Semalam saya dan istri menelpon orang tua di desa Adipuro yang terletak di kaki gunung Sumbing. Desa ini merupakan pemekaran dari Desa Kaliangkrik yang diresmikan tanggal 27 juli 2005- terdiri dari 04 RW dan 35 RT, 894 KK, serta 3241 jiwa. Desa tertinggi di Kecamatan Kaliangkrik, dengan ketinggian sekitar +/- 1500 M dpl. Tempat yang dingin dan sejuk, saking tingginya sering disebut ‘Desa atas Awan’.
Kami mengobrol beberapa hal tentang keluarga dan desa, salah satu yang kami obrolkan adalah tentang pendidikan.
Pendidikan di desa Adipuro termasuk sangat maju jika dibandingkan dengan desa-desa lain di kecamatan Kaliangkrik. Saat ini di Adipuro sudah berdiri SD dan SMP Satu Atap, MI Al-Islam, Pesantren Al-Istiqamah yang dikolela warga NU dan Pesantren Luqman Al-Hakim yang dikelola warga Muhammadiyah, selain itu banyak TPA dan TPQ yang menyebar di rumah-rumah warga.
Hubungan NU dan Muhammadiyah di desa Adipuro sangat baik, mereka saling berlomba-lomba meningkatkan taraf hidup dan pendidikan masyarakat Adipuro. Kekompakan tersebut yang membuat desa ini terus maju dalam hal pendidikan khususnya.
Terkait masalah pendidikan yang kami obrolkan di atas, adalah hal yang bisa mengganggu hubungan baik NU dan Muhammadiyah karena terdapat larangan dari pihak pemerintah yang melarang guru NU mengajar di sekolah Muhammadiyah dan guru Muhammadiyah dilarang mengajar di sekolah NU. Akibat dari kebijakan ini, guru-guru NU yang mengajar di MI Al-Islam dipindahkan di tempat lain, guru Muhammadiyah yang mengajar di sekolah NU di luar desa dipindahkan ke desa lagi mengajar di sekolah Muhammadiyah.
Alangkah indahnya kebersamaan. Mengajar dan mendidik tidak perlu mempedulikan perbedaan NU-Muhammadiyah. Mendidik anak bangsa agar mengenal agama, taat pada orang tua dan peduli pada sesama lebih penting dari perbedaan organisasi masyarakat.
Saya masih mencari-cari sumber kebijakan tersebut dan alasannya, namun belum saya dapatkan sampai sekarang. Jika kawan pembaca mengetahuinya sila share di kolom komentar.
Beberapa waktu lalu tersiar di media adanya oknum yang membuat gambar dan statement hoax KH. Haedar Nahir yang menghimbau warga NU tidak menyekolahkan anaknya di sekolah Muhammadiyah. Dan statement tidak bertanggung jawab ini sudah dibalas oleh K.H. Haedar Nasyir di akun resmi Twitter beliau, menurutnya, foto dan pernyataan itu hoaks alias bohong.
NU dan Muhammadiyah dulu memang nampak sekali segregasinya.
Saya rasakan sekali, karena saat kecil saya sekolah sore (madrasah) di yayasan NU dan sekolah SMA yang gurunya banyak orang Muhammadiyahnya.
Tapi sekarang, seharusnya sudah tidak lagi seperti itu.
Itu beneran pemerintah yang melarang? Pemerintah melalui siapa itu, pemerintah daerah, dinas pendidikan? Atau kebijakan lokal di tingkat kecamatan misalnya?
Terima kasih atas catatan yang diberikan. Catatan tersebut menjadi koreksi kesalahan data tulisan di atas.
Tidak bermaksud menyebarkan hoaks karena informasi didapatkan dari orang yang berada di tempat.
Sedikit catatan untuk penulis :
1. Jumlah kk adipuro bukan 894 tapi 1006 dan jumlah jiwanya 3381 (data disdukcapil kab.magelang okt 2020) desa adipuro jg bukan desa tertinggi namun “salah satu” desa tertingi di kec. Kaliangkrik.
2. Penulis mengatakan “pihak pemerintah” mungkin bisa lebih di jelaskan. Pemerintah mana dan siapa? Karena alhamdulillah di adipuro guru dan siswa juga masih utuh tidak ada yang berpindah.
3. Setau yg sy baca dari berbagai sumber pernyataan ini hoaks seperti yg tertulis di paragraf terkahir artikel ini.
4. Alangkah bijaksananya jika penulis kedepan senantiasa mencantumkan sumber informasi dan menjelaskan setiap statement agar terkesan tidak ambigu. Sehingga tidak memunculkan rasa berlebihan kepada pembaca, yg endingnya ternyata hanya berita hoaks.
Terus semangat untuk penulis agar selalu berkarya menambah wawasan para pembaca dengan konten mendidik dan menginspirasi para generasi muda khususnya.