Syaikh Mahmud Syaltut adalah salah satu dari sekian banyak ulama yang terkenal kepakarannya di bidang ilmu fiqih dan tafsir. Beliau dilahirkan di Mesir, kota Menyah Bani Manshur di al-Buhaira, pada tahun 1310 H. Sejak kecil Syaltut memperlihatkan kesungguhan dan keuletan dalam ber-tafaqquh fid dîn (belajar Islam). Keluarganya yang haus ilmu pengetahuan dan taat beragama, serta hormat pada ulama, berperan besar dalam membentuk kepribadiannya.
Pendidikan Syaltut dimulai di kampung halamannya dengan menghafal Alquran pada seorang ulama setempat. Baru pada tahun 1906, menginjak usia 13 tahun, ia memulai pendidikan formalnya dengan masuk Ma’had Al-Iskandariah. Studinya ini selesaikan setelah ia mendapat Syahadah ‘Alamiyah (sertifikat setingkat S1) pada tahun 1918. pada 1919, Syaltut mengajar di almamaternya. Bersamaan itu pula terjadi gerakan revolusi rakyat Mesir melawan kolonial Inggris. Ia ikut berjuang melalui ketajaman pena dan kepiawaian lisannya.
Dari almamaternya, Syaltut lalu pindah ke Al-Azhar. Selain sebagai pengajar, di institusi pendidikan tertua di dunia ini, ia menjabat beberapa jabatan penting, mulai dari penilik sekolah-sekolah agama, wakil dekan Fakultas Syariah, pengawas umum kantor lembaga penelitian dan kebudayaan Islam Al-Azhar, wakil Syekh Al-Azhar, sampai akhirnya pada tanggal 13 Oktober 1958 diangkat menjadi Syekh Al-Azhar (pemimpin tertinggi Al-Azhar).
Pengalaman
Pernah studi di Al-Azhar dan beliau telah menyelesaikannya pada tahun 1918 M, kemudian bekerja sebagai tenaga pengajar pada universitas yang sama. Beliau berpindah-pindah dalam mengajar, sampai akhirnya beliau dipindahkan ke bagian pascasarjana di Kairo pada tahun 1927 M.
Tantangannya
Sebagai seorang dai yang berpikiran cemerlang, beliau melihat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka, dan beliau berusaha mereformasi Universitas Al-Azhar. Upaya reformasi yang beliau lakukan mendapatkan tantangan yang cukup berat dari syaikh-syaikh yang lain, bahkan mereka mengusir beliau bersama para pendukungnya.
Tetapi kemudian beliau dikembalikan ke Al-Azhar dan diangkat menjadi wakil dekan Fakultas Syari’ah. Kemudian beliau menjadi anggota Badan Perkumpulan Ulama pada tahun 1941 M
Selanjutnya beliau ditunjuk sebagai anggota Badan Pengkajian Bahasa Arab tahun 1946 M, dan terakhir beliau diangkat menjadi syaikh Al-Azhar tahun 1958 M, beliau menduduki jabatan ini hingga akhir hayat beliau.
Syaikh Syaltut terkenal sebagai seorang orator ulung dengan suara yang sangat lantang.
Buku-buku yang sempat beliau tulis cukup banyak , diantaranya :
- Al-Fatawa.
- Al-Islam Aqidatan wa syari’atan.
- Taujihatul Islam.
- At-Tafsir.
- Al-Bid’ah Asbaabuha wa Adhraaruha.
Menyoal ‘Fatwa’ Syaikh Syaltut tentang Syiah
Syaikh Mahmud Syaltut pernah memfatwakan adanya rekonsilasi antara sunni syiah karena antara satu mazhab dengan mazhab lainnya, khususnya suni dan syiah, berbeda pandangan dalam memahami nash-nash, Syaltut melontarkan gagasan jalan tengah yang dikenal sebagai Taqrîb Al-Madzâhib (rekonsiliasi mazhab-mazhab).
Artinya, kita berusaha mempersatukan visi dan persepsi pemahaman keagamaan tanpa melihat simbol-simbol aliran yang kita yakini, dan dengan meminimalisir fanatisme mazhab yang selama ini membekas dalam perilaku keagamaan. Dalam hal ini, Syaltut terlalu jauh berharap agar Syiah bisa sadar dan tidak melecehkan Islam dengan menghina para Sahabat dan Istri Nabi, namun hal ini malah digunakan Syiah untuk menyebarkan informasi dukungan Syaltut kepada Mazhab Syiah.
Terkait fatwa yang seringkali dinisbahkan kepada Syeikh Syaltut mengenai Syiah. Itu adalah transkrip obrolan antara Syeikh Mahmud Syaltut dan wartawan (Mahmud Salimah Mandub), 17 Januari dan 5 Februari 1959, yang kemudian dimuat dalam majalah Al-Azhar pada rubrik “Aaraa wa Ahaadits” bukan pada rubrik “Fatwa”, padahal dalam majalah ini ada rubrik khusus mengenai fatwa.
Lebih dari itu, dalam majalah Al-Azhar yang terkait omongan Syeikh Syaltut mengenai Syiah tidak ada ungkapan fatwa; yang ada justru ‘tashrihaat’ (keterangan, penjelasan), ‘taushiyaat’ (tausiah atau nasihat), ‘hadits’ (omongan), ‘aaraa’ (pendapat), dan ‘qaraar’ (ketetapan).
Jadi, tidak ada kata-kata tegas bahwa itu fatwa. “Fatwa” yang beredar –tentang Syiah dari Syeikh Syaltut- justru tidak ada keterangan tanggal. Bahkan. Perkataan wartawan “qultu li-fadhilatihi” (aku berkata/bertanya kepada Syeikh) pada “fatwa” yang beredar itu diganti ‘qiila li-fadhilatihi’ (ditanyakan kepada Syeikh).
Pada waktu itu, fatwa yang dinisbahkan kepada Syeikh Mahmud Syaltut ini mendapat reaksi keras baik dari dalam Mesir maupun luar. Sebagai contoh; Syeikh Muhibbuddin Al-Khatib menulis tulisan berjudul “I’laam al-Anaam Bimukhaalafati Syeikh Al-Azhar Syaltut li al-Islaam”; demikian juga mufti sebelumnya Syeikh Muhammad Husnain Makhluf juga membantah dengan keras fatwa ini. Demikian pula ulama-ulama misalnya dari Saudi yang juga turut membantah.
Ada juga yang berhusnudzan –berbaik sangka kepada Syeikh Mahmud Syaltut, seperti Syeikh Muhammad Abdurrahman Bishar, bahwa yang dimaksud Syeikh Mahmud Syaltut dalam fatwa itu tidak seperti yang dimaksudkan oleh orang Syiah. Yang dimaksud Syeikh Mahmud Syaltut adalah yang sesuai dengan al-Qur`an dan Sunnah.
Syeikh Al-Qardhawi pun yang pernah dekat dengan Syeikh Mahmud Syaltut mempertanyakan dimana fatwa Syeikh Mahmud Syaltut dan dalam kitab apa?
Sedangkan Syeikh Al-Azhar (Muhammad Sayyed Ath-Thantawi) pernah menyatakan bahwa Al-Azhar tidak akan menerima Syiahisasi di negeri Mesir. Sebagai referensi juga, bisa dibaca dalam buku “Juhuud Ulamaa al-Azhaar” mengenai masalah Syiah.
Wafatnyanya
Beliau wafat pada tahun 1383 H. bografi beliau dipaparkan oleh al-Allamah az-Zirikliy dalam bukunya, Al-A’laami” VII/173. kemudian diikuti oleh prof. Umar Ridha Kahhalah dalam buku biografinya yang terkenal “Al-Mustadrak ‘ala Mu’jamil Mi’allifin”, hal : 774.
Referensi:
Fatwa-Fatwa Penting Syaikh Syaltut ( dalam hal Aqidah, perkara Ghoib dan Bid’ah, Darussunnah.
Saturday Forum Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization atau INSISTS, Jakarta, Dr. Syamsuddin Arif: “Al-Azhar dan Syi’ah: Menyetujui atau Menolak?”.