Benarkah Penentuan Shaum Arafah dan Idul Adha dengan patokan Wukuf di Arafah?

Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Idul Adha ditetapkan berdasarkan waktu wukuf di Arafah. Dengan perkataan lain wukuf itu sebagai standar penetapan Iedul Adha. Istinbath ini ditetapkan berdasarkan sabda Nabi saw. tentang shaum ‘Arafah dalam hadis Abu Qatadah al-Anshari:

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

Berdasarkan penamaan shaum ini dengan “shaumu yaumi ‘arafah” maka dipahami bahwa shaum Arafah itu waktunya harus bersesuaian dengan waktu wukuf di ‘Arafah. Karena Idul Adha didahului oleh shaum hari Arafah, maka Idul Adha pun ditetapkan berdasarkan wukuf di Arafah itu.

Hemat kami, istinbath demikian tidak tepat dilihat dari beberapa aspek:

1. Latar belakang penamaan Arafah

Ibnu Abidin menjelaskan:

عَرَفَةُ إِسْمُ اليَوْمِ وَعَرَفَاتُ إِسْمُ المَكَانِ

“Arafah adalah ismul yaum (nama hari) dan Arafaat adalah ismul makan (nama tempat)” Hasyiah Raddil Mukhtar, II:192

Menurut Imam ar-Raghib, al-Baghawi, dan al-Kirmani Arafah adalah

إِسْمٌ لِلْيَوْمِ التَّاسِعِ مِنْ ذِي الحِجَّةِ

Nama hari ke-9 dari bulan Dzulhijjah.

Hari tersebut dinamakan Arafah berkaitan dengan peristiwa mimpinya Nabi Ibrahim yang diperintah untuk menyembelih anaknya. Pada pagi harinya

فَعَرَفَ أَنَّهُ مِنَ اللهِ فَسُمِّيَ يَوْمَ عَرَفَةَ

“Maka ia mengenal/mengetahui bahwa mimpi itu benar-benar (datang) dari Allah. Maka (hari itu) dinamakan hari Arafah”. Lihat, al-Mughni, III:58

Menurut Imam al-‘Aini dan ar-Raghib Arafat adalah

عَلَمٌ لِهذَا المَكَانِ المَخْصُوصِ

Nama bagi tempat yang khusus ini. (Lihat, Umdatul Qari, I:263; dalam redaksi ar-Raghib: buq’ah makhshushah[tanah/daerah yang khusus] Lihat, al-Mufradat fi Gharibil Quran, hal. 969)

Adapun tempat tersebut dinamakan Arafah berkaitan dengan peristiwa ta’arufnya antara Nabi Adam dan Hawa ditempat itu, sebagaimana dijelaskan Ibnu Abas

وَتَعَارَفَا بِعَرَفَاتِ فَلِذلِكَ سُمِّيَتْ عَرَفَاتِ

Dan keduanya ta’aruf di Arafat, karena itu dinamai ‘Arafat. (Lihat, al-Kamil fit Tarikh, I:12). Keterangan Ibnu Abas itu dijadikan pinjakan oleh para ulama, antara lain Yaqut bin Abdullah al-Hamuwi dalam Mu’jam al-Buldan (IV:104), Ahmad bin Yahya bin al-Murtadha, dalam at-Taj al-Madzhab li Ahkam al-Madzhab, (II:89); ar-Raghib al-Ashfahani dalam al-Mufradat fi Gharibil Quran (hal. 969).

Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa

  • Penamaan Arafah, baik sebagai ismul yaum maupun ismul makan, sudah digunakan sebelum disyariatkan ibadah haji.
  • Penamaan Arafah bukan karena fi’lun (wukuf dalam ibadah haji). Dengan perkataan lain, fi’lun (wukuf dalam ibadah haji) bukan muqaddamah wujud penamaan Arafah.

2. Latar belakang penamaan Shaum dengan Arafah

Nabi menyatakan:

صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ

Kalimat Yaum Arafah disebut idhafah bayaniyyah, yakni bayan zamani (keterangan waktu), bukan idhafah makaniyyah, apalagi idhafah fi’liyyah. Berdasarkan latar belakang penamaan di atas maka struktur kalimat Shaum Yaum Arafah harus dipahami “Shaum pada hari ke-9 bulan Dzulhijjah yang disebut hari Arafah” Dengan demikian, penyandaran kata shaum pada kalimat Yaum ‘Arafah untuk menunjukkan bahwa Yaum Arafah (hari ke-9) itu sebagai muqaddamah wujud, yaitu syarat sahnya shaum tersebut.

Dengan perkataan lain, shaum itu terikat oleh miqat zamani (ketentuan waktu). Apabila struktur kalimat Shaum Yaum Arafah akan dipahami bahwa “shaum itu waktunya harus bersesuaian dengan waktu wukuf di ‘Arafah”, maka harus disertakan qarinah (keterangan pendukung), karena cara pemahaman seperti ini khilaful qiyas (menyalahi kaidah), dalam hal ini kaidah tentang idhafah bayan zamani, juga dalil-dalil tentang shaum itu.  Karena dalam berbagai hadis untuk shaum ini digunakan beberapa sebutan, yaitu:

Baca juga:   Kisah Buya Hamka dan Seputar Pelaksanaan 2 Hari Raya Idul Adha di Indonesia

(a)     Tis’a Dzilhijjah (9 Dzulhijjah)

عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ r  قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ r يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ– رواه أبو داود وأحمد والبيهقي –

Dari sebagian istri Nabi saw., ia berkata, “Rasulullah saw. shaum tis’a Dzilhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan” H.r. Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz VI:418, No. 2081; Ahmad, Musnad Ahmad, 45:311, No. 21302, 53:424. No. 25263, dan al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV:285, Syu’abul Iman, VIII:268

Dalam hadis ini disebut dengan lafal Tis’a Dzilhijjah, yang berarti tanggal 9 Dzulhijjah. Hadis ini memberikan batasan miqat zamani (ketentuan waktu pelaksanaan) shaum ini, yaitu pada tanggal 9 Dzulhijjah.

(2)     Shaum al-‘Asyru

عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ : أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ رَسُولُ اللهِ e  : صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَ العَشْرَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ اْلغَدَاةِ – رواه أحمد و النسائي –

Dari Hafshah, ia berkata,” Empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw. : shaum Asyura, shaum arafah, shaum tiga hari setiap bulan dan dua rakaat qabla subuh.”.H.r. Ahmad, al-Musnad, X : 167. No. 26521 dan an-Nasai, Sunan an-Nasai, II : 238

Kata al-‘Asyru secara umum menunjukkan jumlah 10 hari. Berdasarkan makna umum itu, maka dapat dipahami dari hadis tersebut bahwa Rasul tidak pernah meninggalkan shaum 10 hari bulan Dzulhijjah. Namun pemahaman itu jelas bertentangan dengan ketetapan Nabi sendiri yang melarang shaum pada hari Iedul Adha (10 Dzulhijjah) (Hr. An-Nasai,as-Sunan al-Kubra, II:150) serta penjelasan Aisyah “Aku sama sekali tidak pernah melihat Nabi shaum pada 10 (Dzulhijjah)” (H.r. Muslim)

Dengan demikian kata al-Asyru pada hadis ini sama maksudnya dengan Tis’a Dzilhijjah pada hadis di atas. Adapun penamaan shaum tanggal 9 Dzulhijjah dengan al-‘Asyru, karena hari pelaksanaan shaum tersebut termasuk pada hari-hari al-‘Asyru (10 hari pertama bulan Dzulhijjah) yang agung sebagaimana dinyatakan Rasul dalam hadis sebagai berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلعم  وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ – رواه الترمذي

Dari Ibnu Abbas, bahwasanya ia berkata, ‘Rasulullah saw. Bersabda, ‘Tidak ada dalam hari-hari yang amal shalih padanya lebih dicintai Allah daripada hari-hari yang sepuluh ini. Para sahabat bertanya, ‘(apakah) jihad fi Sabilillah juga tidak termasuk? Rasul menjawab, ‘Tidak, kecuali seseorang yang berkorban dengan jiwanya dan hartanya kemudian dia tidak mengharapkan apa-apa darinya.’ Hr. At-Tirmidzi, Tuhfah al-Ahwadzi, III: 463

Selain itu penamaan tersebut menunjukkan bahwa hari ‘Arafah itu hari yang paling agung di antara hari-hari yang sepuluh itu, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi saw.

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يَعْتِقَ اللهُ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمُ المَلاَئِكَةُ فَيَقُولُ : مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟ – رواه مسلم –

“Tiada hari yang Allah lebih  banyak membebaskan hamba-Nya dari neraka melebihi hari Arafah, dan bahwa Ia dekat. Kemudian malaikat merasa bangga  dengan mereka, mereka (malaikat) berkata, ‘Duhai apakah gerangan yang diinginkan mereka?’.” (Lihat, Shahih Muslim, I : 472)

Baca juga:   Iduladha di Bandung

Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa

  • Penamaan Shaum itu dengan yaum Arafah, Tis’a Dzilhijjah, dan al-Asyru menunjukkan bahwa pelaksanaan shaum tersebut terikat oleh miqat zamani (tanggal 9 Dzulhijjah)
  • Penamaan shaum Arafah bukan karena fi’lun (wukuf dalam ibadah haji). Dengan perkataan lain, fi’lun (wukuf dalam ibadah haji) bukan muqaddamah wujud disyariatkannya shaum Arafah. Karena itu, penamaan tersebut tidak dapat dijadikan dalil  bahwa waktu shaum itu harus bersamaan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah.

Untuk lebih mempertegas bahwa waktu shaum itu tidak disyaratkan harus bersamaan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah, maka kita kaji berdasarkan Tarikh Tasyri’ Shaum Arafah dan Iedul Adha.

3. Tarikh Tasyri’ Shaum Arafah dan Iedul Adha

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah saw. datang ke Madinah, dan mereka mempunyai dua hari yang mereka bermain-main pada keduanya pada masa jahiliyyah. Maka beliau bersabda, ‘Sungguh Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Hari Adha dan Hari Fitri’.” H.r. Ahmad, Musnad Ahmad, XXIV:114, No. 11568; Abu Daud, Sunan Abu Daud, III:353, No. 959. Dan redaksi di atas versi Ahmad.

Sehubungan dengan hadis itu para ulama menerangkan bahwa Ied yang pertama disyariatkan adalah Iedul Fitri, kemudian Iedul Adha. Keduanya disyariatkan pada tahun ke-2 hijrah. (Lihat, Shubhul A’sya, II:444; Bulughul Amani, juz VI:119; Subulus Salam, I:60)

Dalam hal ini para ulama menerangkan:

وَإِنَّمَا كَانَ يَوْمُ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عِيدًا لِجَمِيعِ هَذِهِ الْأُمَّةِ إشَارَةً لِكَثْرَةِ الْعِتْقِ قَبْلَهُ كَمَا أَنَّ يَوْمَ النَّحْرِ هُوَ الْعِيدُ الْأَكْبَرُ لِكَثْرَةِ الْعِتْقِ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ قَبْلَهُ إذْ لَا يَوْمَ يُرَى أَكْثَرُ عِتْقًا مِنْهُ

“Yaum fitri dari Ramadhan (ditetapkan) sebagai ied bagi semua umat ini tiada lain sebagai isyarat karena banyaknya pembebasan (dari neraka), sebagaimana hari Nahar, yang dia itu ied akbar, karena banyaknya pembebasan (dari nereka) pada hari Arafah sebelum Iedul Adha. Karena tidak ada hari yang dipandang lebih banyak pembebasan daripada hari itu (Arafah)” (Lihat, Hasyiah al-Jumal, VI:203; Hasyiah al-Bajirumi ‘alal Manhaj, IV:235)

Keterangan di atas menunjukkan bahwa Shaum Arafah mulai syariatkan bersamaan dengan Iedul Adha,  yaitu tahun ke-2 hijriah. Keduanya disyariatkan setelah syariatkannya Shaum Ramadhan dan Iedul Fitri pada tahun yang sama.

Adapun ibadah haji (termasuk di dalamnya  wukuf di Arafah) mulai disyariatkan pada tahun ke-6 hijriah sebagaimana dinyatakan oleh Jumhur ulama (lihat, Fathul Bari, III:442). Namun menurut Ibnu Qayyim disyariatkan tahun ke-9/ke-10 Hijriah. (lihat, Zaadul Ma’ad, II:101, Manarul Qari, III:64)

Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa

  • Waktu tasyri’ Shaum Arafah dan Iedul Adha lebih dahulu daripada tasyri’ wukuf di Arafah.
  • Wukuf di Arafah bukan muqaddamah wujud shaum Arafah dan Iedul Adha.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan “Istinbat bahwa waktu shaum Arafah dan Iedul Adha harus berdasarkan standard pelaksanaan wukuf di Arafah” tidak berdasarkan dalil dan thuruqul istinbath yang jelas.

Beberapa implikasi hukum terhadap perbedaan penetapan bulan Dzulhijah, di antaranya:

A. Bagi Calon Qurbani: Makruh Memotong Rambut dan Kuku

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ يُرِيدُ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلَا يَقْلِمَنَّ ظُفُرًا. رواه مسلم

Baca juga:   Kado Iduladha dari Nabi

Dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw. bersabda, “Apabila masuk sepuluh hari (bulan Dzulhijjah) sedangkan ia mempunyai hewan kurban yang hendak dikurbankan (disembelih) maka janganlah memotong rambut dan kukunya. H.r. Muslim

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ. رواه مسلم

Apabila kalian melihat Hilal (tanggal 1) Dzulhijjah sedangkan salah seorang diantara kalian hendak berkurban maka peganglah (janganlah memotong) rambut dan kukunya.H.r. Muslim

Secara praktik waktu pelaksanaan syariat di atas akan berbeda bergantung atas kalender mana yang dijadikan acuan. Bila mengacu pada kalender Muhamadiyah, berarti syariat  diatas dilaksanakan sejak Sabtu malam saat terbenam matahari, 6 November dan Ahad 7 Nopember hingga Selasa 16 November 2010. Namun bila mengacu pada kalender Persis, berarti syariat  diatas dilaksanakan sejak Ahad malam saat terbenam matahari, 7 November dan Senin 8 Nopember hingga Rabu 16 November 2010, sebelum hewan kurban disembelih.

B. Shaum Arafah

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبِلَةً ، وَصَوْمُ عَاشُوراَءَ يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً . – رواه الجماعة إلا البخاري والترمذي –

Artinya 😀 ari Abu Qatadah, ia berkata,”Rasulullah saw. telah bersabda,’Shaum Hari Arafah itu akan mengkifarati (menghapus dosa) dua tahun, yaitu setahun yang telah lalu dan setahun kemudian. Sedangkan shaum Asyura akan mengkifarati setahun yang lalu” – H.r. al-Jama’ah kecuali al-Bukhari dan at-Tirmidzi

Sebagaimana dimaklumi bahwa shaum Arafah disyariatkan pada 9 Dzulhijjah. Meskipun demikian, secara praktik waktu pelaksanaan shaum Arafah tahun ini akan berbeda bergantung atas kalender mana yang dijadikan acuan. Bila mengacu pada kalender Muhamadiyah, berarti shaum Arafah dilaksanakan pada Senin 15 November 2010. Namun bila mengacu pada kalender Persis, maka dilaksanakan pada Selasa 16 November 2010, ketika warga Muhamadiyah merayakan Iedul Adhha 1431 H.

C. Takbiran Iedul Adha

عَنْ عَلِيٍّ وَعَمَّارِ أَنَّ النَّبِيَّ  صلى الله عليه وسلم… وَكَانَ يُكَبِّرُ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ بَعْدَ صَلاَةَ الْغَدَاةِ وَيَقْطَعُهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ آخِرَ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ

Dari Ali dan Ammar sesungguhnya Nabi saw… dan beliau bertakbir sejak hari Arafah setelah salat shubuh dan menghentikannya pada salat Ashar di akhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah). H.r. Al-Hakim, al-Mustadrak, I:439; al-Baihaqi, as-Sunanul Kubra, III:312

Hadis di atas menunjukkan bahwa bertakbir dilakukan sejak subuh 9 Dzulhijjah hingga ashar 13 dzulhijjah.

Secara praktik waktu pelaksanaan takbiran Iedul Adha tahun ini juga akan berbeda bergantung atas kalender mana yang dijadikan acuan. Bila mengacu pada kalender Muhamadiyah, berarti takbiran dilaksanakan sejak subuh Senin 15 November 2010 hingga Jumat 19 November 2010 waktu Ashar. Namun bila mengacu pada kalender Persis, maka dilaksanakan sejak subuh Selasa 16 November 2010 hingga Sabtu 20 November 2010 waktu Ashar. []

Update 13 Agustus 2018

Ust. Zain An-Najah menyebutkan bahwa penetapan wukuf di Arafah berdasarkan rukyat awal bulan Dzulhijjah sementara masing-masing negara berhak menentukan rukyat sendiri-sendiri.

“Jadi, hari itu (Arafah) adalah hari yang diketahui oleh manusia. Maka yang rojih dalam hal ini, puasa Arafah itu tanggal 9 Dzulhijjah, bukan karena jamaah Haji wukuf di Arafah,”. Link: https://m.kiblat.net/2014/09/27/pakar-fiqih-puasa-arafah-ditentukan-karena-tanggal-9-dzulhijjah-bukan-wukuf/

Keterangan Ust Dzulqarnain M Sunusi.

Menyikap perbedaan Arafah Saudi dan Indonesia oleh Buya Yahya.

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

7 Comments

  1. keajaiban kisah isra’ mi’raj ;

    ….kisah isra’ mi’raj terjadi bermula diketika muhamad diinterogasi para tetangga umm hani perihal keberadaannya diketika ia diketahui menginap di rmh umm-hani anak perempuan abi thalib yg adalah perempuan pujaannya sebelum ia dinikahi janda kaya raya kadijah yg yahudi itu. Tentu saja ia menolak mentah-2 tuduhan tsb karena akan membuat kredibilitasnya terpuruk dimata org. banyak Lantas ia mengarang cerita yg luar biasa dan terkesan sekenanya agar ia terhindar dari tuduhan tsb, bhw ia telah diajak malaikat Jibril mengunjungi Masjidil haram(Makkah) ke Masjidil aqsa(Yerusalem), lantas ke langit sap 7 menemui para nabi sebelumnya dan Tuhan.

    *] kejanggalan pertama ;
    masjidil aqsa di Yersalem di masa muhamad hidup belum di bangun, bila yg dimaksud dlm kisah tsb adalah Baitullah yg didirikan oleh Nabi Sulaiman sekitar th 2000SM, maka ini juga tdk benar, karena secara historis, Baitullah Nabi Sulaiman dihancurkan oleh tentara Romawi tahun 70M hingga rata dg tanah. Diatas bekas Baitullah lantas dibangun Kuil Yupiter oleh tentara Romawi. Baru setelah Yerusalam direbut oleh kerajaan Bizantium(islam) maka dibangunlah The Dome Of Rock pd 691M di atas bekas kuil Yupiter tsb. Lantas pada masa kalifah Abdul Malik bin Marwan dari bani Ummayah(tentu saja sistem kekalifahan ini berlaku setelah muhamad wafat bukan?) maka dibangunlah Masjidil aqsa th 710M di kompleks tsb. Bila penulis blog ini adalah seorang guru, maka cobalah menghitung selisih tahun pembangunan masjid tsb, maka kisah isra’ mi’raj ini yg terjadi pd th 621M terasa aneh bukan..?? lantas logikanya, bagaimana mungkin seseorang melakukan suatu perjalanan kesuatu tempat pd th 691M, padahal tempat tsb baru dibangun 89 th kemudian..?? bukankah bangunan tsb masih berupa kuil Yupiter?? sy curiga kisah ini hasil copy-paste dari kisah seorang nabi Yahudi yaitu Nabi Henokh(nabi idris versi arab) yg melakukan perjalanan yg sama persis pd 1500SM (sebelum muhamad hidup). Mungkin muhamad terinspirasi oleh kitab-2 kadijah yg Yahudi itu

    *] kejanggalan kedua ;
    Dikisahkan oleh Abu Dhaar: Aku bertanya, “Ya Rasulullah! Masjid manakah yang dibangun pertama kali? Beliau menjawab, “Masjidil Haram” Aku bertanya, “Selanjutnya?” Beliau menjawab, “Masjidil Aqsa”. Kemudian aku bertanya, “Berapakah selisih pembangunan keduanya?” Rasulullah menjawab, “Empat puluh (tahun)”,….. (Hadis Bukhari 55:636)

    Benarkah perkataan Muhammad tersebut? Karena secara historis versi islam sendiri, Masjidil Haram dibangun oleh Ibrahim pada 2000 SM, sedangkan Masjidil Aqsa dibangun pada tahun 710 M, maka kalkulasi yang benar terdapat selisih 2.710(duaribu tujuhratus sepuluh) tahun, padahal Muhammad mengatakan hanya 40 tahun. Apakah 40 = 2.710 dalam matematika islamis?

    *]kejanggalan ketiga ;
    lagi-2 kita mesti berhitung lagi, spt dikisahkan, bhw dlm perjalanan tsb, Muhammad bercerita tentang adanya malaikat yang ukurannya lebih besar dari bumi ini. Malaikat yang memiliki 70.000 kepala; setiap kepala memiliki 70.000 wajah. (shg total wajah yg dimilikinya adalah : 4.900.000.000) Setiap wajah memiliki 70.000 mulut (shg total mulut: 343.000.000.000.000) Setiap mulut memiliki 70.000 lidah (shg total lidah: 24.010.000.000.000.000.000) Setiap lidah mampu berbicara dalam 70.000 bahasa (shg total bahasa yang mampu digunakannya adalah : 1,680,700,000,000,000,000,000,000).
    Bagaimana seseorang yg tdk bisa membedakan perbedaan angka 40 dan 2.710 malah dapat mengklaim dan menentukan hitungan sampai 25 digit..??

    …perlu diketahui bhw justru karena kisah-2 macem diataslah yg bikin sy semakin bertanya-2 bagaimana kehidupan sy kelak bila iman hanya didasarkan pada kisah macem begini, shg suatu hari sy memilih murtad karena memang masih banyak kisah konyol yg lainnya macem hari raya kurban dll….

  2. Sebagai perbandingan dari komentar di atas saya ingin menulis sedikit dari sejarah Al-Quds yang telah diserobot oleh Zionis Israel.

    Sejarah Al-Quds atau Baitul Maqdis atau Jerussalem kembali kepada masa bangsa Kan’ani. orang-orang Kan’ani adalah nenek moyang bangsa Arab. Sementara itu kaum Yabosit, segolongan dari Kan’ani menetap di daerah pegunungan tengah dan pada tahun 3.000 sebelum masehi mendirikan kota Yabosiah di sebagian tempat yang di sana didirikan kota Al-Quds setelah itu.

    Kitab Injil juga mengakui bahwa Yahudi tidak mampu mengusir orang Yabosit dari tanah Al-Quds itu, maka yahudi tinggal bersama orang yabosit. hal itu didukung dengan bukti bahwa ketika nabi Sulaiman akan membangun kuil di Al-Quds lebih dulu ia membeli tanah milik orang Yabosit.

    Kemudian terjadi perpecahan setelah meninggalnya Sulaiman sampai berdirinya dua negara lemah, pertama kereajaan Israel utara yang beribu kota di Samirah dan kerajaan Yahuda yang beribu kota di Aurshilim di selatan.

    Hanya saja dua kerajaan itu segera menghadapi serangan dari luar. Dan setelah rangkaian pertempuran maka Titus masuk ke Aurshilim tahun 70 sm dan membantai sejumlah besar manusia, memporak-porandakan kota, membakar kuil sulaiman dan menyembelih rabbi yahudi, serta melenyapkan seluruh kuil sulaiman dari wujudnya, hingga tak seorang pun mampu menunjuk adanya kuil itu lagi.

    Kemudian Romawi mengadakan serangan baru atas mereka dengan merampas tempat tinggal mereka, menghancurkan benteng, membakar desa-desa dan mengubah kota Aurshilim menjadi jajahannya dan merubahnya menjadi kota Illya Captonia. Ahli sejarah menyebutkan ada sekitar 580.000 orang yang mati pada pertempuran tersebut.

    Pada tahun 15 H Al-Quds diserahkan kepada umat Islam yang diterima langsung oleh khalifah Umar bin Khatab dengan cara damai. lalu Umar membangun masjid di atas bukit Muriah.

    Pada tahun 72 H Khalifah Abdul Malik bin Marwan mendirikan masjid berbentuk kubah di atas batu besar yang sampai sekarang disebut qubbatus sakhrah dengan maksud untuk mengabadikan peristiwa isra’ mi’raj nabi yang berangkat mi’raj dari shakhrat itu.

    Pada masa serangan kaum salib, Baldwin menduduki Alquds, tetapi berhasil dibebaskan oleh Shalahuddin Al-Ayubi, namun pada tahun 1967 Al-Quds jatuh ke tangan Israel dimana mereka mencaplok Al-Quds sebagai ibu kota Israel.

    Wahai umat islam, tunjukkan solidaritas kita untk saudara-saudara kita di palestina, berikan untuk mereka apa yang kita bisa, sekalipun hanya lewat doa.

  3. Update 19 Agustus 2018

    Shaum Arafah dan Hari Raya Eidul Adha

    Rata-rata umat Islam Indonesia, mengawali bulan Dzulhijjah pada hari Senin 13 Agustus 2018, berbeda dg di Saudi yg telah memulainya sejak hari Ahad.

    Dengan adanya perbedaan ini, maka sudah barang tentu akan timbul pertanyaan atau kebingungan dalam masyarakat untuk penetapan shaum Arafah.

    Saya telah merangkum 3 pendapat dr Ahli Tafsir, Ahli Fiqh, dan Ahli Hadits utk menjawab kebingungan ini.

    Pendapat pertama, bahwa shaum Arafah, tidak terlepas dr ritual haji sehingga pelaksanaannya menyesuaikan dg wukuf di Arafah dan berlebaran sesudahnya.

    Pendapat kedua, bahwa shaum 9 dzulhijjah mengikuti kalender hijriyah wilayah setempat, karena perintah shaum 9 dzulhijjah lebih dahulu turun drpd perintah haji.

    Pendapat ketiga, shaumnya mengikuti wukuf di Arofah sedangkan shalat Hari Raya Eidul Adha boleh mengikuti kalender setempat.

    Kesimpulan :

    Bagi yg memulainya hari Senin 13 Agustus 2018 dan berniat shaum dr tanggal 1-9 dzulhijjah maka dapat menggenapkan shaumnya pada Selasa, kemudian berlebaran pada hari Rabunya, sehingga shaumnya genap 9 hari atau boleh juga berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah saja, atau pada saat wukuf di Arafah.

    Di rangkum dr pendapat para pakar :

    Ustadz DR. Ahzami Samiun Djazuli,MA (Ahli Tafsir)

    Ustadz Dr. Ahmad Zain An Najah, MA (Ahli Fiqh)

    Ustadz Dr. Daud Rasyid, MA (Ahli Hadits)

    Semoga bermanfaat, wallahu’alam

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *