Pembelajaran Reflektif Meningkatkan Peran Mahasiswa Mendapatkan Pembelajaran Bermakna

Bagian awal dari Tesis Jumal Ahmad tahun 2020 Jakarta tentang Religiositas, Refleksi dan Subjektivitas Keagamaan dengan mengambil sampel Mahasiswa UIN Jakarta. Buku secara lengkapnya bisa dibaca di Research gate, Academia, atau Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

A. Latar Belakang Masalah

Kepastian norma dan tuntunan agama dapat menguatkan kepribadian dan karakter seseorang. Tetapi di banyak masyarakat sering ditemukan pengikut agama yang taat ternyata berkepribadian lembek (soft character) bahkan merusak. Misal para koruptor atau oknum rohaniawan yang cenderung berbuat keji secara seksual. Munculnya fenomena antitesis ini karena ada problem dengan lembaga pendidikan Islam sehingga tidak mengajarkan Islam yang sesungguhnya, padahal banyak orang yang berperilaku merusak tersebut adalah alumni lembaga-lembaga pendidikan keagamaan.[1]

Pembelajaran Pendidikan Islam yang selama ini berlangsung terasa ada kesenjangan antara teori dan praktik, pendidikan Agama Islam kurang berkonsentrasi bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu dihayati dalam diri pelajar, selanjutnya menjadi sumber motivasi baginya untuk bergerak, berbuat dan berperilaku secara konkret-agamis dalam kehidupan dan kegiatan praktis sehari hari. Dalam konsep Islam, belajar tidak terbatas pada retensi pengetahuan atau kemampuan mendapatkan materi (seperti: konsep dan teori) yang telah dipelajari, kata ĺlm dalam bahasa Arab sejatinya menunjuk ke arah merasakan realitas yang lebih dalam (idrāku al-shai-i bihaqīqatihi).[2]

Abdullah Sahin dalam New Directions in Islamic Education mengkritisi pendidikan secara umum, termasuk pendidikan Islam telah direduksi menjadi pelatihan, instruksi dan indoktrinasi yang mengabaikan refleksi kritis dan makna pendidikan. Praktik ini dinilai gagal mengubah peserta didik dan masyarakat untuk mengembangkan keberanian dan kompetensi yang diperlukan menghadapi tantangan hari ini.[3]

Pendidikan saat ini hanya berkutat pada transfer atau pemberian ilmu pengetahuan agama sebanyak-banyaknya kepada peserta didik, atau lebih menekankan aspek kognitif seperti belajar dan pengajaran. Padahal makna pendidikan (tarbiyah) bukan hanya itu, pendidikan mencakup pemahaman yang menyeluruh (holistik) yang mengembangkan manusia secara fisik, kognisi, spiritual, moral dan emosional.[4]

Pendidikan Islam tidak hanya bertujuan mengenalkan dan mengajarkan ajaran agama kepada siswa, akan tetapi bagaimana pelajar menghayati nilai-nilai agama dan menjadi bagian dari kepribadian mereka. Proses penghayatan tersebut membutuhkan kesadaran diri pelajar sehingga mereka  melakukan penghayatan yang mendalam (deep thinking). Guna menumbuhkan penghayatan yang mendalam tersebut diperlukan upaya-upaya membangun kesadaran sendiri dan refleksi tentang apa yang telah, sedang dan akan dilakukan. Maka aspek penting dari pendidikan Islam adalah mengembangkan, membimbing dan memperhatikan kebutuhan pelajar sehingga menghasilkan kepribadian yang baik dan seimbang.[5]

Sejatinya pendidikan itu menghasilkan manusia terpelajar dan berbudaya (educated and civilized human being) yang mampu mengangkat harkat dan martabat kemanusiaannya sebagai abdullah dan khalīfatullah fil ardh (pengganti Allah di muka bumi). Pada lokus abdullah, manusia identik sebagai makhluk yang memiliki fungsi untuk mengabdi dan menyembah Tuhan serta mengenal-Nya.[6] Sedangkan pada lokus khalīfatullah fil ardh, manusia identik dengan makhluk yang inovatif, kreatif dan eksploratif untuk merawat, mengembangkan serta mendayagunakan potensi alam.[7]

Perlu upaya integrasi dan internalisasi nilai-nilai tersebut dengan mengarahkan pada keutuhan pribadi manusia dalam lingkungan lembaga pendidikan, dengan pola pembelajaran yang demikian akan menciptakan peserta didik yang menjadi ulul albāb, yaitu manusia yang mampu mendayagunakan akalnya untuk kepentingan pengabdian kepada Allah dan berkiprah di masyarakat.[8]

Sepanjang abad ke-20, pandangan-pandangan tentang keberagamaan telah berubah drastis. Religiositas mengalami polarisasi dengan spiritualitas, dimana religiositas berkonotasi dengan kedekatan pada sistem keyakinan agama tertentu dan spiritualitas berhubungan dengan transendensi tanpa merujuk pada agama tertentu.[9] Munculnya polarisasi di atas adalah karena munculnya sekulerisasi yaitu gagasan bahwa masyarakat bergerak dari kondisi sakral ke sekuler secara berurutan dimana sakralitas terus menerus surut.[10]

Maka penelitian ini menggunakan dimensi Islam, Iman dan Ihsan atau dalam term yang sudah dipahami orang Indonesia adalah konsep Iman, ilmu dan amal. Ketiganya memiliki keterkaitan signifikan dalam ekspresi keberagamaan seseorang dan aktualisasi keislaman seseorang. Menurut Muhammad Khalid Masu’d, peran perguruan tinggi sangat penting dalam membangkitkan kesadaran identitas keagamaan. Perguruan tinggi yang telah banyak berkembang dalam masyarakat Islam turut mendorong munculnya pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang diri (self) dan masyarakat, termasuk di dalamnya pertanyaan tentang tempat dan peran agama dalam masyarakat tersebut.[11]

Berbicara kualitas sumber daya manusia dalam konteks implementasi pendidikan, maka yang paling bertanggung jawab adalah guru sebagai agen perubahan dalam pendidikan, tak terkecuali guru Pendidikan Agama Islam.  Jika ingin manusia yang baik kualitasnya, harus pula didukung kualitas gurunya. Hal ini diperkuat pernyataan Sellars bahwa agen perubahan pendidikan yang paling kuat, tahan lama dan efektif bukanlah pembuat kebijakan, pengembang kurikulum atau bahkan otoritas pendidikan itu sendiri; mereka adalah guru.[12]

 Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan guru professional seperti program sertifikasi guru yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, baik melalui portofolio mapupun PLPG, namun belum ideal. Kualitas dan kinerja guru bersertifikat professional hasil dari program sertifikasi tersebut dinilai belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Sertifikasi guru baru berdampak meningkatnya kesejahteraan guru ditandai dengan tunjangan profesi yang cukup signifikan. Sementara dampak penigkatan kualitas kinerja guru untuk mendukung lulusan pendidikan yang berkualitas masih jauh dari harapan.

Relitas tersebut merupakan bentuk tantangan bagi pendidikan tinggi khususnya Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dengan FKIP, IKIP dan STKIP maupun Fakultas Tarbiyah sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Islam (LPTKI) di Kementrian Agama untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu agar menghasilkan guru masa depan yang professional.

Beberapa kebijakan telah dikeluarkan pemerintah terkait upaya peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan pada LPTK/LPTKI untuk melahirkan guru masa depan seperti dengan diundangkannya UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa pendidik adalah tenaga profesional yang harus memenuhi kualifikasi dan sertifikasi yang diterapkan pemerintah. Selain pendidikan berkewajiban melaksanakan tugasnya dengan profesional, ia juga harus memiliki kepribadian dan integritas yang tinggi.

Selain itu terbit UU No 14 tahun 2005 tentang kualifikasi dan standar guru yang mengarah pada peningkatan latar belakang akademik guru, kualitas guru dan insentif untuk kemajuan profesional. Selanjutnya pada tahun 2007, pemerintah membuat Peraturan Menteri Pendidikan no 16 tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Guru yang meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan professional. Dalam kompetensi pedagogik disebutkan salah satu kemampuan inti yaitu mampu melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.[13]

Menurut M. Chabib Thaha ada beberapa strategi yang bisa digunakan dalam menanamkan nilai pada anak didik yaitu dengan strategi reflektif dengan menganalisis terhadap kasus-kasus empirik yang kemudian dikembalikan kepada konsep teoritiknya dan penggunaan aksioma-aksioma sebagai dasar deduksi untuk menjabarkan konsep teoritik ke dalam terapan kasus-kasus yang lebih khusus dan operasional. Strategi ini lebih relevan dengan perkembangan berpikir mahasiswa dan tujuan pembelajaran nilai untuk menumbuhkembangkan kesadaran rasional dan keluasan wawasan terhadap nilai tersebut.

[14] Penelitian dalam area ini menunjukkan bahwa strategi reflektif dapat meningkatkan kemampuan pendidik dalam menyampaikan materi pembelajaran. Memperbaiki hubungan guru dan murid dan mengembangkan kemampuan mengelola kelas.[15]

Lebih dari itu, refleksi bertujuan mengembangkan refleksi kritis, dialog dan pengetahuan yang berarti.[16] Refleksi membantu guru mengembangkan cara belajar dan independen dalam mengembangkan kurikulum dan merencanakan pembelajaran.[17] Sementara bagi pelajar sendiri khususnya tingkat Sarjana, kemampuan refleksi penting sebagai bagian integral dari belajar untuk belajar. Bukan hanya menerima mata pelajaran tetapi merefleksikan pembelajaran dan mengembangkan ketrampilan mereka.

Penelitian ini berfokus pada kemampuan profesional pada calon guru (mahasiswa). Fred Korthagen dan Angelo Vasalos menyebut refleksi merupakan konsep utama dalam pendidikan guru[18] dan Perguruan Tinggi memiliki tugas mengembangkan refleksi mahasiswa untuk menghadapi dunia profesional yang cepat berubah.[19]

Kemampuan refleksi penting dikembangkan untuk konteks Perguruan Tinggi, sehingga mahasiswa calon guru selalu mempunyai cara untuk merefleksikan pembelajaran dan mampu memikirkan ulang tentang semua hal yang telah terjadi ketika proses pembelajaran berlangsung. Berusaha memperbaiki diri dalam pembelajaran, yang pada gilirannya meningkatkan hasil belajar siswa dan mutu pendidikan pun akan meningkat.

Penelitian ini menggunakan kontinum refleksi dari David Kember dkk yang mengembangkan konsep refleksi dari Jack Mezirow untuk mengetahui sejauhmana refleksi mahasiswa pembelajaran perkuliahan. Konitnum terdiri dari habitual action, understanding, reflection dan critical reflection.[20] Juga menggunakan kontinum self-reflection dari Pete Hall dan Alisa Simeral yang terdiri dari unaware stage, conscious stage, action stage dan refinement stage.[21]

Penelitian melibatkan mahasiswa tingkat akhir di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah susnya mahasiswa Fakultas FITK UIN Jakarta dengan judul penelitian ‘Refleksi dan Religiositas: Internalisasi Nilai Agama pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta’.

B.  Ruang Lingkup Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas, peneliti mengidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut:

  1. Adanya dikotomi antara religiositas dan spiritualitas di kalangan para ahli, sehingga dibutuhkan kerangka acuan religiositas perspektif Islam yang tidak mengadaptasi dari skala sekuler atau Barat, skala ini tidak fokus hanya pada praktik ibadah (worships) dan kepercayaan (faiths), tetapi juga dimensi batin dan aktualisasi kebajikan (virtues).
  2. Meski telah dilakukan sertifikasi guru melalui portofolio maupun PLPG sehingga telah berstatus guru profesional karena memiliki sertifikat guru profesional, namun profesionalisme guru berlum terwujud. Hasil dari proses sertifikasi melalui pola tesebut dinilai belum meningkatkan kualitas kinerja guru sebagaimana yang diharapkan.
Baca juga:   Satu Kalimat Kesimpulan

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, pertanyaan mayor dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana Pembelajaran Reflektif Meningkatkan Peran Mahasiswa Untuk Mendapatkan Pembelajaran Yang Bermakna?

Pertanyaan mayor tersebut di atas diuraikan ke dalam beberapa pertanyaan minor sebagai berikut:

  1. Bagaimana refleksi dan religiositas pada mahasiswa tingkat akhir FITK UIN Jakarta?
  2. Bagaimana profil status identitas religius pada mahasiswa tingkat akhir FITK UIN Jakarta ?

3. Batasan Masalah

Peneliti melakukan beberapa pembatasan agar penelitian ini terarah dan fokus, yaitu:

  1. Religiositas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dimensi Islam, Iman, dan Ihsan
  2. Refleksi keagamaan dalam penelitian ini mengacu pada kerangka dasar dari Jack Mezirow yang membagi refleksi menjadi empat tingkatan yaitu habitual action, understanding, reflection dan critical reflection.
  3. Proses internalisasi dalam penelitian ini
  4. Subjek Penelitian  adalah mahasiswa semester 5 dan 7 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun ajaran 2019-2020.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian tentang refleksi dan religiosotas pada mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bertujuan untuk menganalisa dan mengkritisi pembelajaran yang telah dilaksanakan. Secara lebih rinci tujuan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Mengetahui tingkat keberagamaan
  2. Memperoleh gambaran tentang refleksi nilai-nilai keagamaan
  3. Bagaimana proses internalisasi

D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian

  1. Hasil penelitian dapat memberikan informasi tentang keberagamaan mahasiswa FITK dalam kehidupan sehari-hari dan pembelajaran di kampus.
  2. Masukan bagi peneliti berikutnya yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai refleksi dan perilaku keagamaan pada mahasiswa.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Kajian terhadap penelitian terdahulu diperlukan sebagai kebutuhan ilmiah yang dimaksudkan dapat memberi kejelasan dan batasan informasi serta menunjukkan bahwa permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini belum dikaji oleh peneliti lain sebelumnya.

Studi terdahulu tentang pengukuran religiositas banyak dilakukan dalam kultur masyarakat Barat yang tidak selalu sesuai dengan konsep agama Islam. Islam tidak membedakan religiositas dan spiritualitas, maka dalam pengukuran religiositas pada muslim menggunakan dimensi Islam, Iman dan Ihsan.

Abdullah Sahin mengembangkan Attitude toward Islam

Penelitian ini memiliki kesamaan dalam menjadikan dimensi Islam, Iman dan Ihsan sebagai aitem dalam religiositas muslim, namun memiliki perbedaan dalam hasil akhir faktornya, penelitian ini menghasilkan 16 aitem dalam faktor religiositas untuk mahasiswa Islam di Indonesia.

Imran Husain Khan dalam The Development of Leadership through Islamic Education: An Empirical Inquiry into ‘Religiosity’ and the Styles of ‘Educational Leadership’ Experienced by Contemporary Graduates of Muslim Institutes of Higher Education in the UK adalah penelitian empiris yang meneliti mode subjektivitas responden menggunakan Muslim Subjectivity Interview Schedule (MSIS) dan ‘kriteria mode religiusitas’ yang dikembangkan oleh Abdullah Sahin berdasarkan kerangka kerja Marcia (1966). [22]

Perbedaan penelitian ini dengan kedua penelitian di atas terletak pada  metode penelitian yang digunakan dimana peneliti menggunakan wawancara semi-terstruktur dengan menerapkan metode studi kasus untuk mempelajari fenomena masing-masing dalam pembentukan religiusitas dan identitas diri Muslim sebagai hasil dari pengalaman pendidikan responden.

Penelitian tentang refleksi banyak dilakukan dalam penelitian terkait dunia pendidikan. Nyayu Khodidjah contohnya meneliti tentang ‘Reflective Learning sebagai Pendekatan Alternatif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan profesionalisme Guru Pendidikan Agama Islam’. Khodidjah mengungkapkan beberapa upaya membantu peserta didik meningkatkan pemahaman dan kesadaran mereka terhadap nilai-nilai Islam yang dipelajari meliputi: (1) tahap pembelajaran terbagi menjadi empat tahap yaitu pendahuluan, diskusi, refleksi dan penutup, (2) tahap pendahuluan dan penutup dilaksanakan seperti proses pembelajaran pada umumnya, (3) tahap diskusi dilaksanakan meliputi diskusi kelompok dan diskusi kelas, (4) tahap refleksi terdiri dari lima tahapan, yaitu analisis, pemaknaan, konsolidasi, evaluasi diri, dan tindak lanjut.[23]

Senada dengan itu, Endah Yanuarti dalam disertasinya di Curtin University berjudul “Developing Reflective Practice through Reflective Actions” mengkaji pemahaman guru di Jawa Barat terhadap pembelajaran reflektif dalam Standar Kompetensi Guru di Indonesia. Menurut Yanuarti, para guru yang telah mendapatkan diklat pendidikan mengalami gap ketika kembali ke sekolah untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran. Motivasi dan dukungan dari lingkungan sekolah terkadang tidak sesuai dengan harapan. Satu sisi guru ingin meningkatkan kualitas pendidikan dengan menerapkan strategi dan metode baru, satu sisi fasilitas atau dukungan dari pihak sekolah kurang, atau malah minim. Belum lagi tugas adminintrasi lain yang menumpuk.

Menurut Yanuarti, hal ini dapat diatasi dengan motivasi yang kuat dalam diri individu guru dengan menerapkan pembelajaran reflektif. Pembelajaran reflektif adalah pembelajaran yang menitikberatkan pada refleksi guru terhadap pengalaman sehari-harinya dalam mengajar atau mendidik di dalam kelas. Refleksi dalam penelitian Yanuarti lebih difokuskan kepada refleksi diri guru. Biasanya guru melakukan refleksi ketika ada masalah yang terjadi di kelas, anak yang tidak mengumpulkan tugas, membuat keonaran, tidak memperhatikan pelajaran dan sebagainya. Aktivitas yang mendukung pembelajaran reflektif guru antara lain (1) menulis jurnal, (2) Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang berat bagi sebagian guru karena belum terbiasa menulis.[24]

Penelitian ini memiliki distingsi dari penelitian di atas. Nyayu Khodijah membahas reflective learning (pembelajaran reflektif) sebagai pendekatan alternatif dalam mengajarkan pendidikan Agama Islam pada siswa SMA, sementara penelitian ini menitikberatkan bagaimana mahasiswa menginternalisasi dan merefleksikan ilmu agama yang mereka pelajari dalam kehidupan sehari-hari dan karakter keagamaan mahasiswa keagamaan dan non keagamaan. Endah Yanuarti meneliti praktik refleksi (reflective practice) pada guru, refleksi atas praktek profesional guru, terutama belajar dan mengajar merupakan faktor penting terbentuknya inovasi pembelajaran di kelas. Proses pengembangan diri seorang guru fondasinya adalah proses refleksi diri. Proses refleksi diri diawali oleh pemahaman diri guru sebagai individu maupun praktiknya sebaga guru yang mengembangkan kompetensi siswa. Sementara penelitian ini berfokus pada mahasiswa calon guru.

Penelitian Sitti Nurfaidah dkk hanya fokus pada tingkat refleksi mahasiswa calon guru program Bahasa Inggris, sementara penelitian ini tidak hanya pada mahasiswa keagamaan seperti PAI dan program Bahasa Arab, tetapi juga mahasiswa non keagamaan seperti program Bahasa Indonesia, Matematika dan IPA yang ada di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta.

F. Metode Penelitian

1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun ajaran  2019-2020. Mahasiswa tingkat akhir dipilih sebagai subjek penelitian karena mereka dianggap lebih mampu  mengembangkan identitas diri, memiliki kemampuan refleksi dan berpikir kritis lebih baik dari mahasiswa tahun pertama.[25]

Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan surat izin penelitian dari Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta kemudian menyerahkannya kepada Dekan FITK UIN Jakarta. Setelah mendapatkan surat izin penelitian dari Dekan selanjutnya mendatangi ketua prodi atau jurusan di FITK untuk izin penelitian dan melaksanakan penelitian kepada mahasiswa. Berikut data jumlah responden penelitian berdasarkan prodi atau jurusan.

Tabel 1.1 Data Jumlah Responden

Program StudiSemesterJumlah Mahasiswa
Pendidikan Agama IslamV38
Pendidikan Bahasa ArabVII28
Pendidikan Bahasa dan Sastra IndonesiaVII29
Pendidikan MatematikaVII26
Pendidikan IPA BiologiVII21
Total 142

Sumber: Data primer diolah

Selanjutnya, dari tiap prodi atau jurusan dipilih 1 orang untuk menjadi responden studi kasus penelitian kualitatif dengan wawancara, sejumlah 4 orang diwawancarai secara mendalam untuk mengetahui riwayat hidup mengenai religiositas, refleksi kehidupan beragama dan pembelajaran reflektif di kampus.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kombinasi (mixed methods) yaitu metode penelitian yang memadukan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.[26] Model kombinasi dua pendekatan dilakukan secara sequential explanatory yaitu kombinasi penelitian kuantitatif dan kualitatif secara dimana pengumpulan data dan analisis data kuantitatif pada tahap pertama, diikuti dengan pengumpulan data dan analisis data kualitatif pada tahap kedua guna memperkuat hasil penelitian kuantitatif yang dilakukan pada tahap pertama.[27]  

Kombinasi kuantitatif digunakan untuk menyelidiki konteks sosial dan kualitatif digunakan untuk mempelajari bagaimana  konteks itu ditafsirkan oleh responden.[28] Selain itu, data kuantitatif membantu memperjelas dan membentuk hasil kualitatif yang inisial, membentuk sekelompok berdasarkan pada hasil kuantitatif sebagai responden penelitian kualitatif.

Penelitian ini mengkombinasikan pendekatan penelitian kuantitaif dan kualitatif dengan mengumpulkan dan menganalisis data kuantitatif terlebih dahulu, kemudian mengumpulkan dan menganalisis data kualitatif. Tahap selanjutnya, peneliti menganalisis data secara keseluruhan kemudian menarik kesimpulan dari hasil analisis tersebut. Selanjutnya, ilustrasi penggunaan pendekatan eksplanatori berurutan (sequential explanatory) ditunjukkan pada gambar 1.1 berikut.

Gambar 1.1 Model Kombinasi Sequential Explanatory

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang dilakukan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini melalui dua cara yaitu kuesioner dan wawancara.

a. Teknik Kuesioner

Kuesioner yaitu pengumpulan data melalui formulir yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara tertulis pada seseorang atau sekumpulan orang.[29] Pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan jawaban atau tanggapan dan informasi dari responden. Bersifat tertutup dan terstruktur, dimana responden diminta menuliskan jawaban dengan memilih dari sejumlah alternatif.

Kuesioner dibuat untuk mengetahui tanggapan responden perihal religiositas. Berikut langkah-langkah yang dilakukan penulis untuk membuat pengukuran religiositas:

Pertama, melakukan studi pustaka untuk mendapatkan gambaran dan landasan teoritis yang tepat mengenai variable penelitian religiositas yang terdiri atas tiga dimensi Islam, Iman dan Ihsan. Peneliti mengacu kepada Al-Qur’an dan hadis dan penelitian sebelumnya tentang religiositas Studi ini penulis mendapatkan 64 pernyataan kuesioner untuk skala religiositas.

Kedua, melakukan validitas konstrak yaitu sejauh mana suatu tes mengukur konstrak teoritik yang hendak diukurnya. Validitas konstrak dalam penelitian ini dilakukan dengan mengkonsultasikan alat ukur kepada para ahli (judgement experts). Validitas konstrak meliputi pemeriksaan telaah aspek materi, konstruksi dan bahasa serta dinyatakan layak. Pada tahap ini penulis mendapatkan 32 kuesioner yang siap dibagikan kepada responden.

Baca juga:   Tips Menautkan Artikel ResearchGate ke Google Scholar

Ketiga, setelah disetujui, alat ukur diuji cobakan dengan menggunakan try out terpakai yaitu pelaksanaan uji coba dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan penelitian sesungguhnya. Penggunaan uji coba terpakai berdasarkan pertimbangan bahwa alat ukur ini sudah dianggap dapat mewakili setiap indikator dalam penelitian dan untuk menghemat waktu, tenaga dan biaya peneliti.

Tabel 2.1 Blueprint Kuesioner Religiositas

AspekButir PernyataanJumlah
Dimensi Islam1, 2, 3, 4*, 5, 6, 7, 8*, 9, 1010
Dimensi Iman11, 12*, 13, 14, 15, 16, 17, 18*, 19, 2010
Dimensi Ihsan21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 3212
Total 32

Tanda * bernilai negatif (unfavourable)

Sumber: data primer diolah

Skoring instrumen menggunakan skala Likert yang berisi jawaban pertanyaan antara sangat setuju sampai sangat tidak setuju, responden dapat memberikan respon jawaban dengan hanya mengisi atau menandai dengan mudah dan cepat.[30] Dalam penelitian ini, skala yang digunakan hanya 4 kategori yaitu: sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS), ragu-ragu tidak digunakan dengan alasan untuk menghindari responden menjawab yang bersifat ‘mengamankan’ jawaban.

Alternatif jawaban dan skor item dalam penelitian ini diterangkan pada tabel berikut ini:

Pernyataan FavourableSkor ItemPernyataan Unfavourable
SS (Sangat Sesuai)4Sangat Tidak Sesuai (STS)
S (Sesuai)3TS (Tidak Sesuai)
TS (Tidak Sesuai)2S (Sesuai)
Sangat Tidak Sesuai (STS)1SS (Sangat Sesuai)

Kuesioner refleksi dianalisis menggunakan konitum refleksi dari Jack Mezirow yang terdiri dari empat aspek yaitu habitual action, understanding, reflection, dan critical reflection. Format aitem pernyataan berupa serangkaian kalimat deklaratif sebagai stimulus kemudian diikuti oleh pernyataan berkenaan dengan stimulus tersebut. Pilihan jawaban (a) merupakan indikasi habitual action, jawaban (b) merupakan indikasi understanding, jawaban (c) merupakan indikasi reflection, dan jawaban (d) merupakan indikasi critical reflection.

Tabel 3.1 Blueprint Kuesioner Refleksi

AspekIndikator PerilakuBobot
Habitual ActionPerbuatan yang terjadi setiap hari dan sudah menjadi kebiasaan.25%
UnderstandingMemahami berdasarkan perspektif yang sudah ada sebelumnya.25%
ReflectionAda insight pribadi yang keluar dari teori buku.25%
Critical Reflection  Ada eviden perubahan perspektif, pemahaman konsep atau fenomena kunci25%
Total 100%

Sumber: data primer diolah

b. Teknik Wawancara

Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.[31] Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data karena peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam, maka teknik wawancara yang digunakan adalah pendekatan wawancara semi terstruktur individu (semi-structured individual interviews) untuk mendapatkan informasi lebih terbuka dan akurat. Format yang digunakan adalah eksploratif kualitatif, format ini dipilih karena memungkinkan eksplorasi masalah dengan lebih mendalam. Pertanyaan awal disiapkan sebagai pengantar diskusi dan penjalin hubungan dengan terwawancara. Dari pertanyaan awal ini, diskusi kemudian dilanjutkan hingga meliputi berbagai topik sesuai perkembangan.

Responden wawancara diambil sampel dari penelitian kuantitatif dengan metode purposive sampling untuk mendapatkan kelompok terbaik yang dinilai akan memberikan informasi yang cukup untuk dipilih menjadi responden penelitian. Setelah mendapatkan jumlah responden yang memenuhi kriteria, dilanjutkan dengan metode snowball sampling yaitu pengumpulan data dengan intensive-interview melalui wawancara mendalam dari satu responden ke responden lain yang memenuhi kriteria sampai mengalami titik jenuh.

Wawancara digunakan untuk mengetahui subjektifitas keagamaan responden menggunakan empat tipologi keberagamaan dari Abdullah Sahin berdasarkan kerangka kerja James Marcia (1966) untuk mengeksplorasi proses ‘komitmen’ dan ‘eksplorasi’ yang diterapkan dalam keberagamaan.

Tabel 2 Tipologi Subjektifitas Keagamaan

DiffusedForeclosedMoratoriumAchieved
Komitmen agama yang rendah dan tidak ada eksplorasiKomitmen agama yang tinggi, tidak diinformasikan melalui eksplorasi  Komitmen agama yang rendah atau tinggi tetapi ditandai dengan eksplorasi yang berkelanjutan.Komitmen agama yang tinggi dan menunjukkan nalar dialogis.

Sumber: Abdullah Sahin, New Directions in Islamic Education: Pedagogy and Identity  Formation, h. 97

 Karya James Marcia disusun untuk mengukur identitas sebagai tahap pertumbuhan ego pada masa dewasa akhir yang tidak terpisah dengan pengalaman individu.[32] Meskipun identitas merupakan proses yang sedang berlangsung, namun tipologi dari James Marcia dapat digunakan untuk memahami subjek yang diwawancarai dengan lebih baik. Sehubungan dengan penelitian ini, prinsipnya adalah untuk menentukan religiositas responden dengan membedakan ‘eksplorasi’ dan ‘komitmen’ ditunjukkan melalui jawaban yang berkaitan dengan fondasi dalam Islam yaitu Islam, Iman dan Ihsan.

4. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan salah satu proses penelitian setelah semua data yang diperlukan guna memecahkan masalah yang diteliti sudah diperoleh secara lengkap.[33] Analisis data berguna untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Analisis data penelitian ini terbagi menjadi dua tahapan; analisis data penelitian kuantitatif dan analisis data penelitian kualitatif.

a. Analisis Data Kuantitatif

Analisis data penelitian kuantitatif menggunakan bantuan program SPSS versi 22.0. for Windows dan AMOS versi 22.0 untuk analisis statistik SEM. Analisis data terdiri dari uji validitas dan reliabilitas, analisis model persamaan struktural (SEM) dan statistik deskriptif.

  1. Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas data menggambarkan kecocokan tiap indikator terhadap variabelnya. Sedangkan reliabilitas data menunjukkan kehandalan data penelitian. Uji validitas item menggunakan korelasi product moment dengan membandingkan rhitung dengan rtabel (0,159). Jika rhitung lebih besar dari rtabel (0,159) dan tingkat singnifikansinya dibawah 0,05, maka butir pernyataan tersebut valid. Hasil korelasi product moment menggunakan program SPSS menunjukkan dari 32 item pernyataan kuesioner religiositas, terdapat 1 item yang tidak signifikan dan tidak diikutkan dalam analisa selanjutnya. Uji reliabilitas dengan 31 item yang valid menghasilkan nilai cronbach’s alpha 0,85 yang menunjukkan kriteria realibilitas baik.

  • Analisis Model Persamaan Struktural (SEM)

Selanjutnya dilakukan uji reliabilitas menggunakan SEM AMOS untuk mengetahui loading factor tiap indikator. Ada beberapa langkah untuk melakukan analisis model persamaan struktural (SEM) sebagai berikut:

Pertama, pengujian asumsi. Ada beberapa asumsi yang diperhatikan sebelum melakukan pengujian model dengan SEM yaitu uji kecukupan sampel dan uji normalitas. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 142 mahasiswa. Jumlah sampel tersebut dinilai mencukupi karena menurut Hair,et al ukuran sampel yang sesuai dalam penelitian menggunakan statistik SEM berkisar antara 100 – 200 responden.[34] Dengan demikian uji sampel pada penelitian adalah cukup. Pengujian selanjutnya adalah melihat tingkat normalitas data yang digunakan dalam penelitian. Analisis SEM mewajibkan data berdistribusi normal untuk menghindari bias dalam interpretasi data yang dapat mempengaruhi data lainnya. Didapatkan nilai c.r (critical ratio) sebesar -0,228 di antara rentang -2.58 sampai dengan 2.58 sehingga data berdistribusi normal.

Kedua, mengkonstruksi diagram jalur. Ketiga, melihat estimasi factor loading (tingkat korelasi antara variabel laten dengan variabel indikator yang menjelaskannya) dengan menggunakan standar estimasi. Penelitian ini menggunakan standar estimasi nilai loading factor lebih besar dari 0,3 yaitu 0,45. Kriteria validitas ini mengacu pada pendapat Hair, Black, Babin, Anderson, & Tatham yang menyatakan bahwa “factor loadings ± 0,3 to 0.4 are minimally acceptable”.[35] Langkah selanjutnya adalah menguji kelayakan atau kesesuaian model dengan goodness of fit.

  • Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan data perolehan dalam penelitian seperti nilai rata-rata (mean), nilai terendah data (minimum), nilai tertinggi data (maksimum) dan simpangan baku (standar deviasi).

Dalam menyusun distribusi frekuensi, digunakan langkah-langkah berdasarkan pada Sugiyono sebagai berikut:[36]

  1. Menentukan Jumlah Kelas Interval

Rumus untuk menentukan jumlah kelas interval menggunakan rumus Struges yakni jumlah kelas interval = 1 + 3,3 log n, dimana n adalah jumlah responden.

  • Menentukan Rentang data (range)

Rentang Kelas                        = skor maximum – skor minimum + 1

  • Menentukan Panjang Kelas Interval

Panjang kelas interval =      rentang data          

                                            Jumlah kelas interval

Data variabel penelitian selanjutnya dikategorikan dengan langkah-langkah menurut Suharismi Arikunto sebagai berikut;[37]

  1. Kelompok tinggi, semua responden yang mempunyai skor sebanyak skor rata-rata plus 1 (+1) standar deviasi (X ≥ Mi + 1 SDi)
  2. Kelompok sedang, semua responden yang mempunyai skor antara skor rata-rata minus standar deviasi dan skor rata-rata plus standar deviasi (antara Mi = 1 SDi) ≤ X < (Mi + SDi)
  3. Kelompok rendah, semua responden yang mempunyai skor lebih rendah dari skor rata-rata minus 1 standar deviasi (X < Mi – 1 SDi).

Harga Mean ideal (Mi) dan Standar Deviasi ideal (SDi) diperoleh berdasarkan rumus berikut:

  • Mean ideal (Mi)                      = 1/2 (skor tertinggi + skor terendah)
  • Standar Deviasi ideal (SDi)      = 1/6 (skor tertinggi – skor terendah)

b. Analisis Data Kualitatif

Metode eksploratif kualitatif digunakan untuk memahami fenomena dalam konteks naturalnya dimana peneliti tidak berusaha memanipulasi fenomena yang diamati. Hasilnya adalah memahami kompleksitas fenomena yang diteliti, berusaha menginterpretasikan dan kemudian melaporkan suatu fenomena dari sudut pandang pelaku. Maka pendekatan studi kasus (case study) dipilih dalam melakukan analisa data kualitatif. Studi kasus sebagai bagian dari metode ini dimanfaatkan demi mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam dari para responden. Studi kasus  diharapkan bisa membantu dalam mencapai data dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk selanjutnya diinformasikan pada publik.[38]

Robert K. Yin mendefinisikan studi kasus sebagai inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak tegas; dan dimana multisumber bukti dimanfaatkan.[39] Sebagai strategi penelitian, studi kasus adalah penelitian empiris yang menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata. Keterbatasan penelitian yang tersedia menjadi salah satu faktor penelitian ini menggunakan studi kasus, hal tersebut berkaitan dengan sifat studi kasus yang cenderung tidak membutuhkan waktu penelitian yang lama seperti halnya diperlukan dalam etnografi. Studi kasus menurut Berg adalah metode yang secara sistematis menggali informasi tentang seseorang, setting sosial, peristiwa, atau kelompok yang memungkinkan peneliti untuk mengerti bagaimana proses tersebut berlangsung dan berfungsi.[40]

Baca juga:   Top 1% di Academia.edu

Menurut Robert K. Yin, salah satu sumber studi kasus yang sangat penting adalah wawancara.[41] Penelitian ini menggunakan wawancara studi kasus bertipe open-ended, dimana peneliti bertanya kepada responden tentang fakta-fakta disamping opini mereka tentang suatu peristiwa. Saunders et al menjelaskan wawancara semi-terstruktur adalah alat yang sangat efisien untuk mengumpulkan wawasan manusia yang mendalam untuk mengeksplorasi daftar tema dan pertanyaan yang telah ditentukan sebelumnya sebelum pengumpulan data. Selain itu, peneliti dapat memperluas dan mengubah pertanyaan yang telah ditentukan secara fleksibel selama wawancara semi-struktur, untuk mengeksplorasi sepenuhnya pandangan wawancara.[42]

Analisa hasil wawancara menggunakan “two-stage data analysis” yang terdiri dari categorization dan summarizing.[43] Tahap pertama kategorisasi (pengelompokan) makna dan tahap kedua meringkas makna.

  1. Membuat Kategori

Penelitian ini mengidentifikasi tiga tema dari tinjauan pustaka seputar pertanyaan wawancara yang dirumuskan secara informal selama wawancara semi-terstruktur. Selama wawancara pertanyaan bisa bertambah dari panduan yang sudah dibuat selama responden merasa nyaman dengan proses wawancara.

Tabel 4.1 Tema Wawancara Semi-Terstruktur

TEMATUJUAN
Refleksi ReligiositasMengetahui refleksi responden tentang perkembangan religiositasnya
Komitmen dan eksplorasi keberagamaanMengetahui komitmen dan eksplorasi keberagamaan responden.
Reflective ThinkingMendapatkan informasi mengenai berpikir reflektif responden dalam pembelajaran diri dan di perkuliahan.
  • Menyatukan Data

Setelah data dikumpulkan melalui proses wawancara, dibuat ringkasan poin-poin utama. Pada tahap ini, narasi dialogis dirubah menjadi ringkasan yang bermakna.

  • Membuat Analisis Naratif

Menurut Saunders et al, analisis naratif sebagai tahap akhir dari fase analisis memungkinkan pembangunan dialog yang menunjukkan keterlibatan responden, tindakan yang mereka ambil dan konsekuensinya dalam alur narasi responden tanpa kehilangan arti sosial atau konteks di mana peristiwa ini terjadi.[44]

G. Sistematika Pembahasan

Penulisan Tesis ini secara terperinci akan diterangkan dalam lima bab yakni:

Bab I Pendahuluan

Pada bab pertama ini dijelaskan identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah. Selanjutnya adalah tujuan penelitian, manfaat dan signifikansi penelitian, penelitian terdahulu yang signifikan, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II Diskursus Pemelajaran Reflektif dan Perilaku Keagamaan

Bab kedua berisi tentang kajian teori tentang religiositas, refleksi dan internalisasi. Dalam religiositas dibahas pengertian religiositas, dimensi religiositas, mode religiositas, dan faktor-faktor yang mempengaruhi religiositas. Dalam wacana pembelajaran reflektif dibahas pembelajaran reflektif, refleksi menurut ahli, refleksi dalam pendidikan di Indonesia, dan kontinum pembelajaran reflektif.

Bab III Analisis Data Kuantitatif

Bab III Memaparkan profil FITK dan visi misinya kemudian hasil analisa deskriptif kuantitatif responden berdasarkan jenis kelamin, jurusan, pendidikan terakhir yang ditempuh, pekerjaan orang tua, ketaatan ibadah salat dan interaksi dengan Al-Qur’an.

Selanjutnya ditampilkan hasil kuantitatif dari uji validitas dan realibilitas skala religiositas dalam penelitian yang terdiri atas tiga dimensi religiositas Islam yaitu Islam, Iman dan Ihsan. Dan hasil kuantitatif dari refleksi keislaman yaitu ketaatan ibadah salat dan ketaatan ibadah puasa, refleksi keimanan yaitu keimanan kepada Allah dan hari akhir, refleksi keihsanan yaitu menghormati orang lain yang perilaku bertanggung jawab, refleksi dalam pembelajaran yang terdiri dari refleksi dalam proses perkuliahan dan interaksi pengajar dan pelajar di kampus.

Bab IV Analisis Data Kualitatif

Bab IV memaparkan analisa kualitatif lewat hasil wawancara semi-terstruktur dari penelitian yang dilakukan kepada responden yang terpilih. Analisa kualitatif menggunakan pendekatan dari Abdullah Sahin yang menghasilkan 2 responden dalam foreclosed, 1 orang dalam moratorium dan 1 orang dalam achievement.

Bab V Penutup

Bab V menjelaskan kesimpulan dan saran yang direkomendasikan.


[1] Direktir Legal Resources untuk Keadilan Gender dan HAM Jawa Tengah menyatakan banyak kasus kekerasan seksual menggunakan dalil agama sebagai legitimasi. Kekerasan yang terjadi di pondok pesantren adalah kekerasan seksual, sodomi, kemudian perkawinan paksa. Legitimasinya adalah agama. Agama dipakai sebagai modus untuk melakukan kekerasan kepada anak dan perempuan. Karena dengan menggunakan kedok agama, para pelaku bebas untuk melakukan kekerasan seksual karena masyarakat memandang positif keberadaan pesantren. Oknum pendeta pun tidak sedikit terlibat dalam tindakan asusila. Surveys pastors.com mengungkapkan bahwa 54% dari pendeta mengatakan pernah melihat hal porno dalam satu tahun terakhir dan survey Christianity today menemukan bahwa 37% dari pendeta mengatakan, pornografi adalah pergumulan mereka saat ini. Hotman J. Lumban Gaol, Rohaniawan Kristen Tidak Lebih Baik, Tabloid Reformata Edisi 150  Tahun X 1-30 April 2012, h. 25.

[2] Abdullah Sahin, Islamic and Western Liberal Secular Values of Higher Education: Convergence or Divergence? dalam Values of the University in a Time of Uncertainty, Editors: Paul Gibbs, Jill Jameson, Alex Elwick, Springer, 2019, h. 203

[3] Abdullah Sahin, New Directions in Islamic Education: Pedagogy and Identity

Formation (Kube Publishing Ltd, 2013). h. 238

[4] Abdullah Sahin, “Critical Issues in Islamic Education Studies : Rethinking Islamic and Western Liberal Secular,” Religions 9, no. 335 (2018), https://doi.org/10.3390/rel9110335.

[5] Abdullah Sahin, New Directions in Islamic Education: Pedagogy and Identity Formation (Kube Publishing Ltd, 2013). h. 25

[6] Surah Dzariyat ayat 56, Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.

[7] Surah Baqarah ayat 30, Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”. Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

[8] Surah Ali Imran ayat 190-191, Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambal berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.

[9] Amir, Yulmaida, and Diah Rini Lesmawati. “Religiusitas dan Spiritualitas: Konsep yang Sama atau Berbeda?.” Jurnal ilmiah penelitian psikologi: kajian empiris & non-empiris 2.2 (2016): 67-73.

[10] Hill, P.C., Pargament, K.I., Hood, R.W., McCullough, J.M.E., Swyers, J.P., Larson, D.B. and Zinnbauer, B.J. (2000), Conceptualizing Religion and Spirituality: Points of Commonality, Points of Departure. Journal for the Theory of Social Behaviour, 30: 51-77. doi:10.1111/1468-5914.00119

[11] Muhammad Khalid Masud, “Religious Identity and Mass Education”, dalam Johan H. Meuleman (ed), Islam in the Era Globalization, Muslim Attitudes Towards Modernity and Identity” (Jakarta: INIS, 2001), h. 233-245

[12] Sellars, Maura. “Teachers and change: The role of reflective practice.” Procedia-Social and Behavioral Sciences 55 (2012): 461-469.

[13] Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007

[14] Muhaimin, et.al, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet V, 2012), 173

[15] Leitch, Ruth, and Christopher Day. “Action research and reflective practice: Towards a holistic view.” Educational action research 8.1 (2000): 179-193.

[16] Cornford, Ian R. “Reflective teaching: Empirical research findings and some implications for teacher education.” Journal of Vocational education and Training 54.2 (2002): 219-236.

[17] Noormohammadi, Samane. “Teacher reflection and its relation to teacher efficacy and autonomy.” Procedia-Social and Behavioral Sciences 98.1 (2014): 1380-1389.

[18] Fred Korthagen & Angelo Vasalos (2005) Levels in reflection: core reflection as a means to enhance professional growth, Teachers and Teaching, 11:1, 47-71, DOI: 10.1080/1354060042000337093

[19] Anu Sööt, Ele Viskus, Reflection on Teaching: A Way to Learn from Practice, Procedia – Social and Behavioral Sciences, Volume 191, 2015, Pages 1941-1946, ISSN 1877-0428,  https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.04.591

[20] David Kember, Doris Y. P. Leung, Alice Jones, Alice Yuen Loke, Jan McKay, Kit Sinclair, Harrison Tse, Celia Webb, Frances Kam Yuet Wong, Marian Wong & Ella Yeung (2000) Development of a Questionnaire to Measure the Level of Reflective Thinking, Assessment & Evaluation in Higher Education, 25:4, 381-395, DOI: 10.1080/713611442

[21] Pete Hall & Alisa Simeral, Teach, Reflect, Learn: Building Your Capacity for Success in the Classroom, ASCD, Alexandria, Virginia USA. (2015). ISBN: 978-1-4166-2010-5, h. 46-123

[22] Imran Hussain Khan. 2015. The Development of Leadership through Islamic Education: An Empirical Inquiry into ‘Religiosity’ and the Styles of ‘Educational Leadership’ Experienced by Contemporary Graduates of Muslim Institutes of Higher Education in the UK. Ph.D. Thesis, University of Gloucestershire, Cheltenham, UK

[23] Nyayu Khodijah. 2011. “Reflective Learning Sebagai Pendekatan Alternatif Dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Dan Profesionalisme Guru Pendidikan Agama Islam”. ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman 6 (1), 180-89.

[24] Endah Yanuarti, Developing Reflective Practice Through Reflective Actions”, Disertasi, (Perth: Curtin University, 2017).

[25] Lim, Lisa-Angelique Yuen Lie. “A comparison of students’ reflective thinking across different years in a problem-based learning environment.” Instructional Science 39.2 (2011): 171-188.

[26] Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung: Alfabeta, Cet Ke-9, 2017), h. 397

[27] Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung: Alfabeta, Cet Ke-9, 2017), h. 415

[28] Udo Kelle and Christian Erzberger. “Qualitative and Quantitative Methods: Not in Opposition.” A companion to Qualitative Research, edited by Uwe Flick, Ernst von Kardoff and Ines Steinke, SAGE Publications (2004): 172-177.

[29] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2008), hal. 19

[30] Bambang Prasetyo dan Lina Miftahul Jannah, Metode Penelitian Kuantitatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 65

[31] Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung: Alfabeta, Cet Ke-9, 2017), h. 316

[32] Abdullah Sahin, New Directions in Islamic Education: Pedagogy and Identity  Formation, h. 86

[33] Ali Muhson, Teknik Analisis Kuantitatif, [online] sumber: http://staffnew.uny.ac.id/upload/132232818/pendidikan/Analisis+Kuantitatif.pdf (diakses 08-01-2020)

[34] Hair, J. F., Black, W. C., Babin, B. J., & Anderson, R. E. 2010. Multivariate Data Analysis (7th ed.). New Jersey: Pearson Prentice Hall, h. 173

[35] Hair, J. F., Black, W. C., Babin, B. J., & Anderson, R. E. 2010. Multivariate Data Analysis (7th ed.). New Jersey: Pearson Prentice Hall, h. 117

[36] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2012), hal. 36

[37] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Edisi Revisi VI. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2012), h. 299

[38] Mudjia Rahardjo, Studi Kasus dalam Penelitian Kualitatif: Konsep dan Prosedurnya, UIN Malang, Program Pascasarjana, 2017. https://core.ac.uk/download/pdf/80816930.pdf (diunduh pada 08-01-2020)

[39] Robert K. Yin, Studi Kasus: Desain dan Metode, Penerjemah: M Djauzi Mudzakir, (Depok: Rajawali Pers, 2019) Cet. 16, h. 18

[40] Robert K. Yin, Studi Kasus: Desain dan Metode, Penerjemah: M Djauzi Mudzakir, (Depok: Rajawali Pers, 2019) Cet. 16, h. 16

[41] Robert K. Yin, Studi Kasus: Desain dan Metode, Penerjemah: M Djauzi Mudzakir, (Depok: Rajawali Pers, 2019) Cet. 16, h. 108

[42] Saunders, M., Lewis, P. and Thornhill, A. (2009) Research Methods for Business Students. Harlow: Pearson Education Limited, h. 246

[43] Saunders, M., Lewis, P. and Thornhill, A. (2009) Research Methods for Business Students. Harlow: Pearson Education Limited, h. 149

[44] Saunders, M., Lewis, P. and Thornhill, A. (2009) Research Methods for Business Students. Harlow: Pearson Education Limited, h. 497

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *