Pandangan Imam Abu Hanifah tentang Wakaf Buku

Home » Pandangan Imam Abu Hanifah tentang Wakaf Buku

Mukadimah

Harta benda merupakan salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia. Manusia sangat sulit untuk melepaskan diri dari ketergantungan kepada harta benda, karena setiap kegiatan kehidupan manusia berhubungan dengan harta benda.

Pada hakekatnya, harta benda yang dimiliki oleh manusia adalah amanah Allah yang harus dijaga dan diperlakukan manusia sesuai dengan ketentuan yang diberlakukan oleh Allah (syari’at). Salah satu syari’at Allah mengenai harta benda yang diberikan oleh manusia penerima penerima harta tersebut melalui shadaqah atau zakat. Penggunaan hasil pengumpulan harta benda dari pemungutan shadaah diterangkan oleh Allah dalam firman-Nya yakni surah at-Taubah ayat 60.

Selain syariat penyisihan harta yang diperoleh manusia untuk shadaqah, terdapat syariat Islam lainnya yang berkaitan dengan harta benda, yakni wakaf.

Sama seperti shadaqah, wakaf juga merupakan ibadah yang memiliki nilai social. Perbedaan antara shadaqah dengan wakaf terletak pada mustahiq (penerimanya).

Shadaqah diperuntukkan bagi orang-orang yang telah ditentukan menurut syara’ dari seorang muslim secara sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu, sedangkan peruntukan wakaf tidak disandarkan pada ketentuan orang-orang tertentu yang berhak menerima manfaatnya melainkan disandarkan pada kemaslahatan umat (kepentingan orang banyak).

Wakaf secara Bahasa

Secara bahasa, kata “wakaf” berasal dari bahasa Arab, yaitu kata benda abstrak (mashdar) waqfan, atau kata kerja waqafa-yaqifu yang berarti “ragu-ragu,berhenti, memberhentikan, memahami, mencegah, menahan, menggantikan,memperlihatkan, meletakkan, mengabdi, dan tetap berdiri”.

Rasulullah saw. menggunakan kata al-habs dalam menunjukkan pengertian wakaf, dari kata “Habasa-Yahbisu-Tahbisan”.

Dengan demikian wakaf ialah menahan (al-habs), yaitu menahan suatu harta benda, yang manfaatnya diperuntukkan bagi kebajikan yang dianjurkan oleh agama. Atau dalam kata lain, wakaf adalah penahanan harta sehingga tidak bisa diwarisi, atau dijual, atau dihibahkan, dan mendermakan hasilnya kepada penerima wakaf.

Wakaf menurut Istilah Ahli Fikih

jdjdj

Wakaf Menurut Abu Hanifah

Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap di wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan.

Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya.

Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Karena itu mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah : “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang”.

Wakaf menurut Imam Malik

Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakat tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.

Perbuatan si wakif menjadi menfaat hartanya untuk digunakan oleh mustahiq (penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang.

Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu susuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemelikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu memberikan manfaat benda secara wajar sedang itu tetap menjadi milik si wakif.

Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).

Wakaf menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad

Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan.

Baca juga:   Sejarah, Keutamaan, Amalan dan Peristiwa Penting di Bulan Rajab

Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti : perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wakaf, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh warisnya.

Wakif menyalurkan menfaat harta yang diwakafkannnya kepada mauquf’alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka Qadhi berhak memaksa agar memberikannya kepada mauquf’alaih.

Karena itu mazhab Syafi’i mendefinisikan wakaf adalah : “tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial)”.

Rukun Wakaf

Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf.

  • Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif).
  • Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf).
  • Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi).
  • Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).

Syarat-Syarat Wakaf

Syarat Al-Waqif

Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki.

Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid).

Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.

Syarat Al-Mauquf

Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya.

Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif).

Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).

Syarat Al-Mauquf Alaih

Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan).

Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll.

Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf.

Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.

Syarat Sighah

Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat.

Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu.

Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu.

Ketiga, ucapan itu bersifat pasti.

Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan.

Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.

Baca juga:   Hukum seputar Foto, Gambar dan Lukisan dalam Islam

Konsep Wakaf menurut Imam Abu Hanifah

Seluruh ulama sepakat bahwa benda yang diwakafkan harus terkandung sifat ta’bid1. Hanya Imam malik dan Syiah Imamiah yang menambahkan aspek batasan waktu (wakaf muaqqat) dalam praktek wakaf di samping sifat ta’bid.

Dasar dari sifat ta’bid tersebut bersumber pada satu hadis Nabi kepada Umar bin Khattab:

إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا

“Jika engkau mau, maka tahanlah zat (asal) bendanya dan sadaqahkanlah hasilnya (manfaatnya)” (Hadits Muslim Nomor 3085)

Meskipun memiliki kesamaan dalam sifat ta’bid, terdapat perbedaan dalam penjabaran dari sifat ta’bid tersebut.

Menurut Imam Abu Hanifah, ta’bid memilikimakna kekal, yakni harta benda yang diwakafkan harus memiliki sifat abadi. Secara lebih luas,harta benda ynag dimiliki sifat abadi adalah harta benda yang menetap atau tidak bergerak, baik secara alami maupun rekayasa. Namun dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan pendapat menurut Imam Abu Hanifah dengan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dan Abu Yusuf.2

Sifat ta’bid dalam wakaf muabbad menurut Imam Abu Hanifah didasarkan pada pernyataan nabi yang menyatakan “ apabila kamu menginginkan, maka kamu dapat menahan asalnya dan sedekahkanlah darinya : harta yang diwakafkan”. Ungkapan inilah yang kemudian dimaknai bahwa dalam wakaf hanya manfaat yang memiliki sifat ta’bid dan bukan kepindahan kepemilikan selama tidak untuk masjid maupun dua hal yang lainnya. Konsekuensi dari pendapat tersebut adalah apabila waqif meninggal dunia maka harrta benda yang diwakfkan akandikembalikan kepada keluarganya dan menjadi harta warisan.3

Imam Abu Hanifah, lebih memaknai ta’bid sebagai sifat kekal yang harus dimiliki oleh benda yang berwujud pada benda yang tidak bergerak namun tidak berlaku pada ta’bid terhadap kepemilikan benda yang dijadikan sebagai objek wakaf melainkan pada sisi pemanfaatannya.

Abu Hanifah tidak memperbolehkan wakaf bila hak kepemilikan pewakaf berpindah tangan selama pewakaf masih hidup. Pewakaf adalah seorang yang tidak mampu mengelola sendiri hartanya. Pewakaf bukanlah pemilik yang tidak memiliki hak untuk mengelola. Wakaf juga tidak berarti mengeluarkan barang ke tangan orang yang bukan pemiliknya dan pewakaf tidak mengetahui apa pun yang terjadi pada barang tersebut.

Lalu, pernyataan bahwa barang wakaf menjadi hak milik Allah, menurut Abu Hanifah merupakan pernyataan yang tidak berdasar, karena segala sesuatu di dunia adalah milik Allah.4

Abu Hanifah menyatakan bahwa transaksi wakaf sama dengan pinjaman (‘ariyah). Untuk mendukung pendapatnya ini Abu Hanifah mensyaratkan wakaf berupa benda kongrit yang memiliki karakter lestari dan benda tidak bergerak, bukan berupa manfaat atau jasa dan bukan benda bergerak.

Menurut pandangannya benda bergerak tidak lestari tidak boleh diwakafkan kecuali apabila mengikuti benda-benda tidak bergerak. Misalnya seseorang mewakafkan sawah atau kemudian mewakafkan traktor serta peralatan lain yang digunakan untuk membjak atau memanen hukumnya boleh. Demikian pula mewakafkan masjid beserta hamba sahaya yang mengurus dan menjaga kebersihannya, hukumnya boleh.5

Selanjutnya Imam Muhammad dan Abu Yusuf membolehkan wakaf kuda dan senjata yang digunakan untuk peperangan. Kedua murid Abu Hanifah ini menggunakan istihsan sebagai dasar hukumnya, bukan qiyas, karena menurut mereka qiyas tidak boleh, mengingat wakaf menurut mereka untuk selama-lamanya, sedangkan benda-benda tersebut tidak memiliki persyaratan yang dimaksudkan. Mereka mengemukakan kasus Abbas paman Nabi dan Khlid yang mewakafkan beberapa baju besi untuk kepentingan perang.6

Lebih lanjut Imam Muhammad membolehkan wakaf benda-benda bergerak
yang berlaku di masyarakat seperti wadug, kapak, golok, arit, periuk, wajan, dan lain-lainnya, termasuk alat-alat dapur dan perkakas rumah tangga.

Tetapi Abu Yusuf tidak setuju dengan pendapat Imam Muhammad tersebut, menurut pendapatnya peralatan dapur dan perkakas rumah tangga tidak dapat diiyaskan dengan peralatan perang, karena qiyas tidak berlaku pada masalah-masalah yang ada nash. Imam
Muhammad mengajukan jawaban bahwa qiyas bisa ditinggalkan pada masalah-masalah yang berlaku di masyarakat. Misalnya transaksi kerja, tidak berlaku qiyas karena disyaratkan berupa barang dan jasa yang terukur tidak terpenuhi, tetapi sah karena berlaku di masyarakat.7

Baca juga:   Selayang Pandang Sejarah Mazhab Syafi'i

Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Wakaf Buku

Pendapat Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa wakaf buku tidak dapat diperbolehkan karena termasuk wakaf manqūl (bergerak). Sedangkan para ulama` lain, termasuk para imam madzhab lain berpendapat bahwa wakaf benda bergerak diperbolehkan.

Beliau berpendapat bahwa wakaf harus memenuhi syarat ta’bid (kekekalan) dalam zat benda dan manfaatnya untuk umat manusia, yang menurutnya tidak terpenuhi pada benda bergerak.

Berikut adalah perbandingan pandangan Imam Abu Hanifah tentang wakaf buku dengan wakaf barang lain:

  • Wakaf Buku: Tidak diperbolehkan karena termasuk benda bergerak (manqūl) dan tidak memenuhi syarat ta’bid (kekekalan).
  • Wakaf Tanah: Diperbolehkan karena tanah dianggap sebagai harta yang menetap. Imam Abu Hanifah mendasarkan pendapatnya pada hadis tentang Umar bin Khattab yang mewakafkan tanahnya di Khaibar.
  • Wakaf Masjid: Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, kepemilikan harta yang diwakafkan untuk masjid berpindah dari wakif menjadi milik Allah.
  • Wakaf Secara Umum: Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa harta wakaf tetap menjadi milik wakif dan wakif memiliki hak untuk menarik kembali wakafnya. Pandangannya ini berbeda dengan Imam Syafi’i, yang berpendapat bahwa wakaf melepaskan harta dari kepemilikan wakif.

Namun, perlu dicatat bahwa terdapat pengecualian dalam pandangan Imam Abu Hanifah, di mana wakif tidak bisa menarik kembali wakafnya dalam kasus wakaf masjid, putusan pengadilan, wakaf wasiat, dan wakaf makam2. Selain itu, mazhab Hanafi juga menerima wakaf benda bergerak yang terkait dengan buku atau sumber ilmu pengetahuan.

Khatimah

Referensi

Moh. Abd Basith, ‘Pendapat Imam Abu Hanifah tentang wakaf buku dalam kitab Badāi’ al-Shanāi’ karya ‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī’. Skripsi UIN Walisongo, Semarang tahun 2011. Tautan: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/2009/

Lukman Zen, Studi Analisis pendapat Mazhab Hanafi tentang Wakaf oleh orang Safih, Skripsi IAIN Walisongo, Semarang, tahun 2008.

Sitta ‘Ala Arkham dan Laila Afni Rambe, Pendekatan Sejarah dalam Hukum Wakaf Imam Hanafi. El-Faqih: Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam. Volume 7, Nomor 1, April 2021. https://ejournal.iaifa.ac.id/index.php/faqih.

Jumal Ahmad, 8 Golongan Penerima Zakat dalam Surat At-Taubah Ayat 60, https://ahmadbinhanbal.com/tafsir-qs-at-taubah-60/

Pengertian Wakaf, https://www.bwi.go.id/literasiwakaf/pengertian-wakaf/

FAQ

Footnote


  1. Ta’bid dalam wakaf adalah lafaz ikrar yang menunjukkan kekal sifat wakaf dan tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Lihat https://www.bwi.go.id/literasiwakaf/pengertian-wakaf/ ↩︎
  2. M. Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, terj. A. Sani Fatturrahman dkk. (Jakarta: IIMaN Pres:2010) h. 262. ↩︎
  3. Moh. Abd. Basith, Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Wakaf Buku dalam kitab badai al-Shanai Karya ‘Alauddin Abi Bakri bin Mas’ud al-Kasani, ( Semarang: Fak. Syariah IAIN Walisongo, 2011), h. 27-30. ↩︎
  4. Moh. Abd. Basith, Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Wakaf Buku dalam kitab badai al-Shanai Karya ‘Alauddin Abi Bakri bin Mas’ud al-Kasani, ( Semarang: Fak. Syariah IAIN Walisongo, 2011), h.30 ↩︎
  5. Mukhlisin Muzarie, Hukum Perwakafan dan Implikasinya Terhadap Kesejahteraan Masyarakat (implementasi Wakaf di Pondok modern Darussalam Gontor),(Cet. I; Jakarta: Kementerian Agama RI, 2010), h. 120. ↩︎
  6. Mukhlisin Muzarie, Hukum Perwakafan dan Implikasinya Terhadap Kesejahteraan Masyarakat (implementasi Wakaf di Pondok modern Darussalam Gontor),(Cet. I; Jakarta: Kementerian Agama RI, 2010), h. 120. ↩︎
  7. Mukhlisin Muzarie, Hukum Perwakafan dan Implikasinya Terhadap Kesejahteraan Masyarakat (implementasi Wakaf di Pondok modern Darussalam Gontor),(Cet. I; Jakarta: Kementerian Agama RI, 2010), h. 120-121 ↩︎

Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *