Kalau kita mau tanding sepak bola, dan baru belajar cara main sepak bola di tengah lapangan, setelah peluit wasit ditiup sebagai tanda mulai pertandingan sepak bola, kita dapat dipastikan kalah.
RAMADHAN laksana pertandingan sepak bola butuh latihan dan pemanasan.!
Level Nabi yang top ibadahnya juga PEMANASAN, apalagi kita.! SIAP sebelum masuk “lapangan bola” harus tahu ilmunya, sebelum terdengar tiupan peluit wasit tanda memasuki 1 Ramadhan.
Syaban sebagai persiapan menyambut kehadiran bulan Ramadan, bisa diibaratkan kita menyambut seoran raja, presiden atau tamu kehormatan lainnya. Jika hendak mendapatkan kunjungan tamu mulia, tentu kita akan mempersiapkan sambutan dengan sebaik-baik sambutan. Apalagi menyambut bulan Ramadan yang mulia ini.
Jika diibaratkan bercocok tanam, bulan Sya’ban itu bulan menyemai benih, mulai merawat pertumbuhan tanaman kebaikan. Sedangkan Ramadhan merupakan bulan memanen.
Abu Bakar al-Balkhi mengatakan:
شَهْرُ رَجَب شَهْرُ الزَّرْعِ، وَشَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ سُقْيِ الزَّرْعِ، وَشَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرُ حَصَادِ الزَّرْعِ
“Bulan Rajab adalah bulan menanam, bulan Sya’ban adalah bulan menyirami tanaman dan bulan Ramadhan adalah bulan memanen tanaman.”
Dalam redaksi lain beliau menyebutkan;
مَثَلُ شَهْرِ رَجَبٍ كَالرِّيْحِ، وَمَثُل شَعْبَانَ مَثَلُ الْغَيْمِ، وَمَثَلُ رَمَضَانَ مَثَلُ اْلمطَرِ، وَمَنْ لَمْ يَزْرَعْ وَيَغْرِسْ فِيْ رَجَبٍ، وَلَمْ يَسْقِ فِيْ شَعْبَانَ فَكَيْفَ يُرِيْدُ أَنْ يَحْصِدَ فِيْ رَمَضَانَ
“Perumpamaan bulan Rajab adalah seperti angin, bulan Sya’ban seperti awan yang membawa hujan Dan bulan Ramadhan seperti hujan. Barang siapa yang tidak menanam di bulan Rajab dan tidak menyiraminya di bulan Sya’ban bagaimana mungkin dia memanen hasilnya di bulan Ramadhan.” [Lathaiful-Ma’arif Ibnu Rajab Al Hanbali: 130]
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan pendapatnya; Puasa Sya’ban umpama sunah rawatib (pengiring) bagi puasa Ramadan. Salat ada rawatib qabliyah dan ba’diyah-nya, Ramadan qabliyah-nya puasa Sya’ban dan ba’diyahnya puasa 6 hari di bulan Syawal. [Lathaiful-Ma’arif Ibnu Rajab Al Hanbali: 244]
Umat Islam tidak mungkin dapat memanen kebaikan kalau tidak pernah menanam dan merawat tanaman itu. Jadi, sebagai persiapan mental spiritual, umat Islam perlu bermuhasabah dengan qiyamulail dan menghidupkan malam, shalat Tahajud, beristighfar, membaca Al Qur’an dan bermunajat kepada Allah sebelum memasuki bulan suci Ramadhan.
Arti Bulan Syaban
Kata Syaban berasal dari akar kata “sya’a ba” yang berarti bercabang dan memisahkan.
Bulan Syaban disebut berpencar karena orang-orang biasa berpencar saat Syaban untuk mencari air. Tanaman akan mengeluarkan cabang mereka di bulan ini.
Bulan Sya’ban disebut memisahkan karena bagi orang Arab, Rajab adalah bulan suci dan konflik kekerasan tidak diperbolehkan di dalamnya. Syaban adalah pemisah karena berada di antara Rajab dan Ramadhan.
Salah satu nama Syaban adalah Al-`Ajlan yang artinya bulan yang cepat. Disebut demikian karena orang merasa waktu terasa cepat berlalu dan bulan berikutnya, Ramadhan pun datang sangat cepat.
Menurut Yahya bin Muadz, kata Sya’ban terdiri dari lima huruf yang memiliki makna tertentu, yaitu Huruf ‘Syin’ dan ‘Ain’ yang berarti Syafa’at dan Syaraf (kemuliaan), huruf ‘Ba’’ berarti ‘Birr’ (kebaikan), huruf ‘Alif’ berarti ‘Ulfah’ (lemah lembut), dan huruf ‘Nun’ berarti ‘Nur’ (cahaya).
Yahya bin Muadz hendak menyatakan bahwa seseorang yang menhormati bulan Sya’ban dan mengisinya dengan berbagai hal kebaikan dan ibadah, maka akan mendapatkan kemuliaan, kedudukan yang tinggi, dan kebaikan yang berlipat nilainya disisi Allah serta memperoleh syafaat dari Rasulullah. Selain itu mendapatkan sikap hidup lemah lembut.
Adapula sebagian ulama yang menyatakan bahwa bulan Sya’ban merupakan bulan untuk membersihkan hati. Pada bulan ini kita diharapkan dapat menghiasi hati dengan amal kebaikan dan menjaganya dari perbuatan maksiat yang dapat menggelapkan hati, sehingga hati menjadi jernih laksana hati seorang bayi yang baru lahir dari rahim ibunya, belum ternoda oleh apa pun.
Mengapa bulan Sya’ban sering dilupakan?
Bulan Sya’ban terletak di antara Rajab dan Ramadan dan seringkali dilalaikan oleh manusia, sampai Rasulullah Saw bersabda:
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ
“Itulah bulan yang manusia lalai darinya; ia bulan yang berada di antara bulan Rajab dan Ramadlan” (Sunan Nasai; 2317)
Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Haram dan terdapat Isra’ Mi’raj) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan, dimana banyak hal yang mereka persiapankan menjelang puasa.
Rasulullah Saw dalam redaksi lanjutan hadis di atas, mengabarkan kepada kita bahwa bulan Sya’ban adalah bulan yang istimewa karena bulan diangkatnya amal manusia kepada Allah Swt; atau naiknya berbagai amalan ke hadirat Allah Swt.
Rasulullah Saw bersabda;
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Itulah bulan yang manusia lalai darinya; ia bulan yang berada di antara bulan Rajab dan Ramadlan, yaitu bulan yang disana berisikan berbagai amal, perbuatan diangkat kepada Rabb semesta alam, aku senang amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa.” (Sunan Nasai; 2317)
Beramal dan senantiasa menghidupkan syiar di saat manusia lain lalai tentunya memiliki keutamaan tersendiri.
Hadis ini mengandung isyarat sunnahnya memakmurkan waktu yang dilalaikan manusia dengan ketaatan, seperti para Salaf dahulu yang suka memperbanyak salat antara Maghrib dan Isya’ karena dua waktu ini sering dilalaikan. Atau memperbanyak zikir ketika di pasar, tempat dimana banyak manusia lalai dari mengingat Allah.
Seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari mengingat Allah -seperti ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa. Abu Sholeh mengatakan, “Sesungguhnya Allah tertawa melihat orang yang masih sempat berdzikir di pasar. Kenapa demikian? Karena pasar adalah tempatnya orang-orang lalai dari mengingat Allah.”
Amalan Menyambut Ramadan
Membayar Hutang Puasa
Jika kita masih punya hutang puasa pada tahun lalu, terutama para wanita yang biasanya berhalangan karena haid. Membayar hutang puasa yang telah lalu adalah persiapan paling wajib dan penting dalam menyambut bulan Ramadan.
Jangka waktu penggantian puasa Ramadan sebelumnya adalah sepanjang tahun sampai bulan Sya’ban.
Bulan Sya’ban adalah deadline terakhir untuk berpuasa sebelum datangnya bulan Ramadan pada bulan selanjutnya. Hendaklah segera dilunasi dan jangan sampai terlambat.
Aisyah Ra berkata;
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلا فِي شَعْبَانَ ، وَذَلِكَ لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku punya hutang puasa Ramadan, aku tidak dapat meng-qadhanya kecuali di bulan Sya’ban, karena sibuk melayani Nabi” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yahya berkata ketika menjelaskan hadis ini: “Karena di sibuk dengan mengurusi Nabi atau sibuk karena bersama mengiringi kesibukan Nabi Saw”.
Imam Nawawi dan Ibnu Hajar memberikan kesimpulan dari hadis Aisyah di atas, jika ada uzur, maka qadha puasa bisa diakhirkan sampai bulan Sya’ban. Namun jika tanpa uzur, menyegerakannya di bulan Syawal setelah Ramadan usai lebih utama.
Bagaimana jila lalai, tanpa uzur dan Ramadan hampir datang 2 atau 3 hari lagi?
Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلا يَوْمَيْنِ إِلا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
Dari Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah kalian mendahului Ramadan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali seseorang yang memang seharusnya atau biasanya melakukan puasanya pada hari itu. Maka hendaklah ia berpuasa”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini memperbolehkan puasa akhir Sya’ban H-1/H-2 Ramadan hanya bagi orang yang melaksanakan qadha’ nazar, atau puasa Dawud, Senin-Kamis yang sudah biasa dilakukan.
Memperbanyak Puasa Sunnah di bulan Sya’ban
Bulan Sya’ban merupakan pendahuluan dari puasa Ramadan. Sya’ban yang diapit dua bulan besar yaitu bulan Rajab (muharram) dan bulan Ramadan menjadikan manusia sibuk di kedua bulan tersebut sehingga melupakan bulan Sya’ban.
Maka puasa Sya’ban adalah latihan untuk melakukan puasa di bulan Ramadan, sehingga mempermudah dan membiasakan serta melatih umat yang nantinya menjadi terbiasa melaksanakan puasa Ramadan. Diharapkan umat Islam masuk bulan Ramadan dengan kekuatan dan kesegaran jiwa dan bukan merasa kesulitan dan keterpaksaan.
Pada bulan Sya’ban, Rasulullah Saw banyak melakukan puasa sunnah. Bahkan dalam hadis sahih disebutkan Beliau hampir puasa sebulan penuh pada bulan Sya’ban ini.
Berikut hadis Nabi yang menjelaskan puasa sunnah Nabi pada bulan Sya’ban.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
Dari Aisyah r.a. ia menuturkan, “Rasulullah SAW biasa mengerjakan puasa, sehingga kami berpendapat bahwa beliau tidak pernah tidak berpuasa, dan beliau biasa tidak berpuasa, sehingga kami berpendapat bahwa beliau tidak pernah berpuasa. Akan tetapi aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW berpuasa sebulan penuh, kecuali pada bulan Ramadan, dan aku tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa daripada puasa di bulan Sya’ban”. (HR. Bukhari, 1833, Muslim 1956).
Melalui hadis lain diriwayatkan oleh Aisyah RA, ditegaskan juga banyaknya Rasulullah Saw melaksanakan puasa sunnah pada bulan Syakban, bahkan disebutkan selama satu bulan penuh. Berikut ini hadisnya:
عن عائشة رضي الله عنها قالت: لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Belum pernah Rasulullah SAW berpuasa satu bulan yang lebih banyak dari pada puasa bulan Syakban. Terkadang beliau berpuasa Syakban sebulan penuh.” (HR. Bukhari Muslim).
Kemudian, Ummu Salamah meriwayatkan hadis yang menguatkan hadis kedua riwayat Aisyah RA bahwa Rasulullah Saw belum pernah berpuasa satu bulan penuh selain Sya’ban, kemudian beliau menyambungnya dengan puasa Ramadan. Berikut ini hadis diriwayatkan Ummu Salamah secara langkap:
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلَّا شَعْبَانَ، وَيَصِلُ بِهِ رَمَضَانَ
“Bahwa Nabi s.a.w. belum pernah puasa satu bulan penuh selain Syakban, kemudian beliau sambung dengan Ramadan.” (H.R. An Nasa’i, 1273).
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلَّا شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ
“Saya belum pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut selain di bulan Syakban dan Ramadan.” (HR. An Nasa’i, 1078, Abu Daud, 2056, At Turmudzi, 2176).
Dari ‘Aisyah RA mengatakan,“aku tidak pernah melihat beliau (Nabi) berpuasa (maksdnya puasa sunah) yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan SYA’BAN.” (HR. Bukhari Muslim).
Dari semua hadis-hadis di atas disimpulkan bahwa:
(1) Puasa sunah sebanyak-banyaknya pada bulan Sya’ban sangat dianjurkan, tetapi tidak satu bulan penuh.
(2) melaksanakan puasa sunah di bulan Sya’ban secara penuh dan disambung dengan Ramadan
(3) bagi mereka yang belum merutinkan puasa sunah di bulan Syakban, maka baiknya menghindari puasa-puasa sunah satu atau dua hari menjelang memasuki Ramadan. Mengenai hal ini Rasulullah SAW bersabda:
لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Jangan kamu dahului Ramadan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang mempuasakan puasa tertentu, maka ia boleh meneruskan puasanya”. (Hadis Sahih, riwayat Bukhari: 1781 dan Muslim: 1812. teks hadis riwayat al-Bukhari).
Mulai belajar dan Memperbanyak Membaca Al-Quran
Sebagaiman Sya’ban merupakan muqoddimah bagi Ramadhan maka disyariatkan didalamnya seperti yang disyariatkan dalam bulan Ramadhan seperti puasa dan membaca Al-Quran sebagai persiapan menemui Ramadhan, oleh karena itulah para salaf bersungguh-sungguh dalam bulan Sya’ban sebagai persiapan untuk menyongsong Ramadhan.
Salamah bin Kahiil berkata,
كَانَ يُقاَلُ شَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ القُرَّاءِ
“Dahulu bulan Sya’ban disebut pula dengan bulan para qurra’ (pembaca Alquran).”
Dan ‘Amru bin Qois ketika telah memasuki bulan Sya’ban beliau menutup tokonya dan menghabiskan waktu membaca Al-Quran.
Anas bin Malik menceritakan kesibukan para sahabat Nabi Saw ketika memasuki bulan Sya’ban. Salah satu aktivitas para sahabat tersebut adalah membaca Al-Qur’an. Anas bin Malik bercerita;
كَانَ اْلمُسْلِمُوْنَ اِذَا دَخَلَ شَعْبَانُ اِنْكَبُّوْا عَلَى المَصَاحِفُ فَقَرَأُوْهَا وَأَخْرَجُوْا زَكَاةَ اَمْوَالِهِمْ تَقْوِيَةً لِلضَّعِيْفِ وَالمِسْكِيْنِ عَلىَ صِيَامِ رَمَضَانَ
“Kaum muslim ketika telah memasuki bulan Sya’bun, mereka mengambil mushaf-mushafnya kemudian membacanya. Mereka juga mengeluarkan zakat hartanya agar dapat membantu menguatkan orang fakir dan miskin untuk turut serta menunaikan puasa di bulan Ramadhan”.
Kenapa para ulama salaf menamakan bulan Sya’ban dengan bulan Al-Qur’an?
Tidak lain karena bulan Sya’ban adalah pengantar bulan Ramadhan. Sebagaimana dalam bulan Ramadhan kita dituntut untuk sibuk dengan membaca Al-Qur’an, maka pemanasan aktivitas mulia tersebut sudah seharusnya dimulai sejak bulan Sya’ban. Bahkan Abu Bakar al-Balkhi memberikan perumpamaan bulan Sya’ban dan Ramadhan sebagai berikut.
شَهْرُ رَجَبَ شَهْرُ الزَّرْعِ ، وَشَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ سَقْيِ الزَّرْعِ ، وَشَهْرُ رَمَضَان شَهْرُ حَصَادِ الزّرْعِ
“Bulan Rajab saatnya menanam. Bulan Sya’ban saatnya menyiram tanaman dan bulan Ramadhan saatnya menuai hasil.”
Dalam kesempatan yang lain, dia memberikan perumpamaan yang berbeda;
مَثَلُ شَهْرِ رَجَبَ كالرِّيْحِ ، وَمَثَلُ شَعْبَانَ مِثْلُ الغَيْمِ ، وَمَثَلُ رَمَضَانَ مَثَلُ المَطَر ، وَمَنْ لَمْ يَزْرَعْ وَيَغْرِسْ فِيْ رَجَبَ ، وَلَمْ يَسْقِ فِيْ شَعْبَان فَكَيْفَ يُرِيْدُ أن يَحْصُدَ فِيْ رَمَضَانَ .
“Bulan Rajab seperti angin, bulan Sya’ban bagaikan mendung dan bulan Ramadhan bagaikan hujan. Siapa yang tidak menanam di bulan Rajab, lalu tidak menyiram tanamannya di bulan Sya’ban, maka jangan berharap ia bisa menuai hasil di bulan Ramadhan”.
Ketika berada di bulan Sya’ban hendaknya kita mengikuti jejak para sahabat Nabi Saw dan ulama salaf, dengan memperbanyak membaca Al-Qur’an. Memperbanyak membaca di sini tidak selalu bermakna membaca Al-Qur’an dari awal surah al-Fatihah sampai surah terakhir al-Nas. Membaca beberapa surah Al-Quran seperti Al-Fatihah, ayat-ayat pilihan, surat Yasin, surat al-Kahfi atau surah yang lain, jika dilakukan terus-menerus pun bisa dikategorikan sebagai memperbanyak bacaan Al-Qur’an.
Membekali Ilmu puasa Ramadan
Ilmu adalah teman dikala sulit, penghibur dikala sedih, dan petunjuk dikala sesat. Maka ilmu adalah modal terbesar dalam persiapan menghadapi Ramadhan. Tanpa ilmu agama, Ramadhan kita tak bermakna apa-apa. Rasulullah ‘alaihish shalatu wassalam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (Muttafaqun alaih)
Mengharap pahala adalah satu syarat puasa kita bermakna. Dan mengharap pahala bukanlah sekedar harapan. Namun lebih kepada mendalami ilmu tentang Ramadhan, tentang bagaimana Rasulullah menjalankan ibadah puasa ini. Ibadah Ramadhan yang tidak mencontoh Rasulullah tentu tidak akan mendatangkan pahala sama sekali.
Disinilah pentingnya ilmu agama dari al Qur’an dan Sunnah untuk membimbing setiap amalan kita agar diterima Allah dan berpahala tentunya. Hendaklah seorang muslim membaca kembali buku-buku, artikel website, mendengar ceramah-ceramah tentang Ramadhan. Agar ia bisa mengingat kembali keutamaan, adab, pembatal puasa, hukum-hukum Ramadhan, dan perkara-perkara yang bisa menghilangkan pahala puasanya.
Ilmu penting berkaitan puasa Ramadan adalah ilmu yang berkaitan dengan masalah:
- Hukum, tata cara, dan berbagai macam aturan syariat tentang puasa Ramadan.
- Keutamaan-keutamaan bulan Ramadan dan cara untuk mendapatkannya sesuai sunnah Nabi.
Dua ilmu ini sangat penting untuk kita pelajari dan persiapkan guna menyambut datangnya bulan Ramadan.
Berdoa agar berjumpa bulan Ramadan dan bergembira menyambut kedatangan Ramadan
Ini kita lakukan agar kita memiliki semangat untuk puasa, shalat tarawih, membaca al qur’an, bersedekah, dan ibadah lainnya. Do’a adalah benteng seorang mukmin. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Rabb-mu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina” [QS. Ghafir: 60]
Berdo’a kita lakukan, karena kita adalah makhluk yang lemah sehingga sangat butuh kepada petolongan Allah. Tidak ada do’a khusus berkaitan dengan masuknya bulan Ramadhan. Adapun do’a yang kadang di panjatkan oleh sebagian kaum muslimin yang berbunyi:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
“Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban serta sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan” adalah hadits yang lemah.
Imam Nawawi asy Syafi’i menyatakan dalam Al Adzkar dengan tahqiq dari Abdul Qadir al Arnauth (hal. 189): “Kami meriwayatkan hadits ini di kitab Hilyatul Auliya dengan sanad yang terdapat kelemahan dari Ziyad an Numairi dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu”.
Jadi seseorang bisa berdo’a apa saja agar ia dipertemukan dengan bulan Ramadhan dan diberi semangat untuk beribadah di bulan yang penuh berkah tersebut tanpa mengkhususkan do’a tertentu.
Menampakkan kegembiraan dengan keceriaan dan kesenangan yang nampak pada raut muka dan amalan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi kabar gembira kepada para sahabatnya akan datangnya bulan Ramadhan. Nabi bersabda,
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ اِفْتَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيْهِ الْجَحِيْمِ وَتُغَلُّ فِيْهِ الشَّيَاطِيْنُ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ
“Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah dimana pada bulan itu Allah mewajibkan puasa. Pada bulan itu dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu jahannam, diikat syaithan-syaithan, di dalam bulan itu ada satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkan kebaikannnya, maka sungguh ia telah diharamkan dari bulan itu” [HR. Ahmad: (7148) dengan sanad yang Shahih dengan ta’liq Ahmad Muhammad Syakir: 7/7]
Nabi memberitahukan hal tersebut ketika datangnya Ramadhan agar para sahabat termotivasi dan bergembira dengan hadirnya Ramadhan.
Bermaaf Maafan sebelum memasuki bulan Ramadan
Setiap kali menjelang bulan suci Ramadhan, tak sedikit umat Islam yang ‘sibuk’ bermaaf-maafan, baik secara langsung, pesan singkat, maupun melalui media sosial.
Tren ini muncul sejak mulai munculnya sosial media dan jejaring pesan yang sangat cepat menyebar, setiap mau masuk Ramadan, tersebar hadis Nabi Muhammad SAW yang derajatnya kurang akurat yaitu hadis ketika Nabi Muhammad SAW naik mimbar tiba-tiba beliau berkata “amin” sebanyak tiga kali.
Ketika ditanya para sahabat, Nabi Muhammad menjawab bahwa beliau mengaminkan Malaikat Jibril. Doa Malaikat Jibril itu adalah, “Ya Allah, tolong abaikan puasa umat Muhammad apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut, yaitu tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada), tak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri, dan tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang di sekitarnya.’’
Hadis di atas tidak memiliki perawi yang jelas, yang tercatat dalam kitab-kitab hadis yang bisa dipertanggungjawabkan redaksinya tidak ada yang seperti itu. Namun, doa Jibril itu berbunyi, “Merugilah orang yang datang kepadanya bulan Ramadhan, kemudian Ramadhan berakhir tetapi dosanya tidak diampuni. Rugilah orang yang mendapati kedua orang tuanya masih hidup, tetapi tidak mengantarkan ia masuk surga, dan rugilah orang yang disebut nama Nabi Muhammad, tapi ia tidak bershalawat kepadanya.”. (Shahih Ibnu Khuzaimah (3/192), Musnad Imam Ahmad (2/246, 254)).
Dari sini jelaslah bahwa kedua hadits di atas adalah dua hadits yang berbeda. Meminta maaf atau bermaaf-maafan adalah suatu bentuk kebaikan, yang dalam syariat dianjurkan untuk dilakukan. Bukan hanya menjelang Ramadhan, melainkan tidak dibatasi oleh waktu, bahkan harus dilakukan sesegera mungkin, bukan menunggu momen tertentu.
Khutbah Nabi di Akhir bulan Sya’ban
Rasulullah Shallalhu ‘Alaihi Wasallam pada akhir bulan Sya’ban berkhutbah di hadapan para sahabatnya untuk menerangkan keutamaan dan keistimewaan bulan suci Ramadan.
Isi khutbah akhir Sya’ban Rasulullah Shallalhu ‘Alaihi Wasallam, seraya menyambut bulan Ramadhan adalah sebagai berikut:
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً، وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخِصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ، وَمَنْ أَدَّى فِيْهِ فَرِيْضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَة فِيْمَا سِوَاهُ، وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ، وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ، وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ، وَشَهْرٌ يَزْدَادُ فِيْهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ، مَنْ فَطَّرَ فِيْهِ صَائِمًا كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوْبِهِ، وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ، وَكَانَ لَهُ مِثْلَ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ،
قَالُوْا: لَيْسَ كُلُّنَا نَجِدُ مَا يفطرُ الصَّائِمُ. فَقَالَ : يُعْطِي اللهُ هَذَا الثَّوَابَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا عَلَى تَمْرَةٍ أَوْ شَرْبَةَ مَاءٍ أَوْ مَذقَةَ لَبَنٍ، وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ، مَنْ خَفَّفَ عَنْ مَمْلُوْكِهِ غَفَرَ اللهُ لَهُ، وَأَعْتَقَهُ مِنَ النَّارِ، وَاسْتَكْثِرُوْا فِيْهِ مِنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ، : خِصْلَتَيْنِ تَرْضْوَنِ بِهِمَا رَبَّكُمْ، وَخِصْلَتَيْنِ لَا غِنًى بِكُمْ عَنْهُمَا، فَأَمَّا الْخِصْلَتَانِ اللَّتَانِ تَرْضَوْنَ بِهِمَا رَبَّكُمْ فَشَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَتَسْتَغْفِرُوْنَهُ، وَأَمَّا اللَّتَانِ لَا غِنَى بِكُمْ عَنْهُمَا فَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الْجَنَّةَ وَ تَعُوْذُوْنَ بِهِ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ أَشْبَعَ فِيْهِ صَائِمًا سَقَاهُ اللهُ مِنْ حَوْضِيْ شَرْبَةً لَا يَظْمَأُ حَتَّى يَدْخُلَ الْجَنَّةَ.
Artinya: ”Wahai manusia, sungguh telah dekat kepadamu bulan yang agung, bulan yang penuh dengan keberkahan, yang didalamnya terdapat satu malam yang lebih baik (nilainya) dari seribu bulan, bulan yang mana Allah tetapkan puasa di siang harinya sebagai fardhu, dan shalat (tarawih) di malamnya sebagai sunah. Barang siapa mendekatkan diri kepada Allah di bulan ini dengan satu kebaikan (amalan sunnah), maka pahalanya seperti dia melakukan amalan fardhu di bulan-bulan yang lain. Barangsiapa melakukan amalan fardhu di bulan ini, maka pahalanya seperti telah melakukan 70 amalan fardhu di bulan lainnya.
Inilah bulan kesabaran dan balasan atas kesabaran adalah surga, bulan ini merupakan bulan kedermawanan dan simpati (satu rasa) terhadap sesama. Dan bulan dimana rizki orang-orang yang beriman ditambah. Barang siapa memberi makan (untuk berbuka) orang yang berpuasa maka baginya pengampunan atas dosa-dosanya dan dibebaskan dari api neraka dan dia mendapatkan pahala yang sama sebagaimana yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa .
Mereka (para sahabat) berkata : “Wahai Rasulullah! tidak semua dari kami mempunyai sesuatu yang bisa diberikan kepada orang yang berpuasa untuk berbuka.”
Rasulullah menjawab: “Allah akan memberikan pahala ini kepada orang yang memberi buka puasa walaupun dengan sebiji kurma, atau seteguk air, atau setetes susu”.
Inilah bulan yang permulaannya (sepuluh hari pertama) Allah menurunkan rahmat, yang pertengahannya (sepuluh hari pertengahan) Allah memberikan ampunan, dan yang terakhirnya (sepuluh hari terakhir) Allah membebaskan hamba-Nya dari api neraka . Barangsiapa yang meringankan hamba sahayanya di bulan ini, maka Allah akan mengampuninya dan membebaskannya dari api neraka.
Dan perbanyaklah melakukan empat hal di bulan ini, yang dua hal dapat mendatangkan keridhaan Tuhanmu, dan yang dua hal kamu pasti memerlukannya. Dua hal yang mendatangkan keridhaan Allah yaitu syahadah (Laailaaha illallaah) dan beristighfar kepada Allah, dan dua hal yang pasti kalian memerlukannya yaitu mohonlah kepada-Nya untuk masuk surga dan berlindung kepada-Nya dari api neraka . Dan barang siapa memberi minum kepada orang yang berpuasa (untuk berbuka), maka Allah akan memberinya minum dari telagaku, dimana dengan sekali minum ia tidak akan merasakan haus sehingga ia memasuki surga“.
Ulama menyebutkan, hadits tersebut dari sisi riwayatnya dipandang dha’if (lemah). Namun diriwayatkan lebih puluhan riwayat, dan pada makna-makna kalimatnya didukung oleh hadits-hadits shahih.
Maka pada hakikatnya meskipun hadits ini riwayatnya dha’if, namun merupakan perpaduan hadits-hadits shahih yang terpisah.
Secara ringkas, Rasulullah Saw memberikan kabar keutamaan kehadiran Ramadan sebagai berikut:
- Bulan Agung, bulan yang penuh Berkah.
- Didalamnya terdapat malam Lailatul Qadar, yang lebih baik dari Seribu Bulan.
- Allah SWT menjadikan Puasanya Wajib dan Sholat Malamnya Sunnah.
- Barang siapa yang beramal pada bulan tersebut dengan perbuatan baik ( SUNAH) maka dia seperti orang yang melaksanakan ibadah yang WAJIB.
- Barang siapa yang melaksanakan ibadah yang WAJIB adalah seperti halnya dia melaksanakan Tujuh Puluh kali lipat Ibadah Wajib. (70x)
- Ramadhan adalah Bulan Kesabaran. Dan sabar pahalanya adalah surga.
- Dia adalah bulan kelapangan, bulan ditambahkannya rizki bagi orang yang beriman.
- Barang siapa yang memberi makan orang yang puasa maka Alloh akan membebaskannya dari azab neraka dan akan diampuni dosanya.
Lihatlah :
Betapa besar KESEMPATAN utk berbuat kebaikan. Ini menunjukkan SEMANGAT berbuat baik.
Maka takwa =semangat mengejar utk berbuat baik. Takwa = bersegera berbuat baik.
Maka bulan ini bulan merubah diri utk lebih PRODUKTIF dalam kebaikan. Bila TIDAK semangat, santai, biasa saja, maka itu TANDA puasanya TIDAK dapat apa2 kecuali lapar dan haus. Tidak menggapai TAKWA. (naudzubillah)
Ini kesempatan untuk merubah diri. Selamat merubah diri untk lebih baik. []
Jumal Ahmad | ahmadbinhanbal.com