Tafsir Al-Kasysyaf Karya Al-Zamakhsyari adalah salah satu kitab tafsir bil ra’yi terkenal. Pembahasannya menggunakan metode bahasa dan sastra. Penafsirannya sering meninjau arti mufradat dengan merujuk kepada ucapan-ucapan orang Arab terhadap syair atau definisi istilah yang populer.
Di Kategori Kitab Ulama ini, kita akan mengenal bersama tentang nama dan sejarah penulisan kitab al-kasysyaf, metode tafsir, nilai ilmiah dan Khasanah Catatan Kaki atas Kitab Al-Kasysyaf.
Semoga bermanfaat.
Nama Kitab
Kitab tafsir karangan Imam Al-Zamakhsyari diberi judul kitab Al-Kasysyaaf ‘An Haqaa’iq at-Tanziil Wa ‘Uyuun al-Aqaawiil Fii Wujuuh at-Ta’wiil, nama ini ditulis oleh Zamakhsyari dalam pendahuluan kitabnya. Dan pada cetakan yang lain tedapat tambahan “Ghawamidh”, sehingga judulnya menjadi “Al-Kasysyaaf ‘An Haqaa’iq Ghawamidh at-Tanziil Wa ‘Uyuun al-Aqaawiil Fii Wujuuh at-Ta’wiil, judul inilah yang telah disebutkan oleh Borklemen dan selanjutnya diikuti banyak orang.
Sejarah Penulisan Kitab
Menurut sejarahnya, kitab ini disusun oleh Zamakhsyari selama tiga tahun, mulai dari tahun 526 H sampai dengan 528 H, di Makkah al-Mukarramah, ketika ia berada di sana untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya. Tentang tanggal penulisannya, Zamakhsyari menyebutkan bahwa kitab ini selesai di Dar Sulaimaniyah pada waktu Dhuha, hari senin tanggal 23 Rabi’ul akhir pada tahun 528 H.
Waktu dan tempat penyusunan tafsir ini diketahui melalui pengakuannya dalam muqaddimah tafsirnya. Ia menyatakan bahwa tafsirnya itu disusunnya selama tiga tahun, dan lama penyusunannya itu sama dengan lama masa pemerintahan Abu Bakr al-Shiddiq.
Penulisan kitab ini awalnya adalah atas usulan dari rekan-rekan Mu’tazilah yang menamakan diri al-Fi’ah al-Najiyah al-‘Adiyah. Kelompok ini sangat mengagumi dan mengakui kedalaman ilmu dan keintelektualan al-Zamakhsyari dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Awalnya, al-Zamakhsyari mendiktekan tentang masalah yang terkandung dalam surat al-Fatihah, al-Fawatih al-Suwar, dan beberapa pembahasan tentang hakikat-hakikat surat al-Baqarah kepada rekan-rekannya. Ternyata Kitab Tafsir tersebut memperoleh apresiasi yang luar biasa dari berbagai daerah. Keunggulannya adalah cara penyampaiannya yang ringkas dan menarik.
Para ulama Mu’tazilah pun tertarik terhadap kitab ini dan meminta untuk dipresentasikan di hadapan mereka. Akhirnya, Kitab Tafsir ini diberi masukan agar disusun secara i’tazili. Bahkan pemimpin Kota Makkah, Ibn Wahhas, berkeinginan memiliki Kitab Tafsir tersebut. Banyaknya respons positif terhadap Kitab Tafsir tersebut, al-Zamakhsyari menjadi lebih termotivasi untuk melanjutkan penulisan al-Kasysyaf.
Zamakhsyari menyebutkan keinginan para sahabat dan ulama terhadap kitab tafsirnya di pendahuluan kitab, ia menulis demikian.
“Sesungguhnya aku telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk menafsirkan ayat al-Qur’an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka merindukan seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari hakikat-hakikat itu. Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat menuliskan buat mereka penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan, inti-inti yang terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai aspek takwilannya. Aku lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban, serta menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang”.
Metode Tafsir al-Kasysyaf
Tafsir al-Kasysyaf disusun secara tartib mushafi yaitu disusun sesuai dengan urutan mushaf usmani yang diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas. Tafsir ini dikategorikan kedalam tafir bi al-ra’yi karena menggunakan penafsiran rasional yang didukung riwayat.
Metode yang digunakan al-Zamakhsyari adalah Tahlili. Ia berusaha menguraikan berbagai segi dari suatu ayat, lalu menjelaskan apa yang dimaksud dalam seluruh ayat Al-Qur’an, dimulai ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah an-Nas. .
Aspek lainnya, Al-Zamakhsyari menekankan pada bahasa dalam menjelaskan maksud ayat. Penenakan tersebut didukung kemampuan ilmu ma’ani, ilmu bayan, ilmu nahwu, dan sharaf yang ia miliki.
Kitab tafsir karangannya memiliki keunggulan dari sisi keindahan al-Qur’an dan balaghahnya yang mampu menyihir hati manusia, mengingat kemumpunian beliau dalam bahasa Arab dan pengetahuannya yang mendalam mengenai sya’ir-sya’irnya. Tetapi ia membawakan hujjah-hujjah itu untuk mendukung madzhab muktazilahnya yang batil di mana ia memaparkannya dalam ayat-ayat al-Qur’an melalui pintu balaghah.
Sisi keindahan dan balaghah dalam al-Quran adalah hal yang sangat ditekankan dalam tafsirnya, dan ia banyak berusaha dalam tafsirnya untuk mengarahkan maknanya pada ‘Majaz’, ‘Isti’arah’, ‘Tamtsil’ atau Isykal Balaghiyah. Ini semua untuk meunjukkan uslub dan syair al-Quran, oleh karena itu kitab ini termasuk kitab tafsir yang paling luas menyebutkan sisi bayan dan balaghah al-Quran.
Tujuan Al-Zamakhsyari mengungkapkan sisi-sisi kebalaghahan Al-Qur’an dengan lafaz isti’arah, kinayah, majaz, dan kemusykilan balaghah lainnya adalah untuk melemahkan para penentang Al-Qur’an. Kekayaan ilmu bahasa dan sastranya inilah yang menjadikan Tafsir al-Kasysyaf sebagai rujukan hingga kini. Selain Ilmu Balaghah, Kitab Tafsir inilah yang menjadi warisan utama al-Zamakhsyari.
Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog atau metode tanya-jawab dalam penafsirannya atas ayat-ayat Al-Qur’an. ketika al-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan.
Misalnya, “Huruf ba’ (yang terdapat pada basmalah) berkaitan dengan kalimat apa?”; “Mengapa kaitan huruf ba’ diasumsikan terletak di akhir basmalah?”; “Apa makna sifat rahmat yang disandang oleh Allah SWT?”; “Jika memang sifat rahman lebih sempurna (baligh) daripada sifat rahim, lantas mengapa sifat rahman disebut terlebih dahulu, padahal secara logika mestinya disebut secara gradual yakni dari yang paling rendah (al-adna) ke yang paling tinggi (al-a‘la)?; dan lain sebagainya.
Nilai Ilmiah Dalam Kitab Al-Kasyaf
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Ia menyinggung juga tentang permasalahan fiqih namun tidak memperluasnya. Diakui bahwa ia dalam hal ini adalah seorang yang ‘moderat’, tidak fanatik dengan madzhab ‘Hanafi’-nya. Ia bermazhabkan Hanafi dalam masalah furu’ dan bermazhab Muktazilah dalam masalah ushul tanpa berta’ashub terhadap mazhab Hanafi, dan penulis Thabaqat Hanafiah mengatakan: “Imam besar dalam masalah adab dan namanya sering disebut-sebut.”
Sikapnya Terhadap Bahasa, Nahwu dan Sya’ir
Beliau memberikan perhatian penuh pada penjelasan kekayaan balaghah dalam hal ‘Ma’aani’ dan ‘Bayaan’ yang terdapat di dalam al-Qur’an. Tetapi, bila ia melewatkan saja suatu lafazh yang tidak sesuai dengan madzhabnya, ia berupaya dengan segenap kemampuannya untuk membatalkan makna zhahir lafazh itu dengan menetapkan makna lain untuknya dari apa yang ada di dalam bahasa Arab atau mengarahkannya seakan ia adalah ‘Majaz’, ‘Isti’arah’ atau ‘Tamtsil’. Ia juga memiliki diwan syair yang banyak dipuji oleh para penulis, Borklemen, dalam bukunya al-Adab al-Islami, menyebutkan salah satu dari syairnya.
Ibnu Khaldun memberikan analisa dan penilaian terhadap al-Khasysyaf karya Zamakhsyari tersebut di saat membicarakan tentang rujukan tafsir mengenai pengetahuan tentang bahasa, I’rab, dan balaghah. Dia mengatakan:
“Di antara kitab tafsir paling baik yang mencakup bidang tersebut ialah kitab al-Khasysyaf karya Zamakhsyari, seorang penduduk khawarizm di Irak. Hanya saja pengarangnya termasuk pengikut fanatik Mu’tazilah. Karena itulah ia senantiasa mendatangkan argementasi-argumentasi untuk membela mazhabnya yang rusak setiap ia menerangkan ayat-ayat al-Quran dari segi balaghah. Cara demikian bagi para penyelidik dari kaum ahli sunnah dipandang sebagai penyimpangan dan, bagi jumhur, merupakan manipulasi terhadap rahasia dan kedudukan al-Quran. Namun demikian mereka tetap mengakui kekokohan langkahnya dalam hal berkaitan dengan bahasa dan balaghah. Tetapi jika orang membacanya tetap berpijak pada mazhab sunni dan menguasai hujah-hujahnya, tentu ia akan selamat dari perangkap-perangkapnya. Oleh karena itu, kitab tersebut perlu di baca mengingat keindahan dan keunikan seni bahasanya ”.
Khasanah Catatan Kaki atas Kitab Al-Kasysyaf
Tafsir Al-Kasyaf adalah kitab tafsir yang paling tinggi dalam tingkatan ilmu Balaghah dan Bahasa Arab. Bagi Zamakhsyari, bahasa Arab adalah ratu baginya, meskipun dia dilahirkan dengan bahasa Persia.
Tafsir Al-Kasyaf menjadi terkenal di kalangan umat Islam karena memiliki banyak syarh dan hasiyah atau catatan kami atas kitab ini meskipun penulisnya adalah seorang Muktazilah.
Secara umum, khazanah “catatan kaki” Tafsir al-Kasysyaf dapat dikategorikan dalam tiga tipe berikut ini:
Pertama, Ditulis untuk membantah paham Muktazilah
Beberapa Hasyiah atau catatan kaki yang termasuk dalam kategori ini adalah:
Sabab al-Inkifaf ‘an Iqra’ al-Kashshaf karya al-Subki
Kitab Sabab al-Inkifaf ‘an Iqra’ al-Kashshaf (سبب الانكفاف عن إقراء الكشاف) ditulis oleh Taqi al-Din al-Subki (W. 756). Makna judul buku ini secara mudah adalah sebab-sebab kenapa aku berhenti dari mengajar al-Kashshaf.
al-Subki adalah seorang yang pakar di dalam Tafsir al-Quran & berfahaman Ash’ari, sudah tentulah jika mengajar tafsir ini beliau akan melalui beberapa penulisan al-Zamakshari yang bertentangan dengan pegangan beliau.
Al-Subki juga telah belajar serta membaca al-Kashshaf bersama gurunya, Syekh Allamuddin Abdul Karim bin Ali, yang dikenal dengan nama “al-Araqi”, seorang tokoh ulung pada kurun ke-7 Hijrah dan mengajar di Madrasah Mansuriyah di Kairo.
Ketika al-Subki masih seorang penuntut beliau telah melihat perdebatan antara gurunya dengan seorang lagi tokoh besar iaitu Ibn al-Munayyir (W. 683).
Perdebatan ini sangatlah signifikan kerana dikatakan Ibn al-Munayyir adalah tokoh pertama yang menyanggah al-Zamakhshari dan al-Kashshaf, manakala Ibn Bint al-‘Iraqi adalah orang yang pertama membela al-Zamakhshari dan al-Kashshaf.
Perdebatan ini sekaligus telah mengangkat al-Kashshaf sebagai sebuah rujukan utama di persada institut pengajian Islam pada ketika itu. Namun, pada penghujung karier, beliau tidak dapat lagi membendung perasaannya terhadap beberapa kepercayaan Mu’tazilah di dalam al-Kashshaf. Sehingga pernah diceritakan apabila seorang sahabatnya dari Madinah datang ke Kaherah telah meminta satu salinan Tafsir al-Kashshaf, beliau berdalih dan berat untuk memberikan Salinan tersebut. al-Subki secara jelas berkata niat beliau untuk belajar al-Kashshaf adalah untuk mengetahui isinya untuk di’bersihkan’ isi-isi Mu’tazilah, tetapi perkara yang sebaliknya telah berlaku.
Syeikh Muhammad Ulyan al-Marzuki
Beliua menulis dua kitab tentang al-Kasysyaf yaitu Hasyiyah Tafsir al-Kasyaf dan Masyahidah Inshaf ‘Ala syawahidil Kasyaf.
Kedua, Ditulis sebagai syarah dan takhrij hadis-hadis al-Kasyaf
Hasyiah kedua yang penting untuk diceritakan di sini ialah;
Nawahid al-Abkar wa Shawarid al-Afkar oleh al-Suyuti
Imam Jalal al-Din al-Suyuti (W. 911) menulis kitab Nawahid al-Abkar wa Shawarid al-Afkar, yang asalnya, Hasyiah ini telah ditulis untuk Tafsir al-Baydawi, yang mana Tafsir al-Baydawi juga sebenarnya adalah Hasyiah ke atas Tafsir al-Kashshaf. Ini bermaksud, secara teknikalnya al-Suyuti telah menulis satu Hasyiah untuk ke 2 tafsir, yaitu al-Kashshaf dan al-Baydawi.
Di dalam Nawahid ini al-Suyuti bertindak membela al-Kashshaf dari serangan yang telah dilontarkan oleh al-Bulqini, seorang tokoh yang telah belajar tafsir dengan Abu Hayyan al-Gharnati dan Abu al-Thana’ al-Isfahani.
AlBulqini yang terkenal di dalam bidang al-Quran dan al-Sunnah telah melontar bahwa alKashshaf dipenuhi dengan hadis-hadis yang lemah, alSuyuti membalas semula dengan mengatakan bahawa al-Kashshaf adalah sebuah tafsir yang mengutamakan Nahu dan Balaghah sebagai metod utama.
Al-Suyuti menekankan lagi bahawa aspek Balaghah seperti al-Bayan dan al-Ma’ani inilah yang telah melonjakkan al-Kashshaf sebagai sebuah tafsir yang utama.
al-Kafi asy-Syafi fi Takhrij Ahadits al-Kasysyaf oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani
Komentar lain yang khusus berkaitan dengan hadis-hadis dan atsar-atsar yang terdapat dalam al-Kasysyaf, antara lain, Takhrij al-Ahadits wa al-Atsar al-Waqi‘ah fi Tafsir al-Kasysyaf li az-Zamakhsyari karya Abi Muhammad b. Yusuf b. Muhammad az-Zayla‘i.
Ada pula komentar khusus berkaitan dengan argumen-argumen syair yang dikutip oleh az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf, seperti Masyahid al-Inshaf ‘ala Syawahid al-Kasysyaf yang ditulis oleh Muhammad ‘Ulyan al-Marzuqi asy-Syafi‘i.
Ketiga, Ditulis untuk membincang perihal Bahasa Arab dalam al-Kasyaf
Hasyiah yang ketiga pula telah ditulis oleh Abu al-Hinna’i Qinalizade (W. 979), al-Muhkamat al-‘Aliyah fil al-Abhath al-Radawiyah fi I’rab ba’di al-Āyi al-Quraniyyah (المحاكمات العلية في الأبحاث الرضوية في إعراب بعض الآي القرآنية)
Penulisan ini sangat menarik, kerana ianya adalah penulisan jawapan balas ke atas seorang lagi tokoh iaitu Badr al-Din al-Ghazzi, berkenaan permasaalahan dan hukum I’rab oleh al-Zamakshari dan pentarjihan di antara Abu Hayyan al-Gharnati dan al-Samin al-Halabi.
Ceritanya bermula apabila al-Ghazzi menulis sebuah Tafsir yang telah dinazamkan (ini adalah yang pertama di dalam sejarah!), dan telah disempurnakan penulisan dan pembacaan nya di sisi Maqam Nabi Yahya di Masjid Umawi, serta diperbincangkan 10 permasaalahan tentang I’rab,
Qinalizade yang turut berada di dalam majlis tidak bersetuju dengan pendapat alGhazzi lantas mencabar beliau untuk menulis hujjah beliau, maka terhasillah Hasyiah alDur alThamin fi alMunaqasyah baina Abi Hayyan wa al-Samin. Lantas, Qinalizade membalas semula hujjah al-Ghazzi.
Di antara Hawasyi ke atas al-Kashshaf yang utama ialah:
(1) Hasyiah al-Tibi
Sharaf al-Din al-Tibi yang telah mengarang Futuh al-Ghayb fi al-Kashf ‘an Qina’ al-Ghayb yang merupakan sebuah Hasyiah kepada Tafsir al-Kashshaf dan Tafsir al-Kashf wa al-Bayan oleh al-Tha’labi. Ibn Hajar, al-Suyuti dan Qinalizade telah mengangkat dan memuji Hasyiah al-Tibi ini dan mengatakan ianya adalah Hasyiah yang paling lengkap ke atas al-Kashshaf.
Karya yang lazim disebut Hasyiyah ath-Thayyibi ‘ala al-Kasysyaf ini mengomentari kata demi kata atau kalimat demi kalimat yang tertera dalam al-Kasysyaf, persis seperti Hasyiyah ash-Shawi ‘ala al-Jalalayn. Hanya saja komentar ath-Thayyibi atas al-Kasysyaf lebih panjang, mirip Hasyiyah al-Qunawi ‘ala al-Baydhawi. Bila Hasyiyah yang disebut terakhir diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah dalam 20 volume, maka Hasyiyah ath-Thayyibi diterbitkan oleh Ja’izah Dubay ad-Dawliyyah li al-Qur’an al-Karim dalam 17 volume.
2) Hasyiah al-Taftazani & Hasyiah al-Jurjani
Hasyiah al-Taftazani yang dikarang oleh Sa’d al-Din al-Taftazani merupakan Hasyiah yang paling terpenting dan merupakan rujukan utama ketika zaman pemerintah Uthmaniyah. Dan di sebalik Hasyiah ini ada kisah yang amat menarik dan juga telah menyumbang kepada kepesatan pembangunan intelektual Islam. Hasyiah ini telah ditulis kerana berlaku nya perdebatan di antar al-Taftazani dan al-Syarif al-Jurjani (yang juga menulis Hasyiah al-Kashshaf) berkenaan Syarah al-Zamakhshari ke atas ayat 5 surah al-Baqarah. Perdebatan ini berlaku di depan pemimpin pada ketika itu, Timur Lenk. Dipercayai al-Jurjani telah Berjaya menguasai perdebatan itu, dan akibat daripada itu al-Taftazani dilanda kesedihan yang amat sehingga ia membawa beliau kepada sakit yang membuatkan beliau meninggal.
Selain itu, ada juga ulama yang secara khusus mengomentari paham-paham Muktazilah yang tertuang dalam al-Kasysyaf. Yang paling terkenal dan dikaji di pesantren-pesantren karena sering kali dicetak bersamaan dengan al-Kasysyaf (diletakkan di bagian pinggir atau catatan kaki) ialah al-Intishaf karya Ahmad b. Muhammad atau yang masyhur dikenal dengan Ibn al-Munayyir, seorang ulama asal Alexandria, Mesir.
Belakangan, karya Ibn al-Munayyir ini dikaji ulang oleh Shalih b. Gharam al-Ghamidi dan dijadikan sebagai sumber primer bagi karyanya yang terdiri dari dua volume itu, al-Masa’il al-I‘tizaliyyah fi Tafsir al-Kasysyaf li az-Zamakhsyari fi Dhau’ Ma Warada fi Kitab al-Intishaf li Ibn al-Munayyir. Di samping Ibn al-Munayyir, Abu ‘Ali ‘Umar b. Muhammad as-Sakuni al-Maghribi juga menulis komentar serupa, dengan judul at-Tamyiz li ma Awda‘ahu az-Zamakhsyari min al-I‘tizal fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz.
Selain itu, ada juga khidmah kepada Tafsir az-Zamakhsyari lewat ringkasan. Catatan seperti ini berusaha menghilangkan paham-paham Muktazilah dalam Tafsir al-Kasysyaf, sembari menampilkan penafsiran-penafsiran az-Zamakhsyari dalam format yang lebih sederhana. Tujuannya jelas: agar kemanfaatan Tafsir al-Kasysyaf dapat diakses oleh semua kalangan, termasuk kaum awam dan para pelajar pemula.
Ada beberapa ulama yang menulis “catatan kaki” jenis ini, di antaranya Muhammad b. ‘Ali al-Anshari, Nashiruddin al-Baydhawi dengan karyanya yang berjudul Anwar at-Tanzil, Quthbuddin asy-Syaqar dengan Taqrib at-Tafsir-nya yang kelak diberi komentar oleh al-Arzanjani, al-Mawla Majduddin atau yang lebih dikenal dengan sebutan Zadah al-Hanafi, al-Mawla ‘Abdul Awwal atau yang lebih dikenal Ummu Walad, dan ‘Ali ath-Thusi dengan Jawami‘ al-Jawami‘-nya.
Sebagai contoh, Anwar at-Tanzil karya al-Baydhawi atau yang lebih akrab disebut Tafsir al-Baydhawi. Berdasarkan keterangan yang ditulis oleh ‘Abdullah Mahmud dengan mengutip penjelasan Haji Khalifah, diketahui bahwa dalam Tafsir tersebut al-Baydhawi meringkas penafsiran-penafsiran az-Zamakhsyari khususnya yang berkaitan dengan i‘rab, ma‘ani dan bayan. Sedangkan yang berkaitan dengan hikmah dan ilmu kalam, beliau kutip dari at-Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin ar-Razi; dan yang berkenaan dengan isytiqaq, beliau kutip dari ar-Raghib al-Ashfahani.
Contoh lain, Taqrib at-Tafsir karya Quthbuddin asy-Syaqar. Adalah ‘Abdullah b. Sanad ar-Rahili yang menelaah manuskrip karya tersebut dan menjadikannya sebagai objek penelitian bagi tesisnya yang diajukan pada Kulliyyat al-Qur’an al-Karim wa ad-Dirasat al-Islamiyyah, Universitas Islam Madinah. Pada bagian mukadimah, ar-Rahili menggarisbawahi tiga hal penting berkenaan dengan metode penafsiran asy-Syaqar. Pertama, meringkas kalimat-kalimat az-Zamakhsyari yang tertuang dalam Kasysyaf-nya. Kedua, menghilangkan paham-paham Muktazilah secara total atau mengutip lalu mengkritiknya. Ketiga, menulis penjelasan-penjelasan tambahan yang tidak terdapat dalam al-Kasysyaf, baik berkenaan tentang analisis tafsir, nahwu, balaghah, maupun fikih.
Sumber
Biografi Lengkap Imam Az-Zamakhsyari dan Tafsir Al-Kasysyaf