Wanita membaca Al-Quran dengan suara pelan, dan untuk diperdengarkan sendiri, tidak ada masalah bahwa hal itu hukumnya boleh. Begitu pula apabila ia membaca Al-Quran dengan suara yang keras, tetapi tidak ada lelaki lain yang mendengarkannya, para ulama sependapat bahwa hal itu hukumnya boleh.
Tetapi apabila ia membaca Al-Quran dengan suara yang keras meskipun dalam shalat, dan apalagi bila suaranya itu dilagukan atau diiramakan; maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, apakah hal itu boleh atau haram.[1]
Perbedaan ini berasal dari perbedaan mereka tentang suara wanita sendiri; apakah hal itu termasuk aurat sehingga tidak boleh diperdengarkan kepada lelaki lain (yang bukan suami atau mahramnya), atau tidak merupakan aurat. Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi dua kelompok sebagai berikut:
Kelompok Pertama
Kelompok ini terdiri dari ulama mazhab Hanafi dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa suara wanita itu aurat, oleh karena itu wanita tidak boleh memperdengarkan suaranya kepada lelaki yang bukan suami atau mahramnya.
Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
Satu. Firman Allah swt
“Dan janganlah wanita-wanita itu memukul-mukulkan (menginjak-injakkan) kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka tutupi”. (QS An-Nur:31)
Istidlalnya :
Ayat ini melarang wanita untuk menggerak-gerakkan atau menginjak-injakkan kakinya agar perhiasan yang mereka pakai di kaki-kaki mereka itu terdengar suaranya. Sebab suara itu akan “mengganggu” lelaki yang mendegarkannya. Sehingga akan menimbulkan gairah seksual.
Apabila suara perhiasannya saja dilarang untuk diperdengarkan kepada lelaki lain, maka suara wanita itu sendiri lebih layak untuk dilarang diperdengarkan kepada lelaki lain. Sebab konteks ayat ini adalah kewajiban menjaga diri bagi wanita, termasuk larangan memperlihatkan auratnya.
Dua. Hadits Nabi saw
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Membaca tasbih itu kaum lelaki dan menepuk tangan itu untuk kaum wanita”. (HR Ibnu Majah)
Istidlalnya :
Dalam shalat jama’ah, apabila imam melakukan kekeliruan, Rasulullah saw mengajarkan agar makmum mengingatkannya yaitu dengan cara membaca tasbih apabila makmum tadi lelaki, dan dengan menepuk tangan apabila makmum tadi wanita. Perbedaan cara mengingatkan ini menunjukkan bahwa wanita tidak boleh memperdengarkan suaranya, sebab suaranya akan ‘mengganggu’ kekhusyu’an imam. Hal itu tidak lain karena suara wanita tadi termasuk aurat.
Kelompok Kedua
Kelompok kedua ini antara lain terdiri dari para ulama mazhab Syafi’i. Mereka mengatakan bahwa suara wanita itu bukan aurat.
Dalilnya :
Bahwa wanita dalam agama Islam dibolehkan untuk melakukan muamalah, seperti jual beli, menjadi saksi, dan lain sebagainya, di mana mereka pasti memperdengarkan suaranya kepada lelaki lain yang bukan suaminya atau mahramnya. Bahkan isteri-isteri Rasulullah saw juga meriwayatkan hadits dan berbicara kepada orang (lelaki) lain. Dan ternyata tidak ada seorang pun yang melarang perbuatan itu.
Tarjih
Dengan memperhatikan serta membandingkan dalil-dalil dua kelompok di atas berikut istidlalnya, maka dapat dilakukan tarjih sebagai berikut:
- Dalil-dalil kelompok pertama lebih layak untuk diunggulkan, sebab dalil-dalilnya berupa ayat Al-Quran dan Hadits Nabi saw yang shahih. Sedang kelompok kedua adalah sekedar argument rasional saja, yang dalam hal ini tidak mungkin disejajarkan dengan dalil-dalil kelompok pertama.
- Dalil kelompok kedua yang berupa argument rasional itu juga perlu ditinjau kembali. Sebab yang dimaksud dalam bahasan ini adalah wanita membaca Al-Quran dengan suara yang keras yang didengarkan oleh lelaki lain, dan bahkan lazimnya suara itu dilagukan atau diiramakan. Suara seperti itu jelas mempunyai dampak yang berbeda dengan suara biasa yang tidak keras dan tidak diiramakan sebagaimana yang terjadi dalam jual beli.
Sumber:
Nasehat Nabi SAW untuk Qari-Qariah, Hafidz-Hafidzah oleh Prof. Musthafa Ali Ya’qub
[1] Ahmad Al-Syurbashi, Yasalunaka fid Din wal Hayah, Dar Al-Jil, Beirut, 1980 hlm.119