Dekolonisasi Perspektif Islam menurut Joseph Lumbard

Home » Dekolonisasi Perspektif Islam menurut Joseph Lumbard

Dr. Joseph E.B. Lumbard, Associate Professor of Quranic Studies dari Hamad Bin Khalifa University, adalah seorang pakar kajian Islam yang sudah lama saya ikuti di media sosial, salah satunya media Twitter dan baru-baru ini di LinkedIn. Di Twitter atau X, ia menambahkan nama شاكر عبد الحق setelah namanya, mungkin ini nama Islamnya selain namanya sekarang.

Dari media sosialnya, saya mendapatkan informasi seminar internasional bertajuk “Islamic Framework on Decolonization” yang diadakan di Gedung AR Fakhruddin A lantai 5, Kampus Terpadu UMY. 

Saya mencoba mencari informasi seminar ini di lama media sosial UMY namun tidak ada informasi, akhirnya saya memberanikan diri untuk menulis komentar dia media sosial Dr. Lumbard, apakah acara ini terbuka untuk umum, jika ya, saya ingin ikut serta, jarak dari Magelang-Yogyakarta tidak terlalu jauh, tulis saya. Tidak lama beliau menjawab, acara ini gratis.

Habis subuh, saya jalan naik motor dari desa Adipuro, Kaliangkrik ke UMY, Yogyakarta, alhamdulillah, perjalanan lancar sampai tujuan.

Tulisan ini hendak menangkap beberapa pemikiran Dr. Lumbard tentang dekolonisasi, saya kupas dahulu dari dekolonisasi Studi Al-Quran, yang menjadi konsen awalnya sebelum ke Dekolonisasi dalam Pendidikan dan Framework Dekolonisasi seperti dalam seminar ini.

Sebelum lanjut, kita ketahui dahulu apa itu Dekolonisasi.

Apa itu Dekolonisasi?

Dekolonisasi menurut Dane Kennedy dalam buku Decolonization: A Very Short Introduction adalah penarikan diri oleh bekas jajahan dari kekuasaan kolonial atau akuisisi oleh suatu koloni untuk memperoleh kemerdekaan secara politik atau ekonomi.

Dalam perkembangannya, istilah dekolonisasi tidak hanya diaplikasikan dalam konteks ekonomi-politik. Namun juga diaplikasikan dalam konteks akademik seperti dalam istilah Intellectual atau Academic Imperialism yang digunakan oleh Syed Hussein Alatas atau Academic Dependence yang digunakan oleh Farid Alatas. Keduanya menulis ide dekolonisasi dalam konteks ilmu sosial humaniora.  Joseph Lumbard hadir untuk menyentuh pemikiran dekolonisasi studi Alquran. 

Dekolonisasi Studi Al-Quran

Konsepnya tertuang di dalam artikelnya yang berjudul “Decolonizing Qur’anic Studies” yang diterbitkan oleh jurnal Religion volume 13 nomor 176 tahun 2022.

Artikel ini mengkaji bagaimana warisan kolonialisme terus mempengaruhi analisis Al-Quran di akademia Euro-Amerika. Kolonialisme epistemik terus berlanjut dengan mengistimewakan sistem produksi pengetahuan yang Eurosentris, sehingga merugikan dan bahkan mengesampingkan mode-mode analisis yang telah berkembang di dunia Islam selama lebih dari seribu tahun. 

Baca juga:   Polemik Disertasi Seks di Luar Nikah

Bentuk hegemoni intelektual ini menghasilkan reduksionisme epistemologis yang beraneka ragam, yang menyangkal kemanjuran alat analisis yang dikembangkan oleh tradisi Islam klasik.

Meskipun sudah tidak ada lagi penjajahan secara fisik atas umat Islam, realitanya penjajahan intelektual masih eksis dan termanifestasikan dalam sebuah sistem pengetahuan yang bersifat Eropa-Amerika-sentris.

Konsekuensinya adalah munculnya hegemoni keilmuan. Ilmu-ilmu yang berasal dari barat dianggap lebih superior, lebih komprehensif, lebih sistematis, lebih ilmiah, dan jadi lebih “benar” daripada ilmu yang berasal dari non-Barat.

Cara pandang seperti ini pada akhirnya mengakibatkan kolonisasi studi Alquran yang berorientasi pada keilmuan Barat. Pada saat bersamaan, hal ini mereduksi studi Alquran pada tataran epistemologis dengan adanya kecenderungan untuk menegasikan peran sarjana muslim dan perangkat analisis yang dikembangkan pada era Islam klasik.

Maka, mengakui hambatan-hambatan yang ditimbulkan oleh kolonialisme pengetahuan dalam Studi Alquran dapat membantu kita untuk mengembangkan pendekatan yang lebih inklusif di mana berbagai mode analisis digabungkan dan para sarjana dari latar belakang intelektual yang beraneka ragam dapat terlibat dalam dialog yang lebih efektif.

Lombard menguraikan proyeknya, yang melibatkan dua analisis. 

  • Pertama, ia bertujuan untuk meneliti proses penjajahan epistemik dalam kajian-kajian Alquran.
  • Bagian kedua dari proyek ini mengeksplorasi strategi untuk mendekolonisasi studi Quran, membayangkan seperti apa studi ini jika dibebaskan dari pengaruh kolonial.

Di satu sisi, Lombard menggemakan sentimen yang diungkapkan oleh para cendekiawan seperti Pervez Mansour, yang mencirikan studi Quran Orientalis sebagai proyek yang didorong oleh kedengkian, frustrasi, dan dendam. Di sisi lain, Lombard mengkritik pendekatan Barat yang sering mengabaikan perkembangan di dunia Islam, yang mengarah pada pengabaian kontribusi historis dan faktual yang signifikan dari ilmu-ilmu Alquran.

Pendekatan Euro-Amerika terhadap Al-Quran telah mengabaikan tradisi tafsir, ilmu-ilmu Al-Quran, dan literatur hadis. Pengabaian ini dianggap sebagai kelemahan metodologis. Sehingga Lombard menganjurkan pendekatan yang lebih terbuka dalam studi Alquran kontemporer, mendorong para sarjana untuk mempertimbangkan perspektif teoritis yang beragam. Ia menyarankan untuk melibatkan para sarjana dari dunia Arab dan menekankan pentingnya mengakui kemungkinan adanya berbagai lokus teoretis yang sah dari pengungkapan.

Dekolonisasi Pendidikan

Kenapa negara-negara Islam tidak maju? Kenapa peradaban keilmuan Islam masih dianggap tidak maju? Kiranya Joseph Lumbard menjadi salah satu sarjana yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut lewat artikelnya Islam, coloniality, and the pedagogy of cognitive liberation in higher education

Baca juga:   Al-Quran dan Era Baru Tantangan Pemikiran

Problem yang mendasari kedua pertanyaan tersebut adalah adanya dominasi intelektual Eurosentris dalam studi Islam yang kemudian meminggirkan epistemologi Islam. Akibat dari hal tersebut adalah langgengnya hirarki intelektual yang melemahkan tradisi dan sistem pendidikan Islam. Pada akhirnya semua itu mengarah pada usaha-usaha melainkan khazanah Islam.

Lalu dari mana semua itu bermula? Lumbard dengan apik mengurai dan mengurut persoalan dari akar terdalam. 

Menurutnya semua bermula dari kolonisasi atas Studi Islam. Mengutip Salaymeh, penjajahan fisik atas komunitas Islam mungkin sudah tidak terjadi (kecuali Palestina tentunya), namun penjajahan epistemologis masih saja berlangsung berupa hegemoni intelektual. 

Hegemoni ini menciptakan “reduksi epistemologis” yang menegasikan kemajuan budaya intelektual dan sistem pendidikan Islam. Hegemoni ini juga menumbuhkan watak ambivalensi, inferioritas, dan kegamangan epistemologis. Pada tataran pendidikan, hegemoni ini menciptakan “kebuntuan hermeneutis” yang disebabkan pemaksaan suatu watak epistemologis. 

Akibatnya siswa tidak diajarkan untuk menganalisis dan mengkritik, namun dipaksa untuk mengakulturasi watak epistem kolonial.

Lumbard mengkritik cara pandang kolonial sekaligus memberikan contohnya. Misalnya ia mengkritik Aloys Sprenger yang berkata; “Bangsa timur tidak lagi mampu mengurus khazanah sastra mereka sendiri”. Menurutnya penilaian Sprenger yang merendahkan martabat ini berawal dari sisa-sisa masa lalu sekitar pertengahan abad 19. Sayangnya watak pikir ini terus diwariskan bahkan sampai saat ini. 

Begitu juga dengan cara pandang Reynolds yang menyatakan “‘scholars today might with some justification feel themselves better qualified than the mufassirūn [Quranic exegesis] to study the original meaning of Qurʾānic passages.” 

Watak subordinatif menurut Lumbard juga terlihat dari perkataan Shoemaker: “as more and more Muslims entered departments of Middle Eastern studies and began to control the conversations around religion within this discipline, the problems of essentialization and homogenization endured; only now understandings of what Islam ‘really’ is were crescively determined by believers, from the perspective of faith in the tradition. (Shoemaker 2022, 7)”.

Dari ungkapan ketiganya, Lumbard mencatat beberapa hal.

  • Pertama, Muslim dan epistemologi Islam tidak pantas jadi subjek, hanya pantas jadi objek. Efek Renaissance membuat tidak ada yang pantas menjadi subjek kecuali episteme Barat. Superioritas Barat ini pada akhirnya menundukan siapapun dan apapun selainnya. 
  • Kedua, universalisme watak epistem. Episteme di luar Barat dianggap sah jika sesuai dengan “ukuran-ukuran” Eurosentrisme. Jika ada ketidaksesuaian, yang dikritik bukan “penggaris”nya, namun yang diukurnya.  
  • Ketiga, marginalisasi. Segala bentuk pengetahuan yang hadir dan tumbuh di luar narasi positivisme Euro-Amerika merupakan episteme “sempalan”. Misalnya penilaian atas filsafat Islam di masa pasca-klasik (600-1300 M), dianggap sebagai “paraphilosophy” dimana umat Islam “melakukan apa yang tampak seperti filsafat sains untuk mengalihkan perhatian dari menggantikan filsafat/sains”. Dengan kata lain, sebagaimana pendapat Castro, “dari perspektif pencerahan, semua budaya lain adalah “tradisional”, “primitive”, dan “premodern” dan dengan demikian berada di luar “sejarah universal””. Keempat, “kelebihan kredibilitas”. Superioritas watak pikir eurosentris juga melahirkan anggapan kredibilitas berlebihan atas watak hegemonik barat. Di saat yang sama cara pandang ini menganggap watak-watak lian kekurangan kredibilitas.
Baca juga:   Kejahatan Kristenisasi

Terus bagaimana jalar keluar dari hal pelik ini? Lumbard menawarkan beberapa jalan. 

  • Pertama, narasi “kemunduran cum kemajuan” harus dibaca secara kritis. Artinya kita harus menantang asumsi-asumsi normatif eurosentrisme yang menghegemoni studi islam. 
  • Kedua, gerak dan watak pikir dekolonisasi tidak lah anti-Barat. Sembari mengamini Hallaq, Lumbard meyakini bahwa alih-alih mendefinisikan ulang Islam dari frame Euro-Amerika, alat analisis yang lahir dalam orientalisme dapat digunakan untuk mengekskavasi dan menambang tradisi intelektual Islam yang nantinya menjadi alternatif atas modernitas hyper-liberal dan realisme kapitalis. 
  • Ketiga, memperluas representasi tradisi intelektual Muslim dalam kurikulum pendidikan. 
  • Keempat, mengembangkan model-model pedagogi Islam yang berakar pada nilai-nilai dan watak pikir Islam. 
  • Kelima, memulihkan hirarki pengetahuan.

Sumber

Artikel

Lumbard, Joseph E. B. 2022. “Decolonizing Qurʾanic Studies” Religions 13, no. 2: 176. https://doi.org/10.3390/rel13020176

Lumbard, Joseph E. B. 2025. “Islam, Coloniality, and the Pedagogy of Cognitive Liberation in Higher Education.” Teaching in Higher Education, February, 1–11. doi:10.1080/13562517.2025.2468974.

Kennedy, Dane, Decolonization: A Very Short Introduction, Very Short Introductions (New York, 2016; online edn, Oxford Academic, 26 May 2016), https://doi.org/10.1093/actrade/9780199340491.001.0001, accessed 2 May 2025.

Youtube

Joseph Lumbard, Decolonizing Quranic Studies, May 21, 2018. https://youtu.be/5hZWGdP_hfs 

CISIC UMY, Islamic Framework on Decolonization. May 02. 2025. https://youtu.be/qLMZojWbd-k 

Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *