AHMADBINHANBAL.COM – Kisah ‘debat’ Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang konsep rezeki banyak tersebar melimpah di jagat maya.
Saya sebutkan kisahnya, yang saya ambil dari situs Hidayatullah.Com.
Imam Malik (Guru Imam Syafi’i) berkata, “Sesungguhnya rezeki itu datang tanpa sebab, cukup dengan bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan rezeki. Lakukan bagianmu, lalu biarkan Tuhan yang mengurus sisanya.”
Imam Syafii bertanya, “Jika seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia mendapat rezeki?”. Guru dan murid itupun tetap teguh dalam pendapatnya masing-masing.
Suatu ketika Imam Syafii pergi berjalan-jalan dan melihat sekelompok petani sedang memanen buah anggur. Beliau juga membantu mereka.
Setelah pekerjaannya selesai, Imam Syafii menerima imbalan berupa beberapa ikat anggur. Imam Syafii senang bukan karena mendapat anggur, tapi karena hadiah itu menguatkan pendapatnya.
Imam Syafi’i akhirnya bergegas menemui gurunya Imam Malik. Sambil meletakkan semua anggur yang didapatnya, beliau menceritakan, dan sedikit mengeraskan kalimatnya, ”Jika saya tidak keluar dari gubuk dan melakukan sesuatu (membantu memanen), tentu anggur tidak akan pernah sampai ke tangan saya.”
Mendengar perkataan Imam Syafi’i, gurunya Imam Malik tersenyum sambil mengambil anggur dan mencicipinya.
Kemudian Imam Malik berkata dengan lembut, “Hari ini saya tidak keluar, hanya mengambil pekerjaan sebagai guru, dan sedikit berpikir alangkah baiknya jika di hari yang panas ini saya bisa menikmati anggur. Tiba-tiba engkau datang membawakanku beberapa buah anggur segar. Bukankah ini juga bagian dari rezeki yang datang tanpa alasan. Cukup dengan tawakkal kepada Allah, pasti Allah akan memberikan Rezeki. Lakukan bagianmu, lalu biarkan Allah yang mengurus sisanya.”
Akhirnya, guru dan murid itu saling tertawa. Begitulah cara para ulama melihat perbedaan, bukan dengan menyalahkan orang lain dan hanya membenarkan pendapat mereka. Semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.
***
Teman saya di Twitter, Musyfiquurahman (@syahdaka) ketika mengomentari video dari salah satu komika tentang kisah ini, menilai tidak valid, dilihat dari gaya bahasanya, berbeda dengan gaya bahasa kitab-kitab induk yang memuat riwayat sirah, nawadir, tharaif para ulama dan tabiin.
Teks Arab yang banyak tersebar adalah berikut ini.
Ada penjelasan yang terlalu jauh dari kisah di atas, bahwa Imam Malik berpaham Jabariyah, rezeki itu datang tanpa sebab, cukup dengan bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan berikan rezeki. Dan Imam Syafi’i berpaham Qadariyah dalam hal rezeki, beliau mengatakan bahwa seandainya burung itu tidak keluar dari sangkarnya niscaya tidak akan mendapat rezeki, artinya ia telah melakukan usaha.
Saya pun mencari keterangan dari kisah ini, dan saya dapatkan penjelasan dari Sheikh Saadullah Ahmed Arif Al-Berzanjy di website saadarif.com dengan beberapa simpulan dan nasehat berikut.
- Manhaj umat selalu berada di atas manhaj Al-Quran dan Sunah sesuai dengan pemahaman para ulama, sahabat, tabi’in dan tabiut tabiin.
- Kisah ini belum kami dapatkan sumbernya.
- Kisah yang disebutkan dalam Al-Quran memiliki uslub dan asbab sendiri, menjadi tentara dari tentara Allah untuk meneguhkan hati orang-orang yang beriman, akan tetapi kisah dari luar Al-Quran tidak bisa dijadikan dalil, hanya menjadi pengingat.
- Secara umum, mengambil sebab itu wajib dengan meyakini sebab tersebut menuju kepada musabab sesuai dengan kehendak Allah, tidak boleh menolak sebab secara menyeluruh.
- Seorang mukmin wajib mengambil sebab jika dia mampu mempersiapkannya, tetapi jika tidak bisa, kondisinya akan seperti seekor burung yang sakit, yang tidak bisa dijadikan contoh. Orang seperti mereka ini, Allah mengurus mata pencaharian mereka tanpa menyalahkan karena meninggalkan sebab.
- Kisah-kisah seperti ini, jika benar, harus ditempatka di tempatnya dan difahami sesuai kerangka perilaku yang ada dalam nash dan diikuti oleh ahli ilmu dan ahli amal yang Allah ridhai.
- Bisa jadi cerita cacat seperti ini dibuat untuk menurunkan kemuliaan para imam. Kita telah belajar bahwa tidak boleh mengambil teks sebagian tanpa mengambil teks lainnya. Hendaknya mengumpulkan teks tersebut dan menggunakan ijtihad untuk sampai kepada hukum atau lebih mendekati sesuai dengan kemampuan. Sehingga kita tidak menilai para imam mengambil teks tanpa mengambil lainnya.
- Saya juga mengimbau kepada orang-orang yang saya cintai untuk tidak menyebutkan kisah-kisah semacam itu sebelum memastikan keasliannya, kemudian jika disebutkan, maka harus sesuai dengan metodologi syari’at yang telah diterapkan oleh Rasulullah saw, keluarganya, para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya, dan sesuai dengan amalan para penuntut ilmu dan para ahli tazkiyah, karena bisa jadi kisah-kisah tersebut mengandung hal-hal yang tidak sesuai dengan metodologi dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ahli tazkiyah dalam berijtihad.
- Refleksi terhadap nash-nash tersebut berguna untuk melatih diri dalam menggali kedalaman teks dan membandingkan apa yang dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuannya, sehingga seorang mujtahid sampai pada sesuatu yang mendekati maksud Allah Ta’ala, karena setiap mujtahid diberi ganjaran dan pahala meskipun salah, dan apa yang masih meragukan dikembalikan kepada Allah Ta’ala.