mutaghayirat.
Wujud dari sifat ini adalah :
- Akal yang mengakui bahwa fatwa bisa berubah sesuai perubahan waktu, ruang dan kondisi.
- Akal yang bergerak antara dhahir nash dan qawaid syar’I yang bersifat kuliyah.
- Mengambil seluruh nash dalam seluruh masalah baru kemudian menarik kesimpulan.
Keteguhannya nampak dalam sikap memegang tsawabit dan tauqifiyah, sementara sikap keelastisannya dan kesesuaiannya dengan perkembangan zaman nampak dalam sikap memegang mutaghayirat dalam beberapa masalah yang berkembang sesuai perkembangan zaman. Dr. Abdu Salam Basyuni menerangkan, “memegang teguh tasawabit sama sekali bukan langkah mundur, statis ataupun kuno, namun berarti iqrar waqi’I biadamiyati adamy dan rububiyati rabb (pengakuan realita kemanusiaan manusia dan ketuhanan Rabb (Allah), dan ta’kid ‘ala mahdudiyati al thaqah al mudrikah fi bani Insan (menguatkan/pengakuan atas keterbatasan kemampuan akal).
Karena itu akal seorang muslim mengakui rukun iman yang enam, mengakui tujuan hidup manusia adalah beribadah kepada Allah semata, agama yang benar hanya Islam, rukun iman adalah syarat diterimanya amal, dst. Semua ini tsawabit yang tak boleh dirubah dan tak menerima pengembangan lagi.
Kedelapan. Akal Musta’lin
Artinya akal yang mempunyai kemuliaan dan harga diri. Akal seorang muslim menolak segala sistem dan ide asing dari luar yang bertentangan dengan Islam. Ia melihat jahiliyah yang hari ini menguasai dunia namun tak terpengaruh dan tak terbuat terkagum-kagum olehnya. Ia tak terkecoh oleh sistem kapitalisme, sosialisme, sekulerisme, demokrasi, dan sistem-sistem jahiliyah lainnya. Setiap definisi yang lahir dari produk pemikiran mempunyai sejarah dan ideologi sendiri, seperti sosialisme, materialisme, kapitalisme, demokrasi, sekulerisasi dst.
Akal seorang muslim tidak memasukkan unsur-unsur asing ini untuk mengkopi ulang Islam dengan cetakan baru yang tak terdapat di dalamnya sama sekali ajaran Rasulullah. Salafus Sholih telah mencontohkan hal ini, bagaimana Rob’i bin Amir dengan keteguhan sikapnya membuat Rustum dan pasukan Persia jatuh mental. Lihat pula Imam Ibnu Tamiyah dan Al Ghazali yang menghantam filsafat Yunani dan Persia yang hari ini menggejala di mana-mana.
Benteng yang terakhir adalah mengetahui bentuk-bentuk pelecehan terhadap agama, Allah dan rasulnya serta resiko hukumannya dengan harapan timbul rasa takut akan dan berhati-hati dalam semua tindakan baik perkataan, perbuatan maupun pemikiran.
E. Penutup
Betapa bahayanya suatu teknologi merubah pemahaman agama seorang muslim, padahal teknologi tersebut milik Allah semata. Namun karena Allah berkehendak hari ini teknologi dikuasakan atas kaum kufar maka kaum muslimin dengan terpaksa terhina dengan menuntut ilmu pada manusia-manusia yang tidak paham kalimat syahadat yaitu; tercampurnya konsep jahiliyah dengan konsep islam, terlebih lagi kondisi keilmuwan dien umat hari ini sangatlah memperhatinkan terombang ambing dalam berbagai aneka ragam konsep keislaman yang disuguhkan oleh akal-akal manusia. Lalu muslimpun berpaling menyatakan ada yang terbaik daripada Islam. Hal ini malahan berbalik daripada beberapa ilmuwan Barat yang mengakui keunggulan konsep Islam, Bernard Shaw seorang filosof Inggris:
“Agama Muhammad telah menjadi tolak ukur yang tinggi karena ia mengandung dinamika yang menakjubkan. Dan Islam adalah satu-satunya agama yang memiliki sifat merubah seluruh fase kehidupan yang berbeda-beda. Karenanya saya berpendapat, Muhammad harus diakui sebagai penyelamat ummat manusia. Dan jika orang seperti Muhammad memegang tampuk kepemimpinan dunia saat ini, maka ia akan berhasil memecahkan seluruh problematika yang terjadi saat ini”.[7] Wallahu a’lam bisshowab
Seluruh yang benar hanyalah milik Allah yang tiada Illah kecuali Dia, dan kesalahan-kesalahan dalam tugas ini meliputi kesalahan atau ketidak tepatan penterjemahan, kesalahan kutipan maupun kesalahan memahami nash adalah dari saya dan setan, semoga Allah mengampuni saya, Anda dan muslimin.
Bahan Bacaan
- Syarh Aqidah At-Thohawiyah, Izz bin Abdis Salam
- Pendidikan Anak Dalam Islam, DR. Abdullah Nasih Ulwan
- Majalah Hidayatullah
- Majalah Sabili
- Artikel Kedudukan Akal dalam Islam, Aslam
- Majalah Media Dakwah
- Ighatsatul Lahwan, Ibnul Qoyyim Al Jauziyah
- Tsawabit wal Mutaghayirat, DR. Sholah Showi
- Syarh Aqidah Al-Wasithiyah Ibnu Taimiyah
- Mabahist Fi Ulumil Quran, Mana` Qothon
- Wajah Dunia Islam, Dr. Muh Sayyid Al Wakil
- Sorimul Maslul, Syeikh Al-Maqdisi
- Nawaqidul islam, Syeikh Muhammad Abdul Wahab
[1] Al Madkhal Li Dirasati al Aqidah al Islamiyah hal. 40-42, Manhaju al Istidlal ‘Ala Masaili al I’tiqad ‘Inda Ahli Sunah wal Jama’ah 1/168-173
[2] Asatirul Mu’ashirin hal. 144, dari Basyuni hal. 64).
[3] (Mabahits fi Ulumil Qur’an, Manna’ Qathan).
[4] (Majmu’ Fatawa 3/338-39).
[5] (Syarhu Aqidah Thahawiyah hal. 25)
[6] (Syarhu Aqidah Thahawiyah hal. 26)
[7] (Tarbiyatul Aulad Fil Islam, Abdullah Nasih Ulwan).