Khumus, Penipuan Dalam Sejarah Syiah

AHMADBINHANBAL.COM – Hari ini gerakan Syiah mulai berkembang dimana-mana, dan diperlukan usaha untuk memberikan penerangan kepada kaum muslimin agar mereka tidak tertipu oleh berbagai slogan Syiah atau tertipu dengan aneka macam propaganda mereka yang mempesona. Sebab banyak orang Islam yang karena prasangka mereka yang baik dan hati mereka yang tulus telah menjadi korban tipuan propagandis Syiah dan terbius oleh alunan irama langgam mereka.

Apa yang menjadi slogan Syiah adalah “Cinta dan membela Ahlu Bait” yaitu mengagungkan dan mensucikan mereka, mengangkat mereka ke derajat tinggi, memuji-muji mereka secara berlebihan, memaki para Sahabat dan isteri Nabi Muhammad saw serta berdusta atas nama Ahlu Bait dengan mengatakan sesuatu yang tidak pernah mereka katakan.

Dengan slogan dan doktrin itu, penghulu-penghulu Syiah membius pengikut-pengikut mereka dan yang mengorbit dalam lingkaran mereka, untuk tetap mengontrol dan menguasai pengikut-pengikut yang terlena itu, agar mengalir terus-menerus kepada penghulu-penghulu itu, harta-harta yang terkumpul dari peziarah-peziarah gua imam mereka yang ghaib serta masyhad-masyhad imam-imam mereka dan para muridnya; dan lebih dari itu upeti Khumus yang harus dibayar tanpa dikurangi sepeser pun kepada penghulu mereka oleh massa Syiah yang terbius dan tertipu itu.

Dalam artikel yang ringkas ini kita akan membahas tentang khumus menurut Syiah, Khumus telah menjadi urat nadi Syiah bahkan sekiranya bukan karena Khumus Syiah tidak akan ada seperti yang sekarang.

Asal Usul Khumus dalam Syiah

Dalil-dalil yang menyebutkan bahwa khumus adalah wajib merupakan sebuah kebohongan sejarah yang telah dibuat Syiah, lantaran sampai pada akhir abad ke lima hijriyah belum ada pembahasan khumus dalam kitab-kitab Syiah. Dan kitab-kitab fiqih sebelumnya juga tidak menulis bab atau pembahasan tentang kewajiban yang dibuat-buat ini.

Baca juga:   Tanggapan Terhadap M. Quraish Shihab Tentang Masalah Riba

Kitab Alkafi yang ditulis oleh Al-Kulaini yang dianggap sebagai kitab yang tertua, teragung, paling bagus dan paripurna tidak menyebutkan istilah khumus dengan berdiri sendiri tetapi tergabung dengan pembahasan yang lain dan pendiri hauzah ilmiah di Najf yang mereka panggil dengan Syaikhul Mazhab yaitu Muhammad bin Hasan Ath-Thusi juga tidak menyebutkan khumus dalam kitab-kitabnya, padahal sepeninggalnya, dia tidak meninggalkan sesuatu yang tidak diketahui manusia.

Masalah khumus baru muncul ketika masa pemerintahan bani Abbasiyah yang ketika itu ulama Syiah tidak mendapatkan tunjangan untuk menopang kehidupan mereka  karena pemerintah menganggap mereka bukan termasuk Islam disebabkan  keyakinan-keyakinan mereka yang menyeleweng seperti syirik, berlebih-lebihan dan menggatakan bahwa dalam Al-Quran terdapat perubahan (tahrif). Sehingga ahli fiqih Syiah dan para penuntut ilmu hidup dalam kemiskinan dan kepapaan yang tak terperikan. Oleh karena itu salah satu solusi yang mereka buat adalah dengan membuat tafsiran baru tentang ayat khumus.

Maksud tafsir ini adalah hendaknya manusia membayar seperlima dari harta rampasan perang atau bukan perang sesuai pembagian dalam ayat. Maka khumus itu wajib dari semua yang dihasilkan manusia berupa gaji, keuntungan perdagangan, emas tambang dan yang lainnya.

Aslinya oleh Syiah khumus itu diberikan untuk imam dan karena imam mereka tidak ada maka khumus dibayar kepada wakilnya yaitu Marja’. Setelah itu mereka membuat nash-nash yang mengancam orang-orang yang tidak mau membayar khumus dengan azab neraka dan bisa menjadi kafir kemudian muncul hukum-hukum aneh tentang tidak akan dishalatkan orang yang tidak mengeluarkan khumus atau tidak akan dijamui.

Yang perlu diperhatikan bahwa ketika ulama Syiah mendesak pengikut mereka untuk membayar khumus dari harta mereka, mereka juga membuka pintu yang lebar untuk memubahkan memakan harta Ahlus Sunnah yang mereka sebut dengan “Nashibi” dan dianggap amalan yang sunnah dan mereka menyebutkan nash-nash dari Nabi saw dan salaf shalih.

Baca juga:   Biografi dan Pemikiran Ekonomi Abu Abdullah Muhammad Asy-Syaibani

Berikut ini beberapa hadits dari Abu Jakfar yang dijadikan Syiah sebagai dalil atas kehalalan Khumus.

  1. Berkata As-Shadiq alaihis salam : “Sesunguhnya Allah yang tidak ada tuhan selain Dia ketika mengharamkan bagi kami sedekah telah menghalakan bagi kami khumus, sedekah itu haram bagi kami dank khumus itu wajib untuk kami”. (Man la yahdhuruhul Faqih, 2:41)
  2. Dari Abu Jakfar alaihis salam berkata : “Tidak halal bagi seseorang untuk membelanjakan sebagian dari khumus sehingga sampai kepada kami hak kami.” (Al-Hadhaiq An-Nadhirah karangan Al-Bahrani, 12: 428)
  3. Dari Abu Bashir dari Abu Jakfar alaihis salam berkata : “Barangsiapa yang berbelanja dengan sebagian dari harta khumus tidak akan diampuni oleh Allah, dia telah berbelanja dengan sesuatu yang tidak halal”. (Al-Hadhaiq An-Nadhirah karangan Al-Bahrani, 12: 428)

Sanggahan Argumentasi Syiah tentang Ayat Dzawil Qurba

Yang dimaksud ayat dzawi qurbâ oleh kaum Syiah adalah kerabat dan keluarga terdekat Rasulullah saw. Sebagaimana firman Allah swt : “Dan ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sungguh seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil….” (Al-Anfal : 41).

Distribusi pembagian ghanimah menurut mereka adalah 1/5 bagi Allah dan Rasul, 1/5 untuk sanak kerabat Rasul, 1/5 untuk anak-anak yatim, 1/5 bagi fakir miskin, dan 1/5 lagi kepada ibnu sabil. Inilah yang mereka sebut khumus (seper- lima). Khumus ini memang hanya diambil dan harta rampasan di medan jihad, karena Allah Ta’alaberfirman “sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang”, namun amatlah disayangkan harta rampasan jihad atau ghanimah yang seharusnya diambil dari harta orang-orang kafir justru mereka ambil dari umat Muslim.

Baca juga:   Melahirkan Mujtahid Ekonomi Islam yang Kredibel

Di sini ada dua hal yang menjadi letak kesalahan mereka. Pertama, terkait porsi jatah pembagian ghanimah, dan kedua, menyangkut asal harta yang dibagi-bagikan itu diambil.

Untuk yang pertama, semestinya 1/5 dari ghanimah itu memang dibagi rata ke pada Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil, sehingga 4/5 yang tersisa dan keseluruhannya adalah untuk para mujahidin.

Jika diilustrasikan, seandainya total keseluruhan ghanimah bernilai 10.000 (bisa dinar atau dirham), maka ghanimah tersebut dibagi menjadi lima bagian yang sama, yang masing-masing bernilai 2.000. Selanjutnya, empat bagiannya dibagikan kepada para mujahidin yang turut bertempur di medan peperangan, yakni sebanyak 8.000, sedangkan sisanya yang satu bagian itu, 2.000, dibagi menjadi lima bagian lagi: (1) 400 untuk Allah dan Rasul, (2) 400 untuk kerabat Rasul, (3) 400 untuk anak-anak yatim, (4) 400 untuk fakir miskin, dan (5) 400 untuk ibnu sabil. Demikianlah seharusnya pembagian yang benar menurut petunjuk Allah .

Lalu sekarang, apa yang dilakukan kaum Syiah? Seperti sudah disinggung tadi, bahwa mereka memberikan kerabat Rasul 1/5 bagian dari total keseluruhan harta. Bila memakai ilustrasi di atas, maka kerabat Rasul akan mendapatkan harta ghanimah senilai 2.000, bukan 400 seperti yang dituntunkan Allah Ta’ala.

Persoalan kedua, semestinya harta ghanimah yang dibagi hagikan berasal dari harta musuh kafir yang dirampas di medan pertempuran, bukan dari harta muslimin. Sementara yang dilakukan oleh kaum Syiah, mereka mengambilnya dari harta muslimin kemudian 1/5 diserahkan kepada kerabat Rasul. Jelas, apa yang mereka lakukan ini bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga kita tidak bisa menerimanya.

Referensi:

Membantah Argumentasi Syi’ah oleh Utsman bin Ahmad al-Khumais

Kitab ‘Al-Khumsu Wa Sahmul Imam’ oleh Faishal Nur dari Maktabah Syamilah

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *