Letak Aljazair dari ada di Afrika sebelah barat laut dan sepanjang laut tengah yang ada di wilayah utara.
Di timur laut negara ini ada Tunisia, di timur ada Libya, di tenggara ada Nigeria, serta di barat ada Maroko. Aljazair artinya adalah kepualauan, penamaan tersebut dilakukan akibat dari letak empat buah pulau yang berdekatan dengan negara ini. Dari seluruh negeri di Benua Afrika, negara ini adalah yang terbesar kedua.
Budaya Perancis sangat kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat Aljazair. Walau negara ini termasuk negara Arab, tapi mereka berbicara menggunakan bahasa lain, yaitu bahasa Perancis. Bahkan blangko penumpang pesawat yang harus diisi ditulis menggunkan bahasa Perancis.
Fenomena kuatnya budaya dan bahasa Perancis di Aljazair juga terasa di jalan-jalan di kota Algiers. Di kawasan pertokoan Fac Central di pusat Kota Algiers, misalnya, praktis bahasa Arab jarang terdengar dalam percakapan sehari-hari warga Aljazair yang lalu lalang maupun yang sedang duduk bersantai.
Nama toko-toko dan papan iklan yang terpajang sepanjang Jalan Diduche Mourad di Fac Central lebih dominan menggunakan bahasa Perancis. Toko-toko buku dan kaset pun yang berada di kawasan Fac Central lebih banyak menjual kaset dan buku-buku berbahasa Perancis.
Lagu-lagu yang terdengar dari toko-toko kaset adalah lagu-lagu Perancis. Film-film yang diputar di bioskop-bioskop didominasi film Perancis. Iklan-iklan televisi menggunakan bahasa Perancis dan Arab. Koran dan majalah terbagi antara yang menggunakan bahasa Perancis dan Arab. Rambu-rambu lalu lintas di jalan-jalan raya di Kota Algiers beberapa tahun terakhir ini baru memakai bahasa Perancis dan Arab.
Sebelumnya, rambu lalu lintas hanya menggunakan bahasa Perancis. Para pegawai pada departemen-departemen pemerintah lebih dominan menggunakan bahasa Perancis sebagai bahasa komunikasi sehari-hari.
Memang negara ini meraih kemerdekaan politik dari Perancis pada tahun 1962 M, akibatnya bahasa dan budaya Perancis sangat tertanam di negeri ini. Oleh karena pengarus Perancis ini, semua warga di negara ini, seolah memiliki identitas negara Arab, tetapi memiliki kebudayaan dan bahasa negara lain.
Sebagian penduduk di Aljazair memang terbiasa berbicara menggunakan bahasa Perancis sejak kecil dibandingkan dengan bahasa Arab. Saat mereka mengenyam bangku sekolah, baru lah mereka mendapatkan pelajaran Bahasa Arab.
Kesenjangan antara yang tua dan yang muda terjadi dalam waktu yang lama, generasi tua hanya bisa berbahasa Perancis dan generasi muda baru belajar bahasa Arab ketika masuk sekolah.
Pengakaran sindrom Perancis sudah ada sebelum Aljazair meraih kemerdekaan, dahulu seorang penguasa kolonial bernama Gules Gambon mengatakan kepada kelompok muslim franchopone bahwa mereka merupakan jembatan antara kolonial Perancis dan masyarakat.
Penguasa lainnya bernama Jonnart juga menyatakan bahwa Perancis memiliki kepentingan dalam membentuk elite budaya disana yang kemudian diakomodasikan dalam bentuk budaya Perancis. Perancis perlu bekerjasama dengan borjuis Aljazair untuk membantu terealisasinya program Perancis yang adil dan berkemajuan.
Proyek pemecaha Aljazair secara ideologi dan budaya juga dilakukan oleh Mauris Violette pada tahun 1932 M, dia menyatakan bahwa semua pelajar Aljazair adalah franchopone (berbudaya dan berbahasa Perancis).
Hal yang lebih ekstrem adalah pembuatana undang-undang bahwa Bahasa Arab adalah bahasa asing di negara Aljazair.
Pemerintah Aljazair pascakemerdekaan sesungguhnya telah berusaha melakukan proyek arabisasi untuk mereduksi sindrom Perancis. Segera setelah Aljazair meraih kemerdekaan, sejumlah wakil dewan pendiri mengeluarkan pernyataan yang berisi permintaan pada pemerintah Presiden Ahmed Ben Bella untuk melakukan program arabisasi disektor pendidikan dan birokrasi sebagai bagian dari penyempurnaan dari kemerdekaan politik.
Pernyataan mereka berbunyi, “sejak dibentuk pemerintahan dan diadakan pertemuan dewan nasional pendiri, telah timbul banyak pembicaraan tentang proyek arabisasi, namun setelah berjalan selama enam bulan hanya terlihat dampak kecil dari arabisasi tersebut. Padahal, mayoritas rakyat menginginkan arabisasi karena bahasa Arab merupakan bahasa nasional.
Akan tetapi, bahasa Arab diperlakukan sebagai bahasa asing di tanah airnya. Birokrasi pemerintah tidak mengakui dan tidak menerima surat atau dokumen yang ditulis dalam bahasa Arab, yang memaksa para penduduk berhubungan dengan birokrasi dengan menggunakan bahasa Perancis”.
Namun, pemerintah saat itu menolak tuntutan arabisasi tersebut dengan dalih ingin mengambil manfaat sumber daya manusia alumni sekolah Perancis di Aljazair maupun di Perancis sendiri.
Mengapa arabisasi selama ini mengalami hambatan di Aljazair?
Dalam kesepakatan Evian-Maroko yang menyetujui kemerdekaan Aljazair, para perunding dari Front Pembebasan Nasional (FLN) hanya memberi perhatian pada politik, bukan bahasa dan budaya. Bahkan, dalam kesepakatan tersebut Perancis berhasil mempertahankan kepentingan budaya dan ekonominya. Teks kesepakatan Evian juga hanya menggunakan bahasa Perancis, tanpa ada salinan teks yang menggunakan bahasa Arab.
Teks kesepakatan Evian yang menggunakan bahasa Perancis itu mengantarkan Pemerintah Aljazair kemudian memiliki tradisi memakai bahasa Perancis dalam menulis perjanjian, dokuman, dan surat menyurat.
Lebih dari itu, Pemerintah Aljazair mewarisi sistem Perancis dalam semua sektor kehidupan, baik birokrasi, hukum, pendidikan, teknokrat, dan teknisi. Universitas Aljazair tidak berusaha pula melakukan arabisasi. Pemerintah Mesir sempat mengingatkan Presiden Ahmed Ben Bella agar memberi perhatian pada bahasa Arab. Preisden Ben Bella pun mengontrak para guru dari Mesir untuk mengajar bahasa Arab. Namun, para alumni sekolah bahasa Arab itu mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan masyarakat Aljazair yang barbasis kuat pada budaya francophone.
Pada masa Presiden Houarie Boumeddiene, ada upaya arabisasi sejumlah kurikulum seperti fakultas hukum, sejarah, dan sastra. Sedangkan fakultas teknik dan kedokteran tetap memakai bahasa dan kurikulum Perancis.
Universitas Aljazair akhirnya melahirkan alumni yang terpecah antara kubu francophone dan kubu Arabisme.
Kubu francophone mengusung budaya Perancis, sedangkan kubu Arabisme membawa budaya Arab dan berusaha mengarabisasi Aljazair. Di universitas-universitas di Aljazair pun terjadi pertarungan antara kubu francophone dan arabisme sejak tahun 1970-an hingga saat ini.
Program arabisasi yang dilakukan pada masa Presiden Chadli Bendjedid tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Upaya membangun lembaga bahasa Arab di Aljazair seperti lembaga bahasa Arab di Cairo, Amman, dan Damascus juga mengalami kegagalan.
Segera setelah penerapan sistem multipartai tahun 1989, parlemen Aljazair mengesahkan undang-undang (UU) yang menegaskan, pembicaraan, surat menyurat, dan teks-teks resmi harus menggunakan bahasa Arab. Pejabat yang menandatangani dokumen resmi yang ditulis selain dalam bahasa Arab dikenakan denda antara 1000 hingga 5000 dinar Aljazair (sekitar 15 dollar AS hingga 70 dollar AS). Pengusaha yang mempromosikan barang atau menuliskan barang dagangannya dengan tulisan bahasa Perancis akan mendapat sanksi toko atau pabriknya ditutup.
Tak pelak lagi UU tersebut mendapat protes keras. Ketua Front Sosialis Hocine Ait Ahmed menegaskan, UU baru itu telah memecundangi prinsip demokrasi dan hanya untuk mencari simpati kubu Islam. Ribuan warga Aljazair dari kaum Berber dan kelompok probudaya Perancis menggelar unjuk rasa memprotes UU itu.
Pada 5 Juli 1992, pemerintah PM Ridho Malek membatalkan keputusan arabisasi yang diambil parlemen tersebut dengan dalih situasi internasional belum kondusif untuk melakukan arabisasi. Keputusan tersebut diambil pada 5 Juli 1992, yakni bersamaan dengan peringatan 30 tahun kemerdekaan Aljazair.
Pada masa konflik antara pemerintah dan gerakan Islam politik yang diwakili FIS pada awal tahun 1990-an, sempat terdengar nyaring agar menghapus bahasa Arab di Aljazair yang dianggap identik dengan kebangkitan Islam. Bahkan, sebagian kelompok francophone yang fanatik menuntut dibubarkan pula sekolah-sekolah bahasa Arab.
Ketika budaya Berber/Amazigh masuk dalam pertarungan antara francophone dan Arabisme, hal itu justru membantu memperkuat posisi budaya francophone karena para elite Berber jauh lebih fasih menggunakan bahasa Perancis daripada bahasa Arab. Bahkan, tidak sedikit kaum Berber yang tidak mau berbicara dengan bahasa Arab.
Itulah potret sindrom budaya Perancis yang begitu kuat mengakar di Aljazair. Bahasa Arab ternyata hanya bahasa resmi secara tertulis, tetapi bahasa Perancis masih mendominasi percakapan sehari-hari rakyat Aljazair.
Maka usaha dari tuan Thaha Zaruqi dengan membuat aplikasi bahasa Arab yang memudahkan orang lain untuk belajar Bahasa Arab adalah usaha yang sangat mulia, semoga Allah membalas jasa beliau dan team beliau dengan pahala yang besar atas kontribusi mereka dalam memperkenalkan bahasa Arab kepada masyarakat muslim di Aljazair dan dunia umumnya.